Adinda tersenyum miris pada kisah hidupnya yang tak ubahnya seperti cerita sinetron. Orang tua meninggal, terlilit hutang, dihina oleh orang tua kekasih, lalu harus melakukan pengorbanan demi kesembuhan orang yang sangat mencintainya. Dan sekarang, ia harus menyandang status janda di usianya yang baru menginjak 25 tahun. Adinda terkadang berpikir, apakah akan ada hal buruk lain yang menimpanya? Jika iya, mampukah ia bertahan untuk hidup atau pun sekadar untuk berdiri tegak?
Sekarang saja kehidupan yang ia jalani terasa hampa. Adinda seperti tidak memiliki tujuan hidup selain bekerja dan membayar utang yang masih tersisa. Entah mengapa utang yang ia bayar ke omnya seperti tidak ada habisnya. Apakah laki-laki yang berstatus adik ayahnya itu menipunya? Sayangnya, Adinda tidak memiliki kuasa untuk menuntut atau pun sekadar mendebat.
Adik ayahnya itu terkenal sebagai rentenir yang ditakuti. Dan tidak segan-segan berbuat kasar jika orang-orang tid
"Kamu sudah bangun?" Pertanyaan itu muncul bersama dengan pintu kamar yang terbuka. Di mana di ruangan yang didominasi warna abu dan cokelat itu kini tengah duduk seorang laki-laki dengan cat rambut yang mulai memudar. Keinginan untuk merapikan hal yang dulu sangat ia utamakan kini tidak lagi ada. Bahkan wajah yang biasanya ceria itu kini tampak suram."Mami sudah potongkan buah, kamu makan, ya." Bahkan ucapan wanita yang telah melahirkan laki-laki itu pun tidak mendapat respon. Sudah seperti itu yang terjadi semenjak dua minggu belakangan ini. Atau lebih tepatnya semenjak laki-laki itu dijemput paksa untuk pulang ke rumah yang rasanya masih sama. Penuh kepalsuan dan begitu memuakkan."Mami mau nyiapin bubur sama obat dulu." Tanpa memedulikan tanggapan dingin yang menguar dari diamnya Alvaro, Gisel tampak melenggang ke luar. Namun, kakinya terhenti di ambang pintu saat mengingat sesuatu."Oh ya, nanti jangan lupa kamu ad
Adinda tahu ini salah, tidak seharusnya ia memberi Alvaro harapan, di saat hatinya sendiri mulai gamang. Tidak lagi ada getar hebat setiap kali laki-laki itu ada di dekatnya. Tidak lagi ada jantung yang berdebar, setiap kali laki-laki itu memeluknya. Yang ada hanya seperti beban dalam hidupmya kian bertambah semenjak ia mengangguk sebagai jawaban tidak tersirat dari permohonan yang Alvaro minta."Makasih, ya, Din. Aku akan berjuang lebih lagi kali ini." Alvaro tersenyum lebar, lalu segera memesan minuman kekinian di sebuah kedai yang cukup ramai.Sementara Adinda hanya mengerjabkan matanya. Dari tempat ia duduk untuk menunggu, ditatapnya punggung Alvaro dengan perasaan kosong. Adinda tidak mengerti kenapa ia selalu saja dengan sengaja menjatuhkan dirinya pada lubang masalah. Dan kali ini lagi-lagi lubang masalah yang menganga itu ada pada diri Alvaro. Seharusnya ia menolak permohonan itu, seharusnya ia bisa tegas mengatakan jika hubungan ini
Kosong, sepi, dan tidak memiliki tujuan hidup. Semua rasa itu membuatnya tidak lagi bersemangat dalam menjalani hari. Yang ia lakukan setiap harinya hanya kerja, kerja dan juga kerja. Untuk hal yang satu ini ia tidak boleh lengah karena mengancam kehidupan banyak orang. Juga kehidupan keluarganya yang tidak boleh ikut susah hanya karena dirinya yang terus bersedih dengan keadaan.Sesekali laki-laki itu akan mendatangi makam Sofia jika rindu itu terasa memberat. Entah rindu untuk siapa yang membebaninya kini. Namun, yang jelas semua itu membuat dada Alvin terasa sesak."Kenapa yang aku cintai selalu pergi?" ujar laki-laki itu suatu hari di depan makam Sofia."Apa aku nggak berhak merasakan bahagia dengan hidup bersama seseorang?" lanjutnya dengan wajah sendu. Memori saat bersama Sofia dan Adinda saling tumpang tindih membentuk sakit oleh hal yang Alvin sulit jabarkan."Dulu kamu, sekarang dia." Laki-l
"Kamu pakai ini, ya." Alvaro meletakkan sebuah tas kertas berisi pakaian serta sepatu dan juga tas dengan merk mahal.Adinda tahu jika apa yang Alvaro berikan adalah brand mahal dari logo yang tertera di tas kertas tersebut. Ditatapnya Alvaro dengan pandangan yang membuat laki-laki itu bingung."Kenapa?" tanya laki-laki berwajah oriental itu pada akhirnya karena bukannya mengucapkan sesuatu, Adinda malah hanya diam sembari menatap dirinya."Kamu tahu aku nggak suka cara kayak gini," ujar wanita itu dengan sorot kecewa yang tidak lagi bisa disembunyikan. Dirinya tidak suka dibelikan barang-barang mahal yang tidak bisa ia beli dari uang penghasilannya sendiri. Adinda tidak mau tambah dituduh sebagai wanita yang suka memeras kekasihnya. Apalagi kondisinya sekarang, orang tua Alvaro sudah tidak lagi memiliki penilaian bagus tentangnya.Alvaro yang sebenarnya tahu hal ini akan terjadi tersenyum masam. "Se
