Kedua mata itu perlahan terbuka saat terdengar suara kikikan, dan bisikan lirih antara dua orang wanita. Mata Adinda yang pertama kali terbuka, dan bisa ia rasakan tubuh bagian kirinya yang pegal. Lalu, mata wanita itu memicing dengan dahi berkerut saat ada Almira dan Marlina di depannya.
“Ibu, Mira?” Adinda segera melebarkan mata dan menarik diri saat sadar kini ia tengah bersandar pada bahu seseorang. Dan wanita itu langsung berdiri tegak saat mengingat apa yang terjadi.
“Emm, A-aku mau mandi dulu,” ujar wanita itu bingung sembari melangkah cepat ke kamarnya. Mengabaikan kikikan geli yang kembali hadir dari bibir Almira, dan Marlina sendiri tampak menggeleng geli sembari melangkah kea rah dapur.
“Ehemm! Mas Alvin sama Mbak Dinda ngapain?” goda Almira saat sosok Adinda sudah menghilang di balik pintu kamar wanita itu.
Alvin malah tampak cuek karena memang tidak ad
Alvin terbangun dengan tubuh kaku karena semalaman tidur miring tanpa mau mengubah posisi. Bukan apa-apa, ia hanya merasa takut Adinda akan terganggu jika dia bergerak sedikit saja. Hal yang sama juga sebenarnya Adinda rasakan. Malah, wanita itu nyaris tidak bisa memejamkan mata. Dadanya terus saja berdebar dengan cara yang tidak Adinda mengerti. Sehingga pagi-pagi sekali ia sudah terjaga dan memilih mengerjakan apa pun itu bisa meredam perasaan yang membingungkan itu.Alvin menoleh ke sisi lain tempat tidur dan mengedar pandang saat tidak menemukan sosok Adinda di sana. Ia melongok kamar mandi, tetapi tidak juga terdengar gemericik air. Namun, matanya menangkap satu setelan pakaian kerja yang menggantung di depan lemari. Tanpa bisa dicegah, secuil senyum terbit dan laki-laki itu pun segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tidak sampai sepuluh menit laki-laki itu sudah selesai dengan pakaian rapinya.
“Kamu bosen, ya?” tanya Alvin pada Adinda yang sejak tadi hanya diam di acara pertunangan sepupunya ini. Pesta tidak digelar di gedung mewah karena memang hanya akan berselang satu bulan sebelum digelar pernikahan. Alvin sendiri tidak terlalu mengerti susunan acara yang digelar karena ia sedari dulu paling enggan ikut campur sesuatu yang bukan menjadi urusannya.Adinda yang memang sebenarnya sudah ingin pulang hanya bisa meringis sungkan sebagai jawaban. Alvin yang mengerti arti dari ringisan itu, segera minta izin pada ibunya untuk membawa Adinda pulang.“Kita pulang!” ajak laki-laki itu seraya menarik pelan lengan Adinda untuk ke luar dari kerumunan orang. Sesekali menyapa orang yang dikenal dengan anggukan serta senyuman tipis.“Memangnya Mas Alvin nggak papa?” Adinda takut nanti akan ada omongan tidak baik jika mereka meninggalkan acara yang belum selesai ini. Apalagi ia tidak diaj
Marlina lah orang yang paling terlihat senang saat mendengar kabar jika Alvin dan Adinda akan pergi ke Bandung hanya berdua. Meski berkali-kali putranya menjelaskan jika semua itu hanyalah urusan pekerjaan, tetapi tetap saja, bagi wanita itu ini semua adalah perkembangan yang bagus.“Pak Cakra kan tahu aku udah nikah, nggak mungkin, kan, aku pergi sendiri.” Jawaban yang Alvin beri, saat ibunya terus saja menggodanya karena mau mengajak Adinda.“Yah … kalau kamu nggak mau juga sebenarnya kamu punya banyak alasan buat nggak ngajak Adinda,” ujar Marlina. Wanita itu memperhatikan Alvin yang sedang merapikan bajunya untuk besok pagi. Sementara Adinda pamit pergi sejak pagi tadi dan belum pulang hingga malamm sudah menjelang seperti sekarang.“Ya udah apa aku batalin aja?” ancam Alvin dengan wajah kesal. Sesungguhnya ia merasa gugup karena ibunya terus saja membuatnya merasa tidak nya
Pagi-pagi sekali Alvin dan Adinda sudah berangkat dengan menggunakan mobil yang Alvin kendarai. Kepergian dua orang itu tentu saja diiringi oleh senyum bahagia yang tidak juga luntur dari bibir Marlina. Wanita itu berharap, perjalanan tiga hari ini akan membuahkan hasil yang bagus. Sehingga saat pulang nanti, semuanya terlihat semakin membaik, dan tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan.Marlina mengingat jelas isi perjanjian yang ia buat dengan Adinda. Jika wanita itu hanya terikat pada pernikahan dengan Alvin sampai anak laki-lakinya itu terlepas dari delusi yang selama ini menghantui. Dan termyata, semuanya berjalan begitu baik dan kini Alvin bisa sembuh meski belum secara penuh. Namun, setidaknya itu bisa Adinda gunakan sebagai alasan untuk menyudahi perjanjian yang telah disepakati. Dan Marlina sungguh tidak ingin semua ini berakhir. Mencari wanita lain untuk menggantikan posisi Sofia tidak lah mudah. Adinda adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk Alvin
“Udah siap?” tanya Alvin pada Adinda yang baru saja keluar dari kamar mandi untuk sekadar mengganti baju. Adinda hanya menjawab dengan anggukan kepala, lalu segera mengambil tas kecil sebelum mengikuti Alvin yang terlebih dulu berjalan ke arah pintu. “Nanti kita jalan setelah acara meeting-nya selesai. Kamu ada tempat yang pengin dikunjungi?” Alvin menanyakan itu sembari menutup dan mengunci pintu hotel. Adinda yang mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja kebingungan. Apalagi saat tiba-tiba saja kepala Alvin memutar ke arahnya dengan gerakan cepat. Hingga memergoki dirinya yang tengah mengamati wajah Alvin secara diam-diam. Ini tentang kejadian tadi siang yang masih membekas di memori Adinda. Dan entah hanya perasaannya saja, atau memang sikap Alvin mulai berubah sejak itu. Alvin terasa begitu perhatian terhadap dirinya. Banyak hal kecil yang berubah, dan semuanya membuat Adinda kewalahan. Adinda benar-
Suasana terasa canggung saat pagi harinya kedua manusia itu harus berinteraksi. Alvin yang baru kembali entah dari mana tepat saat azan subuh berkumandang, memilih langsung masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Adinda memilih untuk melakukan salat seorang diri, padahal biasanya ada Alvin yang menjadi imam. Jika bisa, sebenarnya keduanya ingin untuk tidak bertemu karena masing-masing merasa bersalah.Alvin keluar dari kamar mandi tepat saat Adinda baru saja melipat mukena serta sajadah yang ia pakai untuk salat. Alvin yang melihat itu seperti terkejut, dan merasa semakin bersalah kepada Adinda yang mungkin saja risi dengan keberadaannya sekarang.“Kamu udah selesai?” tanya Alvin basa-basi, merasa tidak nyaman dengan keheningan yang merajai.Adinda menjawab dengan anggukan, bahkan wanita itu seperti enggan menatap wajah Alvin yang kini tengah menatap penuh ke arahnya. “Aku, mau keluar sebentar,” bis
“Selamat pagi,” bisik Alvin pada wanita yang kini tampak terkejut karena bangun di dalam dekapannya. Laki-laki itu malah tersenyum, seolah tengah menikmati wajah terkejut yang kini Adinda tunjukkan. “Mas, bisa lepas?” Adinda sedikit gusar karena kini mereka tidur berhadapan dengan Alvin yang mendekapnya. “Baru jam empat,” bisik laki-laki itu, lalu kembali memejamkan mata. Meski merasa tidak nyaman, Adinda tidak bisa berbuat banyak karena Alvinn seperti enggan melepasnya. Wanita dengan lesung pipi di sebelah kanan itu mencoba mengingat yang terjadi. Tentang apa yang Alvin utarakan semalam, dan juga ia yang pura-pura tertidur. Namun, pada akhirnya Adinda benar-benar jatuh tertidur dan berakhir dengan pelukan hangat yang Alvin berikan. Jujur, ada kenyamanan yang menelusup masuk ke dalam hatinya. Dan kini, diam-diam wanita dengan wajah manis itu tengah mengamati wajah Alvin yang tepat berada di depan matanya.
“Mas Alvin mandi di kamar aja, biar aku mandi di kamar mandi dapur,” ujar Adinda ketika keduanya sampai di rumah. Ada kecanggungan yang terjadi, tetapi kali ini hanya condong ke Adinda. Wanita itu seperti menghindari setiap gerakan Alvin yang seperti ingin mendekatinya.“Kamu mandi di kamar aja, aku bisa pakai kamar mandi di kamarku.” Setelah mengatakan itu, Alvin segera mengambil handuk serta baju dan keluar dari kamar Adinda.Selepas kepergian Alvin dengan pintu kamar yang tertutup, Adinda hanya bisa termenung di tempatnya. Wanita itu memilih duduk, lalu menerawang jauh ke arah cermin yang kini memantulkan wajahnya. Andai saja—dua kata itu terus menginterupsi kerja otaknya. Adinda merasa berada pada posisi terjepit, di mana ia tidak bisa melakukan apa pun. Alvin terlihat begitu tulus dengan niatnya untuk mempertahankan pernikahan ini. Namun, kondisinya sungguh tidak memungkinkan untuk melanjutkan semuanya.
Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la
Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te
Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku
Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m
Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.
"Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny
Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar
Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.