“Siapa ini?” tanyaku pada orang yang mengirimkan pesan kepadaku.“Maaf, aku Calvin. Kita memang belum sempat bertukar nomor telepon. Jadi aku meminta nomor telepon kamu dari Leo.”“Oh ternyata pak Calvin.” Tanganku sampai bergetar karena dikirimi pesan, tapi aku harus menjaga imageku di depannya bukan?“Maaf pak. Saya tidak tahu, karena saya tidak sembarangan memberikan nomor telepon saya pada orang lain,” jawabku. Tahu kan, sekarang ini banyak banget penipuan yang memakai nomor telepon, tahu-tahu di hack dan dikuras rekening mobile kita.“Tidak apa-apa, kamu siap-siap saja dulu. Aku sedang menunggu Shasha selesai diikat rambutnya.”Aku geli mendengar pak Calvin yang selalu bercerita mengenai anaknya. Sekarang aku membayangkan rambut Shasha diikat, tapi sampai rumah sakit pasti dilepas semua oleh tangan jahil Shasha.“Tapi saya ada sopir, pak Daman,” balasku, tapi tidak dijawab lagi. Mungkin mereka sudah dalam perjalanan ke rumah
Aku melihat ke belakang ke arah sumber suara dan melihat Putri sedang menenteng tas belanjaan keluar dari mall dan menghardik kami yang sedang duduk membelakanginya.Pak Calvin berdiri untuk mencegah amukan Putri untuk mengangguku. Segera saja dia menyeret putri agak jauh ke tempat parkir mobil untuk berbicara berdua dengan pak Calvin. Aku hanya bisa memandanginya, aku tidak tahu apa yang dibicarakan mereka, tapi aku tahu raut muka Putri yang tidak suka denganku. Mungkin sekarang dia semakin membenciku karena aku kedapatan duduk berdekatan dengan pak Calvin.“Astagfirullah … astaghfirullah …” Aku hanya bisa beristighfar, sepertinya kejadian tiba-tiba begini bisa membuat jantungku lemah.Setelah cukup lama aku memperhatikan pak Calvin dan Putri, akhirnya Putri pergi meninggalkan pak Calvin dengan tergesa-gesa. Sedangkan pak Calvin hanya menyugar rambutnya dan dengan lesu kembali ke restoran.Sesampainya pak Calvin di mejaku ini, menu makanan pun su
“Apa? Harta gono gini? Apa mas gak tahu apa itu harga gono gini?” tanyaku dengan emosi.“Tentu saja! Apa yang menjadi kekayaan setelah kita menikah akan menjadi milik kita berdua! Jadi, akan mas gugat restoran itu untuk dibagi 2 sebagai harta gono gini! Tidak hanya restoran! Tapi rumah yang kamu tempati sekarang ini, Alea! Aku tahu, ini bukan rumah kontrakan, tapi rumahmu … atau rumah simpanan dari lelaki yang menolongmu di restoran?” tanya mas Farhan dengan sinis dan mengejek.Entah kenapa pertanyaannya mas Farhan membuatku semakin emosi, tiba-tiba saja tangan ini sudah melayang di pipi mas Farhan. “Jaga ucapanmu, mas Farhan!”Mas Farhan kaget, aku berani menamparnya. Dengan mata melotot dan menunjuk kepadaku terlihat dirinya mempunyai rasa dendam padaku. “Ingat Alea, aku akan mencatatnya hal ini! Kamu sudah melakukan kdrt pada suamimu ini! Aku akan membuat laporan!” ucap mas Farhan dan dia pergi begitu saja menggunakan mobilnya.
“Ada apa sih Bu Aminah datang ke restoran ini?” tanyaku pada Evan. Evan hanya menggeleng, tidak tahu.“Kamu tahu kan mbak keluarganya seperti apa. Jangan sampai bikin keributan!” bisiknya lagi.“Baiklah, aku akan menemuinya.” Evan tersenyum lega. Aku pun berpamitan pada pak Hotman karena ada tamu lain yang harus kutemui, dan pak Hotman tidak mempermasalahkannya, tapi dia ingin makanannya dibungkus untuk dinikmati juga oleh keluarganya.“Baiklah, pak. Evan, tolong urus makanan pak Hotman untuk ditake away yah,” perintahku.“Baik, mbak.”“Terima kasih Bu Alea. Terima kasih untuk jamuannya, sebenarnya aku tidak nyaman untuk makan sendirian, tapi mengajak keluarga kemari juga tidak etis karena kita membahas masalah pekerjaan. Jadi sebaiknya aku bawa pulang saja.”“Maafkan aku pak, karena ada ibu dari mas Farhan datang kemari, aku menjadi merasa tidak enak untuk meninggalkan pak Hotman sendirian.”“Ah Bu Alea, tidak apa-
Ditanganku ada cek dari mas Farhan 50 juta. Tentu dengan mudah aku bisa memberikannya, tapi aku tidak yakin jika masalah ini akan selesai begitu saja. Pasti lambat laun, dia akan kembali untuk meminta bantuan lain yang mungkin menggangguku.“Alea, ibu mohon kepadamu, ibu kasihan dengan Ratih. Dia hamil tanpa suami, bagaimana dengan tanggapan tetangga sekitar? Apalagi mendengar suaminya ini masuk penjara. Alea … kamu kan sudah sukses, uang segitu sangat kecil bagimu bukan?” pintanya.“Kecil? Kenapa ibu merendahkan sebuah nilai dari uang? 50 juta itu besar buat Alea, Bu. Bahkan dengan uang segitu, bisa untuk membayar gaji para pekerja disini. Apakah ibu tidak ingat berapa gaji Alea waktu Alea bekerja menjadi tukang cuci piring? Jika Ratih ingin mendapatkan uang sebesar 50 juta, baik! Alea akan memberikannya–.”“Benar? Ibu senang kamu memiliki hati yang tulus untuk membantu Ratih. Ibu berdoa agar restoranmu berkembang semakin pesat dan semakin ramai–,” potong
“Syaratnya mudah, bekerjalah padaku sebagai tukang cuci piring. Sebulan aku beri gaji UMR Jakarta, 3,5 juta ditambah transport dan uang makan. Total 5 juta, jadi selama 10 bulan, kamu akan mendapatkan total 50 juta,” ucapku.“Apa? Mbak ini mau memerasku apa?”“Apa memerasmu? Hahaha, jika kamu ingin uang, tidak ada jalan pintas selain bekerja. Aku memberikan keringanan kepadamu karena kamu sedang hamil dan kamu adalah mantan adik Iparku. Aku akan memberikanmu waktu selama 5 bulan lamanya, dengan ketentuan mendapatkan gaji sebulan 10 juta. Apakah kamu bersedia?”“Cih! Nyesel aku datang kemari karena ibu! Gak sudi aku bekerja sebagai pencuci piring!” Ratih kembali ke mejanya dan mengambil tas dan kacamata hitamnya lalu pergi begitu saja dari restoran.Evan yang melihat Ratih pergi, lalu berlari menghampiriku. “Gimana, mbak?”“Dia ingin uang, tapi dia tidak mau bekerja. Dimana-mana? Tidak bekerja tidak akan dapat uang, bukan? Enak saja.”
“Kok bisa salahnya aku?” tanyaku tidak terima dituduh seperti itu.“Kamu sebaiknya ikut, Dek! Biar tahu kesalahan kamu! Bu, ayo cepat Ratih sudah harus mau dikuret. Tadi pendarahannya banyak banget!” ujar mas Farhan sambil menyeret aku dan ibunya masuk ke dalam mobil.Terpaksa, aku ikut ke dalam mobil mas Farhan walau duduk di kursi belakang. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, mas Farhan nyetir bagai kesetanan, mengklakson setiap mobil agar menyingkir. Ibunya, terus menerus menangisi Ratih. Sedangkan aku, aku hanya berpegangan dan berdoa, agar kita semua tidak masuk ke IGD karena cara nyetirnya mas Farhan.Dalam waktu 15 menit, mas Farhan tiba di rumah sakit Pelita Harapan, langsung membuka pintu diikuti oleh aku dan ibu, lalu mempercepat langkahnya menuju ruang IGD.“Suster, bagaimana dengan adik saya?” tanya mas Farhan pada salah satu suster yang sedang duduk di meja informasi IGD.“Atas nama?”“Ratih.”“Oh seda
Ratih berteriak histeris, membuat kaget 2 pasien yang diujung. Menangis dan berteriak. Bu Aminah mencoba menenangkannya dan mas Farhan pun datang sambil membawa kantong kresek.“Hei, hei hei! Ratih! Kenapa?” tanya mas Farhan.“Kenapa orang ini ada disini mas! Suruh dia pergi!” usir Ratih menunjuk kepadaku.“Jika masalah ini tidak mau diselesaikan, ya sudah. Aku pergi saja!” ucapku tidak masalah.“Tunggu!” cegah mas Farhan. “Aku ingin tahu apa yang terjadi hingga Ratih berbuat demikian!” ancam Farhan dengan tatapan tajamnya.“Tanyakan pada adikmu, untuk apa meminta uang 50 juta dariku?” tanyaku kepada Ratih yang tampak ketakutan sambil memeluk ibu Aminah.“Jawab Ratih! Untuk apa uang 50 juta itu!!” gertak mas Farhan. “Ratih bilang, dia mau bayar jaminan Joko agar bisa keluar dari penjara! Dia butuh uang itu, tapi si Alea ini hanya menghinanya dengan menyuruhnya menjadi tukang cuci piring!” ucap Bu Aminah.“
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva