Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering.
Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut.
Jam 8 malam.
Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela.
Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih.
Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur.
Lizia menghela napasnya. Dia menangis lagi.
Betapa kejamnya Tuhan pada dirinya. Mengapa harus dirinya yang merasakan takdir pahit ini? Setelah doa-doa yang dia panjatkan siang dan malam, Tuhan malah memberinya jalan yang penuh pecahan kaca.
Lalu setelah mengetahui semuanya, apakah Aziz akan meninggalkannya? Apakah pria itu akan beralih kepada wanita yang bisa memberi keluarga yang lengkap dengan hadirnya anak-anak? Kemudian, Lizia menjadi sendiri dalam ruangan kosong sambil menonton kebahagiaan Aziz bersama orang lain.
Ting!
Lamunan Lizia buyar ketika ponselnya berbunyi. Dia menghapus air matanya sebelum membuka pesan dari Aziz.
"Aku menyuruh Sindi mengantar makanan untuk kamu. Maaf, ya, aku tidak bisa pulang karena ada operasi mendadak." Tulis Aziz.
Lizia hanya mengirim stiker jempol untuk mengiyakan pesan suaminya.
Syukurlah kalau Aziz bermalam di rumah sakit. Dengan begitu Lizia tidak perlu bersusah payah menyembunyikan matanya yang bengkak.
Seperti dipesan Aziz kalau Sindi akan datang, wanita itu benar-benar datang tidak lama kemudian. Sindi membawa sekantong ayam KFC. Bukan hanya ayam, dia juga membawa sekeranjang buah seperti habis panen besar-besaran.
"Kenapa, kok, belum dimakan? Bukannya kamu paling suka ayam KFC dari zaman kuliah?" tanya Sindi sembari tangannya sibuk mengatur buah yang ia bawa ke dalam kulkas.
Lizia diam tidak menjawab dan hanya menatap ayam goreng di atas piring. Tidak ada niat untuk makan, apalagi nafsu.
"Liz, kamu kenapa? Coba cerita." Sindi yang paling mengerti dengan hanya melihat wajah sahabatnya.
"Ah, iya juga aku lupa," sahut Sindi dengan wajah bersalah. Dia memukul pelan kepalanya. Dia lupa kalau Lizia baru saja kehilangan calon anak yang ditunggu-tunggu selama 7 tahun. Bahkan, jika dia berada di posisi Lizia, dia mungkin tidak akan beranjak dari tempat tidur dan terus menangis.
"Liz," panggil Sindi pelan sembari meraih tangan Lizia lalu menggenggamnya lembut.
Lizia menatap Sindi dengan tatapan kosong.
"Aku bangga sama kamu. Kamu perempuan kuat. Aku enggak tahu harus bilang apa buat kuatkan hati kamu. Tapi, kamu harus yakin sama rencana Allah, ya. Anggap musibah yang lalu sebagai penguat hati kamu supaya kamu lebih kuat lagi."
Lizia menatap Sindi dengan air mata yang menggenang dan hampir jatuh ke pipinya. Lebih kuat katanya, musibah ini tidak akan menguatkannya, tapi malah menghancurkan hidupnya untuk selama-lamanya.
"Allah enggak mungkin biarin kalian hidup tanpa seorang anak. Allah pasti kasih kalian anak, entah besok, satu tahun, dua tahun. Yang pastinya kalian pasti bakal punya anak, kok. Yakin dan terus berdoa."
Ya, Lizia pasti berdoa. Tetapi bukan untuk meminta anak, melainkan berdoa agar suaminya tidak meninggalkan dirinya setelah dia mengatakan semuanya.
"Liz, ayolah jangan menangis." Sindi menghapus air mata Lizia yang setetes demi setetes jatuh.
"Sin ..." lirih Lizia membuat hati Sindi seperti teriris.
Suara rendah Lizia membuat siapa pun dapat merasakan betapa hancurnya dia.
"Aku bukan istri yang baik. Dan aku enggak akan pernah bisa jadi istri yang baik," kata Lizia.
Sindi menggeleng cepat. "Tidak hamil bukan berarti istri yang buruk. Kamu sempurna Liz," ucap Sindi.
Lizia menggeleng. Dia terisak pilu. Percayalah Sindi, Lizia tidak lagi seperti yang kamu bilang.
"Sin, aku akan mengikuti saran ibu mertuaku. Aku akan menggunakan rahim orang lain untuk memberi Aziz anak," ujar Lizia.
"Liz, kamu---"
"Aku enggak mungkin membiarkan Aziz hidup tanpa anak karena aku. Dan aku juga enggak mungkin hidup tanpa Aziz. Aku sudah memikirkan ini baik-baik."
Sindi menghela napas panjang. Tidak menyangka Lizia semudah ini menyerah.
"Kenapa tiba-tiba, Liz? Memangnya kamu sudah bicarakan ini dengan suamimu?" tanya Sindi.
Lizia menggeleng. "Belum, tapi aku yakin Aziz juga setuju dengan keputusanku."
"Ya sudah kalau itu memang keputusanmu. Sekarang kamu makan, ya," kata Sindi.
•••
Sindi pulang ketika waktu memasuki jam 10 malam. Lizia yang kembali sendiri menarik selimut sampai sebatas pinggang sambil menatap langit-langit kamarnya.
Sementara Aziz yang belum pulang membuatnya bersyukur. Dengan begitu Lizia dapat mengeluarkan beban hatinya dengan air mata. Menangis sepanjang malam dalam kesendirian.
Lizia membelai perutnya.
Dahulu, sebelum mewarisi perusahaan almarhum ayahnya, dia hanyalah gadis belia dengan cita-cita menjadi seorang ibu dari 5 anak. Mengandung anak-anak untuk suaminya. Namun, sekarang cita-cita itu bagaikan pil pahit yang mau tidak mau harus ia telan.
Lizia meneteskan air mata hingga membasahi sarung bantal. Kenapa kenyataan menyedihkan itu tak henti-hentinya menghancurkan hatinya.
Ya Allah, tolong percepat waktu. Dia ingin rasa sakit ini segera mereda walau tak sepenuhnya memudar. Kehilangan anak dan kehilangan harapan bukanlah sekedar kehilangan lalu melupakan dalam beberapa hari atau berbulan-bulan. Tetapi itu akan menjadi rasa sakit seumur hidup yang sembuh dan akan meninggalkan bekas.
Lelah hati, lelah pikiran, dan lelah fisik membuat Lizia tak perlu waktu lama untuk menutup matanya. Menjelajahi mimpi untuk membuat hatinya senang sesaat.
Pagi hari, Lizia mendapati Aziz yang terlelap di sampingnya sambil memeluk pinggangnya. Dia tidak ingin membangunkan pria itu walau waktu memasuki jam 7 pagi.
Lizia segera memasuki kamar mandi lalu menyalakan shower air hangat. Dia akan mengompres matanya yang bengkak di dalam sana agar Brian tidak curiga.
Setelah mengompres, Lizia langsung ke dapur membuat sarapan.
Tidak banyak yang dia masak, hanya nasi goreng spesial serta roti dan segelas susu. Setelah selesai dia kembali naik ke lantai dua untuk membangunkan Aziz.
"Sayang, bangun," kata Lizia lembut sambil mengguncang pelan bahu Aziz.
Lizia pun kembali ke bawah tanpa berkata lagi setelah Aziz bangun.
"Kenapa belum siap-siap? Kamu tidak ke rumah sakit hari ini?" tanya Lizia bingung saat menyadari Aziz yang belum juga mengganti pakaian tidurnya.
Aziz menggeleng sambil tersenyum lebar.
Ah, hati Lizia menjadi sakit melihat senyum Aziz. Apakah Aziz akan tetap tersenyum seperti itu ketika dia mengatakan semuanya?
"Aku ambil cuti dua hari. Demi kamu," kata Aziz.
Lizia tersenyum tipis. "Memangnya tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Aziz menggeleng. "Tentu tidak."
"Wih ... nasi goreng, tumben kamu masak ini."
"Iya, aku ingin saja," kata Lizia sambil tangannya menyendok nasi ke piring Aziz.
"Tadi malam Sindi datang?" tanya Aziz.
"Iya dia datang. Memangnya kenapa?"
"Aku kira dia tidak datang, soalnya bilangnya sibuk di kafe. Maklum cabang kafenya ada di mana-mana," ujar Aziz.
Lizia tidak berkata apa-apa lagi dan hanya mendengarkan setiap cerita Aziz selama sarapan pagi. Matanya memang tertuju pada Aziz, tetapi pikirannya sudah ke mana-mana.
"Sayang."
Cerita Aziz terpotong saat Lizia memanggil.
"Hm?"
Lizia diam cukup lama. Dia menatap lekat wajah Aziz yang memandangnya dengan pandangan bingung.
Lizia meletakkan sendok miliknya di atas piring. Kemudian, megambil tangan Aziz dan menggenggamnya. Perlahan dia menarik napas.
"Aku ingin memberi kamu anak walaupun bukan dari rahimku. Jadi, kita ikuti saran ibu, kita gunakan rahim orang lain untuk mengandung anak kita. Ini sudah jadi keputusanku."
"Sayang, kita masih bisa berjuang sama-sama untuk punya anak. Kita masih muda, sehat."Sehat? Hahaha ... Lizia menertawai dirinya dalam hati."Tujuh tahun, Sayang. Tujuh tahun bukan waktu sebentar, selama itu kita berjuang sambil ikhtiar. Jangan menyerah karena musibah kemarin. Mana Lizia yang aku kenal?" kata Aziz. Dia menatap mata Lizia begitu lekat.Lizia menghela lalu berkata, "Seperti yang kamu bilang, tujuh tahun bukan waktu sebentar, kamu benar, tujuh tahun adalah waktu yang sangat-sangat lama. Saking lamanya membuat aku lelah sama takdir yang diberikan Allah.""Hey, jangan bilang begitu. Apa pun jalan yang dikasih Allah untuk kita berdua, yakin itu jalan paling terbaik di antara terbaik.""Dan ini sudah jadi jalan aku untuk menggunakan rahim orang lain.""Sayang, jangan berpikir karena musibah kemarin aku akan tinggalkan kamu, makany
Pertama, mereka menyewa rumah di dekat tempat tinggal Aziz dan Lizia untuk Dayana. Dayana harus tinggal berdekatan agar mereka dapat setiap waktu mengecek kondisinya selama kehamilan.Kedua, biaya pendidikan S2 ke Singapura ditanggung Aziz dan Lizia. Ini adalah salah satu cara membayar jasa Dayana.Ketiga, mereka akan berdonasi 500 juta ke panti asuhan tempat Dayana tinggal.Keempat, Dayana harus meninggalkan bayi yang dilahirkannya setelah 40 hari.Selesai.4 poin inti dalam perjanjian ibu pengganti.Lizia mencap namanya di atas kertas berukuran A4 di atas meja, lalu diikuti dengan tanda tangan Aziz di bawahnya."Besok kita bertiga ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan konsultasi," kata Aziz.Dayana mengangguk setuju, tetapi Lizia tidak. "Kayaknya aku enggak bisa, sayang. Ak
Mata Lizia fokus pada Arum, tetapi sesungguhnya pikirannya hanya tertuju pada suaminya. Curhatan Arum barusan sukses membuat pikirannya kacau, hatinya bimbang, dan dia menjadi takut. Arum sama sepertinya menyewa ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Tetapi dia tidak menyangka nasib dari pernikahan Arum akan berakhir tragis karena pilihan yang dibuat wanita itu. Lizia merinding. Mencoba berpikir kalau nasib setiap orang berbeda-beda dan dia mungkin tidak akan berakhir seperti Arum, sebab Aziz sangat mencintainya dan dia sangat percaya pada pria itu. Ya, Lizia menyadarkan semu harapannya pada cintanya dan Aziz. Lizia berpamitan kepada teman-temannya setelah melihat jam 15:43 di tangannya. Tetapi belum sempat meninggalkan gedung reuni, langkahnya terhenti saat suara seorang pria memanggil namanya. Lizia menoleh dan mendapati Rendy di meja bersama
"Terima kasih banyak," kata Dayana, lalu tersenyum saat 4 orang yang membantu kepindahannya hendak menaiki mobil dan pergi.Dayana berjalan memasuki rumah sementaranya. Rumah bercat kuning itu punya luas 34 meter dan panjang 36 meter. Bagian dalamnya didesain dengan gaya moderen, dan memiliki banyak jendela di setiap sisinya. Semua perabotan seperti kursi, ranjang, kulkas, AC, dan lain sebagainya sudah disiapkan Aziz dan Lizia. Rasanya menyenangkan sekali berada di rumah yang menjadi impian Dayana. Tetapi sayangnya dia harus pindah setelah 13 bulan tinggal di sana.Dayana memasuki ruangan yang menjadi kamarnya, di sana masih berantakan dan dia sendiri yang akan merapikannya. Itu kemauannya sendiri."Halo? Benar, saya Dayana Safitri." Dayana meninggalkan barang-barangnya di atas lantai saat ponselnya berbunyi."Kami dari pihak rumah sakit Sanjaya Permata. Apa benar atas nama ibu Fitr
