"Ini punyaku!"
Laisa yang sejak tadi tertawan pada hidangan penutup dan mengabaikan para perempuan berebut bocah langsung melingak. Tentu bukan hanya Laisa, suara melengking nan nyaring itu berhasil mencuri seluruh perhatian. Salah seorang bocah berwajah pucat tengah berusaha merebut es krim dari anak yang sepanjang malam ini menjadi primadona.
Dari tampilannya, anak itu memang lebih cocok memegang peran sebagai Nada. Berpakaian modis dengan garis muka perpaduan Indonesia-Eropa. Melihat dari garis keturunan Avram, kemungkinan besar dialah anak yang seharusnya menjadi pemeran utama, penting untuk ditaklukkan oleh seluruh kandidat.
"Ini es krimku!" anak berpakaian modis menolak, meski sebetulnya mudah saja bagi dia mendapatkan es krim yang baru. Hanya perlu sedikit merengek, dan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengitarinya pasti langsung lari mewujudkan keinginan itu.
Namun, bagaimanapun anak-anak secara alami memang suka bertengkar merebutkan sesuatu. Dia ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap es krim itu.
Dan benar saja, tidak terima dengan penolakan, anak berwajah pucat menepis es krim dari genggaman lawan. Dalam hitungan detik, anak yang sok berkuasa langsung mengeluarkan jurus tangisan. Membuat perempuan-perempuan di sekitarnya panik mencari jalan keluar.
"Lain kali jangan nakal!" tegur salah satu di antara mereka pada anak pucat yang hanya memasang wajah datar. Sebagian yang lain sudah memeluk tokoh utama, menenangkan tangis yang meramaikan seisi halaman belakang.
"Minta maaf!" imbuh perempuan lain setengah memaksa.
"Es krim ini bukan punyamu, kan? Ayo sekarang minta maaf," yang lain ikut menyudutkan.
Di sekitar Laisa, perempuan-perempuan lain berbisik ria. Komentarnya kurang lebih sama. Menyalahkan anak pucat yang tak tergerak sedikitpun untuk minta maaf. Dia juga tidak tampak bersalah. Membuat para perempuan mempertanyakan latar belakang keluarga bocah itu sampai tidak punya tatakrama.
Sampai ketika tangis anak modis itu makin meraung bagai lolongan serigala, salah seorang perempuan membentak sambil menarik paksa tangan bocah pucat, "Ayo buruan minta maaf!"
Sontak saja Laisa yang sejak awal tidak banyak tingkah akhirnya ikut andil dalam pertikaian. Ia menyambar tangan perempuan itu agar menyingkir dari sang bocah, "Malu loh dilihat anak-anak, lagian yang suka nyerobot antrian es krim siapa?" sinisnya.
Sebagai orang yang tak beranjak dari makanan, Laisa tentu hafal dengan rupa-rupa orang yang mondar-mandir mengambil hidangan. Dan yah... anak ini memang primadona. Oleh karenanya ia mendapat semua menu yang diajikan hanya dengan sekali ucap.
"Itu sudah cup ke berapa dia makan?" tanya Laisa mempertegas. Perempuan di hadapannya ini bahkan sempat menyerobot antrian daging panggang miliknya, jadi ada kemungkinan kalau es krim itu bukan yang pertama.
"Lagipula tong es krimnya sudah kosong, Nona, apa sulitnya sih mengajarkan berbagi dengan sesama? Toh anak-anak ini juga bagian dari tamu undangan," sambung Laisa kesal.
"Jadi menurutmu merebut hak orang lain itu benar?" timpal perempuan itu tidak terima.
"Lalu menyerobot antrian orang lain itu bukan bagian dari merebut hak?" tukas Laisa.
Mereka adu pandang sejenak, Laisa yakin perempuan itu menanggung malu yang luar biasa. Lewat wajahnya yang mulai memerah, Laisa tahu bahwa dirinya harus pergi dari sana sebelum pertengkaran mereka mempermalukan dirinya juga.
Laisa menggandeng tangan bocah pucat itu dan menggiringnya beranjak. Tanpa sepatah kata, mereka raib dari pandangan puluhan pasang mata. Tujuan Laisa hanyalah meja resepsionis yang langsung sigap menghambat. Mereka tidak merestui gagasan Laisa pergi dari sana.
"Hanya mengantarnya beli es krim sebentar! Nih, saya tinggalkan semua harta berharga ini kalau kalian tidak percaya!"
Mereka saling adu pandang, kemudian menyaksikan Laisa dan bocah itu bergantian. Tampak jelas kebimbangan menyelimuti wajah mereka. Setidaknya sampai Laisa membuang napas kasar, "Kalian punya alat deteksi lokasi, kan? Atau mau tempelkan alat penyadap juga? Silahkan," keluhnya.
"Atau kalian lebih suka lihat dia pingsan dulu baru memberi kami ijin keluar?"
***
Beruntungnya, karena masih berada dalam rangkaian sesi acara pencarian calon istri untuk Avram, Laisa dan anak perempuan itu mendapatkan fasilitas kendaraan menuju mini market terdekat. Mereka baru percaya kalau diantarkan langsung oleh sopir keluarga Salomon. Dengan alibi takut dibawa Laisa kabur.
Memang sulit dipungkiri, mengingat latar belakang keluarga Laisa yang tertera jelas pada data diri. Ia hanya bisa menyetujui. Selama anak itu bisa mendapatkan es krim, Laisa tidak merasa perlu memperdebatkan masalah ini.
"Mau apa lagi selain es krim?" Laisa berusaha mengajak anak perempuan itu berinteraksi, "Kau sudah makan? Kenapa pucat begitu mukanya?"
Namun tidak ada jawaban. Anak itu diam seribu bahasa sejak adegan pertengkaran. Dia mengabaikan Laisa seraya memilih es krim yang mencuri minatnya. Memilih satu di antara sekian banyak yang tersedia.
"Ambil dua atau tiga, atau mau susu buat isi perut mungkin?"
Anak itu menoleh pada Laisa sekilas, "Boleh lebih dari satu?" tanyanya kemudian.
"Boleh. Boleh ambil lima juga asal mau makan roti atau ayam krispi yang ada di meja kasir itu, bagaimana?"
Ia tampak bimbang sejenak. Memandang Laisa dan jajaran ayam bergantian. Penawaran itu jelas membuatnya bergejolak. Syarat yang sangat mudah untuk ia laksanakan, bukan?
"Boleh meski aku beli yang besar?" ia meyakinkan sekali lagi demi menghitung peruntungan.
Laisa hanya mengangkat kedua bahunya singkat, "Selama perutmu kuat menghabiskan semua ya silahkan."
Kini anak itu membuang pandangan kepada es krim yang terpajang rapi di hadapannya. Dari binar matanya, dia seperti yakin mampu melelehkan semuanya dalam sekali telan. Kini tatapannya yang penuh keteguhan memandang Laisa, dia menganggukkan kepala.
"Baiklah anak manis, kalau begitu... supaya tidak cair, kau ambil satu dulu, nanti setelah makannya selesai... ambil empat sisanya untuk dibawa pulang. Oke?"
Tak banyak protes, ia sekali lagi mengangguk.
"Mau nasi ayam atau roti?" Laisa membuka penawaran yang paling penting untuk kelangsungan hidup anak itu.
"Mi seduh, boleh?"
Giliran Laisa yang mengangguk, "Sama ayam ya biar enak, mau?"
Ia langsung setuju.
Di bawah pengawasan ketat dari sopir keluarga Salomon, mereka duduk di halaman mini market. Benar saja, anak itu lahap menghabiskan es krim pertamanya dan mi seduh lengkap beserta ayam. Wajah yang semula pucat pasi berangsur cerah. Ia terlihat sedikit lebih bertenaga.
Dan tentu tidak butuh waktu lama baginya untuk menagih janji Laisa. Anak itu mengambil empat box es krim berukuran 700ml tanpa berpikir panjang. Laisa tambahkan susu dan minuman untuk sopir yang sejak tadi berdiri kaku mendampingi mereka.
Yah, meski niat hati ingin menikmati kemewahan satu malam urung dan malah membelanjakan anak kelaparan, Laisa senang. Ia tidak perlu repot-repot menjadi perempuan keren sambil mempertontonkan kepeduliannya agar bisa mencuri hati sang sultan andara.
Lebih-lebih ketika ia melihat anak itu mulai bisa tertawa semringah. Bocah empat tahun itu senang bukan main ketika diijinkan membopong sendiri hasil belanjanya yang setara dengan jatah makan mingguan Laisa. Sekalipun belanja es krim ini adalah pengeluaran tidak terduga, Laisa gembira bisa melakukannya.
"Tante, terima kasih yaaa..." anak itu legit bersuara sambil menikmati suap demi suap es krim dalam peluknya, "Ayah, Oma, Opa, dan Om panggil aku Dedek. Kalau tante dipanggil siapa?"
Laisa yang gemas melihat kecerewatan anak itu tergerlak renyah, dia langsung bisa mengambil kesimpulan kalau diamnya anak itu diakibatkan oleh rasa lapar. "Belum ada yang panggil tante sih, biasanya cuma Laisa," sahutnya.
"Laisa mau es krim juga?"
Laisa semakin tertawa. Bahkan sopir yang sejak tadi menyimak percakapan dan melirik dari kaca spion atas ikut melengkungkan senyuman.
"Tidak, terima kasih. Dedek habiskan saja semua."
"Kalau begitu Laisa bawa satu ya... Dedek sudah kenyang. Nanti biar om sopir juga bawa satu. Terus nanti sisanya dibagikan ke teman-teman lain di pesta. Boleh, kan?"
"Iya... boleh."
Tanpa tergoda rasa ingin tahu, Laisa membiarkan anak itu menghilang begitu sampai di lokasi pesta. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih ada waktu dua jam sebelum mereka semua diijinkan pulang.
Namun, di luar dugaannya, dua jam terakhir itu terasa bagai neraka. Begitu memasuki ruangan pesta, Laisa menjadi pusat perhatian seluruh tamu undangan. Ratusan pasang mata itu tertuju padanya. Menyuguhkan tatapan sinis disertai cibir tajam. Entahlah, Laisa pribadi tidak mengerti alasan situasi ini terjadi. Dia mencoba tidak peduli. Mengalihkan perhatian pada ikan-ikan hias yang giat bermain di bawah ubin. Sampai ketika sepasang kaki berhenti tepat di hadapannya. Pantofel mengkilap yang membuat Laisa terpaksa menyeret ekor mata. "Tidak baca aturan acara, ya?" lelaki dengan garis wajah tegas itu dingin bersuara. Tatapannya datar, gigih menatap lekat iris mata Laisa. Tepat berada di tengah ruangan, Laisa resmi menjadi tontonan. Perempuan-perempuan itu secara naluriah melingkari mereka. Membuat Laisa meringis canggung demi mencairkan suasana. "Maaf, tapi... apa karena saya bawa anak tadi keluar? Saya sudah ijin pihak keamanan..." "Dan kau belikan dia es krim sembarangan?" tukas lela
"Halo?" Laisa sigap mengangkat dering ponselnya yang nyaring di dalam laju kendaraan. Perempuan itu baru bisa bernapas sedikit lebih lega. Keluar dari halaman mansion mewah milik keluarga Salomon dan mengamati penorama jalanan yang lengang. Akan tetapi ketentraman sesaat itu musnah begitu mendengar suara dari balik telpon genggam. Mata Laisa membulat sempurna. "Bu Laisa, saya hampir setengah jam di titik lokasi penjemputan. Mohon maaf ibu di sebelah mana, ya? Ramai sekali, Bu, di sini. Bisa tolong kasih saya tanda?" Sontak Laisa bangkit dari sandaran mobil guna mengamati sekitar. Ia panik bukan main kala lelaki yang memegang kendali kendaraan meliriknya dari spion atas. "Maafkan aku, Nona. Kau terlihat buru-buru dan aku tidak bisa menolak." Mata Laisa menyipit setengah ragu. Mengamati dengan saksama perpaduan antara suara dan sepasang manik mata itu. Tunggu dulu, Laisa tahu. Alih-alih berteriak dan mencari cara turun dari kendaraan, Laisa merangkak ke sela-sela kursi depan. Ia me
"Apa ada kejadian seru di pesta?"Reina yang sejak tadi hanya berpangku tangan memandangi kesibukan Laisa akhirnya bersuara. Dia sudah tidak tahan. Bagaimana mungkin perempuan itu bersikap biasa saja pasca dijebak Reina untuk menghadiri acara perjodohan?Yang semakin membuat Reina semakin penasaran adalah raut wajah Laisa yang cerah semringah. Sosok yang biasanya gampang ngomel hanya karena pelanggan sekadar mampir tanpa membeli barang, bersikap ramah pada semua orang. Entahlah, bahkan wajah datarnya seolah ditanggalkan pada suatu tempat.Sementara Laisa yang tengah disibukkan dengan kegiatan menghitung stok pakaian tak bisa menyembunyikan senyum. Ingatan soal lelaki sapu tangan bernama Gazza itu membuatnya gembira sepanjang waktu. Ia telah dibuat candu."Bisa dibilang begitu," sahut Laisa tanpa menoleh.Masih dengan mode detektifnya, Reina bertanya gamang, "Aku dengar pestanya bubar lebih awal. Kenapa?"Dalam hitungan detik suasana hati Laisa teralih. Bayangan pertengkarannya dengan
Habis sudah akalnya untuk merayu Laisa. Perempuan itu bersikeras mengulang-ulang jawaban yang sama. Sepatah alasan paling tidak logis yang pernah disampaikan Laisa sepanjang sejarah.Sambil sesekali memijat pelipisnya, Reina yang bersindekap dada itu membuang napas berat, "Sejak kapan kau percaya intuisi?""Aku tidak bisa, Rei," tukas Laisa menggeleng gigih."Kau hanya terbawa perasaan, Laisa. Situasinya terlalu mendukung, kau bertemu dengan dia pada titik terlemahmu, itu saja."Barangkali justru karena itu.Ia semakin sulit mengabaikan sosok Gazza yang begitu ramah dan lembut. Murah dalam tersenyum. Juga manis dalam bertutur.Segala komponen dalam diri Gazza berhasil memikat hati Laisa. Meski tanpa kepastian, walau dia sendiri tidak yakin kapan takdir mau mempertemukan, Laisa yakin keputusannya tepat. Ia tidak akan menikahi Avram."Mencintainya?" senyum memincing Reina mengembang, "Omong kosong, Laisa. Kau hanya kesepian dan dia ramah ke semua orang!""Apa yang membuatmu begitu marah
Belum sampai Laisa mengambil keputusan, kabar pernikahan Avram lebih dulu tersebar di penjuru Nusantara. Satu perempuan misterius yang identitasnya dijaga dengan ketat. Ia mendapat mobil jemputan beberapa menit kemudian. Persis seperti tahanan, Laisa diringkus tanpa sempat mengelak. Ucapan Kim Sarang soal 'berhak menolak' rupanya hanya omong kosong semata. Pernikahan itu memang telah disusun secara mutlak sejak pengumaman pencarian calon pengantin wanita resmi dibuat. Dan seolah sudah sepakat, Reina hanya memandangnya dari kejauhan. Tanpa melambaikan tangan perpisahan, atau kalimat lain yang mengakhiri perjumpaan mereka. Laisa hanya bisa terduduk pasrah. Meratapi jalan hidupnya yang kian kacau berantakan. Usai bangkrut, menghadapi kematian kedua orang tua, serta terlilit hutang hingga bertahun-tahun lamanya. Tinggal selangkah lagi menuju kebebasan. Kurang satu tahap untuk menjemput cinta sejatinya. Ia terjerumus dalam pernikahan paksa yang dirancang oleh orang-orang kaya. Entah ke
"Apa yang kau lakukan?" Dingin suara Avram mencengkeram nuansa pekat pada seisi ruangan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu menatap punggung letih Laisa yang berbaring membelakanginya. Tiga per empat malam pesta itu dihabiskan olehnya sendiri di atas pelaminan. "Jawab, Laisa," tandas Avram penuh penekanan. Lelaki itu sudah mengepalkan dua telapan tangan erat-erat. Menahan amarahnya yang sudah sampai di puncak kepala. Kalau saja Laisa tidak menunjukkan pergerakan, entah bagaimana kalut Avram akan menghabisinya. "Kau melihatnya, Avram, jangan pura-pura buta," komentar Laisa tanpa menoleh. Matanya sudah sembab, habis untuk menangisi sosok Gazza. Tapi dia memanfaatkan masalah yang lebih masuk akal, yang juga ia pakai beralibi pada sang ibu mertua. "Lihat aku jika bicara." "Aku hanya ingin istirahat dengan tenang, bisakah..." "Lihat aku, Laisa!" gelegar suara Avram menyambar seisi kamar. Lelaki itu melempar salah satu perabot yang berada dalam jangkauannya hingga pecah belah. Membuat
Denting sendok yang beradu dengan piring terhenti. Suasana ruang makan membeku begitu sosok Avram berdiri di ambang pintu masuk. Hanya Nada yang tersenyum, bocah yang menempel pada Laisa itu melambaikan tangannya sebagai isyarat agar sang ayah ikut bergabung. "Berangkat sekarang, Nada, Daddy ada rapat sebelum jam delapan," ujarnya lembut meski tanpa senyuman. "Rapat?" Kim Sarang meletakkan alat makannya kesal, "Menikah baru kemarin sudah mau rapat? Nada tidak sekolah, jadi aku harap kalian menghabiskan waktu bertiga." Dengan sigap, Gazza yang duduk di samping kanan wanita itu menggenggam punggung tangannya. Ia berusaha meredahkan amarah. Sementara Laisa yang duduk di seberang Kim Sarang menyibukkan diri pada Nada. Ia tidak tertarik melirik Avram. "Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," sahut Avram seraya mendekat. Membuat Nada yang semula duduk tenang terpaksa harus bersiap memenuhi panggilan. Akan tetapi, Gazza bangkit dari duduknya, "Nada denganku saja. Sepertinya kalian bertiga
Mudah saja bagi Laisa untuk memesan taksi dan kembali ke kediaman Salomon. Namun, ia memilih berjalan kaki tanpa tujuan. Menikmati nyerinya tapak demi tapak langkah yang ia jejak. Kamar kos yang ia sewa, sudah bersih dari barang pribadinya. Orang suruhan Salomon dengan sigap menyeleksi barang yang layak digunakan dan tidak. Mereka membuang apapun yang dirasa tidak lagi berguna. Oleh karena itu, Laisa tidak bisa pulang ke sana. Reina? Ah, tentu saja. Perempuan itu bahkan tidak menghubungi Laisa lagi selepas pesta pernikahan. Apalagi soal Leon. Laisa bahkan tidak tahu harus membicarakan kepada siapa masalah itu. Mana mungkin Reina percaya? Bahwa Leon menggoda dirinya. Perempuan itu mungkin akan berasumsi bahwa Laisa masih bersikeras memisahkan hubungan seperti sebelum-sebelumnya. Dan yah... memang apalagi yang Laisa harapkan dari persahabatan mereka? Tidak ada. Persahabatan mereka sudah hancur sejak Reina memilih untuk menyeret Laisa dalam perjodohan keluarga Salomon tanpa sepengat
Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me
"Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al
"Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A
"Apa maksudnya?" Kim Sarang memijat pelipis sambil bersuara lemah, "Menghapus Gazza dari keluarga Salomon? Tidakkah itu keterlaluan?"Avram masih dalam diamnya. Ia menyisipkan jemari pada sela-sela jari Laisa guna menenangkan diri dari amarah. Sementara Laisa tertunduk dalam, berusaha keras menghindari tatapan Gazza."Apa ini kesepakatan yang kalian buat berdua?" Henry Salomon ikut bertanya. Ia mencoba mencerna situasi dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, "Nak Laisa? Apa kau terlibat dalam keputusan Avram? Apakah menurutmu itu bijaksana?"Mata Laisa sontak berlarian, ia terkejut bukan main. Kim Sarang yang tampak berharap cemas, sementara Henry Salomon yang menuntut jawaban. Laisa semakin erat menggenggam tangan Avram. Ia tak mampu menemukan jawaban.Laisa tahu, ia paham betul betapa Gazza mengatinya sekarang."Laisa mungkin akan menempati posisi Nyonya Kim begitu saya menjabat, dan atas kesepakatan kami, jauh lebih baik jika Gazza tak terlibat pada lini bisnis Salomon begitu say
"Aku akan memajukan hari pelantikan," Avram bersuara serak sembari membelai lembut rambut Laisa yang berbaring pada lengannya.Mereka menghabiskan hari yang panjang. Saling memuja, mendamba, serta menginginkan. Dan kalimat Avram yang terdengar menggantung di udara itu membuat Laisa mendongak."Setelah itu apa?" tanya Laisa, ia berusaha keras mencerna air muka Avram yang tegak lurus menatap ke depan."Menghapus Gazza dari garis keluarga."Sepersekian detik itu, Laisa tercekat. Sontak saja ia membuang pandang menjauh sambil bergerak bangkit dari tidurnya. Membicarakan Gazza dalam hubungan mereka tetaplah janggal, Laisa masih merasa getaran samar meski mulai melemah."Kau akan mengusirnya?" Laisa kembali bertanya, kali ini ia membungi Avram agar tak menyaksikan raut murka."Dia selalu ingin pergi, bukan?"Laisa berbalik, menatap manik mata Avram tidak mengerti. Mengapa tenang sekali? Sejak kapan Avram memiliki tabiat seperti ini?"Aku menyampaikannya sebagai bentuk percayaku, Laisa. Aku
Nyeri, begitulah satu kata yang bisa menggambarkan situasi Laisa saat ini. Perempuan itu terbaring lemah di atas ranjang dengan air mata yang terus mengalir. Pedih, menyerahkan diri kepada Avram selalu terasa begitu sakit.Padahal lelaki itu pernah sebegitu lembut padanya. Sempat juga membuat ia merasa seperti diperlakukan sebagaimana istri normal. Tapi tidakkah semua itu hanya tipu daya? Tabiat buruk Avram soal amarah tidak akan pernah berubah.Bahkan sekalipun semua ini disebabkan oleh kesalahannya yang berselingkuh dengan Gazza, Avram tak berhak bersikap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, Laisa memaksa dirinya bangkit dari posisi terlentang. Mencoba duduk meski tulang selangkanya enggan diajak kerjasama. Laisa mendesis kala kakinya berhasil menggantung di pinggir ranjang, kemudian mengedarkan pandang guna mencari helai-helai kain yang bisa melindungi tubuh bugilnya.Namun sial, Avram seperti tidak Sudi mengijinkannya berbusana. Bahkan secarik selimut pun tak bisa Laisa temukan.
Laju kendaraan Avram bukan menuju rumah utama, melainkan hunian pinggir pantai miliknya. Ia harus memberi Laisa pelajaran. Menunjukkan akibat dari perbuatan kurang ajar yang Laisa lakukan.Dengan kemudi yang ugal-ugalan, Avram tak berhenti mendenguskan murka. Lelaki itu sesekali melirik tajam Laisa lewat spion atas. Tindakan yang membuat Laisa menciut pasrah dengan linang air mata.Pikiran Laisa campur aduk tidak jelas. Sembari merasakan nyeri di sebujur tubuhnya akibat tindak kasar Avram. Pada momen itu, Laisa bahkan tidak peduli jika harus meregang nyawa. Apapun murka Avram telah siap ia terima.Mobil terparkir usai mempersingkat perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Avram membuka pintu belakang lantas menarik kasar lengan Laisa. "Jalan yang benar!" titah Avram tegas, sambil menyeret Laisa serupa tawanan penjahat.Mereka sampai di depan pintu dengan sambutan debur ombak. Sedetik kemudian Avram menekan tombol sandi, dan langsung mendorong Laisa ke sofa begitu pintu terbuka.
"Bu Midah? Mana Laisa?"Kening Avram mengernyit heran. Ia sudah mencari perempuan itu di kamar namun nihil bersua. Tapi jauh lebih mengherankannya lagi adalah kamar Nada, untuk apa Bu Midah berusaha menidurkannya?Dengan berat hati, Bu Midah memberikan isyarat agar Avram tidak menimbulkan kegaduhan. Nada butuh waktu terlelap, dan Avram terpaksa mundur perlahan sambil menahan rasa penasaran.Pesta bakar-bakar sebagai kejutan sudah disiapkan. Oleh-oleh yang ia bawa juga keluar dari bagasi mobil semua. Tapi apa yang terjadi selama Avram tidak ada? Kemana perginya Laisa?Enggan berlama-lama mengadu jawab dan tanya di kepala, Avram berusaha menelpon Laisa. Tetapi belasan kali pun ia mengulang hal yang sama, panggilannya tetap dijawab oleh mesin suara. Avram berdecak sengit, ia menganalisis berbagai skenario yang paling mungkin."Batalkan semuanya," titah Avram datar, rahang bawah langsung mengeras kala melihat sosok Tej berjalan ke arahnya."Mohon maaf, bagaimana, Tuan?" Tej memastikan. Me
Tidak munafik, pertemuan dengan Kim Sarang tentu menggunjang jiwa Gazza. Ia tidak tenang, mungkinkah Kim Sarang menyadari hubungan mereka? Wanita itu juga bukan tipe manusia yang berpegang teguh pada asumsi semata.Melihat dari tabiatnya, jelas, Kim Sarang telah menemukan bukti yang kuat.Di dalam kekalutannya, Gazza secara sadar menekan pedal gas menjauhi kota. Ia seperti sengaja mengalihkan perhatian pada kemudi alih-alih kalut pikiran. Gazza lari menjauhi fakta, bahwa hubungannya dengan Laisa merupakan sebuah kesalahan besar.Tapi Gazza bisa apa? Ia mencintai Laisa. Tak bisakah itu menjadi satu-satunya alasan untuk membenarkan? Toh kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, Gazza lebih dulu bertemu Laisa.Ia lebih dulu jatuh cinta padanya. Mereka layak untuk bersama dibanding dengan siapapun di dunia. Gazza dan Laisa adalah takdir yang sempurna.Tentu saja Gazza marah, kesal, murka, segala perpaduan emosional yang sejujurnya sulit dicerna. Apakah benar semua ini adalah kesalahannya