#BUKAN_MENANTU_BODOH
#PART_2
Aku berpura-pura semua baik-baik saja. Akan aku ikuti sampai mana mereka akan mempermainkan aku. Mundur untuk melompat lebih tinggi, ya, begitulah yang akan aku lakukan.
Aku hanya akan mengikuti setiap alur yang mereka suguhkan hingga saatnya nanti mereka akan tahu, siapa aku sebenarnya.
Mas Aksa pulang setelah azan subuh, ia memang sesekali menginap di rumah sakit. Begitulah alasannya setiap kali tidak pulang ke rumah. Awalnya aku percaya karena aku pikir Ibu mertuaku memang sakit tapi, sekarang aku paham mengapa ia lebih senang menghabiskan waktu di luar sana.
Usai mandi, dan melaksanakan salat subuh berjamaah Mas Aksa menggenggam jemariku. Tak ada lagi getar cinta saat tangannya menyentuh telapak tanganku. Hanya ada desir kecewa yang terus mengalir dalam hatiku.
"Dek, mungkin Ibu besok sudah bisa pulang, kamu jangan terlalu banyak tanya-tanya ya," pinta Mas Aksa.
Aku hanya mengangguk, tak ingin mengatakan apapun karena aku tak ingin membuka semuanya saat ini.
"Kamu jadi Mas, nikah sama Dinda?" selidikku.
"Gimana lagi Dek, itu sudah menjadi keputusan Ibu. Permintaan terakhir Ibu," tegasnya.
Aaah, rasanya nyeri sekali hatiku mendengar jawaban itu keluar dari mulut lelaki yang masih sah menjadi suamiku.
"Tolong ya Dek, kamu mengerti, sedikit saja kalau ini semua demi Ibu," jelasnya.
Kali ini, aku hanya diam. Dulu, sebelum aku tahu jika semuanya hanya sebuah sandiwara, aku selalu menentang dan berdebat yang ujungnya hanya akan membuatku kecewa.
"Keputusan Ibu, permintaan Ibu."
Begitulah Mas Aksa terus memberikan pembelaan. Sungguh aku tak mengerti tentang hatinya.
Jika memang ia ingin menikahi Dinda, bukankah ia bisa menceraikan aku? tapi, mengapa ia justru membuat ini semua semakin sulit.
Aaah, aku lupa jika Mas Aksa tak pernah memberitahu ibunya tentang pekerjaan sesungguhnya.
Selama ini, Ibu selalu menganggap aku adalah benalu. Mas Aksa yang bekerja dan menafkahi aku serta ibu. Gaji Mas Aksa memang mencapai angka sepuluh juta perbulan. Nilai yang fantastis sebagai seorang karyawan baru.
Dari situlah, ibu selalu menganggap bahwa Dinda lebih pantas mendampingi Mas Aksa dari pada aku.
Menurut beliau, aku hanya akan mempermalukan Mas Aksa jika di bawa saat acara kantor yang mengharuskan membawa pasangan. Terkadang aku berpikir, tak pernahkah ibu mertuaku berpikir sejenak jika ia berada di posisiku?.
Apa salahku pada beliau? lagipula menikah dengan Mas Aksa juga buka serta merta pilihanku. Semua atas kesepakatan Mas Aksa dan aku.
Dinda memang cantik, Mas Aksa pernah menggambarkan sosoknya saat bercerita tentang Dinda kala pertama kali Ibu menyebut namanya.
Dari gaya bicara Mas Aksa, aku memang yakin masih ada perasaan yang terpendam dalam hatinya. Namun, aku pikir itu wajar karena menceritakan seseorang yang pernah dekat dengannya.
Akhirnya, semua malah menyerang ku. Meski aku belum pernah bertatap muka langsung dengan Dinda, aku yakin ia lebih baik dariku.
Namun, tak pernahkah Ibu dan Mas Aksa menyadari tentang penampilanku? aku rela bergaya seadanya karena Ibu yang selalu ingin hidup mewah. Bahkan Ibu memiliki grup sosialita sehingga gaji Mas Aksa yang seharusnya cukup besar terlihat begitu sedikit karena pengeluaran yang membludak.
"Mas, mengapa kau tak menceraikan aku saja?" cercaku.
"Apa sih kamu Dek, Mas gak akan pernah menceraikan kamu Dek!" ucapnya mantap.
"Tapi Mas, aku tak sanggup di madu," ucapku tegas.
'Tahan Rena, tahan ... jangan ada air mata yang jatuh di depan Mas Aksa!' batinku.
"Dek, Mas akan bersikap adil, Mas janji!"
Mas Aksa berusaha merayuku. Namun, hatiku sudah terlanjur sakit mendengar perkataan mereka di rumah sakit. Rasanya aku tak sanggup lagi percaya pada omongan Mas Aksa.
Aku yakin, ada sesuatu yang Mas Aksa sembunyikan sehingga menolak menceraikan aku. Apalagi, terdengar tawanya jelas membuktikan hatinya baik-baik saja saat ini.
Aku biarkan ia menang saat ini tapi, tunggulah aku tidak akan membiarkan suami dan ibu mertuaku terus tertawa di atas luka hatiku.
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_3Hari ini, Mas Aksa rencananya akan membawa Ibu pulang dari rumah sakit. Ia memintaku memasak makanan kesukaan ibu, yakni soto ayam.Sesungguhnya sakit dalam hatiku membuat aku sedikit ragu memberikan masakan untuk beliau tapi, sudahlah, aku harus bisa melewati ini semua.Suara deru mesin memasuki halaman rumah sesaat setelah aku selesai memasak dan menyiapkan semuanya."Assalamualaikum," sapa Mas Aksa dari balik pintu."Waalaikumsalam," jawabku seraya berjalan ke arah pintu depan."Mas ...!" ucapku tak percaya.Bukan hanya Mas Aksa dan ibu yang ada di balik pintu tapi, ada seorang wanita cantik pula bersama mereka. Aku yakin, wanita itu yang bernama Dinda. Hatiku terasa perih melihat pemandangan itu. Dinda menggandeng tangan Ibu dengan hati-hati. Matanya sinis menatapku dengan wajah cantik
#BUKAN_MENANTU_BODOH#part_4Sore hari, aku merasa lelah mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri. Jenuh rasanya apalagi Ibu dan Dinda hanya tidur di kamarnya.Rumah ini memang cukup besar tapi, Mas Aksa melarangku mempekerjakan seseorang. Bisa lebih berhemat katanya, apalagi aku memang tidak bekerja jadi aku tak memiliki kesibukan apapun.Sebelumnya, aku tak pernah mengeluh mengerjakan semua seorang diri tapi, semenjak ibu bersikeras meminta Mas Aksa menikah lagi dengan Dinda membuat hatiku sakit dan akhirnya tak rela jika harus mengerjakan semuanya."Kamu masak buat makan malam Ren?" tanya Ibu setengah berteriak."Reni capek Bu, gak masak!" jawabku."Terus Dinda makan apa?" sentak Ibu.Lho! apa-apaan ini? mengapa aku yang harus pusing memikirkan perut Dinda? tidak cukupkah ia mengambil semuanya dari ku dan kini ingi
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_5"Pasti ini cuma akal-akalan kamu aja kan!" sentak Ibu mertuaku."Maksud Ibu?" tanyaku tak percaya.Selama ini, aku selalu mengalah pada seorang wanita yang aku pikir bisa menjadi pengganti sosok Ibu kandungku. Ternyata Ia tak lebih dari seekor ular yang hanya menginginkan orang di sekelilingnya mati."Kamu sakit hati kan, karena Aksa akan saya jodohkan dengan Dinda!" jelas Ibu mertuaku."Kalau itu, iya, jelas saya sakit hati Bu!" ucapku mantap.Aku tatap kedua netra Mas Aksa. Ia tampak ketakutan karena apa yang selama ini ia sembunyikan terbongkar sudah."Dinda, tenang saja, rumah ini akan menjadi milik kamu dan Aksa!" seru ibu mertuaku.Aku hanya tertawa sinis mendengar pembicaraan Ibu dan Dinda. Aaah, memang Dinda hanya mengincar harta Mas Aksa saja."Tidak Bu, rumah ini hadiah pernikahan dari orangtua Reni"Suara Mas Aksa membuat Ibu dan Dinda tercekat. Mereka berdua hanya me
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_6Semalaman aku menyusun rencana untuk hari ini, dan aku yakin semua akan berjalan dengan sempurna. Mas Aksa, Dinda dan Ibu harus bisa mengambil pelajaran dari apa yang mereka tanam."Reni ....!"Suara ibu menggema, rumah sebesar ini pun masih bisa menjadi tempat beliau berteriak dan suaranya mengisi setiap sudut ruangan.Aku tak menghiraukan, tak pula berniat menjawab panggilan dari ibu mertuaku."Ren, kamu budeg ya!" bentak Ibu yang menghampiriku di dapur."Kenapa?" ucapku cuek."Kamu itu ya, jam segini baru bangun belum ada masakan. Ibu sudah laper!" sentak ibu sembari melotot.Aku mengerutkan kening, sepertinya ibu mertuaku memang lupa bahwa aku sudah bukan lagi menantunya sejak ia memasukan wanita jal*ng itu kerumah ini."Apa aku tidak sal
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_7Aku ke kantor menggunakan taksi karena mobil sudah di bawa Mas Aksa terlebih dahulu ke kantor. Meskipun hidup berkecukupan orang tuaku selalu mengajarkan sebuah kesederhanaan."Semua orang pasti bisa hidup bergelimang harta tapi, tidak banyak orang bisa hidup dalam kesederhanaan jadi biasakan hidup sederhana supaya jika Allah mengambil semua titipannya dengan tiba-tiba, kamu sudah tak lagi merasa kaget."Pesan dari ayahku yang selalu aku ingat. Dari situlah, aku memang tak pernah menunjukan kemewahan. Orang tuaku pun tak pernah bergaya layaknya orang berada.Seringkali, ayah hanya dikira karyawan di perusahaannya sendiri. Namun, sudahlah semua harta yang ada hanya sebuah titipan. Tak perlu ada yang harus di sombongkan."Sudah sampai Bu," ucap sopir taksi.Aku tersadar dari lamunan tentang orang tuaku. Perusaha
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_8"Selamat siang semua!" sapa ku pasa semua orang yang tengah duduk di ruang meeting."Reni?"Bahagia sekali aku melihat raut wajah Mas Aksa yang penuh dengan tanda tanya. Ia seolah tak percaya jika aku bisa kembali ke kantor."Silahkan duduk," perintahku."Baiklah, kita mulai rapat hari ini. Namun, sebelumnya izinkan saya untuk mengumumkan bahwa semua kegiatan kantor saya ambil alih! jadi, jika ada laporan atau keluhan bisa langsung hubungi saya atau sekretaris saya ,Vira!"Vira terlihat gugup, karena memang sebelumnya aku belum mengatakan jika aku akan mengangkatnya menjadi sekertaris pribadiku.Semua mata kemudian tertuju pada Mas Aksa. Sorot mata mereka seolah bertanya, "Ada apa? kenapa?".Aku benci harus menjelaskan semua keadaan tapi, setidaknya aku harus mem
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_9"Aku ga apa-apa kok," ucapku sembari mengusap air mata yang masih tersisa di ujung mataku."Sepertinya rumah tangga kamu sedang tidak baik-baik saja Ren?" Tanya Galih.Aku tak menoleh, bahkan tak menjawab apa yang di tanyakan Galih. Meski Mas Aksa mendua, bukan berarti aku harus membalasnya dengan cara yang sama. Bagiku, apa bedanya aku dengan Mas Aksa nantinya.Ting!Suara lift berbunyi, pintu terbuka dan aku keluar karena memang sudah sampai di lobby."Ren, tunggu!" cegah Galih."Kenapa Lih? apapun masalahku, aku merasa tidak bisa menceritakannya dengan kamu. Tolong hargai aku, aku wanita bersuami." tegasku.Galihpun hanya terdiam, ia menyerah memaksa aku menceritakan masalahku. Sudah banyak yang aku dengar tentang masalah rumah tangga berujung petaka hanya karena me
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_10"Untung Ibu nyuruh Aksa buat ceraikan kamu aja, bisa cepat mati ibu punya mantu kayak kamu!" ucapan pedas itu keluar lagi dari mulut seorang wanita yang seharusnya bisa menjadi panutan.Kata-kata itu selalu aku dengar sejak ibu bertemu dengan Dinda lagi setelah beberapa tahun mereka tidak bertemu. Aku tak pernah habis pikir, sebegitu ingin ibu menjadikan Dinda sebagai menantu.Bahkan, ibu tidak pernah tahu bagaimana sikap Dinda dan bagaimana nantinya. Iri, ya terkadang aku iri dengan Dinda. Mengapa ia bisa mendapatkan hati ibu sepenuhnya, sedangkan aku yang setiap hari berusaha melayani semuanya, mengorbankan segalanya, bahkan tak terlihat sedikitpun."Tunjukan ke Reni kalau kamu juga bisa beli rumah seperti ini Mas! toh kamu kan juga kerja di perusahaan kamu udah lama, kamu bisa pinjam uang perusahaan dulu," usul Dinda."Benar i