"Aku tidak mengerti lagi dengan jalan pikir mertuaku, Sin. Rahimku sehat, aku dan Aziz juga tidak mandul. Tapi kenapa ibu Aziz ngotot sekali ingin menyewa rahim orang lain? Aku terus-menerus sakit hati setiap kali mengingat dia meragukan rahimku," kata Lizia jengkel. Dia mengambil selembar tisu di atas meja. Entah berapa banyak tisu yang akan dia ambil lagi untuk menghapus air matanya.
Lizia menangis sesenggukan, menatap sahabatnya dengan mata yang merah. "Kenapa Tuhan belum memberi aku dan Aziz anak? Dan kenapa juga mertuaku harus perempuan cerewet itu? Ah!" teriak Lizia.
Sindi menghela napasnya, menatap kasihan pada Lizia. "Sabar, Liz. Ada, kok, wanita yang belum dikasih anak sampai sepuluh tahun. Eh tapi akhirnya dikasih juga. Intinya, Liz ... jangan putus asa. Sedangkan mertua kamu, biarkan saja mau bilang apa." Dia mengusap pundak Lizia, mencoba memberi kekuatan kepada sahabat karibnya itu.
Lizia membuang tisunya yang sudah basah, kemudian beralih pada jus di atas meja dan meminumnya sampai habis. "Aku harus bagaimana? Aku sudah gagal di bayi tabung beberapa kali. Aku akan trauma berat kalau harus melakukan program bayi tabung lagi."
"Tidak apa-apa. Coba lagi sambil berdoa. Usaha tidak mengkhianati hasil," ucap Sindi.
Lizia mengangguk. Dia menghapus air matanya. "Iya. Aku mungkin akan ikut program bayi tabung lagi. Aku tidak mau mengecewakan Aziz dan ibunya."
"Sudah jam setengah sepuluh. Aku pulang dulu, ya. Aziz mungkin udah pulang." Lizia memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.
"Yasudah. Hati-hati, Liz. Jangan kencang-kencang bawa mobil," ucap Sindi.
Lizia mengangguk lalu pergi mengendarai mobilnya ke jalan utama.
Di dalam mobil, Lizia lagi-lagi teringat akan ucapan ibu mertuanya dua hari yang lalu. Ibu mertuanya memarahi dirinya karena belum juga hamil. Hanya dirinya. Istri mana yang yang tidak mau memberikan anak pada suami? Lantas kenapa dia yang harus disalahkan?
Lizia juga tidak tahu, dia lelah, marah, kecewa, dan entah apa lagi yang ia rasakan karena belum memberi suaminya anak selama 7 tahun menikah. Bahkan beberapa kali melakukan program bayi tabung, tetapi hasilnya selalu membuat hatinya remuk berkeping-keping.
Namun, dia bersyukur karena suaminya adalah Aziz yang selalu mendukungnya di setiap langkah sulitnya memiliki anak. Aziz yang selalu menyemangati kala dia gagal dalam proses bayi tabung.
Pernah, Lizia mendapati Aziz menangis di tengah malam saat kegagalan bayi tabung. Tidak ada yang lebih sakit daripada menyaksikan tangisan Aziz. Pria itu menangis sendiri. Tetapi Lizia bisa apa?
"Sayang?" panggil Lizia.
Dia baru tiba dan mendapati rumahnya dalam keadaan terang. Berarti Aziz sudah pulang. Lantas Lizia menyusuri setiap ruangan rumahnya sampai ke lantai dua mencari sosok Aziz, dan dia menemukan sosok itu di dapur.
"Sayang, kenapa duduk di sana?" Lizia mendekati Aziz yang duduk di salah satu kursi meja makan.
"Kenapa diam?" Dia membelai rambut hitam halus itu.
"Aku lapar."
Dua kata dari Aziz membuat Lizia kebingungan.
Menyadari kebingungan Lizia, Aziz kembali membuka suara.
"Sudahlah, sudah aku duga kamu melupakan janji yang kamu buat sendiri kemarin malam," kata Aziz pelan, terdengar jengkel tapi pasrah.
