"Kandungannya sudah masuk minggu ketiga."
Aziz meremas rambutnya frustasi. Kata-kata dokter terus berputar di kepalanya. Dia beranjak dari kursi tunggu, melihat Lizia yang belum siuman usai kecelakaan satu jam yang lalu.
Aziz tidak ingin masuk ke dalam ruang rawat Lizia. Hanya menunggu di luar dengan dengan harapan Lizia cepat bangun.
Aziz menghela napas panjang. Dia harus menyalahkan siapa atas kematian calon bayi yang dia tunggu selama tujuh tahun lamanya?
Tuhan benar-benar tidak adil pada keluarganya. Mengambil apa yang mereka nanti-nanti dengan susah payah. Tuhan seperti membuat terbang lalu menjatuhkan mereka sampai hancur berkeping-keping.
Ibarat kata nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terjadi. Calon bayinya juga sudah pergi. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memutar kembali waktu. Saat ini bukan hanya dia saja yang terluka, ada Lizia yang lebih remuk hatinya. Bagaimana reaksi wanita itu saat mengetahui semuanya?
Terlebih lagi ibunya yang pasti sangat marah pada Lizia.
Sudahlah, Aziz mencoba ikhlas. Berharap ada rencana lebih baik dari pemberi kehidupan setelah ini.
Aziz pergi ke halaman rumah sakit mencari udara segar dan tidak sengaja bertemu dengan perempuan yang meneleponnya tadi pagi. Perempuan itu menyapa dengan senyuman iba.
"Saya turut berduka atas keguguran yang dialami Mbak Lizia," ucap wanita itu.
Aziz mengangguk, "Terima kasih sudah mengantar istri saya ke rumah sakit," kata Aziz.
"Kehilangan anak memang masa-masa paling buruk yang dialami orang tua. Saya ngerti perasaan kamu karena saya juga pernah kehilangan anak. Tapi seiring waktu saya mencoba ikhlas dan yakin ini bagian dari rencana Allah untuk membuat hidup kita jadi lebih baik."
Aziz sekilas memandang wajah cantik perempuan itu. Perkataan perempuan itu memang benar.
"Nama saya Dayana," perempuan itu memperkenalkan diri.
Aziz menerima tangan Dayana dengan senyum tipis. "Aziz," katanya lalu menyudahi jabat tangan.
Aziz menoleh cepat ke arah pintu rumah sakit. Sekilas dia melihat wanita yang mirip dengan perawakan ibunya masuk ke dalam rumah sakit. Tetapi dia tidak yakin itu ibunya. Sebab dia belum memberitahu wanita paruh baya itu perihal kecelakaan Lizia.
Aziz tidak yakin itu adalah ibunya, tetapi kenapa dia menjadi gelisah. Untuk memastikan keraguannya dia kembali ke dalam rumah sakit, meninggalkan Dayana sendirian dengan mata yang terus mengikuti Aziz hingga masuk ke gedung rumah sakit.
Aziz mempercepat langkahnya. Dia terkejut dan menjadi takut saat melihat Rina yang mengintimidasi Lizia yang baru sadar dan masih dalam kondisi lemah.
"Ibu!" panggil Aziz sedikit keras.
Lizia dan Rina menoleh ke arahnya.
"Kok, ibu bisa tahu Lizia di rumah sakit?" tanya Aziz sembari menggenggam lembut tangan Lizia yang dipasangi infus.
Rina menatap Aziz dengan sinis. "Tidak penting ibu tahu dari mana!" katanya. "Ibu muak sekali melihat wajah Lizia yang sok sedih itu." Rina sekilas melihat Lizia dengan malas.
"Ini bukan kesalahan Lizia, Bu. Lizia juga tidak tahu kalau dia ternyata hamil dan dia masih merasa kehilangan. Jadi, ibu jangan terus-terusan memarahi istriku. Ini sudah jadi takdir Allah," kata Aziz.
