Usaha terakhir yang bisa Laisa lakukan hanyalah memejamkan mata. Meningkatkan volume lagu yang ia putar, dan fokus menepis suara-suara mesra di luar headphone-nya. Ia sudah hampir gila, hilang logika terhadap jalan pikiran sahabat karibnya yang terang-terangan mempertontonkan cumbu lewat pantulan kaca.
Ia bahkan berani bersumpah kalau adegan itu sama sekali tak mengundang gairah. Laisa malah dibuat jijik, muak dan tidak berselera. Reina dan Leon sang pacar sukses membuat nafsu manusiawinya raib seketika.
"Apa tidak bisa pesan hotel ya?" ketus Laisa berkomentar. Dia sudah mencapai taraf jengah, tidak tahan lagi mendengar tawa girang dari sepasang kekasih yang masih bermanja-manja di ruang uji coba pakaian.
Entah sejak kapan mulainya mereka menjadikan toko baju ini sebagai markas pelepasan hasrat. Yang jelas, sebagai penjaga toko di sana, Laisa merasa dirugikan. Dia tidak bisa terus-terusan diam dan menjadi penonton setia, kan?
Dan lagi, mau digaji dengan apa kalau toko ini tutup sesuai jadwal kasmaran dua insan? Yang benar saja! Tidak munafik, Laisa butuh uang. Menjadi penjaga toko baju merupakan satu-satunya pemasukan yang ia punya.
"Laporan bulan lalu sudah meleset jauh dari target penjualan loh, Rei. Mau lapor apa ke Papamu kalau bulan ini rugi lagi?" imbuh Laisa tanpa air muka. Dia sengaja menciptakan atmosfer serius agar Reina tidak meremehkan ucapannya.
Yah, bagaimanapun, meski secara teknis toko baju ini adalah milik Reina, Laisa juga memegang peran penting sebagai pengelola sekaligus penanggung jawabnya. Setiap rinci bisnis ini wajib Laisa laporkan pada puncak dari segala puncak Grup Lesmana. Ia tidak boleh membuka-tutup toko sembarangan.
"Aku tahu, Laisa," sahut Reina terpaksa bangkit dari posisinya. Tidak perlu banyak penjelasan, perempuan itu selalu tahu maksud dari ekspresi Laisa. Belasan tahun menjadi sahabat, Reina paham betul arah pembicaraan Laisa bermuara.
"Kau juga tahu kalau aku tidak bisa ke hotel, kan?" sambung Reina seraya berjalan ke arah Laisa, meninggalkan Leon yang masih terlunglai lemah, "Papa mengawasi hubunganku dan Leon sangat ketat. Aku tidak mau dia kena masalah, apalagi kalau Papa sudah nekat."
Itulah rumitnya menjadi Reina. Hidup sudah kaya raya, ekonomi terjamin, masa depan cerah, malah jatuh cinta pada lelaki yang salah. Leon hanyalah yatim piatu yang bekerja di toko pembuat tato pinggir jalan. Mereka langsung klop satu sama lain cukup dengan tiga kali pertemuan.
Tentu Laisa ikut senang melihat sahabat karibnya berhasil menemukan belahan jiwa. Namun percintaan mereka ditolak mentah-mentah. Jangankan restu, Leon bahkan tak pernah diijinkan menginjak halaman rumah keluarga Lesmana.
Kalau dipikir-pikir memang mau ditaruh mana harga diri Tuan Lesmana? Putri tunggalnya yang paling dibanggakan malah kepincut lelaki kelas rendah. Apa kata sanak saudara? Bagaimana pandangan rekan bisnis kalau tahu kekacauan hidup anaknya? Bisa malu tujuh turunan!
Fakta bahwa Reina nekat berteman dengan Laisa saja sempat membuat pertikaian. Apalagi kalau Reina sampai menikahi lelaki yang tidak jelas asal usulnya? Tuan Lesmana tidak mungkin lengah, pria itu bisa menghalalkan segala cara demi mengawasi Reina.
"Dan kau lebih suka aku disalahkan atas kelakukan kalian?"
Ya, Laisa sendiri bukan datang dari keluarga kaya. Salahnya pergaulan Reina acap kali disangkut pautkan dengan keberadaan Laisa di sisinya. Sekalipun semua murni keputusan Reina, status sosial Laisa selalu dinilai sebagai penyebab utama.
