"Apa? Bikin subur rahim? Memangnya aku perlu melakukan itu? Aku baik-baik, aja, Ma...."
Riska menanggapi apa yang dikatakan oleh sang ibu mertua dengan kening berkerut.Sementara itu, Rara sang anak mulai merengek karena tidak ditanggapi oleh sang nenek karena, setiap kali ingin memeluk kaki sang nenek dan minta digendong, setiap kali itu pula sang nenek menjauhkan kakinya dan mundur tidak mau didekati.Ini membuat Riska jadi merasa kasihan dengan sang anak hingga ia yang menggendong anaknya agar Rara tidak menangis."Benarkah? Kalau begitu, bagus, dong. Bisa hamil lagi, kan? Kamu tidak menunda kehamilan kamu, kan? Rara juga sudah besar, kok. Jangan ditunda-tunda lagi!""Tapi, Ma, aku-""Tidak ada tapi-tapian, Mama rasa Ronan juga sudah kasih tau kamu tentang hal ini, kan? Kami ingin cucu laki-laki, Riska, bukan perempuan! Ingat itu!"Setelah bicara demikian, sang ibu mertua berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan kamar itu tanpa mempedulikan keinginan sang cucu yang ingin disapa dan digendong oleh dirinya.Sepeninggal sang ibu mertua, Rara mulai menangis, hingga Riska berusaha menenangkan sang anak agar anaknya itu tidak semakin menangis karena diabaikan oleh neneknya sendiri.Beberapa saat kemudian, Rara mulai tenang. Riska menurunkan sang anak dari gendongan dan memeriksa keadaan Reva yang sejak tadi terganggu dengan pembicaraan antara ia dan ibu mertuanya.Ketika Riska ingin keluar dari kamar untuk mengunci pintu di depan, suara Reva terdengar hingga langkahnya terhenti seketika.Perempuan itu kembali melangkah ke tepi pembaringan di mana sang anak berada."Ya? Kakak mau sesuatu?" tanya Riska pada anak sulungnya."Nenek malah sama kita, ya?" tanya Reva yang menyebut 'marah' dengan sebutan 'malah' karena ia belum sempurna menyebut huruf R."Enggak, nenek enggak marah dengan siapapun, nenek cuma buru-buru ada pekerjaan yang harus diselesaikan nenek...."Riska mencoba berbohong untuk menutupi rasa tidak suka sang ibu mertua pada dua anak perempuannya."Nenek enggak sayang sama kita...."Bocah itu bicara lalu membalikkan tubuhnya memeluk guling seolah tidak mau mendengar bantahan sang ibu tentang perilaku neneknya yang tidak pernah menunjukkan kesan perhatian para mereka berdua.Riska mengusap puncak kepala sang anak dengan perlahan, berusaha untuk membuat anaknya tidak bersedih atas apa yang dilakukan oleh ibu mertuanya belakangan ini pada dua putri kecilnya."Kakak istirahat dulu, ya? Enggak usah mikir yang berat-berat, nenek sayang kok sama kalian, tadi hanya buru-buru, Mami bersih-bersih rumah dulu, ya, kalau ada sesuatu yang Kakak mau minta tolong adik untuk kasih tau Mami, ya?"Setelah bicara demikian Riska membenarkan selimut yang menutupi tubuh anaknya agar tubuh anaknya bisa berkeringat hingga demam yang dideritanya bisa segera turun.Usai melakukan hal itu, wanita tersebut beranjak keluar kamar setelah sebelumnya memberi pesan pada Rara untuk tidak bermain yang berbahaya selama ia membersihkan rumah.Di waktu yang sama, di kantor...."Pekerjaan kamu tidak becus, Rifky! Kerjakan lagi, lalu kirimkan kepadaku!"Seraya bicara demikian, Ronan melempar map yang baru saja diserahkan Rifky ketika ia sudah kembali ke kantor beberapa saat yang lalu setelah ke rumah sang kakak."Tapi, Kak-""Pak! Kamu pikir di kantor ini hubungan keluarga berlaku?!"Ronan memotong ucapan Rifky dengan suara masih bernada tinggi hingga beberapa karyawan lain di ruangan itu memperhatikan mereka.Miris, pikir mereka, Rifky adalah anak dari pemimpin pertama perusahaan itu, semenjak perusahaan mengalami krisis, dan pernikahan Ronan juga Riska mampu membuat perusahaan pulih, kepemimpinan yang awalnya dipimpin oleh Riska sebagai anak sulung yang menjadi pewaris ketika Rizky pewaris sebenarnya meninggal sedangkan Rifky merasa tidak sanggup mengambil alih perusahaan kini diambil alih oleh Ronan suami Riska.Sejak Ronan menjabat sebagai pemimpin perusahaan, semua aturan jadi berubah. Karyawan merasakan aturan yang baru begitu memberatkan mereka dibandingkan saat Riska yang menjadi penerus ayahnya pemimpin pertama.Namun, apa daya, mereka tidak bisa melakukan apa-apa, sebab butuh pekerjaan dan jangankan mereka yang orang lain, adik ipar bos baru mereka saja diperlakukan seperti itu."Pak Ronan kelewatan! Padahal, pekerjaan kamu itu sudah yang terbaik, Rif, tetap saja dianggap kurang dan kurang, kalau begini terus, bagaimana kita bisa bekerja dengan baik? Dia menekan kita dengan alasan yang tidak penting!"Teman satu ruangan Rifky bicara demikian ketika bos mereka sudah kembali ke ruangannya setelah memperlakukan Rifky demikian.Rifky menghela napas. Ia membuka map yang sudah ia kerjakan sebaik mungkin itu.Memeriksa apa yang salah, hingga teman satu ruangannya kembali bicara dan ia menghentikan kegiatannya memeriksa map itu meskipun matanya tetap memperhatikan isi map seolah sedang membaca ulang pekerjaannya yang tidak membuat sang kakak ipar puas."Andai kamu jadi pengganti Ibu Riska, pasti perusahaan tentram, Rif, setidaknya kami yakin keluarga Pak Rizmawan itu sangat manusiawi memperlakukan orang!""Iya, aku minta maaf. Aku memang pernah berpikir tidak mau jadi pewaris perusahaan, karena aku merasa tidak punya kemampuan seperti almarhum kakakku dan Kak Riska, tapi sekarang, aku menyesal tidak belajar sejak dulu, padahal segala sesuatunya pasti bisa dikuasai asal kita mau belajar.""Masih ada waktu jika kamu mau merebut perusahaan ayah kamu lagi, Rif, kami bertahan di sini karena kami menyayangi Pak Rizmawan, bukan si bule yang songong itu!"Rifky ingin menjawab, namun niatnya terhenti ketika seorang perempuan seksi berhenti di pintu ruangan mereka yang tetap dibiarkan terbuka.Perempuan itu Bella. Sekretaris yang menggantikan Riska ketika Riska diminta mengundurkan diri setelah hamil anak pertama, Reva.Ronan ingin, Riska fokus menjadi ibu rumah tangga saja, itu sebabnya ia ingin sang istri mengundurkan diri, dan Bella adalah sekretaris baru yang menggantikan posisi sang istri di perusahaan yang awalnya pemimpin, lalu menjadi sekretaris dan akhirnya mengundurkan diri.Rifky tidak pernah suka dengan Bella. Karena menurutnya, Bella wanita bermulut ular.Perempuan itu bisa membalikkan keadaan hingga semua orang yang tidak disukainya mendapatkan masalah.Dalam sekejap pun, ia menjadi wanita kepercayaan Ronan, dan hal itu membuat hubungan Ronan dengan perempuan seksi itu menjadi intim dan Rifky orang pertama yang menyaksikan sang kakak ipar berciuman di sebuah kesempatan, hingga Rifky ingin melaporkan hal itu pada sang kakak tadi pagi, namun akhirnya niat itu tidak jadi ia lakukan lantaran melihat keadaan sang kakak yang tidak stabil seperti itu sampai menurutnya berhalusinasi mengatakan melihat almarhum saudara mereka yang sudah meninggal.Bella menghampiri meja di mana Rifky berada. Berdiri dekat dengan adik ipar bosnya itu hingga aroma parfum perempuan itu menyambar hidung Rifky.Jemari lentik Bella meraba bagian paha Rifky namun dengan kasar Rifky menepis jemari itu sembari melotot galak ke arah wanita tersebut."Jaga sikap Anda! Ini kantor!" ketus Rifky dan ucapan Rifky justru membuat bibir merah Bella tersenyum.Ia merundukkan tubuhnya, tanpa mempedulikan dadanya yang terlihat Rifky ketika ia melakukan hal itu."Apa kau ingin kita melakukannya di luar kantor, adik ipar bos? Agar kamu tidak berani macam-macam untuk apa yang sudah kamu lihat tadi malam...."Bella berbisik demikian di telinga Rifky dengan suara menggoda!Rifky langsung memundurkan kursinya, karena bibir Bella nyaris mengenai daun telinganya.Ia mendongak dan menatap wajah Bella dengan sorot mata tidak suka."Wanita murahan!"PLAKK!!Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut ketika Bella tiba-tiba menampar wajah Rifky, saat Rifky mengucapkan kata itu walau tidak terlalu tegas karena sadar banyak orang di ruangan tersebut. Bella berdiri dengan tegak setelah menampar Rifky, lalu melotot ke arah beberapa karyawan satu ruangan Rifky pertanda ia tidak suka diperhatikan."Apa yang kalian lihat? Kerja dengan benar!" bentaknya, lalu mengarahkan pandangannya kepada Rifky kembali."Jaga mulut kamu, kalau kamu tidak menjaganya, kamu akan menyesal, Rifky!" ancamnya, dan ia berbalik dari hadapan Rifky setelah itu keluar dari ruang itu dengan perasaan kesal yang membara."Kamu tidak apa-apa?" Salah satu teman satu ruangan Rifky bertanya demikian sesaat ketika Bella sudah pergi. "Tidak apa-apa," sahut Rifky sambil mengusap sebelah pipinya."Lag
"Hubungan kita seperti apa? Ya, seperti ini, sama-sama membuat sesuatu yang menyenangkan."Sambil bicara demikian, Ronan kembali menarik tengkuk Bella, namun lagi-lagi, Bella mempertahankan jarak, karena merasa tidak puas dengan apa yang sudah diucapkan oleh Ronan."Jadi, selamanya aku cuma partner senang-senang kamu? Hubungan kita enggak punya masa depan? Gitu?""Bella, meskipun begitu, kau juga aku berikan uang untuk kebutuhan kamu, kan? Kau mau apa, aku berikan, apakah itu tidak cukup?""Bagaimana kalau istri kamu tidak pernah melahirkan anak laki-laki selamanya?"Ronan menyentakkan tubuh sintal Bella yang tadinya sudah duduk di pangkuannya ketika perempuan itu bicara demikian.Ini membuat Bella terkejut. Tidak suka dengan perbuatan kasar Ronan yang seperti tadi."Kamu kebiasaan, deh! Kasar! Aku enggak suka!" rajuk Bella, dan itu tidak membuat Ronan jadi merasa bersalah pada perempuan tersebut.Ia menatap tajam ke arah sang sekretaris, seolah ingin menegaskan bahwa ia memang sedang
Ronan, melangkah ke arah mereka dengan wajah yang dingin seolah marah pada keduanya."Coba ulangi apa yang sedang kalian bicarakan?" katanya pada Rifky terutama pada Pasha, yang tidak dikenal oleh Ronan.Pasha menundukkan kepalanya sesaat ke arah Ronan meskipun itu tidak ditanggapi oleh pria tersebut."Maaf, bukan bermaksud untuk kurang ajar, tapi begitulah menurut saya, rekan saya ini cerdas, awalnya juga posisinya bukan sebagai karyawan biasa, begitu saya ke sini, sudah berganti posisi, wajar, jika saya mempertanyakan hal itu.""Wajar? Wajar dari mana? Sudahlah, kau ini orang luar, karyawanku juga bukan, kenapa ikut campur? Hanya karena kau teman Rifky? Kau pikir, bisa memberikan pendapat terkait masalah perusahaan? Jangan bermimpi!"Setelah bicara demikian, Ronan beralih menatap ke arah Rifky yang saat itu berusaha untuk membuat Pasha tidak lagi meladeni sang kakak ipar."Kau tahu cara menjaga nama baik keluarga, bukan?" katanya dengan nada dingin pada Rifky. Rifky tersenyum getir
Setelah bicara demikian, Ronan berlalu dari hadapan sang istri, lalu beranjak masuk ke kamarnya, tapi, sebelum ia masuk ke kamar, pria itu berbalik dan menatap ke arah sang istri dengan sorot mata menuntut."Bersihkan diri kamu, layani aku, aku tidak mau kamu masuk kamar dengan penampilan bikin mata sakit seperti itu!" katanya lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan keras, seolah ingin menegaskan bahwa ia sedang emosi sekarang ini.Riska menghela napas panjang. Sesak. Bukannya mengkhawatirkan anak-anak mereka yang sedang sakit, sang suami justru melakukan hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya, benar-benar di luar perkiraan.Wanita itu melangkah menuju kamar sang anak yang bersebelahan dengan kamarnya dengan sang suami, untuk memeriksa keadaan anak-anak mereka yang sedang sakit apakah aman-aman saja?Ketika Riska membuka pintu kamar sang anak, Reva, anak sulungnya terlihat duduk di atas tempat tidurnya, membuat Riska buru-buru masuk dan menghampiri."Ada, apa Kakak
Riska menulikan telinganya. Mau bagaimana? Bukan bermaksud kurang ajar, namun jika ia menanggapi ucapan sang suami, yang ada pasti hanya pertengkaran mereka yang semakin meruncing.Akan berdampak tidak baik bagi fisik dan psikis sang anak, itu sebabnya, Riska memilih untuk tidak merespon, ia segera beranjak keluar sambil menggendong Rara yang masih saja terus menangis.Kembali masuk ke kamar sang anak, dan buru-buru membaringkan Rara ke atas tempat tidurnya. Kedatangan Riska dengan sang adik membuat Reva yang tadinya sudah mulai tidur terbangun lagi.Bocah perempuan itu, menatap ke arah ibunya, lalu ke arah adiknya, memperhatikan sang ibu yang sibuk menenangkan adiknya yang masih menangis.Karena Rara tidak juga kunjung berhenti, Reva perlahan bangkit, turun dari tempat tidur lalu melangkah tertatih ke arah tempat tidur sang adik di mana ada ibunya dan Rara di sana.Tertatih, karena tubuhnya sendiri masih belum banyak energi, hingga untuk berjalan, Reva harus demikian."De, udah jang
"Kamu benar-benar tidak peduli dengan anak-anak kamu, Ron? Darah daging kamu sendiri? Reva aja peduli dengan kamu, tapi kenapa kamu bersikap kasar sama dia?"Riska bukannya melakukan apa yang diperintahkan sang suami untuk membersihkan dirinya, tapi justru mencoba untuk membuka hati dan pikiran suaminya itu bahwa apa yang dilakukan sang suami sudah sangat keterlaluan."Kamu tahu alasannya? Buat apa aku menjawab pertanyaan kamu itu lagi!""Pi, apakah kalau aku hamil lagi, kamu akan berhenti bersikap kasar pada anak-anak?" "Asalkan anak yang kau kandung dan lahirkan nanti anak laki-laki, aku tidak akan mempersoalkan kehadiran Reva dan Rara lagi."Wajah Riska berubah mendengar janji yang diucapkan oleh sang suami. Sebuah harapan terbersit di benak Riska. Jika hamil lagi membuat Rara dan Reva akhirnya mendapat perhatian dan kasih sayang oleh ayah mereka, kenapa ia menolak untuk hamil kembali?Sebenarnya, Riska bukan menolak. Hanya saja jarak anak-anaknya sedikit dekat, hingga ia sedikit
"Keterlaluan kamu!" Ronan tidak peduli dengan umpatan yang dilancarkan oleh sang istri. Ia tetap menjalankan hasratnya yang sudah membubung sejak tadi. Meskipun sudah mencapai puncak, tetap saja Ronan meminta lebih. Tidak peduli Riska yang lelah dan memikirkan anak-anak mereka yang sedang sakit, pria itu tetap bergairah saat menyentuh sang istri untuk yang kesekian, hingga akhirnya, mereka benar-benar terkulai ketika Ronan untuk yang kesekian kembali mencapai pelepasan puncaknya lagi.Setelah beberapa saat hanya diam dengan tubuh tanpa sehelai benangpun, Riska perlahan bangkit. Sambil meraih pakaian handuk yang dilepaskan oleh sang suami sebelum mereka berhubungan intim tadi.Dipandanginya Ronan yang terbaring kelelahan di sebelahnya. Perlahan, ditepuknya punggung sang suami."Kamu enggak mandi dulu, baru tidur?" tanyanya pada Ronan dengan suara perlahan."Entar saja, aku tidur dulu."Pria itu menyahut malas, sambil memperbaiki posisi tidurnya."Tapi, lebih baik bersihkan diri dulu,
Adit yang mendengar ucapan polos Rara jadi tersenyum. Ia mengacak puncak kepala bocah itu dengan gemas."Iya, rumah Om Rizky jadi bagus ya, biar om tidurnya tenang, iya?"Rara mengangguk malu-malu. Membuat Adit semakin gemas dengan tingkah anak Riska tersebut."Anak lu lucu, pinter, cantik kayak nyokapnya."Riska tersenyum getir mendengar pujian yang dilontarkan oleh Adit. Andai saja ucapan itu keluar dari mulut Ronan, aku bahagia sekali, nyatanya, ayahnya sendiri aja ngerasa anak ini justru beban buat dia....Hati Riska bicara demikian sambil menatap Adit yang mengajak Rara bicara dengan gayanya yang lucu. Sebagai sahabat almarhum Rizky, Adit memang sudah sangat akrab dengan Riska dan keluarganya. Adit juga sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh keluarga Riska hingga jika kebetulan bertandang ke Yogyakarta, Adit justru diminta menginap di rumah. Itu dilakukan ketika Riska dan Rifky belum menikah hingga Adit merasa asyik saja menginap ketika anggota keluarga Riska berkumpul