"Lama-lama mencurigakan juga, ya." Adinda bukan tidak mendengar bisikan itu. Namun, wanita yang sedang mengolah ayam di dapur rumah makan tempat ia bekerja itu pura-pura tidak mendengar. Sejak tadi ia berusaha untuk menulikan telinganya agar apa yang sedang dibicarakan oleh teman satu pekerjaannya ini tidak mengusik fokusnya."Tapi masak lagi mata-matain rumah makan ini, si. Orang pelanggannya juga belum rame." Obrolan dengan nada berbisik itu masih terdengar, dan Adinda belum berniat untuk ikut masuk ke dalamnya. Fokusnya saja sudah mulai goyah, jangan sampai ia melakukan kesalahan."Tapi ada dugaan juga kalau itu mobil bos. Sengaja tiap hari parkir di situ buat mantau dari kejauhan." Adinda memejamkan mata, mencoba membuang bayangan mobil putih yang terus terparkir di seberang rumah makan di jam sama. Yaitu beberapa waktu sebelum rumah makan ini tutup.Adinda bukan tidak tahu siapa pengendara di balik mobil yang tengah
Adinda sangat menyukai pantai. Ada rasa hangat yang merambat setiap kali gulungan ombak itu seperti saling berkejaran, dan meleburkan diri ke pantai. Ibaratkan anak kecil, mungkin ombak-ombak yang tengah bergelung itu saling mengejar dan berteriak. Ada canda tawa yang tercipta. Hal yang mengingatkannya akan masa lalu, di mana kedua orang tuanya masih hidup.Mungkin karena ia anak tunggal, jadi Adinda tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berbagi kasih sayang. Seluruh kasih sayang yang orang tuanya miliki adalah untuknya. Meski begutu, Adinda tidak pernah bersikap manja dan semaunya sendiri. Dulu, mama papanya selalu mengajarkan dirinya untuk bisa hidup mandiri. Tidak bergantung pada siapa pun. Mungkin itu juga suatau firasat, jika suatu hari ia akan hidup sendiri. Dan hari-hari itu sudah datang, bahkan sudah menemaninya selama beberapa tahun."Kamu inget nggak, kita selalu ke sini setiap akhir minggu?" Pertanyaan itu menyentak lamunan Adi
"Pak!" teguran itu menyentak fokus Alvin yang sejak tadi tengah melamun. Bahkan Tari yang sejak tadi ada di hadapannya terus laki-laki itu abaikan."Maaf, tapi ini berkasnya harus segera ditanda tangani," ujar wanita itu dengan ringisan sungkan. Bukan sekali dua kali ini Alvin tampak kehilangan fokus. Dan Tari sadar semua itu terjadi semenjak berita perceraian bosnya ini tersebar di kantor. Padahal, wanita itu sudah memiliki harapan besar pada hubungan laki-laki ini dengan Adinda. Keduanya terlihat begitu cocok dan sayang sekali saat harus dipisahkan dengan perceraian."Sebentar saya periksa," ujar laki-laki itu dengan sorot layu. Tidak datar, tetapi juga seperti kehilangan semangat hidup. Terlihat jelas jika Alvin sangat kehilangan Adinda. Bagaimana kabarnya wanita itu sekarang, Tari sungguh penasaran."Setelah ini saya ada jadwal mendesak, Tar?" Alvin menyorongkan berkas yang sudah ia periksa dan tanda tangani.
"Saya Ibu Alvin, kamu pasti sudah tidak asing dengan nama itu."Alvaro sempat terlihat terkejut dengan kalimat pemberitahuan itu. Namun, secepatnya laki-laki itu bisa menguasai perasaannya yang mendadak resah. Sepertinya ia sudah bisa menebak apa tujuan wanita ini menemuinya. Tentu saja pastinya berhubungan dengan Adinda. Maka, meski perasaannya terasa tidak keruan, laki-laki itu tetap tersenyum ramah."Ada yang bisa saya bantu, Tante?" Senyum ramah berusaha untuk Alvaro munculkan meski sungguh hatinya tidak baik-baik saja. Keberadaan wanita ini sama saja mengorek luka yang sempat muncul saat dirnya mengetahui fakta jika Adinda pernah menikah."Kamu pasti sudah bisa menebak, apa tujuan saya datang ke tempat ini," ujar Marlina sabar, mata wanita itu terus mengamati wajah laki-laki muda di depannya. Dalam hati ia mengakui jika laki-laki dengan mata sipit ini adalah anak yang baik. Mungkin Adinda bisa hidup bahagia dengan l