"Kalau di sini aku jamin tidak akan ketahuan. Kecuali kau yang melaporkan," ujarnya telah berada persis di hadapan Laisa yang hanya terhalang meja kasir, mereka bisa saling menatap satu sama lain.
Aturan pertama, Reina tahu kalau Laisa tidak mungkin lapor kepada Papanya. Kedua, perempuan itu sadar betul jika Laisa menggantungkan hidup pada dirinya. Dan seharusnya tidak perlu alasan lain untuk curiga, sebab Reina percaya pada Laisa lebih dari yang orang pikirkan.
Mereka sudah sangat dekat sejak bertemu di Sekolah Menengah Pertama. Reina tahu betul jatuh bangunnya hidup Laisa. Dari yang semula kaya raya, sampai bangkrut terlilit hutang. Reina juga selalu ada di sisi Laisa. Dia selalu menjadi orang pertama yang menemani Laisa menghantarkan kedua orang tuanya ke pemakaman.
Tak heran, segala kesialan hidup Reina selalu dikaitkan dengan keputusannya menjadi sahabat karib Laisa. Bagi Tuan Lesmana, Laisa adalah gadis paling tidak beruntung di dunia. Bahkan nyamuk pun enggan mengisap darahnya dan rela kelaparan (karena takut tertular sial).
Walau terkesan tidak masuk akal, tapi kadang-kadang Laisa juga sepakat. Bagaimanapun juga, Tuan Lesmana hanya mengambil kesimpulan dari intisari perjalanan hidup Laisa. Dan selama ia masih bisa mengais rejeki tanpa hambatan lewat keluarga Lesmana, ia sama sekali tidak keberatan dikatai demikian.
"Bulan ini aku pastikan tidak rugi, jadi jangan terlalu serius menghadapi Papa yang perfeksionis. I Love him, Laisa, So pleasee..."
"Ya. Aku tahu," tukas Laisa setengah tidak peduli, "Tapi apa iya dia cinta sejati yang kau cari? Tolong sedikit lebih realistis, Rei. Bukan tidak mungkin dia cuma suka badanmu yang seksi."
Mungil, kecil, tapi montok sana sini, siapa yang tidak suka sih? Laisa mencoba membuka pandangan sahabatnya yang lagi-lagi hanya tertawa usil. "Aku baru tahu kau suka badanku, Laisa," godanya diikuti senyum memincing.
Memang susah bicara dengan orang yang sedang kasmaran lahir batin. "Itu hanya sudut pandangku, Rei,"sahut Laisa seraya membuang napas kecil.
Reina tergerlak tipis, "Ya, aku paham maksudmu. Leon memang bisa saja bukan cinta sejati yang selama ini aku mau. Tapi saat ini kita sama-sama mau, butuh, dan candu. Jadi apakah penting aku memikirkan semua itu?"
"Tiga tahun yang lalu kau juga bilang begitu."
"Aku pasti bisa meyakinkan Ayah, Laisa. Meski itu harus menghabiskan seribu tahun!"
"Rei..."
"Sudahlah. Aku juga bosan bahas perkara itu terus-menerus. Ada masalah yang lebih serius dibanding kekhawatiranmu itu."
Laisa menyerah tanpa perlawanana apapun, "Apa?"
"Kau tahu kan keluarga kaya raya Salomon? Yang bisnisnya mengular kemana-mana, pasti kau pernah dengar. Mereka juga baru menggelar pameran fashion di Singapura," Reina membulatkan mata antusias. Ekspresinya berubah total.
Tentu Laisa mengenalnya. Sebagai penggiat fashion sejak mengambil sekolah kejuruan, ia tak mungkin melewatkan keluarga sultan andara Salomon dengan fashion trendinya. Meski tak bisa mengoleksi produk mereka, Laisa bisa dikatakan fans berat. Namun ia yakin bukan ke sana arah pembicaraan Reina.
"Ya, kenapa?"
"Mereka mengumumkan seleksi terbuka untuk menjadi calon istri Avram. Ini kesempatan emas Laisa, kau bisa saja jadi bagian dari keluarga mereka hanya dengan menaklukkan hati bocah empat tahunan!"
"Gila! Aku tidak ada niat ikut yang begitu. Bisa kerja di tokomu saja sudah bersyukur."
Sudah Laisa duga. Arah percakapan Reina tidak mungkin berkaitan dengan pameran atau strategi pengembangan bisnis toko bajunya. Selalu ada ide di luar nalar yang ia paparkan. Hal yang tentu tidak menarik minat Laisa yang hidupnya didedikasikan habis untuk hutang, kerja, dan uang.
Lagipula Laisa tak pernah tertarik dengan strategi mengangkat derajat lewat pernikahan. Sama seperti Reina, ia juga terobsesi menemukan cinta yang natural dan tulus. Akan tetapi, rupanya akal bulus Reina tidak berhenti sampai di situ. Perempuan itu tersenyum menang sambil mendekatkan diri pada Laisa yang masih termangu.
"Kalau begitu gantikan aku," ujarnya lebih terdengar seperti perintah dibanding penawaran, "Hanya satu malam, aku naikkan gajimu tiga kali lipat. Bagaimana? Sepekat?"
Laisa terdiam seribu bahasa.
Laisa memang tidak tertarik dengan pernikahan bisnis yang Reina tawarkan, tapi kalau soal naik gaji mungkin bisa dibicarakan. Bagaimanapun ia tak bisa melewatkan kesempatan emas. Naik gaji tiga kali lipat bukan angka yang murah."Aku tidak mungkin menghianati Leon hanya demi acara tidak penting itu, Laisa, dan terus terang aku tidak mau Papa tahu kalau aku tidak datang. Tamu acara ini sudah seperti reservasi rumah makan mewah, perlu konfirmasi wali yang bersangkutan kalau ada kandidat yang berhalangan."Laisa terdiam sejenak. Ia mengelola kalimat itu di kepala dengan cermat. Agar tak melewatkan sedikitpun permainan kata yang Reina buat.Intinya, Laisa hanya perlu datang, kan?Ia bertugas memerankan tokoh Reina sepanjang acara. Berpura-pura menjadi putri tunggal keluarga Lesmana, lantas mendapat untung naik gaji sampai tiga kali lipat. Apalagi yang perlu Laisa pertimbangkan? Tawaran itu sangat menggiurkan.Namun, "Apa kau yakin tidak ada yang curiga?" selintas saja pikiran itu menggang
"Bagian mana diskusinya?"Lelaki itu melamatkan pandang, menyisir satu per satu orang yang berperan dalam acara perjodohan. Sudah amat terlambat kalau mereka mencabut berita itu sekarang. Lebih dari 200 perempuan mulai dari gadis hingga janda dari berbagai usia terlanjur mendaftar untuk berpartisipasi sebagai kandidat."Memangnya kau setuju kalau kita bicarakan dulu sebelum acara? Sekali-kali coba pikirkan perasaan Nada, dia butuh sosok ibu yang mendampingi tumbuh kembangnya," sahut wanita itu lembut. Ia tak merasa bersalah sedikitpun. Lagipula keputusannya bulat, ia akan membuat Avram menikah."Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," Avram menyahut sinis. Tidak peduli sebesar apapun wanita itu berusaha mendekatkan diri, Avram tak akan pernah membuka hati. Ya, ia tak bisa melupakan pengkhianatan paling menyakitkan yang dilakukan Ayah-nya sebulan setelah sang Bunda meninggal dunia. Bagaimana bisa pria yang mengaku cinta setengah mati pada sang Bunda itu langsung jatuh cinta pada perawan c
"Atas nama Laisa Putri Senja?"Suara Laisa tercekat di tenggorokan usai petugas resempsionis membacakan data dirinya.Mencoba peruntungan dengan nama sendiri, katanya?! Sialan, itu semua hanya sandirwara. Skenario tentang menggantikan dirinya yang dipaksa datang oleh Tuan Lesmana adalah bual. Reina memang mendaftarkan Laisa untuk berpartisipasi dalam acara perjodohan.Kalau sudah terlanjur begini Laisa harus bagaimana? Pulang dan memarahi Reina? Yang benar saja! Perempuan itu tak akan merasa bersalah. "Nona?" petugas resepsionis menuntut jawaban, "Apakah Anda Laisa Putri Senja?" ulangnya.Antrian panjang di belakang Laisa mulai bersungut kesal. Di sisi lain tiga orang petugas keamanan bertubuh kekar mulai mendekat. Dengan segenap ragu, ia menganggukkan kepala, "I-iya.""Ada masalah apa?" salah satu petugas keamanan bersuara garang, membuat Laisa terkesiap."Tolong antarkan Nona Laisa ke kursi nomor 39," petugas resepsionis menjawab tenang latas menatap lagi kepada Laisa, "Setelah sam