Rina menghembuskan napasnya kasar. Dia menatap marah pada Aziz. "Masih kamu bela istrimu ini, Ziz? Kamu tahu tidak? Dia itu sengaja keguguran supaya dia bisa terus merawat perusahaan warisan ayahnya itu---"
"Cukup, Bu, cukup. Tolong diam!" Lizia mengangkat telapak tangannya, memohon pada Rina untuk diam.
"Istri mana yang tidak mau hamil? Dan ibu mana yang membunuh anaknya sendiri? Memangnya aku mau keguguran? Tolong, jangan menyalahkan aku terus-terusan dan jangan asal bicara!" sahut Lizia cepat.
Rina melotot tidak percaya dengan jawaban Lizia. Sementara ada yanga Aziz lagi-lagi hanya menghela napasnya. Menatap Lizia dan ibunya secara bergantian.
"Asal bicara bagaimana? Kamu memang sengaja membunuh calon cucu saya! Dasar kamu istri tidak berguna. Kenapa juga aku menyetujui permintaan almarhum ayahmu saat itu. Punya anak mantu kayak kamu ini seperti sengaja menggunting di dalam lipatan sendiri," kata Rina marah.
"Ibu, cukup!" kata Aziz. Dia tidak tahan lagi melihat air mata yang Lizia keluarkan akibat kata-kata ibunya.
"Ibu juga seorang wanita sama seperti Lizia. Tapi kenapa ibu tidak mengerti kondisi dan perasaannya saat ini? Lizia baru kecelakaan dan keguguran, Bu. Tolong berikan ruang untuk dia bernapas tanpa hadirnya ibu. Dan sampai kapan pun aku tidak akan merasa menyesal telah menikahi Lizia," ujar Aziz.
Lizia seperti tertusuk belati mendengar kalimat terakhir Aziz. Dia menggenggam erat telapak tangan suaminya itu.
"Kamu mengusir ibu?" tanya Rina. Matanya melotot menatap Aziz.
Aziz mengangguk.
"Kamu lebih memilih wanita sial ini?" Rina menunjuk wajah Lizia dengan telunjuknya.
"Lizia bukan wanita sial. Dia istriku, Bu," tegur Aziz. Wajahnya menjadi tidak bersahabat.
"Oke, kita lihat sampai kapan kamu dengan bangga menyebut Lizia sebagai istrimu. Entah kenapa ibu punya rasa kalau pernikahan kamu sama Lizia tidak akan bertahan lama setelah ini. Mari berdoa supaya perasaan ibu hanya menjadi sekedar perasaan."
Lizia langsung mengeluarkan semua tangisannya ketika Rina pergi. Aziz membenamkan kepala Lizia di dadanya. Mengusap dan sesekali mencium kepala Lizia. Dia tidak ingin melepas pelukan itu.
"Sayang," panggil Lizia.
"Hm?"
"Apa pun yang terjadi, please jangan pernah ninggalin aku sendiri."
"Kenapa bicara seperti itu? Aku, kan, sudah pernah bilang, bersama kamu saja sudah cukup."
•••
Lizia sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit selah menjalani perawatan selama 3 hari. Dia merapikan bangsalnya sambil menunggu kedatangan Aziz yang katanya akan datang setelah melakukan pemeriksaan pada pasiennya.
Rumah sakit tempat Aziz bekerja lumayan jauh dari rumah sakit tempatnya dirawat. Suaminya itu selalu datang sehari sekali dan akan bermalam di ruangannya setiap malam.
Setelah selesai, Lizia meminum segelas air putih di atas meja. Kemudian, menutup pintu ruang rawatnya dan pergi dari sana.
Lizia memakai pakaian kasual biasa, dan karena cuaca sore di kota Jakarta semakin dingin, dia memakai jaket hitam milik Aziz.