Hari ini, Selasa 1 Februari 2022. Tepat satu minggu setelah terakhir kali mereka menemui dokter Vino. Lizia bersama Aziz dan juga Dayana kembali menemui Vino untuk menagih hasil pemeriksaan mengenai kesuburan mereka.Tidak ada basa-basi seperti pertama kali, Vino langsung memberi kertas berisi keterangan hasil pemeriksaan kepada mereka masing-masing. Setelah itu, dia duduk di kursi kebanggaannya dengan wibawa seorang dokter yang lebih terlihat daripada kemarin-kemarin."Nona Dayana, rahim ada sangat baik dan sehat. Tidak ada kecacatan sedikitpun. Bahkan, rahim Anda sudah benar-benar siap untuk pemindahan embrio," kata Dokter Vino.Dayana mengangguk paham. Dia senang dan sedikit gugup.Vino beralih pandangan pada Aziz, lalu mengatakan hal yang sama seperti yang dia katakan pada Dayana. Aziz sehat dan tidak ada kecacatan apa pun."Saya mau bicara empat mata
3 bulan kemudian.Lizia memasuki gedung rumah sakit Sanjaya Permata setelah ia memarkirkan mobilnya. Tubuh tinggi semampai dengan balutan gaun hitam berkerah sepanjang bawah lutut dengan lengan sambungan terlihat begitu elegan dan anggun.Seperti seorang model, pandangan orang-orang tak luput dari Lizia. Wanita cantik itu adalah istri dari dokter Pratama Aziz. Hampir seluruh orang-orang di kalangan dokter maupun perawat mengenalinya. Ya, siapa juga yang tidak mengenali Lizia Hermansyah. Wanita karier yang memimpin perusahaan terbesar kedua di Indonesia. Dia wanita hebat dan orang-orang menyebut Aziz sebagai pria dengan nasib beruntung karena memiliki Lizia sebagai istri.Tetapi dibalik latar kehidupannya yang menarik, orang-orang juga terkadang menjulukinya sebagai wanita yang tidak beruntung karena belum mempunyai anak.Lizia mengetok pintu berwarna putih krim itu beberapa kali dan tidak
Lizia berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan menggosok gigi sebelum naik ke atas tempat tidur. Dia membuka ponselnya, mengetik nama Aziz di kontak pencarian.Namun, belum sempat mengetik tombol hijau di samping kanan layar ponsel, terdengar suara mobil memasuki bagasi.Lizia menyibakkan selimutnya. Dia menuruni tempat tidur dan langsung turun ke lantai satu.“Selamat malam,” kata Lizia setelah membuka pintu utama.“Selamat malam, istriku. Kenapa belum tidur?” tanya Aziz diiringi dengan tangannya yang merangkul pundak Lizia setelah menutup pintu.“Aku mana bisa tidur kalau kamu belum pulang. Kamu lupa kalau aku enggak bisa tidur sendirian?” kata Lizia.Lizia naik ke atas tempat tidur duluan, ia membaca beberapa halaman buku sembari menunggu Aziz yang tengah membersihkan diri di kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Lizia dengan senyum lebarnya meletakkan bukunya
"Di mana aku bisa terhubung dengan jaringan?" tanya Lizia kepada salah satu pekerja."Di sana, Bu. Di pertigaan pertama dari sini."Mata Lizia mengikuti arah di mana jari telunjuk pekerja tua itu. Dia kemudian mengangguk dan berterima kasih sebelum pergi dari lokasi yang akan dibangun cabang perusahaan.Lizia berdecak sebal, ia berjalan menghampiri asistennya yang tengah makan siang di salah satu pondok kayu sederhana."Nayla," panggil Lizia seiring dengan tangannya yang mengambil kunci mobil dari tasnya."Ibu mau ke mana?" tanya Nayla, asistennya yang dua tahun lebih muda darinya."Cari jaringan. Mau telepon suamiku dulu. Kamu tunggu di sini sebentar," kata Lizia. Kemudian, ia menyalakan mesin mobil, melaju dan membelah jalanan yang tidak terlalu luas di salah satu kota terpencil di Aceh.Sesampainya di sana, Lizia lang
"Di mana aku bisa terhubung dengan jaringan?" tanya Lizia kepada salah satu pekerja."Di sana, Bu. Di pertigaan pertama dari sini."Mata Lizia mengikuti arah di mana jari telunjuk pekerja tua itu. Dia kemudian mengangguk dan berterima kasih sebelum pergi dari lokasi yang akan dibangun cabang perusahaan.Lizia berdecak sebal, ia berjalan menghampiri asistennya yang tengah makan siang di salah satu pondok kayu sederhana."Nayla," panggil Lizia seiring dengan tangannya yang mengambil kunci mobil dari tasnya."Ibu mau ke mana?" tanya Nayla, asistennya yang dua tahun lebih muda darinya."Cari jaringan. Mau telepon suamiku dulu. Kamu tunggu di sini sebentar," kata Lizia. Kemudian, ia menyalakan mesin mobil, melaju dan membelah jalanan yang tidak terlalu luas di salah satu kota terpencil di Aceh.Sesampainya di sana, Lizia lang
Lizia berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan menggosok gigi sebelum naik ke atas tempat tidur. Dia membuka ponselnya, mengetik nama Aziz di kontak pencarian.Namun, belum sempat mengetik tombol hijau di samping kanan layar ponsel, terdengar suara mobil memasuki bagasi.Lizia menyibakkan selimutnya. Dia menuruni tempat tidur dan langsung turun ke lantai satu.“Selamat malam,” kata Lizia setelah membuka pintu utama.“Selamat malam, istriku. Kenapa belum tidur?” tanya Aziz diiringi dengan tangannya yang merangkul pundak Lizia setelah menutup pintu.“Aku mana bisa tidur kalau kamu belum pulang. Kamu lupa kalau aku enggak bisa tidur sendirian?” kata Lizia.Lizia naik ke atas tempat tidur duluan, ia membaca beberapa halaman buku sembari menunggu Aziz yang tengah membersihkan diri di kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Lizia dengan senyum lebarnya meletakkan bukunya
3 bulan kemudian.Lizia memasuki gedung rumah sakit Sanjaya Permata setelah ia memarkirkan mobilnya. Tubuh tinggi semampai dengan balutan gaun hitam berkerah sepanjang bawah lutut dengan lengan sambungan terlihat begitu elegan dan anggun.Seperti seorang model, pandangan orang-orang tak luput dari Lizia. Wanita cantik itu adalah istri dari dokter Pratama Aziz. Hampir seluruh orang-orang di kalangan dokter maupun perawat mengenalinya. Ya, siapa juga yang tidak mengenali Lizia Hermansyah. Wanita karier yang memimpin perusahaan terbesar kedua di Indonesia. Dia wanita hebat dan orang-orang menyebut Aziz sebagai pria dengan nasib beruntung karena memiliki Lizia sebagai istri.Tetapi dibalik latar kehidupannya yang menarik, orang-orang juga terkadang menjulukinya sebagai wanita yang tidak beruntung karena belum mempunyai anak.Lizia mengetok pintu berwarna putih krim itu beberapa kali dan tidak
Hari ini, Selasa 1 Februari 2022. Tepat satu minggu setelah terakhir kali mereka menemui dokter Vino. Lizia bersama Aziz dan juga Dayana kembali menemui Vino untuk menagih hasil pemeriksaan mengenai kesuburan mereka.Tidak ada basa-basi seperti pertama kali, Vino langsung memberi kertas berisi keterangan hasil pemeriksaan kepada mereka masing-masing. Setelah itu, dia duduk di kursi kebanggaannya dengan wibawa seorang dokter yang lebih terlihat daripada kemarin-kemarin."Nona Dayana, rahim ada sangat baik dan sehat. Tidak ada kecacatan sedikitpun. Bahkan, rahim Anda sudah benar-benar siap untuk pemindahan embrio," kata Dokter Vino.Dayana mengangguk paham. Dia senang dan sedikit gugup.Vino beralih pandangan pada Aziz, lalu mengatakan hal yang sama seperti yang dia katakan pada Dayana. Aziz sehat dan tidak ada kecacatan apa pun."Saya mau bicara empat mata
"Terima kasih banyak," kata Dayana, lalu tersenyum saat 4 orang yang membantu kepindahannya hendak menaiki mobil dan pergi.Dayana berjalan memasuki rumah sementaranya. Rumah bercat kuning itu punya luas 34 meter dan panjang 36 meter. Bagian dalamnya didesain dengan gaya moderen, dan memiliki banyak jendela di setiap sisinya. Semua perabotan seperti kursi, ranjang, kulkas, AC, dan lain sebagainya sudah disiapkan Aziz dan Lizia. Rasanya menyenangkan sekali berada di rumah yang menjadi impian Dayana. Tetapi sayangnya dia harus pindah setelah 13 bulan tinggal di sana.Dayana memasuki ruangan yang menjadi kamarnya, di sana masih berantakan dan dia sendiri yang akan merapikannya. Itu kemauannya sendiri."Halo? Benar, saya Dayana Safitri." Dayana meninggalkan barang-barangnya di atas lantai saat ponselnya berbunyi."Kami dari pihak rumah sakit Sanjaya Permata. Apa benar atas nama ibu Fitr
Mata Lizia fokus pada Arum, tetapi sesungguhnya pikirannya hanya tertuju pada suaminya. Curhatan Arum barusan sukses membuat pikirannya kacau, hatinya bimbang, dan dia menjadi takut. Arum sama sepertinya menyewa ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Tetapi dia tidak menyangka nasib dari pernikahan Arum akan berakhir tragis karena pilihan yang dibuat wanita itu. Lizia merinding. Mencoba berpikir kalau nasib setiap orang berbeda-beda dan dia mungkin tidak akan berakhir seperti Arum, sebab Aziz sangat mencintainya dan dia sangat percaya pada pria itu. Ya, Lizia menyadarkan semu harapannya pada cintanya dan Aziz. Lizia berpamitan kepada teman-temannya setelah melihat jam 15:43 di tangannya. Tetapi belum sempat meninggalkan gedung reuni, langkahnya terhenti saat suara seorang pria memanggil namanya. Lizia menoleh dan mendapati Rendy di meja bersama
Pertama, mereka menyewa rumah di dekat tempat tinggal Aziz dan Lizia untuk Dayana. Dayana harus tinggal berdekatan agar mereka dapat setiap waktu mengecek kondisinya selama kehamilan.Kedua, biaya pendidikan S2 ke Singapura ditanggung Aziz dan Lizia. Ini adalah salah satu cara membayar jasa Dayana.Ketiga, mereka akan berdonasi 500 juta ke panti asuhan tempat Dayana tinggal.Keempat, Dayana harus meninggalkan bayi yang dilahirkannya setelah 40 hari.Selesai.4 poin inti dalam perjanjian ibu pengganti.Lizia mencap namanya di atas kertas berukuran A4 di atas meja, lalu diikuti dengan tanda tangan Aziz di bawahnya."Besok kita bertiga ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan konsultasi," kata Aziz.Dayana mengangguk setuju, tetapi Lizia tidak. "Kayaknya aku enggak bisa, sayang. Ak
"Sayang, kita masih bisa berjuang sama-sama untuk punya anak. Kita masih muda, sehat."Sehat? Hahaha ... Lizia menertawai dirinya dalam hati."Tujuh tahun, Sayang. Tujuh tahun bukan waktu sebentar, selama itu kita berjuang sambil ikhtiar. Jangan menyerah karena musibah kemarin. Mana Lizia yang aku kenal?" kata Aziz. Dia menatap mata Lizia begitu lekat.Lizia menghela lalu berkata, "Seperti yang kamu bilang, tujuh tahun bukan waktu sebentar, kamu benar, tujuh tahun adalah waktu yang sangat-sangat lama. Saking lamanya membuat aku lelah sama takdir yang diberikan Allah.""Hey, jangan bilang begitu. Apa pun jalan yang dikasih Allah untuk kita berdua, yakin itu jalan paling terbaik di antara terbaik.""Dan ini sudah jadi jalan aku untuk menggunakan rahim orang lain.""Sayang, jangan berpikir karena musibah kemarin aku akan tinggalkan kamu, makany
Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering.Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut.Jam 8 malam.Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela.Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih.Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur.