Rifky langsung memundurkan kursinya, karena bibir Bella nyaris mengenai daun telinganya.
Ia mendongak dan menatap wajah Bella dengan sorot mata tidak suka."Wanita murahan!"PLAKK!!Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut ketika Bella tiba-tiba menampar wajah Rifky, saat Rifky mengucapkan kata itu walau tidak terlalu tegas karena sadar banyak orang di ruangan tersebut.Bella berdiri dengan tegak setelah menampar Rifky, lalu melotot ke arah beberapa karyawan satu ruangan Rifky pertanda ia tidak suka diperhatikan."Apa yang kalian lihat? Kerja dengan benar!" bentaknya, lalu mengarahkan pandangannya kepada Rifky kembali."Jaga mulut kamu, kalau kamu tidak menjaganya, kamu akan menyesal, Rifky!" ancamnya, dan ia berbalik dari hadapan Rifky setelah itu keluar dari ruang itu dengan perasaan kesal yang membara."Kamu tidak apa-apa?"Salah satu teman satu ruangan Rifky bertanya demikian sesaat ketika Bella sudah pergi."Tidak apa-apa," sahut Rifky sambil mengusap sebelah pipinya."Lagian, semenjak Lampir itu masuk, Pak Ronan itu semakin aneh, masih mending Ibu Riska ke mana-mana, meskipun tegas tapi tidak membuat kita jadi bengek dengan sikapnya yang seperti itu."Karyawan lain menimpali. Rifky menarik napas. Bukan yang pertama kalinya ia mendengar pendapat seperti itu oleh para karyawan yang satu ruangan dengan dirinya.Berulang kali. Tidak ada yang suka dengan sikap Bella, karena menurut mereka, Bella seenaknya saat memberikan perintah. Berlagak seperti seorang pemilik perusahaan.Padahal hanya seorang sekretaris. Rifky miris sebenarnya, tapi mau bagaimana? Apa yang bisa ia lakukan dengan kondisinya yang sekarang? Ia saja ditempatkan di bagian karyawan biasa oleh Ronan sang kakak ipar. Tidak punya kuasa sama sekali untuk merubah situasi yang ada."Kamu tidak merasa, sekretaris itu menatap kamu dengan tatapan ingin menelan? Dia sepertinya suka padamu, Rif...."Suara teman yang paling dekat jaraknya dengan Rifky terdengar mengucapkan itu, membuat Rifky hanya mengusap wajahnya sesaat."Aku sudah menikah," katanya menanggapi perkataan temannya itu."Aku tahu, tapi zaman sekarang, wanita yang penuh obsesi seperti Mbak Bella itu bisa aja melakukan segala cara, hati-hati...."Rifky hanya mengangguk, tidak lagi menanggapi, ia mengalihkan perhatiannya pada komputer di depannya padahal otaknya tidak tertuju pada komputer tersebut, namun pada ucapan temannya tadi.Tidak mungkin dia suka sama aku, aku melihat sendiri dia berciuman dengan Ronan malam itu, mana mungkin aku salah lihat, tatapannya itu hanya tatapan nafsu aja, aku yakin itu, apa yang harus aku lakukan agar bisa melenyapkan perempuan itu dari sisi Ronan?Hati Rifky bicara. Pikirannya sekarang benar-benar kalut. Yang utama adalah ia memikirkan kakaknya, Riska. Keadaan kakaknya itu sekarang benar-benar membuatnya prihatin, bagaimana ia bisa membuat keadaan kakaknya membaik seperti dulu?Di waktu yang sama, Bella yang tadi sempat mendekati Rifky, langsung masuk ke ruang Ronan.Wanita itu langsung mengunci ruangan itu dengan wajah cemberut.Ronan yang terlihat sibuk dengan ponselnya meletakkan ponsel itu ketika sang sekretaris melangkahkan kakinya mendekati di mana ia sedang duduk."Kenapa dengan wajah kamu?" tanyanya dengan mata yang menyelidik."Aku lagi sebel, Beb!""Ssst, ini di kantor, tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu, nanti ada yang mendengar, tidak baik.""Aku sudah mengunci pintu, tidak akan ada yang mendengar."Bella semakin berani mendekat, dan merangkul Ronan sambil mencondongkan tubuhnya hingga bagian atas dadanya menyembul, dan ini membuat Ronan menelan salivanya dengan kasar.Karena tadi pagi ia dan sang istri Riska bertengkar, Ronan pun jadi merasa goyah melihat pemandangan di hadapannya, apalagi saat itu, satu tangan Bella merangkulnya, bertambah bergejolaklah birahi Ronan, hingga akal sehatnya