“Saya akan segera urus perceraian kita. Saya akan pastikan semuanya berjalan cepat agar kamu bisa bebas.” Setelah mengatakan itu, Alvin yang sudah berdiri di ambang pintu, pergi dengan suara mobil yang menderu keras. Seolah tengah menunnjuikkan rasa yang sebenarnya laki-laki itu rasakan.
Sementara Adinda, wanita itu hanya diam di tempatnya. Mencoba merenungi apa yang kini tengah terjadi. Jauh-jauh hari ia mencoba untuk menyiapkan hati untuk menghadapi perpisahan seperti ini. Kemarin-kemarin ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Namun, nyatanya perpisahan yang sudah ia ketahui akan datang ini terasa begitu menyedihkan. Ia ingin menangis, tetapi tidak satu tetes pun air mata yang mau keluar.
Mungkin semuanya tidak akan terasa berat andai saja Alvin masih bersikap kasar. Atau setidaknya bersikap wajar tanpa ada perlakuan manis. Dan semuanya pasti akan berjalan sesuai rencana yang ada di kepalanya, andai saja A
Mohon maaf untuk bab 26 dan 27 ada double . Tidak disengaja tapi ada kesalahan teknis. Sudah saya laporkan ke editor tapi belum ada tindak lanjut. Mudah-mudahan cepat terhapus jadi tidak merugikan kalian. Terima kasih yang masih setia ngikutin cerita ini. :)
Alvin merebahkan tubuhnya sembari menatap langit-langit kamarnya yang sudah selesai direnovasi. Tidak lagi ada gambar awan melainkan terganti dengan langit gelap yang yang bertaburkan bintang dan juga bulan. Saat memikirkan desain ini ia membayangkan akan melihatnya dengan Adinda. Ia sengaja menelepon saudaranya untuk menambahkan ini saat masih berada di Bandung. Alvin pikir semuanya akan berjalan sesuai rencana. Ia akan meminta Adinda untuk pindah ke kamar ini dan mereka akan memulai dengan kehidupan pernikaham baru dengan cara yang benar.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu menghela napas. Tidak pernah membayangkan kehidupannya akan berubah sekacau ini. Setelah mengalami delusi yang begitu parah ia pikir akan merasa nyaman terus berkubang dalam dunia yang ia buat sendiri. Namun, Adinda berhasil membuka matanya untuk melihat kesakitan yang orang-orang di sekitarnya alami karena apa yang ia perbuat. Alvin merasa bodoh dan juga bersalah pada semua pihak. Tidak ha
“Kamu kenapa? Kayak lagi banyak pikiran gitu?” Alvaro menyentuh wajah Adinda yang sejak tadi terlihat melamun. Bahkan tangan wanita itu yang tengah mengupas apel terhenti beberapa saat.Adinda yang mendapat pertanyaan semacam itu tentu saja langsung tersentak. Mencoba memberikan senyuman terbaik, wanita itu menggeleng. Tidak seharusnya ia memikirkan Alvin, di saat ada Alvaro di hadapannya. Adinda sungguh merasa bersalah karena secara tidak sengaja telah menduakan laki-laki di depannya ini. Bahkan mungkin Alvaro akan sangat marah dan kecewa jika tahu apa yang terjadi saat laki-laki itu dalam keadaan koma.“Tuh, kan, ngelamun lagi,” bisik Alvaro. Kali ini tangan itu mengusap lembut pipi wanita yang sangat dicintainya itu.Adinda tersenyum, mengggenggam jemari Alvaro yang tengah mengusap pipinya. “Aku nggak papa, cuman lagi kepikiran soal kerjaan aja,” kilahnya terpaksa berbohong. Mengata
Kehidupan yang Adinda jalani tentu saja tidak terasa baik. Beberapa kali ia memergoki Alvaro yang tampak menahan sakit. Namun, setiap kali ditanya, laki-laki itu pasti akan menjawab jika semuanya baik-baik saja. Obat dari rumah sakit pun habis, dan Adinda tidak lagi memiliki tabungan untuk menebus resep baru. Uang yang ia miliki sekarang hanya bisa ia pakai untuk membeli bahan makanan yang tentu saja seadanya.Adinda sudah berkali-kali keluar untuk mencari pekerjaan baru, tetapi belum ada panggilan untuk interview.“Sayang ….” Panggilan itu Adinda dapat saat dirinya tengah berkutat di dapur untuk memasak. Ia pun menoleh dan mendapati wajah Alvaro begitu pucat.“Va, muka kamu?” Wanita itu pun menyudahi kegiatannya untuk mendekati Alvaro yang kini duduk di meja dapur. Meski menunjukkan senyuman, tetapi Adinda tahu laki-laki ini tengah menahan rasa sakit.“Aku nggak
Adinda meraba dadanya yang terasa sesak. Sudah dua hari semenjak kepergian Alvaro dari rumahnya, tetapi pemikiran tentang laki-laki itu belum sepenuhnya hilang. Wanita itu benar-benar khawatir dengan kondisi Alvaro saat ini. Ia takut terjadi sesuatu yang mungkin saja—tidak, Adinda menggelengkan kepalanya demi menghilangkan pemikiran buruk yang masih saja terus hadir. Jika memang terjadi sesuatu yang buruk pada laki-laki—masih bolehkah ia sebut kekasih? Rasanya tidak. Semenjak ia memutuskan untuk mengkhianati Alvaro dengan menikahi Alvin, rasanya ia tidak lagi pantas menyandang gelar itu. Meski alasan di balik semua pengkhianatan itu adalah demi Alvaro sendiri.Wanita dengan lesung pipi sebelah kanan itu menghela napas, mencoba untuk terus berpikir positif. Jika memang terjadi sesuatu pada Alvaro, pasti kedua orang tua laki-laki itu akan menemuinya, menyalahkannya, seperti yang selalu ia dapatkan selama ini. Dengan tidak munculnya sosok yang berhubung
Hari-hari berat yang Adinda lalui nyatanya tidak juga berakhir. Ia pikir, setelah segala kesulitan yang pernah dirinya alami, ia bisa melewati kesulitan yang kini ia hadapi dengan lebih tegar. Namun, ia lupa jika dirinya ini hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Adinda benar-benar berada pada titik lelah saat ini. Andaikan saja yang terjadi saat ini serupa permainan, dirinya sudah melambaikan tangan untuk mengisyaratkan berhenti saat ini juga.Mengikuti proses persidangan bukan hal yang mudah karena dengan itu ia harus terus bertemu dengan Alvin. Setiap kali menjejakkan kaki ke dalam lokasi ini dirinya seperti dipaksa untuk berlari kiloan meter. Ia dan Alvin sepakat untuk mengikuti proses persidangan dengan tertib dan sesuai prosedur agar semuanya berjalan cepat.Entah mengapa Adinda merasa Alvin seperti ingin cepat-cepat menyudahi pernikahan mereka. Padahal adakalanya wanita itu menginginkan Alvin menatap matanya, bertanya apakah
Adinda tersenyum miris pada kisah hidupnya yang tak ubahnya seperti cerita sinetron. Orang tua meninggal, terlilit hutang, dihina oleh orang tua kekasih, lalu harus melakukan pengorbanan demi kesembuhan orang yang sangat mencintainya. Dan sekarang, ia harus menyandang status janda di usianya yang baru menginjak 25 tahun. Adinda terkadang berpikir, apakah akan ada hal buruk lain yang menimpanya? Jika iya, mampukah ia bertahan untuk hidup atau pun sekadar untuk berdiri tegak?Sekarang saja kehidupan yang ia jalani terasa hampa. Adinda seperti tidak memiliki tujuan hidup selain bekerja dan membayar utang yang masih tersisa. Entah mengapa utang yang ia bayar ke omnya seperti tidak ada habisnya. Apakah laki-laki yang berstatus adik ayahnya itu menipunya? Sayangnya, Adinda tidak memiliki kuasa untuk menuntut atau pun sekadar mendebat.Adik ayahnya itu terkenal sebagai rentenir yang ditakuti. Dan tidak segan-segan berbuat kasar jika orang-orang tid
"Kamu sudah bangun?" Pertanyaan itu muncul bersama dengan pintu kamar yang terbuka. Di mana di ruangan yang didominasi warna abu dan cokelat itu kini tengah duduk seorang laki-laki dengan cat rambut yang mulai memudar. Keinginan untuk merapikan hal yang dulu sangat ia utamakan kini tidak lagi ada. Bahkan wajah yang biasanya ceria itu kini tampak suram."Mami sudah potongkan buah, kamu makan, ya." Bahkan ucapan wanita yang telah melahirkan laki-laki itu pun tidak mendapat respon. Sudah seperti itu yang terjadi semenjak dua minggu belakangan ini. Atau lebih tepatnya semenjak laki-laki itu dijemput paksa untuk pulang ke rumah yang rasanya masih sama. Penuh kepalsuan dan begitu memuakkan."Mami mau nyiapin bubur sama obat dulu." Tanpa memedulikan tanggapan dingin yang menguar dari diamnya Alvaro, Gisel tampak melenggang ke luar. Namun, kakinya terhenti di ambang pintu saat mengingat sesuatu."Oh ya, nanti jangan lupa kamu ad
Adinda tahu ini salah, tidak seharusnya ia memberi Alvaro harapan, di saat hatinya sendiri mulai gamang. Tidak lagi ada getar hebat setiap kali laki-laki itu ada di dekatnya. Tidak lagi ada jantung yang berdebar, setiap kali laki-laki itu memeluknya. Yang ada hanya seperti beban dalam hidupmya kian bertambah semenjak ia mengangguk sebagai jawaban tidak tersirat dari permohonan yang Alvaro minta."Makasih, ya, Din. Aku akan berjuang lebih lagi kali ini." Alvaro tersenyum lebar, lalu segera memesan minuman kekinian di sebuah kedai yang cukup ramai.Sementara Adinda hanya mengerjabkan matanya. Dari tempat ia duduk untuk menunggu, ditatapnya punggung Alvaro dengan perasaan kosong. Adinda tidak mengerti kenapa ia selalu saja dengan sengaja menjatuhkan dirinya pada lubang masalah. Dan kali ini lagi-lagi lubang masalah yang menganga itu ada pada diri Alvaro. Seharusnya ia menolak permohonan itu, seharusnya ia bisa tegas mengatakan jika hubungan ini