Lizia tertegun.
Benar, kemarin dia berjanji akan membuat makan malam dan menyuruh Aziz untuk tidak makan malam di luar.
Sekarang, dia malah melupakan janji itu dan membuat suaminya kelaparan. Bodoh sekali!
"Sayang ... maafkan aku. Aku benar-benar lupa," kata Lizia dengan wajah menyesal.
Aziz menepis tangan Lizia di kepalanya. Kemudian berdiri dan hendak meninggalkan dapur, tetapi dengan cepat Lizia menahan tangannya.
"Kamu duduk dulu. Aku akan masak dengan cepat. Aku mohon ...."
"Tidak perlu. Aku akan makan di luar."
"Sayang ... ini cuma hal sepele. Jangan marah, ya. Kamu duduk saja sambil main ponsel atau nonton TV. Tenang saja, aku akan masak sekarang," kata Lizia dengan suara lembut diiringi dengan senyum lebarnya.
Aziz menatap Lizia kesal. "Sepele kamu bilang?" Dia menepis kasar tangan Lizia di lengannya. "Kamu yang buat janji, Liz! Aku rela tidak makan dari siang demi kamu! Demi kamu! Aku lapar sampai kaki dan tanganku gemetar. Aku sampai ditegur sama asistenku sendiri karena tidak fokus selama operasi. Karena apa? Karena aku menahan lapar demi makanan yang ternyata tidak kamu buat. Kamu masih ingin bilang itu hal sepele. Kamu yang tidak menepati janji, bukanlah hal sepele," katanya panjang lebar penuh emosi, tekanan, dan terdengar frustasi.
Aziz menutup pintu dengan keras setelah mengambil jas dokternya.
Lizia menyandarkan tubuhnya di meja makan. Dia menghela napas panjang saat terdengar suara mobil Aziz yang semakin jauh.
Lizia menatap seluruh ruangan yang tidak terlalu luas itu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tidak menangisi kemarahan Aziz, dia hanya merasa marah pada dirinya sendiri. Dia merasa putus asa akibat perkataan mertuanya sampai-sampai melupakan janji yang dia buat.
Sudah hampir jam sebelas. Lizia menaiki tangga, pergi ke kamarnya di lantai dua untuk mengambil selimut dan bantal.
Dia akan tidur di kursi panjang di ruang tengah, menunggu sampai Aziz pulang.
12:33 malam.
Terdengar suara mobil Aziz di halaman rumah. Pria itu akhirnya pulang juga.
Aziz membuka pintu utama dengan kunci cadangan yang selalu dia bawa. Dia menghela napas ketika mendapati Lizia yang tertidur memeluk selimut. Ya, bukan bantal tapi selimut.
Aziz membuka sepatunya, berjalan dengan kaki telanjang dan pelan agar istrinya tidak terbangun.
Tetapi sebenarnya Lizia sama sekali belum tidur. Dia masih terjaga, dan pura-pura menutup matanya saat Aziz membelai rambutnya dengan lembut. Kemudian, dia merasakan kecupan di matanya.
"Maafkan aku, sayang," kata Aziz pelan, penuh penyesalan di telinga Lizia.
Pagi hari. Lizia bangun pagi-pagi sekali.
Jam 8 dia harus ke kantor, sedangkan jam setengah 8 Aziz ke rumah sakit. Jadi, Lizia bangun subuh untuk menyiapkan sarapan pagi juga dengan pakaian yang akan digunakan suaminya. Dia menyiapkan semuanya dalam rangka menebus kesalahannya kemarin malam.
"Sayang, sudah jam tujuh. Bangun, nanti kamu terlambat ke rumah sakit." Lizia mengguncang pelan bahu Aziz.
"Mulutnya ditutup kalau sedang menguap."
Aziz tertawa kecil dibalik telapak tangan Lizia yang menutup mulutnya ketika menguap. "Aku masih mengantuk. Mandikan aku, ya!" katanya dengan senyum menggoda, menatap Lizia dengan tatapan nakal.
Lizia memukul pelan lengan Aziz. Dia menggeleng. "Jangan main-main, ah! Pergi mandi sekarang, kamu bau ayam goreng, eww ...." ejeknya dengan tatapan jijik.
"Benarkah? Hm, hah!"
Lizia sontak menutup mulutnya dan menjauh dari tempat tidur ketika Aziz sengaja menghembuskan napas di depan wajahnya. "Bau!" teriaknya.
Aziz tertawa kalem. Dia lalu melalui Lizia dan ke kamar mandi. Kemudian, terdengar gemericik air dalam sana.
Setelah mandi, Aziz pun memakai kemeja biru dengan celana putih yang Lizia telah siapkan. Setelah itu, dia turun ke bawah untuk sarapan bersama istri tercintanya.
Selama 7 tahun mereka memang begitu. Sekecil dan sebesar apa pun pertengkaran yang terjadi, keesokan harinya mereka akan berbaikan lagi. Mereka dengan cepat belajar dari kesalahan.
"Terima kasih, sayang. Tapi aku khawatir tidak bisa ke rumah sakit hari ini," kata Aziz.
Lizia menoleh cepat, "Kenapa? Kamu sakit?" tanyanya khawatir.
Aziz menggeleng sambil tersenyum. "Makanan yang kamu masak banyak sekali. Aku takut menghabiskan semuanya hingga tidak bisa berjalan lagi."
"Kamu---"
Kalimat Lizia terpotong ketika dengan tiba-tiba seorang wanita paruh baya yang modis berdiri di depan meja makan sambil memperhatikan mereka berdua.
Horor sekali.
Itu adalah ibu Aziz sekaligus ibu mertua Lizia.
"Ibu kenapa berdiri di situ? Tiba-tiba muncul sudah seperti hantu saja. Ucap salam atau panggil nama, kan, bisa," omel Aziz.
Lizia tersenyum kaku, merasa jika Aziz sudah berlebihan terhadap ibunya sendiri. "Ibu sudah sarapan? Kebetulan aku masak banyak---"
"Tidak usah," sela Rina, mertua Lizia. "Kamu tidak perlu repot-repot. Ibu cuma mau kasih tau sesuatu lalu pergi," katanya lagi.
Rina meletakkan tasnya di atas meja, kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam sana. Setelah menggesek-gesek layar ponselnya, Rina lalu menunjukkan foto seorang perempuan memakai kebaya merah muda. Anggun dan cantik.
Aziz mengernyit. "Siapa dia, Bu?"
"Wanita ini yang akan mengandung anak kalian berdua."
Hening sesaat.
Wajah Lizia sudah tak seceria tadi. Dia menatap Aziz dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Kemudian, dia beralih menatap tembok di sampingnya.
"Bu, sudah berapa kali aku bilang, aku sama Lizia tidak akan menyewa rahim siapa pun! Kami berdua sehat dan masih mampu memberikan ibu cucu. Kenapa ibu menekan kami seperti ini?" kata Aziz berusaha menahan amarah, mencoba bicara selembut mungkin pada ibunya.
Brak!
Rina menggebrak meja, menatap marah pada Aziz dan Lizia bergantian. "Sehat apanya, hah? Kalau sehat, ibu pasti sudah lama menimang cucu. Istri kamu ini jangan-jangan mandul. Cantik, kaya, baik, tapi percuma kalau tidak bisa melahirkan anak!" hardik Rina dengan suara keras.
Mata Lizia berkaca-kaca mendengar perkataan Rina. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa menghadapi ibu mertua seperti ibunya Aziz.
Dia akhirnya memilih pergi dari sana, mengambil tasnya lalu berangkat ke kantor dengan hatinya yang sakit. Air mata yang ia tahan jatuh juga.
Di tengah-tengah air matanya yang terus jatuh, Lizia mengambil ponselnya di dalam tas, lalu menekan tombol panggilan dengan mana 'Sindi'.
"Halo?" Suara Sindi yang serak khas bangun tidur
"Sin ...." lirih Lizia rendah. Air matanya jatuh lagi.
"Kamu kenapa menangis?" tanya Sindi terdengar khawatir. Suaranya langsung lantang tidak serak seperti tadi.
Lizia menghirup udara dalam-dalam. Dengan cepat menghapus air matanya lalu kembali memegang stir.
"Aku tidak tahu, Sin. Aku tidak tahu tangisan aku ini karena perkataan mertuaku atau karena nasibku yang malang."
Lizia mengabaikan sapaan dari setiap pegawainya. Dia hanya menatap lurus ke depan tanpa senyuman yang biasa ia umbar.Dia tidak dapat mengangkat ujung bibirnyasementara relung hatinya begitu pilu.Lizia menaruh tasnya di atas meja kerja dengan keras, membuat sekretaris perusahaan yang akan masuk ke ruangannya menjadi ragu."Masuklah," kata Lizia setelah menyadari keberadaan Sang sekretaris."Maaf, Bu. Saya hanya ingin mengingatkan kalau kita ada rapat dua jam lagi," ucap si sekretaris.Lizia mengangguk. Kemudian mengibaskan tangannya menyuruh wanita berhak tinggi di depannya itu keluar."Baik, Bu." Si sekretaris pun pergi setelah menutup pintu dengan hati-hati.Lizia memutar kursinya menghadap dinding kaca di belakangnya. Dia menghela, lalu menarik napas dalam-dalam.Untunglah pemandangan kota Jakarta dari bawah sini membuat suasana hatinya sedikit membaik.Lizia memijat ke
"Kandungannya sudah masuk minggu ketiga."Aziz meremas rambutnya frustasi. Kata-kata dokter terus berputar di kepalanya. Dia beranjak dari kursi tunggu, melihat Lizia yang belum siuman usai kecelakaan satu jam yang lalu.Aziz tidak ingin masuk ke dalam ruang rawat Lizia. Hanya menunggu di luar dengan dengan harapan Lizia cepat bangun.Aziz menghela napas panjang. Dia harus menyalahkan siapa atas kematian calon bayi yang dia tunggu selama tujuh tahun lamanya?Tuhan benar-benar tidak adil pada keluarganya. Mengambil apa yang mereka nanti-nanti dengan susah payah. Tuhan seperti membuat terbang lalu menjatuhkan mereka sampai hancur berkeping-keping.Ibarat kata nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terjadi. Calon bayinya juga sudah pergi. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memutar kembali waktu. Saat ini bukan hanya dia saja yang terluka, ada Lizia
Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering.Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut.Jam 8 malam.Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela.Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih.Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur.
"Sayang, kita masih bisa berjuang sama-sama untuk punya anak. Kita masih muda, sehat."Sehat? Hahaha ... Lizia menertawai dirinya dalam hati."Tujuh tahun, Sayang. Tujuh tahun bukan waktu sebentar, selama itu kita berjuang sambil ikhtiar. Jangan menyerah karena musibah kemarin. Mana Lizia yang aku kenal?" kata Aziz. Dia menatap mata Lizia begitu lekat.Lizia menghela lalu berkata, "Seperti yang kamu bilang, tujuh tahun bukan waktu sebentar, kamu benar, tujuh tahun adalah waktu yang sangat-sangat lama. Saking lamanya membuat aku lelah sama takdir yang diberikan Allah.""Hey, jangan bilang begitu. Apa pun jalan yang dikasih Allah untuk kita berdua, yakin itu jalan paling terbaik di antara terbaik.""Dan ini sudah jadi jalan aku untuk menggunakan rahim orang lain.""Sayang, jangan berpikir karena musibah kemarin aku akan tinggalkan kamu, makany