Langit semakin mendung dan perlahan hujan turun, tetapi Aziz belum juga datang. Lizia mulai gusar dan bosan mulai menggerogoti dirinya. Dia membuka kotak panggilan di ponselnya, lalu menempelkan benda persegi itu di telinganya setelah menekan nama Aziz.
"Maaf sayang. Aku terjebak macet," kata Aziz terdengar begitu bersalah.
"Kamu pulang naik taksi saja, ya. Takutnya aku kelamaan menjemput kamu. Bisa, kan?" kata Aziz lagi.
"Oke. Aku tunggu kamu di rumah," kata Lizia dengan suara lembut. Setelah itu dia mengakhiri panggilan.
Hujan deras membuat taksi tidak ada yang kelihatan satu pun. Lizia mulai kesal.
Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Dia menjadi bingung saat nama rumah sakit Medikal Harapan tertera otomatis di sana.
"Perasaan aku sudah melunasi tagihan rumah sakit," gumamnya dan segera menjawab panggilan itu.
Beberapa saat kemudian dia berlari kecil menembus hujan dan masuk kembali ke dalam rumah sakit.
Lizia langsung ke ruangan dokter kandungan.
"Ada apa, dok?" tanya Lizia.
Dokter bernama Gisel itu menyerahkan sebuah kertas putih berisi keterangan kondisi tubuhnya.
Lalu ... tes.
Setetes demi setetes air mata Lizia jatuh mengenai kertas putih di tangannya. Dia membekap mulutnya dan menatap dokter sambil menggeleng.
"Apa dokter bercanda? Apa ini benar?" tanya Lizia dengan suaranya yang hampir hilang.
Dokter Gisel menatap iba pada Lizia. " Sayang sekali, rumah sakit tidak pernah bercanda tentang kondisi pasiennya. Saya tahu ini berat, bahkan sangat-sangat berat. Tetapi inilah kenyataannya, dan ini sudah menjadi ketetapan Yang Maha Kuasa. Sesuai hasil pemeriksaan, rahim Anda ... tidak berfungsi, dengan kata lain Anda tidak akan bisa hamil lagi."
Bagai petir yang menyambar, tubuh Lizia menjadi kaku dan matanya yang tidak berkedip terus menjatuhkan air mata. Bibirnya kelu. Hatinya seketika hancur menjadi kepingan-kepingan yang tak dapat disatukan kembali.
Oh, Tuhan! Cobaan apa lagi yang Engkau berikan. Lizia tidak sanggup lagi kali ini. Dia benar-benar menyerah. Mengetahui rahimnya yang tidak berguna seakan merasa sia-sia hidupnya selama ini.
"Hindari hantaman dan benturan di area perut. Jika sampai terjadi, terpaksa rahim Anda akan diangkat demi kelangsungan hidup Anda di masa depan."
Lizia tidak dapat mendengar perkataan dari mulut dokter. Dia menjadi syok berat hingga tidak dapat mendengar dengan jelas. Lizia tidak tahu harus berbuat apa lagi sehingga memilih pergi dari rumah sakit.
Di dalam taksi, Lizia menangis sejadi-jadinya. Suaranya menyatu dengan guyuran hujan yang merdu. Itu membuat sopir taksi kebingungan tapi tidak berani bertanya.
Lizia menatap kertas di tangannya dengan mata yang bengkak. Kemudian merobek menjadi bagian-bagian kecil lalu meremasnya. Setelah itu dia melempar kertas itu jauh ke luar.
Lizia meremas rambut yang basah kuat-kuat. Sangat frustasi. Entah apa yang harus ia katakan pada Aziz. Entah bagaimana reaksi pria itu. Lizia menutup wajahnya. Dia tidak mampu membayangkan kesedihan Aziz setelah mengetahui kondisi tubuhnya yang sangat menyedihkan.
Tuhan, bagaimana ini?
Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering.Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut.Jam 8 malam.Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela.Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih.Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur.
"Sayang, kita masih bisa berjuang sama-sama untuk punya anak. Kita masih muda, sehat."Sehat? Hahaha ... Lizia menertawai dirinya dalam hati."Tujuh tahun, Sayang. Tujuh tahun bukan waktu sebentar, selama itu kita berjuang sambil ikhtiar. Jangan menyerah karena musibah kemarin. Mana Lizia yang aku kenal?" kata Aziz. Dia menatap mata Lizia begitu lekat.Lizia menghela lalu berkata, "Seperti yang kamu bilang, tujuh tahun bukan waktu sebentar, kamu benar, tujuh tahun adalah waktu yang sangat-sangat lama. Saking lamanya membuat aku lelah sama takdir yang diberikan Allah.""Hey, jangan bilang begitu. Apa pun jalan yang dikasih Allah untuk kita berdua, yakin itu jalan paling terbaik di antara terbaik.""Dan ini sudah jadi jalan aku untuk menggunakan rahim orang lain.""Sayang, jangan berpikir karena musibah kemarin aku akan tinggalkan kamu, makany
Pertama, mereka menyewa rumah di dekat tempat tinggal Aziz dan Lizia untuk Dayana. Dayana harus tinggal berdekatan agar mereka dapat setiap waktu mengecek kondisinya selama kehamilan.Kedua, biaya pendidikan S2 ke Singapura ditanggung Aziz dan Lizia. Ini adalah salah satu cara membayar jasa Dayana.Ketiga, mereka akan berdonasi 500 juta ke panti asuhan tempat Dayana tinggal.Keempat, Dayana harus meninggalkan bayi yang dilahirkannya setelah 40 hari.Selesai.4 poin inti dalam perjanjian ibu pengganti.Lizia mencap namanya di atas kertas berukuran A4 di atas meja, lalu diikuti dengan tanda tangan Aziz di bawahnya."Besok kita bertiga ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan konsultasi," kata Aziz.Dayana mengangguk setuju, tetapi Lizia tidak. "Kayaknya aku enggak bisa, sayang. Ak
Mata Lizia fokus pada Arum, tetapi sesungguhnya pikirannya hanya tertuju pada suaminya. Curhatan Arum barusan sukses membuat pikirannya kacau, hatinya bimbang, dan dia menjadi takut. Arum sama sepertinya menyewa ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Tetapi dia tidak menyangka nasib dari pernikahan Arum akan berakhir tragis karena pilihan yang dibuat wanita itu. Lizia merinding. Mencoba berpikir kalau nasib setiap orang berbeda-beda dan dia mungkin tidak akan berakhir seperti Arum, sebab Aziz sangat mencintainya dan dia sangat percaya pada pria itu. Ya, Lizia menyadarkan semu harapannya pada cintanya dan Aziz. Lizia berpamitan kepada teman-temannya setelah melihat jam 15:43 di tangannya. Tetapi belum sempat meninggalkan gedung reuni, langkahnya terhenti saat suara seorang pria memanggil namanya. Lizia menoleh dan mendapati Rendy di meja bersama
"Terima kasih banyak," kata Dayana, lalu tersenyum saat 4 orang yang membantu kepindahannya hendak menaiki mobil dan pergi.Dayana berjalan memasuki rumah sementaranya. Rumah bercat kuning itu punya luas 34 meter dan panjang 36 meter. Bagian dalamnya didesain dengan gaya moderen, dan memiliki banyak jendela di setiap sisinya. Semua perabotan seperti kursi, ranjang, kulkas, AC, dan lain sebagainya sudah disiapkan Aziz dan Lizia. Rasanya menyenangkan sekali berada di rumah yang menjadi impian Dayana. Tetapi sayangnya dia harus pindah setelah 13 bulan tinggal di sana.Dayana memasuki ruangan yang menjadi kamarnya, di sana masih berantakan dan dia sendiri yang akan merapikannya. Itu kemauannya sendiri."Halo? Benar, saya Dayana Safitri." Dayana meninggalkan barang-barangnya di atas lantai saat ponselnya berbunyi."Kami dari pihak rumah sakit Sanjaya Permata. Apa benar atas nama ibu Fitr