"Ini punyaku!"Laisa yang sejak tadi tertawan pada hidangan penutup dan mengabaikan para perempuan berebut bocah langsung melingak. Tentu bukan hanya Laisa, suara melengking nan nyaring itu berhasil mencuri seluruh perhatian. Salah seorang bocah berwajah pucat tengah berusaha merebut es krim dari anak yang sepanjang malam ini menjadi primadona.Dari tampilannya, anak itu memang lebih cocok memegang peran sebagai Nada. Berpakaian modis dengan garis muka perpaduan Indonesia-Eropa. Melihat dari garis keturunan Avram, kemungkinan besar dialah anak yang seharusnya menjadi pemeran utama, penting untuk ditaklukkan oleh seluruh kandidat."Ini es krimku!" anak berpakaian modis menolak, meski sebetulnya mudah saja bagi dia mendapatkan es krim yang baru. Hanya perlu sedikit merengek, dan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengitarinya pasti langsung lari mewujudkan keinginan itu.Namun, bagaimanapun anak-anak secara alami memang suka bertengkar merebutkan sesuatu. Dia ingin menunjukkan kekuasaa
Namun, di luar dugaannya, dua jam terakhir itu terasa bagai neraka. Begitu memasuki ruangan pesta, Laisa menjadi pusat perhatian seluruh tamu undangan. Ratusan pasang mata itu tertuju padanya. Menyuguhkan tatapan sinis disertai cibir tajam. Entahlah, Laisa pribadi tidak mengerti alasan situasi ini terjadi. Dia mencoba tidak peduli. Mengalihkan perhatian pada ikan-ikan hias yang giat bermain di bawah ubin. Sampai ketika sepasang kaki berhenti tepat di hadapannya. Pantofel mengkilap yang membuat Laisa terpaksa menyeret ekor mata. "Tidak baca aturan acara, ya?" lelaki dengan garis wajah tegas itu dingin bersuara. Tatapannya datar, gigih menatap lekat iris mata Laisa. Tepat berada di tengah ruangan, Laisa resmi menjadi tontonan. Perempuan-perempuan itu secara naluriah melingkari mereka. Membuat Laisa meringis canggung demi mencairkan suasana. "Maaf, tapi... apa karena saya bawa anak tadi keluar? Saya sudah ijin pihak keamanan..." "Dan kau belikan dia es krim sembarangan?" tukas lela
"Halo?" Laisa sigap mengangkat dering ponselnya yang nyaring di dalam laju kendaraan. Perempuan itu baru bisa bernapas sedikit lebih lega. Keluar dari halaman mansion mewah milik keluarga Salomon dan mengamati penorama jalanan yang lengang. Akan tetapi ketentraman sesaat itu musnah begitu mendengar suara dari balik telpon genggam. Mata Laisa membulat sempurna. "Bu Laisa, saya hampir setengah jam di titik lokasi penjemputan. Mohon maaf ibu di sebelah mana, ya? Ramai sekali, Bu, di sini. Bisa tolong kasih saya tanda?" Sontak Laisa bangkit dari sandaran mobil guna mengamati sekitar. Ia panik bukan main kala lelaki yang memegang kendali kendaraan meliriknya dari spion atas. "Maafkan aku, Nona. Kau terlihat buru-buru dan aku tidak bisa menolak." Mata Laisa menyipit setengah ragu. Mengamati dengan saksama perpaduan antara suara dan sepasang manik mata itu. Tunggu dulu, Laisa tahu. Alih-alih berteriak dan mencari cara turun dari kendaraan, Laisa merangkak ke sela-sela kursi depan. Ia me
"Apa ada kejadian seru di pesta?"Reina yang sejak tadi hanya berpangku tangan memandangi kesibukan Laisa akhirnya bersuara. Dia sudah tidak tahan. Bagaimana mungkin perempuan itu bersikap biasa saja pasca dijebak Reina untuk menghadiri acara perjodohan?Yang semakin membuat Reina semakin penasaran adalah raut wajah Laisa yang cerah semringah. Sosok yang biasanya gampang ngomel hanya karena pelanggan sekadar mampir tanpa membeli barang, bersikap ramah pada semua orang. Entahlah, bahkan wajah datarnya seolah ditanggalkan pada suatu tempat.Sementara Laisa yang tengah disibukkan dengan kegiatan menghitung stok pakaian tak bisa menyembunyikan senyum. Ingatan soal lelaki sapu tangan bernama Gazza itu membuatnya gembira sepanjang waktu. Ia telah dibuat candu."Bisa dibilang begitu," sahut Laisa tanpa menoleh.Masih dengan mode detektifnya, Reina bertanya gamang, "Aku dengar pestanya bubar lebih awal. Kenapa?"Dalam hitungan detik suasana hati Laisa teralih. Bayangan pertengkarannya dengan
Habis sudah akalnya untuk merayu Laisa. Perempuan itu bersikeras mengulang-ulang jawaban yang sama. Sepatah alasan paling tidak logis yang pernah disampaikan Laisa sepanjang sejarah.Sambil sesekali memijat pelipisnya, Reina yang bersindekap dada itu membuang napas berat, "Sejak kapan kau percaya intuisi?""Aku tidak bisa, Rei," tukas Laisa menggeleng gigih."Kau hanya terbawa perasaan, Laisa. Situasinya terlalu mendukung, kau bertemu dengan dia pada titik terlemahmu, itu saja."Barangkali justru karena itu.Ia semakin sulit mengabaikan sosok Gazza yang begitu ramah dan lembut. Murah dalam tersenyum. Juga manis dalam bertutur.Segala komponen dalam diri Gazza berhasil memikat hati Laisa. Meski tanpa kepastian, walau dia sendiri tidak yakin kapan takdir mau mempertemukan, Laisa yakin keputusannya tepat. Ia tidak akan menikahi Avram."Mencintainya?" senyum memincing Reina mengembang, "Omong kosong, Laisa. Kau hanya kesepian dan dia ramah ke semua orang!""Apa yang membuatmu begitu marah
Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me
"Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al
"Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A
"Apa maksudnya?" Kim Sarang memijat pelipis sambil bersuara lemah, "Menghapus Gazza dari keluarga Salomon? Tidakkah itu keterlaluan?"Avram masih dalam diamnya. Ia menyisipkan jemari pada sela-sela jari Laisa guna menenangkan diri dari amarah. Sementara Laisa tertunduk dalam, berusaha keras menghindari tatapan Gazza."Apa ini kesepakatan yang kalian buat berdua?" Henry Salomon ikut bertanya. Ia mencoba mencerna situasi dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, "Nak Laisa? Apa kau terlibat dalam keputusan Avram? Apakah menurutmu itu bijaksana?"Mata Laisa sontak berlarian, ia terkejut bukan main. Kim Sarang yang tampak berharap cemas, sementara Henry Salomon yang menuntut jawaban. Laisa semakin erat menggenggam tangan Avram. Ia tak mampu menemukan jawaban.Laisa tahu, ia paham betul betapa Gazza mengatinya sekarang."Laisa mungkin akan menempati posisi Nyonya Kim begitu saya menjabat, dan atas kesepakatan kami, jauh lebih baik jika Gazza tak terlibat pada lini bisnis Salomon begitu say
"Aku akan memajukan hari pelantikan," Avram bersuara serak sembari membelai lembut rambut Laisa yang berbaring pada lengannya.Mereka menghabiskan hari yang panjang. Saling memuja, mendamba, serta menginginkan. Dan kalimat Avram yang terdengar menggantung di udara itu membuat Laisa mendongak."Setelah itu apa?" tanya Laisa, ia berusaha keras mencerna air muka Avram yang tegak lurus menatap ke depan."Menghapus Gazza dari garis keluarga."Sepersekian detik itu, Laisa tercekat. Sontak saja ia membuang pandang menjauh sambil bergerak bangkit dari tidurnya. Membicarakan Gazza dalam hubungan mereka tetaplah janggal, Laisa masih merasa getaran samar meski mulai melemah."Kau akan mengusirnya?" Laisa kembali bertanya, kali ini ia membungi Avram agar tak menyaksikan raut murka."Dia selalu ingin pergi, bukan?"Laisa berbalik, menatap manik mata Avram tidak mengerti. Mengapa tenang sekali? Sejak kapan Avram memiliki tabiat seperti ini?"Aku menyampaikannya sebagai bentuk percayaku, Laisa. Aku
Nyeri, begitulah satu kata yang bisa menggambarkan situasi Laisa saat ini. Perempuan itu terbaring lemah di atas ranjang dengan air mata yang terus mengalir. Pedih, menyerahkan diri kepada Avram selalu terasa begitu sakit.Padahal lelaki itu pernah sebegitu lembut padanya. Sempat juga membuat ia merasa seperti diperlakukan sebagaimana istri normal. Tapi tidakkah semua itu hanya tipu daya? Tabiat buruk Avram soal amarah tidak akan pernah berubah.Bahkan sekalipun semua ini disebabkan oleh kesalahannya yang berselingkuh dengan Gazza, Avram tak berhak bersikap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, Laisa memaksa dirinya bangkit dari posisi terlentang. Mencoba duduk meski tulang selangkanya enggan diajak kerjasama. Laisa mendesis kala kakinya berhasil menggantung di pinggir ranjang, kemudian mengedarkan pandang guna mencari helai-helai kain yang bisa melindungi tubuh bugilnya.Namun sial, Avram seperti tidak Sudi mengijinkannya berbusana. Bahkan secarik selimut pun tak bisa Laisa temukan.
Laju kendaraan Avram bukan menuju rumah utama, melainkan hunian pinggir pantai miliknya. Ia harus memberi Laisa pelajaran. Menunjukkan akibat dari perbuatan kurang ajar yang Laisa lakukan.Dengan kemudi yang ugal-ugalan, Avram tak berhenti mendenguskan murka. Lelaki itu sesekali melirik tajam Laisa lewat spion atas. Tindakan yang membuat Laisa menciut pasrah dengan linang air mata.Pikiran Laisa campur aduk tidak jelas. Sembari merasakan nyeri di sebujur tubuhnya akibat tindak kasar Avram. Pada momen itu, Laisa bahkan tidak peduli jika harus meregang nyawa. Apapun murka Avram telah siap ia terima.Mobil terparkir usai mempersingkat perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Avram membuka pintu belakang lantas menarik kasar lengan Laisa. "Jalan yang benar!" titah Avram tegas, sambil menyeret Laisa serupa tawanan penjahat.Mereka sampai di depan pintu dengan sambutan debur ombak. Sedetik kemudian Avram menekan tombol sandi, dan langsung mendorong Laisa ke sofa begitu pintu terbuka.
"Bu Midah? Mana Laisa?"Kening Avram mengernyit heran. Ia sudah mencari perempuan itu di kamar namun nihil bersua. Tapi jauh lebih mengherankannya lagi adalah kamar Nada, untuk apa Bu Midah berusaha menidurkannya?Dengan berat hati, Bu Midah memberikan isyarat agar Avram tidak menimbulkan kegaduhan. Nada butuh waktu terlelap, dan Avram terpaksa mundur perlahan sambil menahan rasa penasaran.Pesta bakar-bakar sebagai kejutan sudah disiapkan. Oleh-oleh yang ia bawa juga keluar dari bagasi mobil semua. Tapi apa yang terjadi selama Avram tidak ada? Kemana perginya Laisa?Enggan berlama-lama mengadu jawab dan tanya di kepala, Avram berusaha menelpon Laisa. Tetapi belasan kali pun ia mengulang hal yang sama, panggilannya tetap dijawab oleh mesin suara. Avram berdecak sengit, ia menganalisis berbagai skenario yang paling mungkin."Batalkan semuanya," titah Avram datar, rahang bawah langsung mengeras kala melihat sosok Tej berjalan ke arahnya."Mohon maaf, bagaimana, Tuan?" Tej memastikan. Me
Tidak munafik, pertemuan dengan Kim Sarang tentu menggunjang jiwa Gazza. Ia tidak tenang, mungkinkah Kim Sarang menyadari hubungan mereka? Wanita itu juga bukan tipe manusia yang berpegang teguh pada asumsi semata.Melihat dari tabiatnya, jelas, Kim Sarang telah menemukan bukti yang kuat.Di dalam kekalutannya, Gazza secara sadar menekan pedal gas menjauhi kota. Ia seperti sengaja mengalihkan perhatian pada kemudi alih-alih kalut pikiran. Gazza lari menjauhi fakta, bahwa hubungannya dengan Laisa merupakan sebuah kesalahan besar.Tapi Gazza bisa apa? Ia mencintai Laisa. Tak bisakah itu menjadi satu-satunya alasan untuk membenarkan? Toh kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, Gazza lebih dulu bertemu Laisa.Ia lebih dulu jatuh cinta padanya. Mereka layak untuk bersama dibanding dengan siapapun di dunia. Gazza dan Laisa adalah takdir yang sempurna.Tentu saja Gazza marah, kesal, murka, segala perpaduan emosional yang sejujurnya sulit dicerna. Apakah benar semua ini adalah kesalahannya