Pertama, mereka menyewa rumah di dekat tempat tinggal Aziz dan Lizia untuk Dayana. Dayana harus tinggal berdekatan agar mereka dapat setiap waktu mengecek kondisinya selama kehamilan.Kedua, biaya pendidikan S2 ke Singapura ditanggung Aziz dan Lizia. Ini adalah salah satu cara membayar jasa Dayana.Ketiga, mereka akan berdonasi 500 juta ke panti asuhan tempat Dayana tinggal.Keempat, Dayana harus meninggalkan bayi yang dilahirkannya setelah 40 hari.Selesai.4 poin inti dalam perjanjian ibu pengganti.Lizia mencap namanya di atas kertas berukuran A4 di atas meja, lalu diikuti dengan tanda tangan Aziz di bawahnya."Besok kita bertiga ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan konsultasi," kata Aziz.Dayana mengangguk setuju, tetapi Lizia tidak. "Kayaknya aku enggak bisa, sayang. Ak
Mata Lizia fokus pada Arum, tetapi sesungguhnya pikirannya hanya tertuju pada suaminya. Curhatan Arum barusan sukses membuat pikirannya kacau, hatinya bimbang, dan dia menjadi takut. Arum sama sepertinya menyewa ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Tetapi dia tidak menyangka nasib dari pernikahan Arum akan berakhir tragis karena pilihan yang dibuat wanita itu. Lizia merinding. Mencoba berpikir kalau nasib setiap orang berbeda-beda dan dia mungkin tidak akan berakhir seperti Arum, sebab Aziz sangat mencintainya dan dia sangat percaya pada pria itu. Ya, Lizia menyadarkan semu harapannya pada cintanya dan Aziz. Lizia berpamitan kepada teman-temannya setelah melihat jam 15:43 di tangannya. Tetapi belum sempat meninggalkan gedung reuni, langkahnya terhenti saat suara seorang pria memanggil namanya. Lizia menoleh dan mendapati Rendy di meja bersama
"Terima kasih banyak," kata Dayana, lalu tersenyum saat 4 orang yang membantu kepindahannya hendak menaiki mobil dan pergi.Dayana berjalan memasuki rumah sementaranya. Rumah bercat kuning itu punya luas 34 meter dan panjang 36 meter. Bagian dalamnya didesain dengan gaya moderen, dan memiliki banyak jendela di setiap sisinya. Semua perabotan seperti kursi, ranjang, kulkas, AC, dan lain sebagainya sudah disiapkan Aziz dan Lizia. Rasanya menyenangkan sekali berada di rumah yang menjadi impian Dayana. Tetapi sayangnya dia harus pindah setelah 13 bulan tinggal di sana.Dayana memasuki ruangan yang menjadi kamarnya, di sana masih berantakan dan dia sendiri yang akan merapikannya. Itu kemauannya sendiri."Halo? Benar, saya Dayana Safitri." Dayana meninggalkan barang-barangnya di atas lantai saat ponselnya berbunyi."Kami dari pihak rumah sakit Sanjaya Permata. Apa benar atas nama ibu Fitr
Hari ini, Selasa 1 Februari 2022. Tepat satu minggu setelah terakhir kali mereka menemui dokter Vino. Lizia bersama Aziz dan juga Dayana kembali menemui Vino untuk menagih hasil pemeriksaan mengenai kesuburan mereka.Tidak ada basa-basi seperti pertama kali, Vino langsung memberi kertas berisi keterangan hasil pemeriksaan kepada mereka masing-masing. Setelah itu, dia duduk di kursi kebanggaannya dengan wibawa seorang dokter yang lebih terlihat daripada kemarin-kemarin."Nona Dayana, rahim ada sangat baik dan sehat. Tidak ada kecacatan sedikitpun. Bahkan, rahim Anda sudah benar-benar siap untuk pemindahan embrio," kata Dokter Vino.Dayana mengangguk paham. Dia senang dan sedikit gugup.Vino beralih pandangan pada Aziz, lalu mengatakan hal yang sama seperti yang dia katakan pada Dayana. Aziz sehat dan tidak ada kecacatan apa pun."Saya mau bicara empat mata
"Di mana aku bisa terhubung dengan jaringan?" tanya Lizia kepada salah satu pekerja."Di sana, Bu. Di pertigaan pertama dari sini."Mata Lizia mengikuti arah di mana jari telunjuk pekerja tua itu. Dia kemudian mengangguk dan berterima kasih sebelum pergi dari lokasi yang akan dibangun cabang perusahaan.Lizia berdecak sebal, ia berjalan menghampiri asistennya yang tengah makan siang di salah satu pondok kayu sederhana."Nayla," panggil Lizia seiring dengan tangannya yang mengambil kunci mobil dari tasnya."Ibu mau ke mana?" tanya Nayla, asistennya yang dua tahun lebih muda darinya."Cari jaringan. Mau telepon suamiku dulu. Kamu tunggu di sini sebentar," kata Lizia. Kemudian, ia menyalakan mesin mobil, melaju dan membelah jalanan yang tidak terlalu luas di salah satu kota terpencil di Aceh.Sesampainya di sana, Lizia lang
Lizia berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan menggosok gigi sebelum naik ke atas tempat tidur. Dia membuka ponselnya, mengetik nama Aziz di kontak pencarian.Namun, belum sempat mengetik tombol hijau di samping kanan layar ponsel, terdengar suara mobil memasuki bagasi.Lizia menyibakkan selimutnya. Dia menuruni tempat tidur dan langsung turun ke lantai satu.“Selamat malam,” kata Lizia setelah membuka pintu utama.“Selamat malam, istriku. Kenapa belum tidur?” tanya Aziz diiringi dengan tangannya yang merangkul pundak Lizia setelah menutup pintu.“Aku mana bisa tidur kalau kamu belum pulang. Kamu lupa kalau aku enggak bisa tidur sendirian?” kata Lizia.Lizia naik ke atas tempat tidur duluan, ia membaca beberapa halaman buku sembari menunggu Aziz yang tengah membersihkan diri di kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Lizia dengan senyum lebarnya meletakkan bukunya
3 bulan kemudian.Lizia memasuki gedung rumah sakit Sanjaya Permata setelah ia memarkirkan mobilnya. Tubuh tinggi semampai dengan balutan gaun hitam berkerah sepanjang bawah lutut dengan lengan sambungan terlihat begitu elegan dan anggun.Seperti seorang model, pandangan orang-orang tak luput dari Lizia. Wanita cantik itu adalah istri dari dokter Pratama Aziz. Hampir seluruh orang-orang di kalangan dokter maupun perawat mengenalinya. Ya, siapa juga yang tidak mengenali Lizia Hermansyah. Wanita karier yang memimpin perusahaan terbesar kedua di Indonesia. Dia wanita hebat dan orang-orang menyebut Aziz sebagai pria dengan nasib beruntung karena memiliki Lizia sebagai istri.Tetapi dibalik latar kehidupannya yang menarik, orang-orang juga terkadang menjulukinya sebagai wanita yang tidak beruntung karena belum mempunyai anak.Lizia mengetok pintu berwarna putih krim itu beberapa kali dan tidak
Hari ini, Selasa 1 Februari 2022. Tepat satu minggu setelah terakhir kali mereka menemui dokter Vino. Lizia bersama Aziz dan juga Dayana kembali menemui Vino untuk menagih hasil pemeriksaan mengenai kesuburan mereka.Tidak ada basa-basi seperti pertama kali, Vino langsung memberi kertas berisi keterangan hasil pemeriksaan kepada mereka masing-masing. Setelah itu, dia duduk di kursi kebanggaannya dengan wibawa seorang dokter yang lebih terlihat daripada kemarin-kemarin."Nona Dayana, rahim ada sangat baik dan sehat. Tidak ada kecacatan sedikitpun. Bahkan, rahim Anda sudah benar-benar siap untuk pemindahan embrio," kata Dokter Vino.Dayana mengangguk paham. Dia senang dan sedikit gugup.Vino beralih pandangan pada Aziz, lalu mengatakan hal yang sama seperti yang dia katakan pada Dayana. Aziz sehat dan tidak ada kecacatan apa pun."Saya mau bicara empat mata
"Terima kasih banyak," kata Dayana, lalu tersenyum saat 4 orang yang membantu kepindahannya hendak menaiki mobil dan pergi.Dayana berjalan memasuki rumah sementaranya. Rumah bercat kuning itu punya luas 34 meter dan panjang 36 meter. Bagian dalamnya didesain dengan gaya moderen, dan memiliki banyak jendela di setiap sisinya. Semua perabotan seperti kursi, ranjang, kulkas, AC, dan lain sebagainya sudah disiapkan Aziz dan Lizia. Rasanya menyenangkan sekali berada di rumah yang menjadi impian Dayana. Tetapi sayangnya dia harus pindah setelah 13 bulan tinggal di sana.Dayana memasuki ruangan yang menjadi kamarnya, di sana masih berantakan dan dia sendiri yang akan merapikannya. Itu kemauannya sendiri."Halo? Benar, saya Dayana Safitri." Dayana meninggalkan barang-barangnya di atas lantai saat ponselnya berbunyi."Kami dari pihak rumah sakit Sanjaya Permata. Apa benar atas nama ibu Fitr
Mata Lizia fokus pada Arum, tetapi sesungguhnya pikirannya hanya tertuju pada suaminya. Curhatan Arum barusan sukses membuat pikirannya kacau, hatinya bimbang, dan dia menjadi takut. Arum sama sepertinya menyewa ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Tetapi dia tidak menyangka nasib dari pernikahan Arum akan berakhir tragis karena pilihan yang dibuat wanita itu. Lizia merinding. Mencoba berpikir kalau nasib setiap orang berbeda-beda dan dia mungkin tidak akan berakhir seperti Arum, sebab Aziz sangat mencintainya dan dia sangat percaya pada pria itu. Ya, Lizia menyadarkan semu harapannya pada cintanya dan Aziz. Lizia berpamitan kepada teman-temannya setelah melihat jam 15:43 di tangannya. Tetapi belum sempat meninggalkan gedung reuni, langkahnya terhenti saat suara seorang pria memanggil namanya. Lizia menoleh dan mendapati Rendy di meja bersama
Pertama, mereka menyewa rumah di dekat tempat tinggal Aziz dan Lizia untuk Dayana. Dayana harus tinggal berdekatan agar mereka dapat setiap waktu mengecek kondisinya selama kehamilan.Kedua, biaya pendidikan S2 ke Singapura ditanggung Aziz dan Lizia. Ini adalah salah satu cara membayar jasa Dayana.Ketiga, mereka akan berdonasi 500 juta ke panti asuhan tempat Dayana tinggal.Keempat, Dayana harus meninggalkan bayi yang dilahirkannya setelah 40 hari.Selesai.4 poin inti dalam perjanjian ibu pengganti.Lizia mencap namanya di atas kertas berukuran A4 di atas meja, lalu diikuti dengan tanda tangan Aziz di bawahnya."Besok kita bertiga ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan konsultasi," kata Aziz.Dayana mengangguk setuju, tetapi Lizia tidak. "Kayaknya aku enggak bisa, sayang. Ak
"Sayang, kita masih bisa berjuang sama-sama untuk punya anak. Kita masih muda, sehat."Sehat? Hahaha ... Lizia menertawai dirinya dalam hati."Tujuh tahun, Sayang. Tujuh tahun bukan waktu sebentar, selama itu kita berjuang sambil ikhtiar. Jangan menyerah karena musibah kemarin. Mana Lizia yang aku kenal?" kata Aziz. Dia menatap mata Lizia begitu lekat.Lizia menghela lalu berkata, "Seperti yang kamu bilang, tujuh tahun bukan waktu sebentar, kamu benar, tujuh tahun adalah waktu yang sangat-sangat lama. Saking lamanya membuat aku lelah sama takdir yang diberikan Allah.""Hey, jangan bilang begitu. Apa pun jalan yang dikasih Allah untuk kita berdua, yakin itu jalan paling terbaik di antara terbaik.""Dan ini sudah jadi jalan aku untuk menggunakan rahim orang lain.""Sayang, jangan berpikir karena musibah kemarin aku akan tinggalkan kamu, makany
Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering.Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut.Jam 8 malam.Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela.Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih.Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur.