“Mas Alvin mandi di kamar aja, biar aku mandi di kamar mandi dapur,” ujar Adinda ketika keduanya sampai di rumah. Ada kecanggungan yang terjadi, tetapi kali ini hanya condong ke Adinda. Wanita itu seperti menghindari setiap gerakan Alvin yang seperti ingin mendekatinya.
“Kamu mandi di kamar aja, aku bisa pakai kamar mandi di kamarku.” Setelah mengatakan itu, Alvin segera mengambil handuk serta baju dan keluar dari kamar Adinda.
Selepas kepergian Alvin dengan pintu kamar yang tertutup, Adinda hanya bisa termenung di tempatnya. Wanita itu memilih duduk, lalu menerawang jauh ke arah cermin yang kini memantulkan wajahnya. Andai saja—dua kata itu terus menginterupsi kerja otaknya. Adinda merasa berada pada posisi terjepit, di mana ia tidak bisa melakukan apa pun. Alvin terlihat begitu tulus dengan niatnya untuk mempertahankan pernikahan ini. Namun, kondisinya sungguh tidak memungkinkan untuk melanjutkan semuanya.
BAB BERULANG, LANGSUNG BACA CHAPTER SELANJUTNYA. Adinda berjalan mendekat, dan menangkup kedua sisi wajah kekasihnya. Ini benar-benar seperti mimpi. Di saat ia hampir menyerah pada takdir, dan mengira Alvaro tidak akan pernah bangun, ternyata Tuhan memberinya keajaiban. Tuhan tidak membiarkannya hidup dalam kubangan penyesalan. “Va, ka-kamu.” Bisikan itu tersendat karena tangis lagi-lagi meluncur dari pelupuk mata Adinda. Wanita itu sungguh tidak bisa menahan rasa harunya. “Makasih, makasih karena kamu mau bertahan dan membuka mata kembali.” Diiringi isak, Adinda memeluk tubuh Alvaro yang setengah terbaring. Namun, saat merasa ada yang janggal, ia menarik tubuhnya untuk menatap lekat wajah kekasihnya yang tampak lain. Mata itu, yang biasanya menatapnya penuh cinta, kali ini menyorotkan kebingungan. “Sus.” Adinda menoleh ke arah perawat yang sejak tadi ada di sana. “Anda
Alvin meremas rambutnya dengan kesal saat bayangan isi perjanjian antara Adinda dan ibunya kembali terngiang. Bukan lagi masalah nilai uang, tetapi pada masa perjanjian yang akan berakhir setelah dirinya pulih dari delusi yang ia alami selama ini. Di sana mengatakan jika Marlina memberi Adinda waktu satu tahun, dan jika dalam kurun waktu itu Adinda tidak berhasil maka wanita itu harus membayar denda dengan nilai cukup fantastis. Pantas saja wanita itu tahan banting dan tidak berniat mundur sekalipun ia sudah bersikap begitu kasar.Alvin tidak tahu harus bersikap seperti apa. Marah? Pada siapa? Benci? Siapa yang harus ia benci? Nyatanya Adinda mampu membantunya lepas dari hal konyol yang selama ini terus ia lakukan. Menghidupkan kembali istri yang sudah lama meninggal dalam imajinasinya. Melupakan perasaan orang lain di sekitarnya yang ternyata sangat terluka dengan sikap yang selama ini ia tunjukkan.Apa pun yang menjadi alasan Adinda bisa m
“Saya akan segera urus perceraian kita. Saya akan pastikan semuanya berjalan cepat agar kamu bisa bebas.” Setelah mengatakan itu, Alvin yang sudah berdiri di ambang pintu, pergi dengan suara mobil yang menderu keras. Seolah tengah menunnjuikkan rasa yang sebenarnya laki-laki itu rasakan. Sementara Adinda, wanita itu hanya diam di tempatnya. Mencoba merenungi apa yang kini tengah terjadi. Jauh-jauh hari ia mencoba untuk menyiapkan hati untuk menghadapi perpisahan seperti ini. Kemarin-kemarin ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Namun, nyatanya perpisahan yang sudah ia ketahui akan datang ini terasa begitu menyedihkan. Ia ingin menangis, tetapi tidak satu tetes pun air mata yang mau keluar. Mungkin semuanya tidak akan terasa berat andai saja Alvin masih bersikap kasar. Atau setidaknya bersikap wajar tanpa ada perlakuan manis. Dan semuanya pasti akan berjalan sesuai rencana yang ada di kepalanya, andai saja A
Alvin merebahkan tubuhnya sembari menatap langit-langit kamarnya yang sudah selesai direnovasi. Tidak lagi ada gambar awan melainkan terganti dengan langit gelap yang yang bertaburkan bintang dan juga bulan. Saat memikirkan desain ini ia membayangkan akan melihatnya dengan Adinda. Ia sengaja menelepon saudaranya untuk menambahkan ini saat masih berada di Bandung. Alvin pikir semuanya akan berjalan sesuai rencana. Ia akan meminta Adinda untuk pindah ke kamar ini dan mereka akan memulai dengan kehidupan pernikaham baru dengan cara yang benar.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu menghela napas. Tidak pernah membayangkan kehidupannya akan berubah sekacau ini. Setelah mengalami delusi yang begitu parah ia pikir akan merasa nyaman terus berkubang dalam dunia yang ia buat sendiri. Namun, Adinda berhasil membuka matanya untuk melihat kesakitan yang orang-orang di sekitarnya alami karena apa yang ia perbuat. Alvin merasa bodoh dan juga bersalah pada semua pihak. Tidak ha
