Beranda / Lain / BUKAN MENANTU BODOH / Permainan dimulai

Share

Permainan dimulai

#BUKAN_MENANTU_BODOH

#PART_6

Semalaman aku menyusun rencana untuk hari ini, dan aku yakin semua akan berjalan dengan sempurna. Mas Aksa, Dinda dan Ibu harus bisa mengambil pelajaran dari apa yang mereka tanam.

"Reni ....!" 

Suara ibu menggema, rumah sebesar ini pun masih bisa menjadi tempat beliau berteriak dan suaranya mengisi setiap sudut ruangan.

Aku tak menghiraukan, tak pula berniat menjawab panggilan dari ibu mertuaku.

"Ren, kamu budeg ya!" bentak Ibu yang menghampiriku di dapur.

"Kenapa?" ucapku cuek.

"Kamu itu ya, jam segini baru bangun belum ada masakan. Ibu sudah laper!" sentak ibu sembari melotot.

Aku mengerutkan kening, sepertinya ibu mertuaku memang lupa bahwa aku sudah bukan lagi menantunya sejak ia memasukan wanita jal*ng itu kerumah ini.

"Apa aku tidak salah dengar Bu?" tegasku.

Intonasinya pun aku buat setegas mungkin, agar ibu paham siapa yang menumpang disini.

"Tapi kan kamu masih punya kewajiban memasak dan membereskan rumah!" ucap Ibu masih dengan intonasi tinggi.

"Bu, ini rumah saya. Terserah saya mau diapain ini rumah. Dan soal makan, saya sekarang hidup sendirian kok Bu, saya bisa makan di luar! Ibu suruh aja calon mantu Ibu masak," balasku.

"Hu uf!" 

Ibu pergi dengan wajah penuh kekecewaan. Sesungguhnya, aku tak pernah melakukan hal seperti ini. Aku tak pernah sedikitpun membantah perintah ibu sebelumnya.

Apapun yang ibu mau selalu aku turuti, bahkan terkadang aku juga tetap menurut saat ibu meminta Mas Aksa pergi ke rumah tante nya, yang belakangan aku tahu kalau itu hanya alasan saja untuk menemui Dinda.

"Ren, kamu gak masak?" tanya Mas Aksa saat sampai di dapur.

"Untuk apa Mas?" ucapku sembari mengaduk kopi dalam cangkir yang sudah sedari tadi aku tuang air panas.

"Kan aku biasa sarapan Ren," jelas Mas Aksa.

Aku melirik wajahnya yang terkejut saat kopi dalam tanganku justru aku minum.

"Lho itu bukan buat aku?" tambahnya yang tampak kecewa.

"Lho Mas, calon istri kamu kan ada," sindirku seraya menyeruput kopi.

"Dinda belum bangun," ungkapnya.

"Bangunin lah, aku aja tadi di teriakin kaya maling sama ibu kamu, kenapa Dinda gak di teriakin juga?" ucapku kesal.

"Yaudah lah aku berangkat," pamit Mas Aksa.

Aku hanya menatap punggung Mas Aksa yang semakin menjauh dariku. Sesungguhnya hati ini masih merasa tak rela melepasnya tapi, aku harus tegas. Seorang lelaki yang sudah berani berkhianat dia tidak akan pernah bisa menjaga kepercayaan lagi.

Setelah Mas Aksa pergi, aku mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor. Kantor yang sama tempat Mas Aksa bekerja.

"Mau kemana kamu?" tanya Ibu saat melihat penampilanku rapi.

"Mau ke kantor lah Bu," jawabku datar.

"ha ha ha, kantor?" ejek ibu mertuaku.

"Kenapa?" selidikku.

"Ga apa-apa, semoga keterima kerja ya!" sindir Ibu.

Ibu mengira aku akan melamar pekerjaan? aah sudahlah, siapa perduli. Aku tak ingin beliau mati berdiri di sini saat tahu bahwa perusahaan juga milik keluargaku.

Lagipula untuk apa aku harus menjelaskan semuanya, bukankah malah akan menjadi perhitungan mereka nantinya. Aku tak mau kembali membina rumah tangga dengan Mas Aksa.

Dengan mertua yang bahkan tak perduli dengan hati menantunya sendiri. Ia hanya mementingkan perasaannya sendiri.

Aku tersenyum sinis, lalu pergi tanpa mengucapkan pamit. Biarlah aku membiasakan diri menganggap mereka tak ada di rumah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status