Hari ini, Selasa 1 Februari 2022. Tepat satu minggu setelah terakhir kali mereka menemui dokter Vino. Lizia bersama Aziz dan juga Dayana kembali menemui Vino untuk menagih hasil pemeriksaan mengenai kesuburan mereka.Tidak ada basa-basi seperti pertama kali, Vino langsung memberi kertas berisi keterangan hasil pemeriksaan kepada mereka masing-masing. Setelah itu, dia duduk di kursi kebanggaannya dengan wibawa seorang dokter yang lebih terlihat daripada kemarin-kemarin."Nona Dayana, rahim ada sangat baik dan sehat. Tidak ada kecacatan sedikitpun. Bahkan, rahim Anda sudah benar-benar siap untuk pemindahan embrio," kata Dokter Vino.Dayana mengangguk paham. Dia senang dan sedikit gugup.Vino beralih pandangan pada Aziz, lalu mengatakan hal yang sama seperti yang dia katakan pada Dayana. Aziz sehat dan tidak ada kecacatan apa pun."Saya mau bicara empat mata
3 bulan kemudian.Lizia memasuki gedung rumah sakit Sanjaya Permata setelah ia memarkirkan mobilnya. Tubuh tinggi semampai dengan balutan gaun hitam berkerah sepanjang bawah lutut dengan lengan sambungan terlihat begitu elegan dan anggun.Seperti seorang model, pandangan orang-orang tak luput dari Lizia. Wanita cantik itu adalah istri dari dokter Pratama Aziz. Hampir seluruh orang-orang di kalangan dokter maupun perawat mengenalinya. Ya, siapa juga yang tidak mengenali Lizia Hermansyah. Wanita karier yang memimpin perusahaan terbesar kedua di Indonesia. Dia wanita hebat dan orang-orang menyebut Aziz sebagai pria dengan nasib beruntung karena memiliki Lizia sebagai istri.Tetapi dibalik latar kehidupannya yang menarik, orang-orang juga terkadang menjulukinya sebagai wanita yang tidak beruntung karena belum mempunyai anak.Lizia mengetok pintu berwarna putih krim itu beberapa kali dan tidak
Lizia berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan menggosok gigi sebelum naik ke atas tempat tidur. Dia membuka ponselnya, mengetik nama Aziz di kontak pencarian.Namun, belum sempat mengetik tombol hijau di samping kanan layar ponsel, terdengar suara mobil memasuki bagasi.Lizia menyibakkan selimutnya. Dia menuruni tempat tidur dan langsung turun ke lantai satu.“Selamat malam,” kata Lizia setelah membuka pintu utama.“Selamat malam, istriku. Kenapa belum tidur?” tanya Aziz diiringi dengan tangannya yang merangkul pundak Lizia setelah menutup pintu.“Aku mana bisa tidur kalau kamu belum pulang. Kamu lupa kalau aku enggak bisa tidur sendirian?” kata Lizia.Lizia naik ke atas tempat tidur duluan, ia membaca beberapa halaman buku sembari menunggu Aziz yang tengah membersihkan diri di kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Lizia dengan senyum lebarnya meletakkan bukunya
"Di mana aku bisa terhubung dengan jaringan?" tanya Lizia kepada salah satu pekerja."Di sana, Bu. Di pertigaan pertama dari sini."Mata Lizia mengikuti arah di mana jari telunjuk pekerja tua itu. Dia kemudian mengangguk dan berterima kasih sebelum pergi dari lokasi yang akan dibangun cabang perusahaan.Lizia berdecak sebal, ia berjalan menghampiri asistennya yang tengah makan siang di salah satu pondok kayu sederhana."Nayla," panggil Lizia seiring dengan tangannya yang mengambil kunci mobil dari tasnya."Ibu mau ke mana?" tanya Nayla, asistennya yang dua tahun lebih muda darinya."Cari jaringan. Mau telepon suamiku dulu. Kamu tunggu di sini sebentar," kata Lizia. Kemudian, ia menyalakan mesin mobil, melaju dan membelah jalanan yang tidak terlalu luas di salah satu kota terpencil di Aceh.Sesampainya di sana, Lizia lang
Lizia berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan menggosok gigi sebelum naik ke atas tempat tidur. Dia membuka ponselnya, mengetik nama Aziz di kontak pencarian.Namun, belum sempat mengetik tombol hijau di samping kanan layar ponsel, terdengar suara mobil memasuki bagasi.Lizia menyibakkan selimutnya. Dia menuruni tempat tidur dan langsung turun ke lantai satu.“Selamat malam,” kata Lizia setelah membuka pintu utama.“Selamat malam, istriku. Kenapa belum tidur?” tanya Aziz diiringi dengan tangannya yang merangkul pundak Lizia setelah menutup pintu.“Aku mana bisa tidur kalau kamu belum pulang. Kamu lupa kalau aku enggak bisa tidur sendirian?” kata Lizia.Lizia naik ke atas tempat tidur duluan, ia membaca beberapa halaman buku sembari menunggu Aziz yang tengah membersihkan diri di kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Lizia dengan senyum lebarnya meletakkan bukunya
3 bulan kemudian.Lizia memasuki gedung rumah sakit Sanjaya Permata setelah ia memarkirkan mobilnya. Tubuh tinggi semampai dengan balutan gaun hitam berkerah sepanjang bawah lutut dengan lengan sambungan terlihat begitu elegan dan anggun.Seperti seorang model, pandangan orang-orang tak luput dari Lizia. Wanita cantik itu adalah istri dari dokter Pratama Aziz. Hampir seluruh orang-orang di kalangan dokter maupun perawat mengenalinya. Ya, siapa juga yang tidak mengenali Lizia Hermansyah. Wanita karier yang memimpin perusahaan terbesar kedua di Indonesia. Dia wanita hebat dan orang-orang menyebut Aziz sebagai pria dengan nasib beruntung karena memiliki Lizia sebagai istri.Tetapi dibalik latar kehidupannya yang menarik, orang-orang juga terkadang menjulukinya sebagai wanita yang tidak beruntung karena belum mempunyai anak.Lizia mengetok pintu berwarna putih krim itu beberapa kali dan tidak
Hari ini, Selasa 1 Februari 2022. Tepat satu minggu setelah terakhir kali mereka menemui dokter Vino. Lizia bersama Aziz dan juga Dayana kembali menemui Vino untuk menagih hasil pemeriksaan mengenai kesuburan mereka.Tidak ada basa-basi seperti pertama kali, Vino langsung memberi kertas berisi keterangan hasil pemeriksaan kepada mereka masing-masing. Setelah itu, dia duduk di kursi kebanggaannya dengan wibawa seorang dokter yang lebih terlihat daripada kemarin-kemarin."Nona Dayana, rahim ada sangat baik dan sehat. Tidak ada kecacatan sedikitpun. Bahkan, rahim Anda sudah benar-benar siap untuk pemindahan embrio," kata Dokter Vino.Dayana mengangguk paham. Dia senang dan sedikit gugup.Vino beralih pandangan pada Aziz, lalu mengatakan hal yang sama seperti yang dia katakan pada Dayana. Aziz sehat dan tidak ada kecacatan apa pun."Saya mau bicara empat mata
"Terima kasih banyak," kata Dayana, lalu tersenyum saat 4 orang yang membantu kepindahannya hendak menaiki mobil dan pergi.Dayana berjalan memasuki rumah sementaranya. Rumah bercat kuning itu punya luas 34 meter dan panjang 36 meter. Bagian dalamnya didesain dengan gaya moderen, dan memiliki banyak jendela di setiap sisinya. Semua perabotan seperti kursi, ranjang, kulkas, AC, dan lain sebagainya sudah disiapkan Aziz dan Lizia. Rasanya menyenangkan sekali berada di rumah yang menjadi impian Dayana. Tetapi sayangnya dia harus pindah setelah 13 bulan tinggal di sana.Dayana memasuki ruangan yang menjadi kamarnya, di sana masih berantakan dan dia sendiri yang akan merapikannya. Itu kemauannya sendiri."Halo? Benar, saya Dayana Safitri." Dayana meninggalkan barang-barangnya di atas lantai saat ponselnya berbunyi."Kami dari pihak rumah sakit Sanjaya Permata. Apa benar atas nama ibu Fitr
Mata Lizia fokus pada Arum, tetapi sesungguhnya pikirannya hanya tertuju pada suaminya. Curhatan Arum barusan sukses membuat pikirannya kacau, hatinya bimbang, dan dia menjadi takut. Arum sama sepertinya menyewa ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Tetapi dia tidak menyangka nasib dari pernikahan Arum akan berakhir tragis karena pilihan yang dibuat wanita itu. Lizia merinding. Mencoba berpikir kalau nasib setiap orang berbeda-beda dan dia mungkin tidak akan berakhir seperti Arum, sebab Aziz sangat mencintainya dan dia sangat percaya pada pria itu. Ya, Lizia menyadarkan semu harapannya pada cintanya dan Aziz. Lizia berpamitan kepada teman-temannya setelah melihat jam 15:43 di tangannya. Tetapi belum sempat meninggalkan gedung reuni, langkahnya terhenti saat suara seorang pria memanggil namanya. Lizia menoleh dan mendapati Rendy di meja bersama
Pertama, mereka menyewa rumah di dekat tempat tinggal Aziz dan Lizia untuk Dayana. Dayana harus tinggal berdekatan agar mereka dapat setiap waktu mengecek kondisinya selama kehamilan.Kedua, biaya pendidikan S2 ke Singapura ditanggung Aziz dan Lizia. Ini adalah salah satu cara membayar jasa Dayana.Ketiga, mereka akan berdonasi 500 juta ke panti asuhan tempat Dayana tinggal.Keempat, Dayana harus meninggalkan bayi yang dilahirkannya setelah 40 hari.Selesai.4 poin inti dalam perjanjian ibu pengganti.Lizia mencap namanya di atas kertas berukuran A4 di atas meja, lalu diikuti dengan tanda tangan Aziz di bawahnya."Besok kita bertiga ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan konsultasi," kata Aziz.Dayana mengangguk setuju, tetapi Lizia tidak. "Kayaknya aku enggak bisa, sayang. Ak
"Sayang, kita masih bisa berjuang sama-sama untuk punya anak. Kita masih muda, sehat."Sehat? Hahaha ... Lizia menertawai dirinya dalam hati."Tujuh tahun, Sayang. Tujuh tahun bukan waktu sebentar, selama itu kita berjuang sambil ikhtiar. Jangan menyerah karena musibah kemarin. Mana Lizia yang aku kenal?" kata Aziz. Dia menatap mata Lizia begitu lekat.Lizia menghela lalu berkata, "Seperti yang kamu bilang, tujuh tahun bukan waktu sebentar, kamu benar, tujuh tahun adalah waktu yang sangat-sangat lama. Saking lamanya membuat aku lelah sama takdir yang diberikan Allah.""Hey, jangan bilang begitu. Apa pun jalan yang dikasih Allah untuk kita berdua, yakin itu jalan paling terbaik di antara terbaik.""Dan ini sudah jadi jalan aku untuk menggunakan rahim orang lain.""Sayang, jangan berpikir karena musibah kemarin aku akan tinggalkan kamu, makany
Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering.Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut.Jam 8 malam.Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela.Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih.Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur.