Ditanganku ada cek dari mas Farhan 50 juta. Tentu dengan mudah aku bisa memberikannya, tapi aku tidak yakin jika masalah ini akan selesai begitu saja. Pasti lambat laun, dia akan kembali untuk meminta bantuan lain yang mungkin menggangguku.“Alea, ibu mohon kepadamu, ibu kasihan dengan Ratih. Dia hamil tanpa suami, bagaimana dengan tanggapan tetangga sekitar? Apalagi mendengar suaminya ini masuk penjara. Alea … kamu kan sudah sukses, uang segitu sangat kecil bagimu bukan?” pintanya.“Kecil? Kenapa ibu merendahkan sebuah nilai dari uang? 50 juta itu besar buat Alea, Bu. Bahkan dengan uang segitu, bisa untuk membayar gaji para pekerja disini. Apakah ibu tidak ingat berapa gaji Alea waktu Alea bekerja menjadi tukang cuci piring? Jika Ratih ingin mendapatkan uang sebesar 50 juta, baik! Alea akan memberikannya–.”“Benar? Ibu senang kamu memiliki hati yang tulus untuk membantu Ratih. Ibu berdoa agar restoranmu berkembang semakin pesat dan semakin ramai–,” potong
“Syaratnya mudah, bekerjalah padaku sebagai tukang cuci piring. Sebulan aku beri gaji UMR Jakarta, 3,5 juta ditambah transport dan uang makan. Total 5 juta, jadi selama 10 bulan, kamu akan mendapatkan total 50 juta,” ucapku.“Apa? Mbak ini mau memerasku apa?”“Apa memerasmu? Hahaha, jika kamu ingin uang, tidak ada jalan pintas selain bekerja. Aku memberikan keringanan kepadamu karena kamu sedang hamil dan kamu adalah mantan adik Iparku. Aku akan memberikanmu waktu selama 5 bulan lamanya, dengan ketentuan mendapatkan gaji sebulan 10 juta. Apakah kamu bersedia?”“Cih! Nyesel aku datang kemari karena ibu! Gak sudi aku bekerja sebagai pencuci piring!” Ratih kembali ke mejanya dan mengambil tas dan kacamata hitamnya lalu pergi begitu saja dari restoran.Evan yang melihat Ratih pergi, lalu berlari menghampiriku. “Gimana, mbak?”“Dia ingin uang, tapi dia tidak mau bekerja. Dimana-mana? Tidak bekerja tidak akan dapat uang, bukan? Enak saja.”
“Kok bisa salahnya aku?” tanyaku tidak terima dituduh seperti itu.“Kamu sebaiknya ikut, Dek! Biar tahu kesalahan kamu! Bu, ayo cepat Ratih sudah harus mau dikuret. Tadi pendarahannya banyak banget!” ujar mas Farhan sambil menyeret aku dan ibunya masuk ke dalam mobil.Terpaksa, aku ikut ke dalam mobil mas Farhan walau duduk di kursi belakang. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, mas Farhan nyetir bagai kesetanan, mengklakson setiap mobil agar menyingkir. Ibunya, terus menerus menangisi Ratih. Sedangkan aku, aku hanya berpegangan dan berdoa, agar kita semua tidak masuk ke IGD karena cara nyetirnya mas Farhan.Dalam waktu 15 menit, mas Farhan tiba di rumah sakit Pelita Harapan, langsung membuka pintu diikuti oleh aku dan ibu, lalu mempercepat langkahnya menuju ruang IGD.“Suster, bagaimana dengan adik saya?” tanya mas Farhan pada salah satu suster yang sedang duduk di meja informasi IGD.“Atas nama?”“Ratih.”“Oh seda
Ratih berteriak histeris, membuat kaget 2 pasien yang diujung. Menangis dan berteriak. Bu Aminah mencoba menenangkannya dan mas Farhan pun datang sambil membawa kantong kresek.“Hei, hei hei! Ratih! Kenapa?” tanya mas Farhan.“Kenapa orang ini ada disini mas! Suruh dia pergi!” usir Ratih menunjuk kepadaku.“Jika masalah ini tidak mau diselesaikan, ya sudah. Aku pergi saja!” ucapku tidak masalah.“Tunggu!” cegah mas Farhan. “Aku ingin tahu apa yang terjadi hingga Ratih berbuat demikian!” ancam Farhan dengan tatapan tajamnya.“Tanyakan pada adikmu, untuk apa meminta uang 50 juta dariku?” tanyaku kepada Ratih yang tampak ketakutan sambil memeluk ibu Aminah.“Jawab Ratih! Untuk apa uang 50 juta itu!!” gertak mas Farhan. “Ratih bilang, dia mau bayar jaminan Joko agar bisa keluar dari penjara! Dia butuh uang itu, tapi si Alea ini hanya menghinanya dengan menyuruhnya menjadi tukang cuci piring!” ucap Bu Aminah.“
Mendengar pak Calvin mau melamar seseorang, terus terang ada rasa cemburu terutama ketika Shasha yang sudah membuat aku menyayanginya tiba-tiba harus berpisah. “Ah, kenapa rasa sakitnya seperti kehilangan janin sendiri?” gumamku.“Jadi?” tanya Bu Kemala.“Eh? Astagfirullah aku malah melamun!” batinku. “Iya, Bu. Rencananya gimana?” Aku belajar untuk fokus mendengarkan ibu Kemala ini.“Jadi, acaranya hari Sabtu depan, Ibu booking tempat ini satu tempat. Ibu ingin, acaranya di taman, jadi seperti party garden itu. Acaranya jam 6 malam. Yang datang tidak terlalu banyak, hanya pihak keluarga dan teman dekat saja. Ibu ingin ada dekorasinya sedikit, trus ada lampu-lampu agar sedikit romantis. Lalu makanannya, ibu serahkan kepada nak Alea saja. Yang terpenting, menu lengkap ada makanan utama, kue-kue, dessert, dan buah. Perkiraan yang datang sekitar 20-30 orang maksimalnya. Soal biaya, tidak usah dipikirkan, nanti ibu akan transfer. Bagaimana?”Aku m
“Apa nikah sama kamu, Van! Jangan bercanda!” tolakku sambil terkekeh. “Gak kok mbak, aku serius! Kita memang sepupuan, tapi apa salah? Lagian kita sepupuan dari jalur ibu. Jadi bukan incest kan? Apa mbak gak pernah berpikir kalau aku selalu mengikuti mbak dari mulai SMK yang sama, ambil jurusan yang sama di Paris, trus sekarang kerja ditempat yang sama? Aku bahkan menangis semalaman hanya karena mbak Alea menikah dengan mas Farhan. Aku bisa ikhlas, move on ketika aku lihat mbak bahagia dengan pernikahan mbak. Tapi jangan harap setelah perceraian dengan mas Farhan itu membuatku bahagia. Gak mbak! Aku ikut sakit. Aku gak ingin mbak kecewa dan patah hati. Jika mbak gak menemukan pria yang lebih baik, aku mau menikah dengan mbak! Aku sudah ngerti watak mbak. Mbak juga sudah tahu watak aku seperti apa. Jadi, jangan bersedih untuk orang yang belum tentu sayang sama mbak!” Jelas Evan panjang lebar yang membuat aku terbengong-bengong.Evan bangkit dari temp
“Aku, baik-baik saja, kak!” ucapku. Aku tidak ingin kakakku mengetahui apa yang menjadi kegalauan hatiku.“Tadinya aku berharap kalau Calvin bisa dekat denganmu, tapi ternyata dia sudah punya pilihan sendiri.”“Apa sih maksudnya kak Leo? Ingin menjodohkan aku dengan pak Calvin?”“Tadinya …,” candanya sambil tertawa terbahak-bahak.Ah nyesek deh. Lagian walaupun aku suka, tentu saja namanya laki-laki harus ngejar perempuan kan? Apalagi seorang janda, punya masa Iddah. Tapi dibalik itu semua, memang tidak berjodoh saja, dan aku belajar untuk ikhlas. Aku turut bahagia untuk pak Calvin dan Shasha.“Ya sudah, besok kita ketemu. Pak Daman bisa jemput gak ya? Mungkin aku datang langsung ke restoran.”“Bisa, aku besok bakalan sibuk seharian di restoran, jadi pak Daman bisa jemput kak Leo di bandara.”“Ok. Aku akan telepon pak Daman besok,” tutupnya.“Sampai jumpa besok, kak!”Walaupun aku patah hati, aku h
Aku segera memakai baju kebaya dengan bantuan lampu dari ponsel. Kulihat jam sudah hampir jam 6 malam, lampu taman pasti gelap karena mati lampu. Yang aku pikirkan, apakah Evan sudah mengurus genset? Aku harus mencari Evan sekarang! Jangan sampai Bu Kemala kecewa masalah ini.“Mbak! Mbak!” Suara Evan mengetuk dari luar.“Mati lampu, Van?” tanyaku panik.“Iya, mbak! Dan maaf, aku gak perhatian sama genset. Jadi bahan bakar gensetnya habis,” ucap Evan ikutan panik.“Astagfirullah! Ya sudah, panggil pak Daman untuk membeli bahan bakar sekarang! Kita undur waktunya 30 menit. Aku akan membicarakan dengan Bu Kemala,” ujarku menenangkan Evan, walau aku sendiri sekarang ikut panik, tapi biar bagaimanapun, aku harus profesional dan tetap bertanggung jawab untuk masalah ini.“Baik mbak. Ibu Kemala dan pak Calvin sudah menunggu mbak Alea di depan sana. Mbak jalan lewat lorong itu saja, biar bisa langsung ke depan dan gak lewat tamu,” tunjuk Eva
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva