#BUKAN_MENANTU_BODOH
#part_4
Sore hari, aku merasa lelah mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri. Jenuh rasanya apalagi Ibu dan Dinda hanya tidur di kamarnya.
Rumah ini memang cukup besar tapi, Mas Aksa melarangku mempekerjakan seseorang. Bisa lebih berhemat katanya, apalagi aku memang tidak bekerja jadi aku tak memiliki kesibukan apapun.
Sebelumnya, aku tak pernah mengeluh mengerjakan semua seorang diri tapi, semenjak ibu bersikeras meminta Mas Aksa menikah lagi dengan Dinda membuat hatiku sakit dan akhirnya tak rela jika harus mengerjakan semuanya.
"Kamu masak buat makan malam Ren?" tanya Ibu setengah berteriak.
"Reni capek Bu, gak masak!" jawabku.
"Terus Dinda makan apa?" sentak Ibu.
Lho! apa-apaan ini? mengapa aku yang harus pusing memikirkan perut Dinda? tidak cukupkah ia mengambil semuanya dari ku dan kini ingin aku juga mengerjakan semua untuknya?.
Tidak! aku tidak akan melakukan apapun untuk wanita tak tahu malu itu!.
"Reni!" bentak Ibu.
Mata beliau melotot melihat lekat kedua netraku. Amarah menyelimuti sorot mata beliau.
"Dinda kesini mau jadi mantu kan Bu? kenapa tidak suruh dia yang menyiapkan semua?" tegasku.
Wajah ibu semakin memerah, amarahnya semakin menjadi. Apalagi, Dinda yang ada di sebelahnya justru berdecak malas.
Untuk apa sebenarnya wanita itu disini? ia berharap aku akan melayani semua kebutuhannya? Ooh tidak! jangan bermimpi Dinda!.
"Ada apa ini!" teriak Mas Aksa yang baru saja sampai.
"Istri kamu ini Sa, sudah berani membentak Ibu!" adu ibu pada Mas Aksa.
"Ren ...."
Raut Mas Aksa berusaha menanyakan semuanya.
"Suruh calon istri kamu masak sendiri Mas!" ucapku kesal.
Aku membalikkan badan kemudian berlalu, pergi meninggalkan orang-orang yang telah mendzolimiku.
Sengaja aku banting pintu dengan sekuat tenaga, supaya mereka bisa tahu seberapa sakit hatiku.
Selama ini, aku memang selalu bersikap lemah lembut. Bahkan ketika Ibu selalu membandingkan aku dengan sosok Dinda, aku tetap merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Namun, saat aku tahu mereka mencurangi ketulusan ku, jelas aku tak bisa tetap baik-baik saja.
'Tahan air nata kamu Ren, kuatlah!' batinku.
Aku terus berusaha supaya air mata tak menetes, aku sama sekali tak ingin terlihat lemah di harapan mereka semua.
"Ren, ayolah! Ibu baru sembuh, jangan begitu," pinta Mas Aksa lembut.
Ucapannya memang tampak lembut tapi, ia tak pernah menyadari bahwa ucapannya begitu menyakiti hatiku.
"Bukankah kamu setuju menikah dengan Dinda, jadi biasakan dirimu di rawat oleh Dinda. Bukan aku Mas!" ucapku dengan nada tinggi.
Aku segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, membasuh tubuhku agar bisa berpikir lebih jernih.
"Ren, mari kita bicara," pinta Mas Aksa yang kemudian membawaku ke ruang keluarga.
Ibu dan Dinda sudah duduk bersebelahan, sementara Mas Aksa berusaha duduk di antara mereka.
"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?" tanyaku berpura-pura tak mengerti.
"Seperti yang sudah kamu tahu Ren, Aksa akan menikah dengan Dinda!" cetus Ibu.
Netraku melirik ke arah Mas Aksa. Tak bisakah ia menyampaikan semuanya sendiri, aah pengecut!.
"Kamu yakin akan menikah dengan Dinda, Mas?" cercaku.
Mas Aksa tampak gugup saat aku menanyakan hal tersebut. Mungkin, ia akan berharap aku memohon agar ia tidak menceraikan aku.
"Iya Ren, kamu tahu sendiri kan. Ibu yang bersikeras!" jelas Mas Aksa.
"Baiklah Mas, jika semua sudah final, aku mundur!" terangku.
Wajah Mas Aksa kembali nampak gugup, aku yakin Mas Aksa tak menyangka jika aku akan memilih mundur. Belum lagi, tentang rumah dan perusahaan. Aku yakin, Mas Aksa akan takut kehilangan semuanya.
"Ini, surat tanah dan bangunan rumah ini," ucapku sembari menyodorkan sebuah map berwarna merah.
Wajah Dinda terlihat berseri-seri, mungkin ia berharap bahwa ia akan segera menjadi ratu di rumah ini.
"Rumah ini atas nama kamu Ren?"
Rasanya aku begitu puas melihat wajah ibu yang tersentak kaget melihat kenyataan bahwa rumah yang beliau bangga-banggakan sebagai rumah hasil jeri payah putranya ternyata sah milikku.
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_5"Pasti ini cuma akal-akalan kamu aja kan!" sentak Ibu mertuaku."Maksud Ibu?" tanyaku tak percaya.Selama ini, aku selalu mengalah pada seorang wanita yang aku pikir bisa menjadi pengganti sosok Ibu kandungku. Ternyata Ia tak lebih dari seekor ular yang hanya menginginkan orang di sekelilingnya mati."Kamu sakit hati kan, karena Aksa akan saya jodohkan dengan Dinda!" jelas Ibu mertuaku."Kalau itu, iya, jelas saya sakit hati Bu!" ucapku mantap.Aku tatap kedua netra Mas Aksa. Ia tampak ketakutan karena apa yang selama ini ia sembunyikan terbongkar sudah."Dinda, tenang saja, rumah ini akan menjadi milik kamu dan Aksa!" seru ibu mertuaku.Aku hanya tertawa sinis mendengar pembicaraan Ibu dan Dinda. Aaah, memang Dinda hanya mengincar harta Mas Aksa saja."Tidak Bu, rumah ini hadiah pernikahan dari orangtua Reni"Suara Mas Aksa membuat Ibu dan Dinda tercekat. Mereka berdua hanya me
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_6Semalaman aku menyusun rencana untuk hari ini, dan aku yakin semua akan berjalan dengan sempurna. Mas Aksa, Dinda dan Ibu harus bisa mengambil pelajaran dari apa yang mereka tanam."Reni ....!"Suara ibu menggema, rumah sebesar ini pun masih bisa menjadi tempat beliau berteriak dan suaranya mengisi setiap sudut ruangan.Aku tak menghiraukan, tak pula berniat menjawab panggilan dari ibu mertuaku."Ren, kamu budeg ya!" bentak Ibu yang menghampiriku di dapur."Kenapa?" ucapku cuek."Kamu itu ya, jam segini baru bangun belum ada masakan. Ibu sudah laper!" sentak ibu sembari melotot.Aku mengerutkan kening, sepertinya ibu mertuaku memang lupa bahwa aku sudah bukan lagi menantunya sejak ia memasukan wanita jal*ng itu kerumah ini."Apa aku tidak sal
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_7Aku ke kantor menggunakan taksi karena mobil sudah di bawa Mas Aksa terlebih dahulu ke kantor. Meskipun hidup berkecukupan orang tuaku selalu mengajarkan sebuah kesederhanaan."Semua orang pasti bisa hidup bergelimang harta tapi, tidak banyak orang bisa hidup dalam kesederhanaan jadi biasakan hidup sederhana supaya jika Allah mengambil semua titipannya dengan tiba-tiba, kamu sudah tak lagi merasa kaget."Pesan dari ayahku yang selalu aku ingat. Dari situlah, aku memang tak pernah menunjukan kemewahan. Orang tuaku pun tak pernah bergaya layaknya orang berada.Seringkali, ayah hanya dikira karyawan di perusahaannya sendiri. Namun, sudahlah semua harta yang ada hanya sebuah titipan. Tak perlu ada yang harus di sombongkan."Sudah sampai Bu," ucap sopir taksi.Aku tersadar dari lamunan tentang orang tuaku. Perusaha
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_8"Selamat siang semua!" sapa ku pasa semua orang yang tengah duduk di ruang meeting."Reni?"Bahagia sekali aku melihat raut wajah Mas Aksa yang penuh dengan tanda tanya. Ia seolah tak percaya jika aku bisa kembali ke kantor."Silahkan duduk," perintahku."Baiklah, kita mulai rapat hari ini. Namun, sebelumnya izinkan saya untuk mengumumkan bahwa semua kegiatan kantor saya ambil alih! jadi, jika ada laporan atau keluhan bisa langsung hubungi saya atau sekretaris saya ,Vira!"Vira terlihat gugup, karena memang sebelumnya aku belum mengatakan jika aku akan mengangkatnya menjadi sekertaris pribadiku.Semua mata kemudian tertuju pada Mas Aksa. Sorot mata mereka seolah bertanya, "Ada apa? kenapa?".Aku benci harus menjelaskan semua keadaan tapi, setidaknya aku harus mem
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_9"Aku ga apa-apa kok," ucapku sembari mengusap air mata yang masih tersisa di ujung mataku."Sepertinya rumah tangga kamu sedang tidak baik-baik saja Ren?" Tanya Galih.Aku tak menoleh, bahkan tak menjawab apa yang di tanyakan Galih. Meski Mas Aksa mendua, bukan berarti aku harus membalasnya dengan cara yang sama. Bagiku, apa bedanya aku dengan Mas Aksa nantinya.Ting!Suara lift berbunyi, pintu terbuka dan aku keluar karena memang sudah sampai di lobby."Ren, tunggu!" cegah Galih."Kenapa Lih? apapun masalahku, aku merasa tidak bisa menceritakannya dengan kamu. Tolong hargai aku, aku wanita bersuami." tegasku.Galihpun hanya terdiam, ia menyerah memaksa aku menceritakan masalahku. Sudah banyak yang aku dengar tentang masalah rumah tangga berujung petaka hanya karena me
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_10"Untung Ibu nyuruh Aksa buat ceraikan kamu aja, bisa cepat mati ibu punya mantu kayak kamu!" ucapan pedas itu keluar lagi dari mulut seorang wanita yang seharusnya bisa menjadi panutan.Kata-kata itu selalu aku dengar sejak ibu bertemu dengan Dinda lagi setelah beberapa tahun mereka tidak bertemu. Aku tak pernah habis pikir, sebegitu ingin ibu menjadikan Dinda sebagai menantu.Bahkan, ibu tidak pernah tahu bagaimana sikap Dinda dan bagaimana nantinya. Iri, ya terkadang aku iri dengan Dinda. Mengapa ia bisa mendapatkan hati ibu sepenuhnya, sedangkan aku yang setiap hari berusaha melayani semuanya, mengorbankan segalanya, bahkan tak terlihat sedikitpun."Tunjukan ke Reni kalau kamu juga bisa beli rumah seperti ini Mas! toh kamu kan juga kerja di perusahaan kamu udah lama, kamu bisa pinjam uang perusahaan dulu," usul Dinda."Benar i
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_11"Hai ...!" sapa Galih yang sudah ada di ruang kerjaku.Vira memang sudah tahu tugasnya, jadi tanpa aku suruh ia sudah membereskan ruangan untuk tempat kerjaku."Ngapain kamu disini pagi-pagi?" tanyaku heran."Bos baru nih, proyek kita belum di tanda tangani dudul" ucap Galih santai.Ya, aku, Vira dan Galih memang berteman sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Sampai kami sama-sama kuliah di tempat yang sama, hanya saja keterbatasan biaya membuat Vira akhirnya berhenti dan meneruskan usaha ibunya.Aku yang memang sudah kenal dekat dengan keluarga Vira, langsung meminta ia bekerja di kantor milik ayahku saat aku tahu ia memutuskan untuk berhenti kuliah.Bagaimanapun, aku tahu Vira memiliki prestasi yang baik dan kreativitas nya yang selalu cemerlang."Heh,
#BUKAN_MENANTU_BODOH#PART_12Setelah mendengar perdebatan Mas Aksa dan ibu semalam, aku memutuskan untuk tetap pergi ke kantor pagi ini.Sebenarnya, jabatan Mas Aksa belum resmi di turunkan karena aku berharap Mas Aksa keluar dari kantor tapi, ternyata ia memilih bertahan.Aku tahu penyebabnya, apalagi kalau bukan karena Mas Aksa bukanlah lulusan sarjana yang bisa dengan mudah melamar di sebuah perusahaan. Ia hanya beruntung berada di perusahaan milik keluargaku ini. Sayangnya, ia lupa diri dan memilih menduakan aku."Bosen ngeliat kamu pergi tapi, gak ada hasil Ren! gak capek apa kamu?" sindir Ibu."Usaha itu gak ada yang capek Bu, apalagi aku kan janda. Kalau engga usaha sendiri mau ngandelin siapa?" sindirku balik."Susah ngomong sama perempuan kampung kaya kamu!" sentak Ibu."Yuk Bu!" ajak Dinda.