mulai terpengaruh hal yang tidak baik untuk dilakukan, sebab, sudah beberapa hari ia dan Riska tidak melakukan aktivitas intim layaknya suami istri karena ia sedang kesal Riska tidak patuh padanya untuk meminta istrinya itu hamil lagi.Ronan balas merangkul tubuh sintal Bella, mempermainkan jarinya yang menyentuh bokong perempuan tersebut, hingga Bella tersenyum menggoda, paham pria itu merespon apa yang ia tawarkan."Main?" tawarnya dengan nada suara yang genit.Sebuah hal yang tidak pernah dilakukan Riska pada Ronan selama mereka berumah tangga, menggodanya seperti itu hingga gairahnya menjadi menggelegak.Bella merunduk, dan tak segan duduk di pangkuan Ronan sampai bagian dadanya kini tepat di hadapan bosnya itu menantang meskipun masih tertutup kemeja yang dikenakan wanita tersebut."Aku sedang sibuk, Bella, nanti saja," tolak Ronan, tapi kedua matanya terus menatap bagian dada Bella seolah menginginkan bagian itu pada sang pemilik."Nanti aja? Tapi, mata kamu ke dadaku? Yakin, nanti aja?"Godaan Bella semakin membuat gairah Ronan semakin tidak terkendali. Pria itu menelan salivanya kembali pertanda ia benar-benar sedang terangsang sekarang.Satu tangannya meraih tengkuk perempuan itu hingga bibir mereka beradu, namun sebelum Ronan menikmati bibir sekretarisnya tersebut, Bella menarik diri."Aku minta uang, dong, bisa kan? Ada tas yang ingin aku beli."Wanita itu bicara tepat di hadapan Ronan dengan jarak wajah dan bibir yang sangat dekat hingga hembusan napas mereka saling menyapa wajah satu sama lain."Uang? Oke, kamu minta berapa?" kata Ronan masih fokus pada bibir dan dua area sensitif Bella yang membusung di hadapannya."100 juta? Ada?" jawab Bella dengan senyum menggodanya kembali.Ronan terdiam sesaat."Kenapa? Tidak punya?" tanya Bella sambil memajukan mulutnya seolah merajuk."Tapi bisa main?" tawar Ronan dan Bella mengangguk cepat."Ya, sudah, nanti aku transfer ke rekening kamu!"Sambil bicara begitu, Ronan kembali menarik tengkuk Bella agar bibir mereka bertemu, tapi, wanita seksi itu lagi-lagi menahan."Transfer dulu, baru aku kasih," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Ronan."Berikan dulu, kau pikir aku berbohong? Apa pernah aku berbohong?"Ronan bertahan dengan keinginannya yang minta dipuaskan dahulu baru ada bayaran, mumpung sekarang hatinya sedang kesal dengan Riska sang istri."Enggak, sih! Tapi, nanti kamu bilang itu buat istri kamu, kan aku yang rugi!""Kalau kamu memberikan apa yang aku mau, meskipun itu jatah Riska, aku akan memberikannya padamu.""Waaah, benarkah? Tumben? Kemarin kamu ngotot enggak mau ambil jatah istri kamu buat aku?""Hari ini aku sedang kesal dengan dia, jadi ini pengecualian.""Sering-sering aja kalau gitu kesal sama dia, biar kalian cerai, terus kita bersama.""Tidak bisa, meskipun kesal, aku dan dia tidak boleh bercerai."Ronan menarik tengkuk Bella kembali agar mereka bisa segera berciuman namun Bella masih membuat pertahanan dengan menekan dua tangannya di dada pria itu karena ia masih ingin bicara."Meskipun dia tidak bisa memberikan anak untuk kamu? Maksudku, anak laki-laki?""Itu sedang diusahakan, asal dia mau hamil lagi, aku yakin anak laki-laki akan lahir.""Terus? Apakah dia mau hamil lagi? Anak kalian masih kecil-kecil, aku yakin hari ini kamu badmood karena kamu dan dia bertengkar masalah itu, kan? Anak kalian masih kecil-kecil, aku yakin dia tidak akan mau hamil lagi untuk waktu dekat ini, apakah selama itu kamu akan terus menunggu? Terus, aku bagaimana? Hubungan kita ini seperti apa, Ronan?""Hubungan kita seperti apa? Ya, seperti ini, sama-sama membuat sesuatu yang menyenangkan."Sambil bicara demikian, Ronan kembali menarik tengkuk Bella, namun lagi-lagi, Bella mempertahankan jarak, karena merasa tidak puas dengan apa yang sudah diucapkan oleh Ronan."Jadi, selamanya aku cuma partner senang-senang kamu? Hubungan kita enggak punya masa depan? Gitu?""Bella, meskipun begitu, kau juga aku berikan uang untuk kebutuhan kamu, kan? Kau mau apa, aku berikan, apakah itu tidak cukup?""Bagaimana kalau istri kamu tidak pernah melahirkan anak laki-laki selamanya?"Ronan menyentakkan tubuh sintal Bella yang tadinya sudah duduk di pangkuannya ketika perempuan itu bicara demikian.Ini membuat Bella terkejut. Tidak suka dengan perbuatan kasar Ronan yang seperti tadi."Kamu kebiasaan, deh! Kasar! Aku enggak suka!" rajuk Bella, dan itu tidak membuat Ronan jadi merasa bersalah pada perempuan tersebut.Ia menatap tajam ke arah sang sekretaris, seolah ingin menegaskan bahwa ia memang sedang
Ronan, melangkah ke arah mereka dengan wajah yang dingin seolah marah pada keduanya."Coba ulangi apa yang sedang kalian bicarakan?" katanya pada Rifky terutama pada Pasha, yang tidak dikenal oleh Ronan.Pasha menundukkan kepalanya sesaat ke arah Ronan meskipun itu tidak ditanggapi oleh pria tersebut."Maaf, bukan bermaksud untuk kurang ajar, tapi begitulah menurut saya, rekan saya ini cerdas, awalnya juga posisinya bukan sebagai karyawan biasa, begitu saya ke sini, sudah berganti posisi, wajar, jika saya mempertanyakan hal itu.""Wajar? Wajar dari mana? Sudahlah, kau ini orang luar, karyawanku juga bukan, kenapa ikut campur? Hanya karena kau teman Rifky? Kau pikir, bisa memberikan pendapat terkait masalah perusahaan? Jangan bermimpi!"Setelah bicara demikian, Ronan beralih menatap ke arah Rifky yang saat itu berusaha untuk membuat Pasha tidak lagi meladeni sang kakak ipar."Kau tahu cara menjaga nama baik keluarga, bukan?" katanya dengan nada dingin pada Rifky. Rifky tersenyum getir
Setelah bicara demikian, Ronan berlalu dari hadapan sang istri, lalu beranjak masuk ke kamarnya, tapi, sebelum ia masuk ke kamar, pria itu berbalik dan menatap ke arah sang istri dengan sorot mata menuntut."Bersihkan diri kamu, layani aku, aku tidak mau kamu masuk kamar dengan penampilan bikin mata sakit seperti itu!" katanya lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan keras, seolah ingin menegaskan bahwa ia sedang emosi sekarang ini.Riska menghela napas panjang. Sesak. Bukannya mengkhawatirkan anak-anak mereka yang sedang sakit, sang suami justru melakukan hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya, benar-benar di luar perkiraan.Wanita itu melangkah menuju kamar sang anak yang bersebelahan dengan kamarnya dengan sang suami, untuk memeriksa keadaan anak-anak mereka yang sedang sakit apakah aman-aman saja?Ketika Riska membuka pintu kamar sang anak, Reva, anak sulungnya terlihat duduk di atas tempat tidurnya, membuat Riska buru-buru masuk dan menghampiri."Ada, apa Kakak
Riska menulikan telinganya. Mau bagaimana? Bukan bermaksud kurang ajar, namun jika ia menanggapi ucapan sang suami, yang ada pasti hanya pertengkaran mereka yang semakin meruncing.Akan berdampak tidak baik bagi fisik dan psikis sang anak, itu sebabnya, Riska memilih untuk tidak merespon, ia segera beranjak keluar sambil menggendong Rara yang masih saja terus menangis.Kembali masuk ke kamar sang anak, dan buru-buru membaringkan Rara ke atas tempat tidurnya. Kedatangan Riska dengan sang adik membuat Reva yang tadinya sudah mulai tidur terbangun lagi.Bocah perempuan itu, menatap ke arah ibunya, lalu ke arah adiknya, memperhatikan sang ibu yang sibuk menenangkan adiknya yang masih menangis.Karena Rara tidak juga kunjung berhenti, Reva perlahan bangkit, turun dari tempat tidur lalu melangkah tertatih ke arah tempat tidur sang adik di mana ada ibunya dan Rara di sana.Tertatih, karena tubuhnya sendiri masih belum banyak energi, hingga untuk berjalan, Reva harus demikian."De, udah jang
"Kamu benar-benar tidak peduli dengan anak-anak kamu, Ron? Darah daging kamu sendiri? Reva aja peduli dengan kamu, tapi kenapa kamu bersikap kasar sama dia?"Riska bukannya melakukan apa yang diperintahkan sang suami untuk membersihkan dirinya, tapi justru mencoba untuk membuka hati dan pikiran suaminya itu bahwa apa yang dilakukan sang suami sudah sangat keterlaluan."Kamu tahu alasannya? Buat apa aku menjawab pertanyaan kamu itu lagi!""Pi, apakah kalau aku hamil lagi, kamu akan berhenti bersikap kasar pada anak-anak?" "Asalkan anak yang kau kandung dan lahirkan nanti anak laki-laki, aku tidak akan mempersoalkan kehadiran Reva dan Rara lagi."Wajah Riska berubah mendengar janji yang diucapkan oleh sang suami. Sebuah harapan terbersit di benak Riska. Jika hamil lagi membuat Rara dan Reva akhirnya mendapat perhatian dan kasih sayang oleh ayah mereka, kenapa ia menolak untuk hamil kembali?Sebenarnya, Riska bukan menolak. Hanya saja jarak anak-anaknya sedikit dekat, hingga ia sedikit
"Keterlaluan kamu!" Ronan tidak peduli dengan umpatan yang dilancarkan oleh sang istri. Ia tetap menjalankan hasratnya yang sudah membubung sejak tadi. Meskipun sudah mencapai puncak, tetap saja Ronan meminta lebih. Tidak peduli Riska yang lelah dan memikirkan anak-anak mereka yang sedang sakit, pria itu tetap bergairah saat menyentuh sang istri untuk yang kesekian, hingga akhirnya, mereka benar-benar terkulai ketika Ronan untuk yang kesekian kembali mencapai pelepasan puncaknya lagi.Setelah beberapa saat hanya diam dengan tubuh tanpa sehelai benangpun, Riska perlahan bangkit. Sambil meraih pakaian handuk yang dilepaskan oleh sang suami sebelum mereka berhubungan intim tadi.Dipandanginya Ronan yang terbaring kelelahan di sebelahnya. Perlahan, ditepuknya punggung sang suami."Kamu enggak mandi dulu, baru tidur?" tanyanya pada Ronan dengan suara perlahan."Entar saja, aku tidur dulu."Pria itu menyahut malas, sambil memperbaiki posisi tidurnya."Tapi, lebih baik bersihkan diri dulu,
Adit yang mendengar ucapan polos Rara jadi tersenyum. Ia mengacak puncak kepala bocah itu dengan gemas."Iya, rumah Om Rizky jadi bagus ya, biar om tidurnya tenang, iya?"Rara mengangguk malu-malu. Membuat Adit semakin gemas dengan tingkah anak Riska tersebut."Anak lu lucu, pinter, cantik kayak nyokapnya."Riska tersenyum getir mendengar pujian yang dilontarkan oleh Adit. Andai saja ucapan itu keluar dari mulut Ronan, aku bahagia sekali, nyatanya, ayahnya sendiri aja ngerasa anak ini justru beban buat dia....Hati Riska bicara demikian sambil menatap Adit yang mengajak Rara bicara dengan gayanya yang lucu. Sebagai sahabat almarhum Rizky, Adit memang sudah sangat akrab dengan Riska dan keluarganya. Adit juga sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh keluarga Riska hingga jika kebetulan bertandang ke Yogyakarta, Adit justru diminta menginap di rumah. Itu dilakukan ketika Riska dan Rifky belum menikah hingga Adit merasa asyik saja menginap ketika anggota keluarga Riska berkumpul
Riska diam mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Adit. Rasanya hati dan perasaannya jadi sesak, dan ia sulit untuk menguasai diri. Sebelah hatinya meronta ingin mencurahkan segalanya pada sahabatnya tersebut, namun sebelah hatinya yang lain menahan agar ia tidak gegabah siapa tahu apa yang sekarang menimpanya adalah ujian kecil dan sikap Ronan akan kembali seperti awal mereka menikah nantinya."Kagak papa, gue baik-baik aja kok, Rara lagi kurang sehat, dia emang kagak demam lagi, tapi sekarang Rara masih pemulihan, gue ngajak dia keluar buat cari udara segar, jadi kagak ada yang harus dikhawatirkan."Adit menghela napas. Rasanya ia tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Riska, tapi untuk mendesak, Adit sadar, itu juga bukan sikap yang baik.Akhirnya, Adit menyerah. Ia hanya berpesan agar Riska tidak memendam masalah sendiri, karena meskipun sekarang mereka sudah sama-sama sudah berumah tangga, tetap saja hubungan persahabatan tidaklah akan dilupakan begitu saja, apalagi me