“Kamu kenapa? Kayak lagi banyak pikiran gitu?” Alvaro menyentuh wajah Adinda yang sejak tadi terlihat melamun. Bahkan tangan wanita itu yang tengah mengupas apel terhenti beberapa saat.Adinda yang mendapat pertanyaan semacam itu tentu saja langsung tersentak. Mencoba memberikan senyuman terbaik, wanita itu menggeleng. Tidak seharusnya ia memikirkan Alvin, di saat ada Alvaro di hadapannya. Adinda sungguh merasa bersalah karena secara tidak sengaja telah menduakan laki-laki di depannya ini. Bahkan mungkin Alvaro akan sangat marah dan kecewa jika tahu apa yang terjadi saat laki-laki itu dalam keadaan koma.“Tuh, kan, ngelamun lagi,” bisik Alvaro. Kali ini tangan itu mengusap lembut pipi wanita yang sangat dicintainya itu.Adinda tersenyum, mengggenggam jemari Alvaro yang tengah mengusap pipinya. “Aku nggak papa, cuman lagi kepikiran soal kerjaan aja,” kilahnya terpaksa berbohong. Mengata
Kehidupan yang Adinda jalani tentu saja tidak terasa baik. Beberapa kali ia memergoki Alvaro yang tampak menahan sakit. Namun, setiap kali ditanya, laki-laki itu pasti akan menjawab jika semuanya baik-baik saja. Obat dari rumah sakit pun habis, dan Adinda tidak lagi memiliki tabungan untuk menebus resep baru. Uang yang ia miliki sekarang hanya bisa ia pakai untuk membeli bahan makanan yang tentu saja seadanya.Adinda sudah berkali-kali keluar untuk mencari pekerjaan baru, tetapi belum ada panggilan untuk interview.“Sayang ….” Panggilan itu Adinda dapat saat dirinya tengah berkutat di dapur untuk memasak. Ia pun menoleh dan mendapati wajah Alvaro begitu pucat.“Va, muka kamu?” Wanita itu pun menyudahi kegiatannya untuk mendekati Alvaro yang kini duduk di meja dapur. Meski menunjukkan senyuman, tetapi Adinda tahu laki-laki ini tengah menahan rasa sakit.“Aku nggak
Adinda meraba dadanya yang terasa sesak. Sudah dua hari semenjak kepergian Alvaro dari rumahnya, tetapi pemikiran tentang laki-laki itu belum sepenuhnya hilang. Wanita itu benar-benar khawatir dengan kondisi Alvaro saat ini. Ia takut terjadi sesuatu yang mungkin saja—tidak, Adinda menggelengkan kepalanya demi menghilangkan pemikiran buruk yang masih saja terus hadir. Jika memang terjadi sesuatu yang buruk pada laki-laki—masih bolehkah ia sebut kekasih? Rasanya tidak. Semenjak ia memutuskan untuk mengkhianati Alvaro dengan menikahi Alvin, rasanya ia tidak lagi pantas menyandang gelar itu. Meski alasan di balik semua pengkhianatan itu adalah demi Alvaro sendiri.Wanita dengan lesung pipi sebelah kanan itu menghela napas, mencoba untuk terus berpikir positif. Jika memang terjadi sesuatu pada Alvaro, pasti kedua orang tua laki-laki itu akan menemuinya, menyalahkannya, seperti yang selalu ia dapatkan selama ini. Dengan tidak munculnya sosok yang berhubung
Hari-hari berat yang Adinda lalui nyatanya tidak juga berakhir. Ia pikir, setelah segala kesulitan yang pernah dirinya alami, ia bisa melewati kesulitan yang kini ia hadapi dengan lebih tegar. Namun, ia lupa jika dirinya ini hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Adinda benar-benar berada pada titik lelah saat ini. Andaikan saja yang terjadi saat ini serupa permainan, dirinya sudah melambaikan tangan untuk mengisyaratkan berhenti saat ini juga.Mengikuti proses persidangan bukan hal yang mudah karena dengan itu ia harus terus bertemu dengan Alvin. Setiap kali menjejakkan kaki ke dalam lokasi ini dirinya seperti dipaksa untuk berlari kiloan meter. Ia dan Alvin sepakat untuk mengikuti proses persidangan dengan tertib dan sesuai prosedur agar semuanya berjalan cepat.Entah mengapa Adinda merasa Alvin seperti ingin cepat-cepat menyudahi pernikahan mereka. Padahal adakalanya wanita itu menginginkan Alvin menatap matanya, bertanya apakah
Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la
Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te
Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku
Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m
Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.
"Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny
Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar
Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.