Pov : Dimas Detik ini, hatiku berdebar tak karuan. Aku seperti kehilangan muka karena terpaksa bertamu ke rumah Lisha, bukan untuk sekadar silaturakhim melainkan untuk pinjam uang. Ingin rasanya pinjam ke papa, tapi aku takut mendapat makiannya. Mungkin lebih baik pinjam ke Lisha saja, yang penting aku bisa dapatkan Azima kembali. Anak itu tak bersalah, tak pantas ikut merasakan perseteruan orang tuanya. Satpam rumah Lisha -- Pak Joni pun membukakan gerbangnya untukku. Dia tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala, masih begitu hormat meski aku tak lagi menjadi majikannya."Maaf, Pak. Apa Lisha ada di rumah?" tanyaku singkat.Kulirik mobilnya yang masih parkir di garasi, sepertinya dia memang masih seperti dulu, sering kali di rumah bila weekend tiba. Jam di tangan menunjuk angka sembilan lebih sedikit. "Mbak Lisha ada di dalam, Pak. Baru saja pulang joging dengan Pak Bos dan Dokter Akbar," ucap Pak Joni lagi. Mendengar nama Dokter Akbar, entah mengapa masih ada rasa cemburu d
POV : Dimas"Kurang ajar! Mana anakku, Bram? Kamu apakan dia?" tanyaku ketus sembari menampar pipinya sekali.Brama kembali terbahak tanpa peduli dengan kebingungan dan kekhawatiranku. Kaki kanannya mengalirkan darah. Om Yudha bilang, terpaksa menembak kakinya karena dia berusaha melarikan diri dengan koper uang itu. Tak berselang lama tempat kejadian mulai ramai dengan warga. Aku berulang kali menanyakan keberadaan Azima namun Brama hanya terbahak seperti orang gila. Mungkin dia memang benar-benar sudah gila. Bahkan saat polisi dan warga membantuku mencari Azima di gedung tua itu, Azima tetap tak ada di sana. "Mungkin di panti asuhan Cinta Bunda, Mas. Kemarin Bu Eny-- pengurus panti bilang menemukan bayi di depan pintu panti asuhan. Cek saja dulu barang kali itu memang bayi yang mas cari," ucap seorang warga. Aku melotot kaget mendengar kabar itu. Gegas pamit ke Om Yudha untuk mencari Azima di sana. "Membu$uk di penjara kamu, Bram!" Bentakku sengit lalu meninggalkannya. Aku harus
Pov : DimasJarum jam menunjuk angka tujuh. Kulihat Arnila belum juga beranjak dari tempat tidurnya. Dia masih terdiam di sana dengan melipat kedua kaki. Pandangannya kosong ke depan. Datar, tanpa ekspresi. Sejak kepergian Azima seminggu yang lalu, Arnila memang masih sangat depresi. Dia sering mengamuk dan melempar barang-barang di sekitarnya. Tak hanya itu saja, beberapa kali kutemukan dia berusaha menyakiti dirinya sendiri dengan gunting. Sebab itulah, benda-benda tajam di kamar ini aku simpan serapat mungkin agar tak terlihat olehnya. Kubuka pintu perlahan, membawakan bubur ayam untuknya. Bubur langganan yang biasanya sangat dia suka. Seketika dia mendongak. Menatapku dengan tajam tanpa berkedip sekian detik lamanya. Hening. Tak ada tanya atau sapa darinya. Aku masih berusaha untuk tersenyum, sembari membawa mangkuk berisi bubur itu ke meja di sebelahnya. "Selamat pagi, Sayang. Kamu sarapan dulu, ya? Ini aku bawakan bubur langganan kesukaanmu. Aku suapi ya?" ucapku selembut m
Pov : Dimas "Dim, jangan lupa rumah ini belum lunas pembayarannya. Kamu sudah menunggak tiga bulan. Bapak harap tanggal 10 nanti kamu bisa mencari dana untuk membayarnya. Bapak nggak ingin debt collector datang mengusir kita." Pesan dari bapak kemarin membuat kepalaku pusing. Rumah itu cicilan bulanannya hampir satu juta dan sekarang sudah menunggak tiga bulan karena aku tak bekerja. Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat coba? Sementara keadaanku sekarang masih seperti ini. Menjadi pekerja lepas di Sasmita WO juga hanya beberapa kali dalam seminggu, dengan gaji tiga ratus ribuan per hari. Hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, itupun pas-pasan. Sungguh, kehidupanku kini terlalu berbeda dengan kehidupanku yang dulu saat bersama Lisha. Benar-benar bertolak belakang. Berbeda 180 derajat lah. Kadang aku ingin kembali seperti dulu. Berandai-andai begini dan begitu, tapi saat sadar hanya bisa pasrah. Buat apa berandai-andai segala. Semua sudah terjadi d
Pov : Lisha|Jangan merebut kebahagiaan orang lain, karena bisa saja esok atau lusa kebahagiaanmu direbut orang pula|Sebuah pesan masuk ke ponselku. Tanpa nama. Entah dari siapa. Awalnya aku memang tak terlalu peduli. Namun akhir-akhir ini pesan itu semakin sering muncul di whatsappku.Aneh. Padahal aku tak suka memberikan nomer ponselku ke sembarang orang, tapi kenapa dia tahu nomerku? Tahu darimana coba? Apa ini bidan Anita lagi? Seperti hari-hari sebelumnya dia memang sering mengirimiku pesan mirip seperti ini. Dia bilang memiliki hubungan khusus dengan Bang Akbar padahal ternyata hanya berteman karena kerja di lingkungan yang sama. Hanya seputar rekan kerja saja, tak lebih dari itu. Namun aku dan dia sudah bertemu sebelumnya. Bahkan Bang Akbar pun sudah memperkenalkanku dengannya kemarin. Tak ada yang aneh dari Bang Akbar meski kulihat bidan Anita sedikit gugup saat laki-laki itu memperkenalkanku sebagai calon istrinya. Jika memang Bang Akbar memiliki hubungan spesial dengan
"Maaf, Lisha. Apa aku mengganggumu?" Laki-laki itu entah mengapa mendadak begitu ramah dan sopan sejak kugugat cerai. Mungkin dia memang sudah menyadari semua kesalahannya selama ini atau sadar jika hanya aku yang selalu membantunya saat dia kesusahan. Meskipun berulang kali dia menyakitiku tapi tetap saja aku menolongnya di saat terpuruk. Bukan karena cinta, hanya saja ada rasa tak tega sebagai sesama manusia. "Silakan duduk, Mas. Ohya, Bi. Tolong buatkan minuman sama bawakan camilan, ya?" ucapku kemudian. Bi Minah mengangguk pelan lalu undur diri untuk menyiapkan hidangan yang kuperintahkan. "Tak perlu repot-repot, Sha. Aku cuma sebentar kok," ucap Mas Dimas dengan senyum tipisnya. Dia sedikit gelisah saat aku menyambutnya seperti biasa menyambut tamu yang lain. Mungkin dia pikir aku sudah tak marah atau kecewa, padahal dalam hati rasa itu tetaplah ada. Aku hanya menghormatinya sebagai tamuku, itu saja. "Nggak repot, memang wajibnya menjamu tamu," balasku singkat. Kulihat
Pagi-pagi aku sudah siap-siap ke butik peninggalan almarhum mama yang kini diserahkan padaku. Aku yang sudah mengembangkannya beberapa tahun terakhir, tepatnya semenjak mama tak lagi fit untuk pergi ke sana-sini sesukanya. Sakit kanker yang menggerogotinya, membuat mama harus banyak istirahat di rumah. Tak boleh terlalu kecapaian apalagi banyak beban pikiran. Akhirnya, papa memintaku untuk mengurus semuanya. "Bi, saya berangkat ke butik dulu. Mau sekalian cek gaun pengantin. Mungkin pulangnya agak telat. Misal nanti kemalaman, seperti biasa Bibi tidur saja. Saya sudah bawa kunci rumahnya," pamitku pada Bi Minah yang masih sibuk membersihkan isi kulkas. Bi Minah mengangguk pelan lalu memintaku untuk berhati-hati di jalan. Setiap dua hari sekali Bi Minah memang membersihkan kulkas untuk memilah-milah mana sayuran yang sudah agak layu dan mana yang masih segar. Yang agak layu itulah yang biasanya dimasak Bibi lebih dulu. Kupacu mobil merahku itu dengan kecepatan sedang. Mobil mula
Perempuan itu menghentikan aktivitasnya lalu buru-buru memasukkan ponselnya ke saku bajunya. Aku tersenyum menatapnya, sementara dia begitu gugup dan salah tingkah saat aku mendekatinya. "Aku tahu kok kalau Mbak Anita yang menerorku akhir-akhir ini. Tapi tenang saja, aku tak akan mempermalukan Mbak di sini. Aku tak akan setega itu. Hanya saja Mbak harus tahu kalau aku tak akan pernah membiarkan semua ini terjadi begitu saja. Aku tetap akan memberitahu Bang Akbar untuk berhati-hati dengan perempuan culas sepertimu. Baik di depan, tapi di belakang berbisa," ucapku penuh penekanan pada perempuan cantik di sebelahku. Dia mendongak beberapa saat lalu kembali menunduk diam. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan. "Bisa saja aku menelpon nomormu sekarang dan menceritakan kelicikanmu pada mereka. Namun lagi-lagi aku tak seburuk itu. Aku tak pandai bermuka dua sepertimu. Namun kalau kamu nggak jera, aku bisa mempermalukanmu kapan saja. Aku nggak takut, Mbak!" Lagi-lagi kubisikkan kata
POV : Dimas Aku tak tahu siapa yang harus kucurigai perihal foto menjijikkan itu kecuali Brama. Namun sepertinya dugaan Nila ada benarnya. Ayu bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, dia bahkan tipe perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara demi impiannya. Ketiga istriku, hanya dia yang memiliki sifat paling berbeda. Dia terlalu kasar sementara istriku yang lain cenderung lembut dan lebih sopan. Setidaknya, mereka masih lebih menghargai statusku sebagai suami dan tak semena-mena. Kebetulan hari ini ada interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Aku berharap kali ini lamaranku diterima, sebab telah puluhan email kukirimkan ke sana-sini tapi sia-sia. Sebagian perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman dengan lampiran surat pengalaman kerja masing-masing, sayangnya aku tak memiliki itu sebab dipecat begitu saja oleh Lisha. Perusahaan lain menginginkan karyawan yang fresh graduate, sementara aku justru sebaliknya. Aku hanya bisa pasrah dan per
POV : Dimas Beban hidup terasa semakin berat serang. Ekonomi belum stabil ditambah harus menuruti kemauan Ayu yang terkadang kelewat batas. Dia semakin menjadi sejak berpisah dengan mantan suaminya itu. Kesakitan karen pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seolah dia lampiaskan padaku yang tak tahu apa-apa. Harusnya aku tak perlu menghidupinya, tapi Adam tetaplah anak kandungku. Bagaimana mungkin aku tega melihat dia kedinginan dan kelaparan bersama ibunya, sementara aku bisa tidur lelap dengan perut kenyang sekalipun banyak beban pikiran. Mau tak mau aku mengontrakkan Ayu dan Adam tak jauh dari kontrakanku. Di sana Ayu bekerja sebagai tukang cuci gosok, cukup buat makan sehari-hari sementara uang kontrakan tetaplah aku yang membayarnya. Awalnya Nila menolak, tapi mau tak mau dia harus mengiyakannya sebab nggak mungkin juga meminta Ayu dan Adam untuk tinggal satu atap di sini. Kasihan juga dia kalau nggak kucarikan kontrakan. Ayu sudah tak memiliki rumah di kampung dan ta
POV : Lisha Sejak menikah dengan Bang Akbar, hari-hariku semakin bahagia. Dia tulus, tak seperti mantan suamiku yang ternyata hanya modus. Perhatian dan cinta yang diberikan Bang Akbar membuat duniaku terasa lebih indah. Aku lebih bisa menghargai diri sendiri dan semakin yakin jika Allah memberikan sesuatu di saat yang tepat bukan terlambat. Kehamilan ini masuk minggu ke-18. Menginjak trimester dua yang tak lagi mual dan pusing seperti trimester sebelumnya. Aku sudah mulai mau makan dan tak lagi pusing jika mencium aroma menyengat. Syukuran empat bulanan sudah digelar beberapa hari yang lalu dengan dihadiri para tetangga dan saudara. Mereka mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku dan janin yang ada dalam rahimku. Teringat kembali ucapan mereka saat itu. "Mbak Lisha, selamat berbahagia akhirnya merasakan hamil yang begitu mendebarkan dan menggemaskan. Aku yakin nanti kalau anaknya cewek, pasti bakal cantik seperti mamanya dan kalau cowok pasti tampan seperti papan
Pov : Dimas Hari-hari buruk akan mulai menyapaku lagi. Aku yang baru mulai bangkit, kembali diterpa badai karena kedatangan Ayu tiba-tiba. Iya, Niken Rahayu. Dia mantan istri pertamaku yang kini kembali ke Jakarta untuk menemuiku bersama Ahmad, buah hatiku dengannya yang kini berusia dua tahunan. Mau tak mau, bisa tak bisa aku mengajak Ayu ke kontrakan. Tak mungkin tega membiarkan dia lontang-lantung dengan Ahmad di kota sebesar ini, bukan? Jelas aku tak tega, sekalipun aku dengannya sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Kecuali sebatas mantan dan orang tua kandung Ahmad saja. "Itu kontrakanku bersama keluarga Nila. Tolong jangan jaga sikapmu pada mereka, sebab aku tak ingin membuat masalah lagi," ucapku setelah mematikan motor dan meminta Ayu untuk turun. "Harusnya aku yang bilang begitu, Mas. Kalau kamu nggak banyak tingkah, hidup kita juga aman saja. Nggak berantakan," balas Ayu sengit. "Sudah. Sudah. Nggak ada gunanya saling menyalahkan. Semua ini salah kita karena memanfaa
Pov : Dimas Kehidupan jungkir balik mulai kulalui. Tenggelam dalam sesal jelas kurasakan. Namun hidup terus berjalan. Aku ngga mungkin selalu dirasuki rasa bersalah berlarut-larut. Lisha sudah bahagia dan aku harusnya juga begitu. Sama-sama bahagia meski dari ekonomi jelas berbeda. Tak mengapa, aku benar-benar ingin belajar dari nol hingga sukses. Lagipula, sebelum bertemu Lisha aku juga hidup dengan sangat sederhana. Aku bekerja keras untuk membahagiakan Ibu dan Niken. Iya, Niken. Entah bagaimana kabarnya. Terakhir kali aku mengiriminya uang tiga bulan yang lalu. Sampai sekarang aku belum transfer lagi karena memang nggak ada dana yang bisa dikirim. Buat makan sekeluarga aja sangat susah dan amat seadanya. Aku nggak mungkin kirim uang untuk Niken jika keluarga di sini masih sangat kekurangan. Biarlah. Lagipula suaminya juga bertanggungjawab, InsyaAllah dia nggak kekurangan jika sekadar makan. Nanti setelah ekonomi ku stabil, aku janji akan mengiriminya uang lagi untuk Ahmad.
POV : Dimas Aku tak tahu apa yang kurasakan detik ini saat kembali membayangkan Lisha bersanding dengan dokter itu di pelaminan. Rasanya benar-benar sulit dijelaskan. Sakit dan nelangsa. Teringat kembali ucapan Lisha waktu itu bahwa ada kalanya dia kecewa dan terluka karena pengorbanan dan kesetiaannya selama ini aku sia-siakan. Nyatanya kini roda itu benar-benar berputar. Dia sudah menemukan kebahagiaan dan cinta sejatinya, sementara aku justru sebaliknya. Aku tenggelam pada deretan masalah pelik yang selama ini belum pernah kurasakan. Depresi Nila belum sepenuhnya sembuh, ditambah masalah baru tentang tunggakan rumah ibu. Empat juta yang harus kulunasi minggu ini. Tak hanya itu saja, hutang ibu pun semakin menumpuk di warung karena memang hanya mengandalkan aku sebagai tulang punggung. Sebenarnya tak masalah hanya aku yang mengurus keuangan rumah, etidaknya bapak dan ibu lebih menghargai kerja kerasku. Tak selalu menuntut ini itu bahkan seolah meremehkan usaha yang sudah kul
Pov : Lisha Hari-hari belakangan kujalani dengan penuh semangat dan bahagia sebab acara pernikahanku dengan Bang Akbar tinggal menghitung hari saja. Semua akan digelar dengan cukup meriah dengan mengundang banyak kerabat, teman dan para tetangga. Detik ini, aku kembali ke butik untuk mengambil kebaya untuk akad dan resepsi nanti. Baju pengantin dan jas milik Bang Akbar pun sudah jadi. Dia pasti semakin keren dengan baju pengantin berwarna abu muda dan salem itu. Untuk akad nikah aku akan memakai kebaya abu muda sementara resepsinya pakai warna salem senada dengan pakaian yang akan dikenakan Bang Akbar. Kulihat papa masih asyik ngobrol dengan tukang parkir di depan butik. Begitulah papa, selalu ramah dengan siapapun tak memandang status sosialnya. Akhir-akhir ini papa memang selalu mengantarku ke mana-mana, seolah menjadi body guard untuk anak kesayangannya. Papa bilang, tak apalah karena esok atau lusa mungkin papa sudah tak akan mengantar lagi karena sudah ada pengganti. Papa
Perempuan itu menghentikan aktivitasnya lalu buru-buru memasukkan ponselnya ke saku bajunya. Aku tersenyum menatapnya, sementara dia begitu gugup dan salah tingkah saat aku mendekatinya. "Aku tahu kok kalau Mbak Anita yang menerorku akhir-akhir ini. Tapi tenang saja, aku tak akan mempermalukan Mbak di sini. Aku tak akan setega itu. Hanya saja Mbak harus tahu kalau aku tak akan pernah membiarkan semua ini terjadi begitu saja. Aku tetap akan memberitahu Bang Akbar untuk berhati-hati dengan perempuan culas sepertimu. Baik di depan, tapi di belakang berbisa," ucapku penuh penekanan pada perempuan cantik di sebelahku. Dia mendongak beberapa saat lalu kembali menunduk diam. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan. "Bisa saja aku menelpon nomormu sekarang dan menceritakan kelicikanmu pada mereka. Namun lagi-lagi aku tak seburuk itu. Aku tak pandai bermuka dua sepertimu. Namun kalau kamu nggak jera, aku bisa mempermalukanmu kapan saja. Aku nggak takut, Mbak!" Lagi-lagi kubisikkan kata
Pagi-pagi aku sudah siap-siap ke butik peninggalan almarhum mama yang kini diserahkan padaku. Aku yang sudah mengembangkannya beberapa tahun terakhir, tepatnya semenjak mama tak lagi fit untuk pergi ke sana-sini sesukanya. Sakit kanker yang menggerogotinya, membuat mama harus banyak istirahat di rumah. Tak boleh terlalu kecapaian apalagi banyak beban pikiran. Akhirnya, papa memintaku untuk mengurus semuanya. "Bi, saya berangkat ke butik dulu. Mau sekalian cek gaun pengantin. Mungkin pulangnya agak telat. Misal nanti kemalaman, seperti biasa Bibi tidur saja. Saya sudah bawa kunci rumahnya," pamitku pada Bi Minah yang masih sibuk membersihkan isi kulkas. Bi Minah mengangguk pelan lalu memintaku untuk berhati-hati di jalan. Setiap dua hari sekali Bi Minah memang membersihkan kulkas untuk memilah-milah mana sayuran yang sudah agak layu dan mana yang masih segar. Yang agak layu itulah yang biasanya dimasak Bibi lebih dulu. Kupacu mobil merahku itu dengan kecepatan sedang. Mobil mula