Adinda meraba dadanya yang terasa sesak. Sudah dua hari semenjak kepergian Alvaro dari rumahnya, tetapi pemikiran tentang laki-laki itu belum sepenuhnya hilang. Wanita itu benar-benar khawatir dengan kondisi Alvaro saat ini. Ia takut terjadi sesuatu yang mungkin saja—tidak, Adinda menggelengkan kepalanya demi menghilangkan pemikiran buruk yang masih saja terus hadir. Jika memang terjadi sesuatu yang buruk pada laki-laki—masih bolehkah ia sebut kekasih? Rasanya tidak. Semenjak ia memutuskan untuk mengkhianati Alvaro dengan menikahi Alvin, rasanya ia tidak lagi pantas menyandang gelar itu. Meski alasan di balik semua pengkhianatan itu adalah demi Alvaro sendiri.
Wanita dengan lesung pipi sebelah kanan itu menghela napas, mencoba untuk terus berpikir positif. Jika memang terjadi sesuatu pada Alvaro, pasti kedua orang tua laki-laki itu akan menemuinya, menyalahkannya, seperti yang selalu ia dapatkan selama ini. Dengan tidak munculnya sosok yang berhubung
Hari-hari berat yang Adinda lalui nyatanya tidak juga berakhir. Ia pikir, setelah segala kesulitan yang pernah dirinya alami, ia bisa melewati kesulitan yang kini ia hadapi dengan lebih tegar. Namun, ia lupa jika dirinya ini hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Adinda benar-benar berada pada titik lelah saat ini. Andaikan saja yang terjadi saat ini serupa permainan, dirinya sudah melambaikan tangan untuk mengisyaratkan berhenti saat ini juga.Mengikuti proses persidangan bukan hal yang mudah karena dengan itu ia harus terus bertemu dengan Alvin. Setiap kali menjejakkan kaki ke dalam lokasi ini dirinya seperti dipaksa untuk berlari kiloan meter. Ia dan Alvin sepakat untuk mengikuti proses persidangan dengan tertib dan sesuai prosedur agar semuanya berjalan cepat.Entah mengapa Adinda merasa Alvin seperti ingin cepat-cepat menyudahi pernikahan mereka. Padahal adakalanya wanita itu menginginkan Alvin menatap matanya, bertanya apakah
Adinda tersenyum miris pada kisah hidupnya yang tak ubahnya seperti cerita sinetron. Orang tua meninggal, terlilit hutang, dihina oleh orang tua kekasih, lalu harus melakukan pengorbanan demi kesembuhan orang yang sangat mencintainya. Dan sekarang, ia harus menyandang status janda di usianya yang baru menginjak 25 tahun. Adinda terkadang berpikir, apakah akan ada hal buruk lain yang menimpanya? Jika iya, mampukah ia bertahan untuk hidup atau pun sekadar untuk berdiri tegak?Sekarang saja kehidupan yang ia jalani terasa hampa. Adinda seperti tidak memiliki tujuan hidup selain bekerja dan membayar utang yang masih tersisa. Entah mengapa utang yang ia bayar ke omnya seperti tidak ada habisnya. Apakah laki-laki yang berstatus adik ayahnya itu menipunya? Sayangnya, Adinda tidak memiliki kuasa untuk menuntut atau pun sekadar mendebat.Adik ayahnya itu terkenal sebagai rentenir yang ditakuti. Dan tidak segan-segan berbuat kasar jika orang-orang tid
"Kamu sudah bangun?" Pertanyaan itu muncul bersama dengan pintu kamar yang terbuka. Di mana di ruangan yang didominasi warna abu dan cokelat itu kini tengah duduk seorang laki-laki dengan cat rambut yang mulai memudar. Keinginan untuk merapikan hal yang dulu sangat ia utamakan kini tidak lagi ada. Bahkan wajah yang biasanya ceria itu kini tampak suram."Mami sudah potongkan buah, kamu makan, ya." Bahkan ucapan wanita yang telah melahirkan laki-laki itu pun tidak mendapat respon. Sudah seperti itu yang terjadi semenjak dua minggu belakangan ini. Atau lebih tepatnya semenjak laki-laki itu dijemput paksa untuk pulang ke rumah yang rasanya masih sama. Penuh kepalsuan dan begitu memuakkan."Mami mau nyiapin bubur sama obat dulu." Tanpa memedulikan tanggapan dingin yang menguar dari diamnya Alvaro, Gisel tampak melenggang ke luar. Namun, kakinya terhenti di ambang pintu saat mengingat sesuatu."Oh ya, nanti jangan lupa kamu ad
Adinda tahu ini salah, tidak seharusnya ia memberi Alvaro harapan, di saat hatinya sendiri mulai gamang. Tidak lagi ada getar hebat setiap kali laki-laki itu ada di dekatnya. Tidak lagi ada jantung yang berdebar, setiap kali laki-laki itu memeluknya. Yang ada hanya seperti beban dalam hidupmya kian bertambah semenjak ia mengangguk sebagai jawaban tidak tersirat dari permohonan yang Alvaro minta."Makasih, ya, Din. Aku akan berjuang lebih lagi kali ini." Alvaro tersenyum lebar, lalu segera memesan minuman kekinian di sebuah kedai yang cukup ramai.Sementara Adinda hanya mengerjabkan matanya. Dari tempat ia duduk untuk menunggu, ditatapnya punggung Alvaro dengan perasaan kosong. Adinda tidak mengerti kenapa ia selalu saja dengan sengaja menjatuhkan dirinya pada lubang masalah. Dan kali ini lagi-lagi lubang masalah yang menganga itu ada pada diri Alvaro. Seharusnya ia menolak permohonan itu, seharusnya ia bisa tegas mengatakan jika hubungan ini
Kosong, sepi, dan tidak memiliki tujuan hidup. Semua rasa itu membuatnya tidak lagi bersemangat dalam menjalani hari. Yang ia lakukan setiap harinya hanya kerja, kerja dan juga kerja. Untuk hal yang satu ini ia tidak boleh lengah karena mengancam kehidupan banyak orang. Juga kehidupan keluarganya yang tidak boleh ikut susah hanya karena dirinya yang terus bersedih dengan keadaan.Sesekali laki-laki itu akan mendatangi makam Sofia jika rindu itu terasa memberat. Entah rindu untuk siapa yang membebaninya kini. Namun, yang jelas semua itu membuat dada Alvin terasa sesak."Kenapa yang aku cintai selalu pergi?" ujar laki-laki itu suatu hari di depan makam Sofia."Apa aku nggak berhak merasakan bahagia dengan hidup bersama seseorang?" lanjutnya dengan wajah sendu. Memori saat bersama Sofia dan Adinda saling tumpang tindih membentuk sakit oleh hal yang Alvin sulit jabarkan."Dulu kamu, sekarang dia." Laki-l
"Kamu pakai ini, ya." Alvaro meletakkan sebuah tas kertas berisi pakaian serta sepatu dan juga tas dengan merk mahal.Adinda tahu jika apa yang Alvaro berikan adalah brand mahal dari logo yang tertera di tas kertas tersebut. Ditatapnya Alvaro dengan pandangan yang membuat laki-laki itu bingung."Kenapa?" tanya laki-laki berwajah oriental itu pada akhirnya karena bukannya mengucapkan sesuatu, Adinda malah hanya diam sembari menatap dirinya."Kamu tahu aku nggak suka cara kayak gini," ujar wanita itu dengan sorot kecewa yang tidak lagi bisa disembunyikan. Dirinya tidak suka dibelikan barang-barang mahal yang tidak bisa ia beli dari uang penghasilannya sendiri. Adinda tidak mau tambah dituduh sebagai wanita yang suka memeras kekasihnya. Apalagi kondisinya sekarang, orang tua Alvaro sudah tidak lagi memiliki penilaian bagus tentangnya.Alvaro yang sebenarnya tahu hal ini akan terjadi tersenyum masam. "Se
"Lama-lama mencurigakan juga, ya." Adinda bukan tidak mendengar bisikan itu. Namun, wanita yang sedang mengolah ayam di dapur rumah makan tempat ia bekerja itu pura-pura tidak mendengar. Sejak tadi ia berusaha untuk menulikan telinganya agar apa yang sedang dibicarakan oleh teman satu pekerjaannya ini tidak mengusik fokusnya."Tapi masak lagi mata-matain rumah makan ini, si. Orang pelanggannya juga belum rame." Obrolan dengan nada berbisik itu masih terdengar, dan Adinda belum berniat untuk ikut masuk ke dalamnya. Fokusnya saja sudah mulai goyah, jangan sampai ia melakukan kesalahan."Tapi ada dugaan juga kalau itu mobil bos. Sengaja tiap hari parkir di situ buat mantau dari kejauhan." Adinda memejamkan mata, mencoba membuang bayangan mobil putih yang terus terparkir di seberang rumah makan di jam sama. Yaitu beberapa waktu sebelum rumah makan ini tutup.Adinda bukan tidak tahu siapa pengendara di balik mobil yang tengah
Adinda sangat menyukai pantai. Ada rasa hangat yang merambat setiap kali gulungan ombak itu seperti saling berkejaran, dan meleburkan diri ke pantai. Ibaratkan anak kecil, mungkin ombak-ombak yang tengah bergelung itu saling mengejar dan berteriak. Ada canda tawa yang tercipta. Hal yang mengingatkannya akan masa lalu, di mana kedua orang tuanya masih hidup.Mungkin karena ia anak tunggal, jadi Adinda tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berbagi kasih sayang. Seluruh kasih sayang yang orang tuanya miliki adalah untuknya. Meski begutu, Adinda tidak pernah bersikap manja dan semaunya sendiri. Dulu, mama papanya selalu mengajarkan dirinya untuk bisa hidup mandiri. Tidak bergantung pada siapa pun. Mungkin itu juga suatau firasat, jika suatu hari ia akan hidup sendiri. Dan hari-hari itu sudah datang, bahkan sudah menemaninya selama beberapa tahun."Kamu inget nggak, kita selalu ke sini setiap akhir minggu?" Pertanyaan itu menyentak lamunan Adi
Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la
Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te
Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku
Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m
Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.
"Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny
Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar
Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.