"Kamu pakai ini, ya." Alvaro meletakkan sebuah tas kertas berisi pakaian serta sepatu dan juga tas dengan merk mahal.
Adinda tahu jika apa yang Alvaro berikan adalah brand mahal dari logo yang tertera di tas kertas tersebut. Ditatapnya Alvaro dengan pandangan yang membuat laki-laki itu bingung.
"Kenapa?" tanya laki-laki berwajah oriental itu pada akhirnya karena bukannya mengucapkan sesuatu, Adinda malah hanya diam sembari menatap dirinya.
"Kamu tahu aku nggak suka cara kayak gini," ujar wanita itu dengan sorot kecewa yang tidak lagi bisa disembunyikan. Dirinya tidak suka dibelikan barang-barang mahal yang tidak bisa ia beli dari uang penghasilannya sendiri. Adinda tidak mau tambah dituduh sebagai wanita yang suka memeras kekasihnya. Apalagi kondisinya sekarang, orang tua Alvaro sudah tidak lagi memiliki penilaian bagus tentangnya.
Alvaro yang sebenarnya tahu hal ini akan terjadi tersenyum masam. "Se
"Lama-lama mencurigakan juga, ya." Adinda bukan tidak mendengar bisikan itu. Namun, wanita yang sedang mengolah ayam di dapur rumah makan tempat ia bekerja itu pura-pura tidak mendengar. Sejak tadi ia berusaha untuk menulikan telinganya agar apa yang sedang dibicarakan oleh teman satu pekerjaannya ini tidak mengusik fokusnya."Tapi masak lagi mata-matain rumah makan ini, si. Orang pelanggannya juga belum rame." Obrolan dengan nada berbisik itu masih terdengar, dan Adinda belum berniat untuk ikut masuk ke dalamnya. Fokusnya saja sudah mulai goyah, jangan sampai ia melakukan kesalahan."Tapi ada dugaan juga kalau itu mobil bos. Sengaja tiap hari parkir di situ buat mantau dari kejauhan." Adinda memejamkan mata, mencoba membuang bayangan mobil putih yang terus terparkir di seberang rumah makan di jam sama. Yaitu beberapa waktu sebelum rumah makan ini tutup.Adinda bukan tidak tahu siapa pengendara di balik mobil yang tengah
Adinda sangat menyukai pantai. Ada rasa hangat yang merambat setiap kali gulungan ombak itu seperti saling berkejaran, dan meleburkan diri ke pantai. Ibaratkan anak kecil, mungkin ombak-ombak yang tengah bergelung itu saling mengejar dan berteriak. Ada canda tawa yang tercipta. Hal yang mengingatkannya akan masa lalu, di mana kedua orang tuanya masih hidup.Mungkin karena ia anak tunggal, jadi Adinda tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berbagi kasih sayang. Seluruh kasih sayang yang orang tuanya miliki adalah untuknya. Meski begutu, Adinda tidak pernah bersikap manja dan semaunya sendiri. Dulu, mama papanya selalu mengajarkan dirinya untuk bisa hidup mandiri. Tidak bergantung pada siapa pun. Mungkin itu juga suatau firasat, jika suatu hari ia akan hidup sendiri. Dan hari-hari itu sudah datang, bahkan sudah menemaninya selama beberapa tahun."Kamu inget nggak, kita selalu ke sini setiap akhir minggu?" Pertanyaan itu menyentak lamunan Adi
"Pak!" teguran itu menyentak fokus Alvin yang sejak tadi tengah melamun. Bahkan Tari yang sejak tadi ada di hadapannya terus laki-laki itu abaikan."Maaf, tapi ini berkasnya harus segera ditanda tangani," ujar wanita itu dengan ringisan sungkan. Bukan sekali dua kali ini Alvin tampak kehilangan fokus. Dan Tari sadar semua itu terjadi semenjak berita perceraian bosnya ini tersebar di kantor. Padahal, wanita itu sudah memiliki harapan besar pada hubungan laki-laki ini dengan Adinda. Keduanya terlihat begitu cocok dan sayang sekali saat harus dipisahkan dengan perceraian."Sebentar saya periksa," ujar laki-laki itu dengan sorot layu. Tidak datar, tetapi juga seperti kehilangan semangat hidup. Terlihat jelas jika Alvin sangat kehilangan Adinda. Bagaimana kabarnya wanita itu sekarang, Tari sungguh penasaran."Setelah ini saya ada jadwal mendesak, Tar?" Alvin menyorongkan berkas yang sudah ia periksa dan tanda tangani.
"Saya Ibu Alvin, kamu pasti sudah tidak asing dengan nama itu."Alvaro sempat terlihat terkejut dengan kalimat pemberitahuan itu. Namun, secepatnya laki-laki itu bisa menguasai perasaannya yang mendadak resah. Sepertinya ia sudah bisa menebak apa tujuan wanita ini menemuinya. Tentu saja pastinya berhubungan dengan Adinda. Maka, meski perasaannya terasa tidak keruan, laki-laki itu tetap tersenyum ramah."Ada yang bisa saya bantu, Tante?" Senyum ramah berusaha untuk Alvaro munculkan meski sungguh hatinya tidak baik-baik saja. Keberadaan wanita ini sama saja mengorek luka yang sempat muncul saat dirnya mengetahui fakta jika Adinda pernah menikah."Kamu pasti sudah bisa menebak, apa tujuan saya datang ke tempat ini," ujar Marlina sabar, mata wanita itu terus mengamati wajah laki-laki muda di depannya. Dalam hati ia mengakui jika laki-laki dengan mata sipit ini adalah anak yang baik. Mungkin Adinda bisa hidup bahagia dengan l
"Varo?" Adinda terkejut saat melihat sosok Alvaro berdiri di depan pintu rumahnya pukul sepuluh malam. Ia baru saja ingin memejamkan mata saat terdengar pintu rumahnya diketuk pelan. Adinda pikir ia sedang bermimpi, tetapi ternyata malah laki-laki ini yang sedang berdiri di sana."Kamu udah mau tidur?" Alvaro memindai penampilan Adinda yang sudah mengenakan setelah piyama bergambar bunga."Iya, kamu ada perlu apa?" Adinda mengamati wajah Alvaro yang entah mengapa tampak keruh. Seperti tengah menahan beban yang begitu berat."Mau ngabisin malam ini sama aku?" Pertanyaan ambigu yang membuat Adinda bingung dan juga waswas.Melihat jika Adinda mungkin saja salah paham dengan kalimatnya, Alvaro tertawa lirih. Diraihnya tangan wanita itu dan meremasnya lembut."Jangan mikir yang aneh-aneh, aku cuman mau ngajak kamu muter." Alvaro mengamati wajah Adinda yang tampak kebingungan. "A
"Saya sudah melepas Adinda."Tidak perlu bertanya siapa orang di balik nomor asing yang menghubunginya kini, Marlina sudah bisa menebaknya. Satu senyum muncul di bibir wanita itu, akhirnya kesempatan untuk mempersatukan Adinda dengan anak laki-lakinya memiliki celah."Terima kasih Nak Alvaro, ternyata kamu memang orang baik."Terdengar desahan kecil dari seberang. Hal yang menandakan jika ini bukanlah perkara mudah. Melepaskan Adinda untuk bahagia dengan laki-laki lain tentu saja memerlukan perjuangan hati yang begitu berat."Saya melakukan ini bukan untuk anak Tante. Saya rela melepas Adinda karena saya tahu dia tidak akan pernah bahagia jika hidup dengan saya. Tapi …." Alvaro seperti dengan sengaja menggantung kalimatnya.Merlina yang bisa menebak kalimat seperti apa yang akan terucap oleh laki-laki muda itu lantas berkata, "Saya mengerti, saya tidak akan menyia-nyiakan
Terjadi canggung yang cukup mengganggu. Masing-masing dari kedua orang dewasa yang kini duduk berhadapan itu bingung harus membahas apa. Sejak tadi keduanya hanya diam, saling melempar senyuman aneh lalu kembali hening."Ibu sakit apa, Mas?" Pertanyaan itu akhirnya muncul setelah hening yang merajai mulai terasa aneh. Lagi pula, pertanyaan ini seharusnya muncul sejak tadi.Bukannya menjawab, Alvin malah terlihat bingung. "Sakit?"Adinda mengangguk pelan, lalu berkata, "Tadi siang Ibu kirim pesan ke saya kalau beliau sakit."Awalnya Alvin mengerutkan kening, tetapi senyum itu muncul saat tahu jika ibunya tengah memainkan sebuah rencana. "Kamu ketipu kayaknya," ujar laki-laki itu.Adinda tentu saja bingung mendengar kalimat yang Alvin ucapkan. "Maksudnya?""Setahu saya ibu sehat sejak tadi. Dan sampai beberapa jam yang lalu saya telpon, beliau juga masih sehat,
Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.