"Cukup, Rif! Aku tahu, kamu enggak pernah suka dengan Ronan, tapi please jangan begini, kamu orang yang paling aku dengar selama ini, tapi kalau kamu mengatakan hal buruk tentang Ronan, aku juga enggak akan terima!"
Suara Riska terdengar gemetar ketika mengucapkan kalimat tersebut, pertanda ia sendiri berusaha untuk mengatasi perasaannya kala mengucap kata-kata itu lantaran foto di galeri ponsel sang suami didukung pengakuan suaminya tersebut bahwa ia memiliki wanita cadangan yang lain bertolak belakang dengan apa yang ia ucapkan.Namun, jika ia membicarakan hal itu pada sang adik, pasti akan membuat perasaan adiknya dengan sang suami semakin buruk saja. Riska tidak mau.Ia memiliki harapan, suatu hari nanti akan membuat adiknya bisa menerima sang suami bagaimana pun caranya.Rifky menghela napas mendengar perkataan sang kakak, niatnya yang ingin mengatakan tentang apa yang dilakukan oleh Ronan di luar, terpaksa diurungkannya.Sekarang, sang kakak terlihat sedang tidak baik. Ia yakin tadi kakaknya bertengkar dengan suaminya hingga ia bisa melihat ada sisa air mata di sudut mata sang kakak.Namun, Riska memang selalu saja berusaha untuk kuat di hadapan siapapun, hingga terkadang Rifky -lah yang membongkar segalanya sampai kakaknya itu mau berbagi beban padanya."Kak, semenjak Kak Rizky meninggal, Kakak memikul tanggung jawab yang berat menggantikan posisi Kak Rizky, aku tahu itu, jadi aku harap, Kakak bisa membaginya denganku. Mungkin, di mata Kakak, dibandingkan Kak Rizky, aku ini tidak ada gunanya, tapi, aku selalu ingin hidup Kakak bahagia dengan siapapun itu."Setelah bicara demikian, Rifky pamit untuk berangkat ke kantor.Riska hanya merespon ucapan salam yang diucapkan oleh Rifky seiring langkahnya yang beranjak pergi.Kata-kata sang adik menyentuh hatinya yang terdalam. Bayangan adiknya, Rizky, anak kedua dari ayah dan ibunya itu meninggal karena kanker otak stadium akhir berkelebat.Saat itu, Rizky masih duduk di bangku SMU, dan mereka sekeluarga masih tinggal di Samarinda.Adiknya itu pria yang aktif dibandingkan Rifky yang pendiam dan terkesan introvert.Rizky pria yang banyak sekali melakukan aktivitas positif, hingga mengabaikan kesehatannya sendiri.Gejala sakit kepala dan darah yang keluar dari hidungnya tiba-tiba selalu tidak diperiksakan secara serius oleh adiknya tersebut.Semangat Rizky saat masih hidup membuat seluruh keluarga tidak ada yang menyangka, pria tampan yang tercatat sebagai vocalis band yang berencana akan rekaman itu ternyata menderita penyakit mematikan tersebut (kisah almarhum Rizky ada di buku cetak saya yang sudah terbit berjudul MALAIKAT SMILE).Adik nomor duanya itu meninggal meskipun segala cara dilakukan untuk membuat penyakitnya sembuh.Kanker itu terlanjur menguasai nyaris keseluruhan otak sang pemuda aktif, hingga Rizky menghembus napasnya yang terakhir dipelukan Riska.Meskipun Rizky seorang adik, Riska merasa Rizky adalah kakak buatnya.Sikap adiknya yang dewasa dan bijak membuat Riska tidak pernah bermain rahasia pada saudara nomor duanya itu. Tidak seperti dengan Rifky. Riska mengakui sedikit jauh.Namun, ketika Rizky meninggal, perlahan sikap Rifky yang dingin dan tertutup dengan keluarga berubah. Adik bungsunya itu mulai perhatian dengan ia dan kedua orang tuanya.Rifky mulai dewasa dan bijak serta terbuka dengannya, hanya saja Riska yang masih belum mampu terbuka dengan adik bungsunya itu, karena ia selalu merasa Rifky tidak pernah ada di jalur yang ia pilih.Seperti pada saat ia menikah dengan Ronan, Rifky orang pertama yang menolak habis-habisan niat itu meskipun Riska melakukannya untuk kebaikan perusahaan sang ayah."Kak...."Riska tergagap ketika mendengar suara adik nomor duanya itu terdengar jelas di indera pendengarannya.Wanita itu melepaskan sapu lantai yang ia pegang sejak tadi, dan memandang berkeliling di ruangan tersebut dengan pandangan mata nanar."Rizky! Apakah itu kamu?" tanya Riska dengan nada suara yang sedikit keras.Dua anaknya berada di kamar ketika Riska meminta anak-anaknya itu untuk ke kamar sebelum ia dan Rifky tadi bicara.Tidak ada sahutan ketika Riska melontarkan pertanyaan itu pada seseorang yang diyakininya adalah suara almarhum adiknya.Merasa ia hanya berhalusinasi, Riska menjatuhkan diri ke lantai. Memohon ampun pada Tuhan, mengapa belakangan ini ia seperti sedang terus saja berhalusinasi?Ia selalu mendengar suara almarhum adiknya itu memanggilnya tatkala ia sedang tidak tahu harus bagaimana saat bertengkar dengan sang suami.Kedua mata wanita cantik itu kembali digenangi air mata.Kali ini, karena ia tidak sedang bersama orang lain, Riska membiarkan butiran bening itu turun membasahi pipinya perlahan.Ia perlu menangis sekarang. Belakangan ia berusaha kuat agar ia terlihat baik-baik saja atas perubahan sikap sang suami karena ia melahirkan anak perempuan terus menerus, lantaran tidak mau membuat ayahnya yang masih tidak sehat akan sedih.Perusahaan baik-baik saja, bagi Riska sudah cukup, namun ternyata, semakin ditahan, semakin sesak rasanya hatinya sekarang."Kakak boleh menangis, kalau memang sudah tidak sanggup lagi menahan, tapi, setelah itu, Kakak harus bangkit dan tunjukkan pada pria itu, bahwa Kakak bukan perempuan yang bisa ditindas seenaknya...."Suara itu terdengar lagi, dan kali ini Riska yakin bahwa yang bicara adalah almarhum adiknya karena ia sangat hafal suara itu, hingga Riska menengadahkan kepalanya mencari-cari sosok yang jujur saja sangat ia rindukan tersebut.Matanya yang basah oleh air mata menemukan sesuatu yang ia yakin bayangan itu siapa. Almarhum adiknya!Sosok itu berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan mata sedih ke arahnya. Hingga membuat Riska bangkit dan berdiri seraya menatap tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang."Rizky, ini benar kamu? Ternyata, apa yang dikatakan Mitha itu benar, kamu datang di waktu-waktu tertentu, apakah itu artinya tidurmu tidak tenang?"Entahlah, Riska sekarang tidak peduli, dirinya waras atau tidak. Yang jelas, ia sekarang sangat menikmati pertemuan dengan adiknya itu, hingga perempuan berambut panjang tersebut melangkah mendekati adiknya yang sudah lama meninggal tersebut, namun ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya untuk melangkah, seperti ada sesuatu yang menahannya hingga ia mau tidak mau tetap di tempatnya."Kenapa diam? Jawab aku? Aku pengen ngobrol banyak sama kamu, Dek! Hidupmu terlalu singkat, kami, terkhusus aku belum siap untuk kehilangan kamu!"Karena di sana sosok almarhum adiknya diam saja, Riska kembali bicara demikian seolah-olah tidak terima sang adik tidak menanggapi apa yang ia katakan tadi."Kak! Kakak ngomong sama siapa? Siapa di sana?"Sebuah suara lain terdengar, membuyarkan kefokusan Riska pada sosok almarhum adiknya.Perempuan itu berbalik, ternyata Rifky yang bicara. Adik bungsunya itu kembali lagi karena khawatir dengan kondisi sang kakak yang menurutnya tidak sedang baik-baik saja.Ketika Rifky kembali, apa yang dikhawatirkannya terbukti, sang kakak bicara sendiri seperti sedang bicara dengan almarhum kakaknya."Aku tadi melihat Rizky, Rif! Dia ada di sana, dan bicara sama aku!"Riska melaporkan apa yang tadi dialaminya pada Rifky sambil menunjuk ke hadapannya di mana tadi sosok almarhum adiknya berdiri di sana.Namun, tidak ada siapa-siapa di sana...."Istighfar, Kak! Kak Rizky sudah lama meninggal, dia tidak mungkin hidup dan bicara dengan Kakak di sini!""Tapi tadi itu nyata, Rifky! Aku melihat Rizky, dan nyata mendengar dia bicara padaku! Aku yakin itu suara dia, aku enggak bohong!""Kak, oke, oke. Sekarang, Kakak tarik napas dulu, tenangkan pikiran Kakak. Kakak sekarang lagi banyak mikir, pasti juga Kakak sedang berhalusinasi, meskipun aku tidak percaya dengan apa yang Kakak katakan, tapi aku tahu, Kak Rizky tetap ada bersama kita, kalaupun dia ada, mungkin dia ingin menyampaikan sesuatu bahwa, dia keberatan Kakak hidup seperti sekarang....""Hidup seperti sekarang? Apa maksud kamu?""Kakak terlalu memaksakan diri, Kakak yang sekarang beda sama yang dulu, yang sekarang, terlalu banyak berpura-pura....""Berpura-pura apa? Kamu pikir aku tadi akting liat almarhum?""Kecuali itu!""Udahlah. Aku lagi badmood, kamu boleh kerja sekarang, aku akan bersihin rumah."Secara halus, Riska mengusir adiknya, karena apa yang dibahas Rifky lagi-lagi tentang apa yang ia rasakan pada sang suami. Pura-pura kuat. Entahlah, seharusnya ia suka, ada adik yang peka mengetahui apa yang ia rasakan, tapi kenyataannya, Riska justru tidak nyaman. Riska hanya ingin Ronan bisa diterima baik
"Apa? Bikin subur rahim? Memangnya aku perlu melakukan itu? Aku baik-baik, aja, Ma...."Riska menanggapi apa yang dikatakan oleh sang ibu mertua dengan kening berkerut.Sementara itu, Rara sang anak mulai merengek karena tidak ditanggapi oleh sang nenek karena, setiap kali ingin memeluk kaki sang nenek dan minta digendong, setiap kali itu pula sang nenek menjauhkan kakinya dan mundur tidak mau didekati.Ini membuat Riska jadi merasa kasihan dengan sang anak hingga ia yang menggendong anaknya agar Rara tidak menangis."Benarkah? Kalau begitu, bagus, dong. Bisa hamil lagi, kan? Kamu tidak menunda kehamilan kamu, kan? Rara juga sudah besar, kok. Jangan ditunda-tunda lagi!""Tapi, Ma, aku-""Tidak ada tapi-tapian, Mama rasa Ronan juga sudah kasih tau kamu tentang hal ini, kan? Kami ingin cucu laki-laki, Riska, bukan perempuan! Ingat itu!"Setelah bicara demikian, sang ibu mertua berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan kamar itu tanpa mempedulikan keinginan sang cucu yang ingin disa
Rifky langsung memundurkan kursinya, karena bibir Bella nyaris mengenai daun telinganya.Ia mendongak dan menatap wajah Bella dengan sorot mata tidak suka."Wanita murahan!"PLAKK!!Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut ketika Bella tiba-tiba menampar wajah Rifky, saat Rifky mengucapkan kata itu walau tidak terlalu tegas karena sadar banyak orang di ruangan tersebut. Bella berdiri dengan tegak setelah menampar Rifky, lalu melotot ke arah beberapa karyawan satu ruangan Rifky pertanda ia tidak suka diperhatikan."Apa yang kalian lihat? Kerja dengan benar!" bentaknya, lalu mengarahkan pandangannya kepada Rifky kembali."Jaga mulut kamu, kalau kamu tidak menjaganya, kamu akan menyesal, Rifky!" ancamnya, dan ia berbalik dari hadapan Rifky setelah itu keluar dari ruang itu dengan perasaan kesal yang membara."Kamu tidak apa-apa?" Salah satu teman satu ruangan Rifky bertanya demikian sesaat ketika Bella sudah pergi. "Tidak apa-apa," sahut Rifky sambil mengusap sebelah pipinya."Lag
"Hubungan kita seperti apa? Ya, seperti ini, sama-sama membuat sesuatu yang menyenangkan."Sambil bicara demikian, Ronan kembali menarik tengkuk Bella, namun lagi-lagi, Bella mempertahankan jarak, karena merasa tidak puas dengan apa yang sudah diucapkan oleh Ronan."Jadi, selamanya aku cuma partner senang-senang kamu? Hubungan kita enggak punya masa depan? Gitu?""Bella, meskipun begitu, kau juga aku berikan uang untuk kebutuhan kamu, kan? Kau mau apa, aku berikan, apakah itu tidak cukup?""Bagaimana kalau istri kamu tidak pernah melahirkan anak laki-laki selamanya?"Ronan menyentakkan tubuh sintal Bella yang tadinya sudah duduk di pangkuannya ketika perempuan itu bicara demikian.Ini membuat Bella terkejut. Tidak suka dengan perbuatan kasar Ronan yang seperti tadi."Kamu kebiasaan, deh! Kasar! Aku enggak suka!" rajuk Bella, dan itu tidak membuat Ronan jadi merasa bersalah pada perempuan tersebut.Ia menatap tajam ke arah sang sekretaris, seolah ingin menegaskan bahwa ia memang sedang
Ronan, melangkah ke arah mereka dengan wajah yang dingin seolah marah pada keduanya."Coba ulangi apa yang sedang kalian bicarakan?" katanya pada Rifky terutama pada Pasha, yang tidak dikenal oleh Ronan.Pasha menundukkan kepalanya sesaat ke arah Ronan meskipun itu tidak ditanggapi oleh pria tersebut."Maaf, bukan bermaksud untuk kurang ajar, tapi begitulah menurut saya, rekan saya ini cerdas, awalnya juga posisinya bukan sebagai karyawan biasa, begitu saya ke sini, sudah berganti posisi, wajar, jika saya mempertanyakan hal itu.""Wajar? Wajar dari mana? Sudahlah, kau ini orang luar, karyawanku juga bukan, kenapa ikut campur? Hanya karena kau teman Rifky? Kau pikir, bisa memberikan pendapat terkait masalah perusahaan? Jangan bermimpi!"Setelah bicara demikian, Ronan beralih menatap ke arah Rifky yang saat itu berusaha untuk membuat Pasha tidak lagi meladeni sang kakak ipar."Kau tahu cara menjaga nama baik keluarga, bukan?" katanya dengan nada dingin pada Rifky. Rifky tersenyum getir
Setelah bicara demikian, Ronan berlalu dari hadapan sang istri, lalu beranjak masuk ke kamarnya, tapi, sebelum ia masuk ke kamar, pria itu berbalik dan menatap ke arah sang istri dengan sorot mata menuntut."Bersihkan diri kamu, layani aku, aku tidak mau kamu masuk kamar dengan penampilan bikin mata sakit seperti itu!" katanya lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan keras, seolah ingin menegaskan bahwa ia sedang emosi sekarang ini.Riska menghela napas panjang. Sesak. Bukannya mengkhawatirkan anak-anak mereka yang sedang sakit, sang suami justru melakukan hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya, benar-benar di luar perkiraan.Wanita itu melangkah menuju kamar sang anak yang bersebelahan dengan kamarnya dengan sang suami, untuk memeriksa keadaan anak-anak mereka yang sedang sakit apakah aman-aman saja?Ketika Riska membuka pintu kamar sang anak, Reva, anak sulungnya terlihat duduk di atas tempat tidurnya, membuat Riska buru-buru masuk dan menghampiri."Ada, apa Kakak
Riska menulikan telinganya. Mau bagaimana? Bukan bermaksud kurang ajar, namun jika ia menanggapi ucapan sang suami, yang ada pasti hanya pertengkaran mereka yang semakin meruncing.Akan berdampak tidak baik bagi fisik dan psikis sang anak, itu sebabnya, Riska memilih untuk tidak merespon, ia segera beranjak keluar sambil menggendong Rara yang masih saja terus menangis.Kembali masuk ke kamar sang anak, dan buru-buru membaringkan Rara ke atas tempat tidurnya. Kedatangan Riska dengan sang adik membuat Reva yang tadinya sudah mulai tidur terbangun lagi.Bocah perempuan itu, menatap ke arah ibunya, lalu ke arah adiknya, memperhatikan sang ibu yang sibuk menenangkan adiknya yang masih menangis.Karena Rara tidak juga kunjung berhenti, Reva perlahan bangkit, turun dari tempat tidur lalu melangkah tertatih ke arah tempat tidur sang adik di mana ada ibunya dan Rara di sana.Tertatih, karena tubuhnya sendiri masih belum banyak energi, hingga untuk berjalan, Reva harus demikian."De, udah jang
"Kamu benar-benar tidak peduli dengan anak-anak kamu, Ron? Darah daging kamu sendiri? Reva aja peduli dengan kamu, tapi kenapa kamu bersikap kasar sama dia?"Riska bukannya melakukan apa yang diperintahkan sang suami untuk membersihkan dirinya, tapi justru mencoba untuk membuka hati dan pikiran suaminya itu bahwa apa yang dilakukan sang suami sudah sangat keterlaluan."Kamu tahu alasannya? Buat apa aku menjawab pertanyaan kamu itu lagi!""Pi, apakah kalau aku hamil lagi, kamu akan berhenti bersikap kasar pada anak-anak?" "Asalkan anak yang kau kandung dan lahirkan nanti anak laki-laki, aku tidak akan mempersoalkan kehadiran Reva dan Rara lagi."Wajah Riska berubah mendengar janji yang diucapkan oleh sang suami. Sebuah harapan terbersit di benak Riska. Jika hamil lagi membuat Rara dan Reva akhirnya mendapat perhatian dan kasih sayang oleh ayah mereka, kenapa ia menolak untuk hamil kembali?Sebenarnya, Riska bukan menolak. Hanya saja jarak anak-anaknya sedikit dekat, hingga ia sedikit