"Halo?" Laisa sigap mengangkat dering ponselnya yang nyaring di dalam laju kendaraan. Perempuan itu baru bisa bernapas sedikit lebih lega. Keluar dari halaman mansion mewah milik keluarga Salomon dan mengamati penorama jalanan yang lengang. Akan tetapi ketentraman sesaat itu musnah begitu mendengar suara dari balik telpon genggam. Mata Laisa membulat sempurna. "Bu Laisa, saya hampir setengah jam di titik lokasi penjemputan. Mohon maaf ibu di sebelah mana, ya? Ramai sekali, Bu, di sini. Bisa tolong kasih saya tanda?" Sontak Laisa bangkit dari sandaran mobil guna mengamati sekitar. Ia panik bukan main kala lelaki yang memegang kendali kendaraan meliriknya dari spion atas. "Maafkan aku, Nona. Kau terlihat buru-buru dan aku tidak bisa menolak." Mata Laisa menyipit setengah ragu. Mengamati dengan saksama perpaduan antara suara dan sepasang manik mata itu. Tunggu dulu, Laisa tahu. Alih-alih berteriak dan mencari cara turun dari kendaraan, Laisa merangkak ke sela-sela kursi depan. Ia me
"Apa ada kejadian seru di pesta?"Reina yang sejak tadi hanya berpangku tangan memandangi kesibukan Laisa akhirnya bersuara. Dia sudah tidak tahan. Bagaimana mungkin perempuan itu bersikap biasa saja pasca dijebak Reina untuk menghadiri acara perjodohan?Yang semakin membuat Reina semakin penasaran adalah raut wajah Laisa yang cerah semringah. Sosok yang biasanya gampang ngomel hanya karena pelanggan sekadar mampir tanpa membeli barang, bersikap ramah pada semua orang. Entahlah, bahkan wajah datarnya seolah ditanggalkan pada suatu tempat.Sementara Laisa yang tengah disibukkan dengan kegiatan menghitung stok pakaian tak bisa menyembunyikan senyum. Ingatan soal lelaki sapu tangan bernama Gazza itu membuatnya gembira sepanjang waktu. Ia telah dibuat candu."Bisa dibilang begitu," sahut Laisa tanpa menoleh.Masih dengan mode detektifnya, Reina bertanya gamang, "Aku dengar pestanya bubar lebih awal. Kenapa?"Dalam hitungan detik suasana hati Laisa teralih. Bayangan pertengkarannya dengan
Habis sudah akalnya untuk merayu Laisa. Perempuan itu bersikeras mengulang-ulang jawaban yang sama. Sepatah alasan paling tidak logis yang pernah disampaikan Laisa sepanjang sejarah.Sambil sesekali memijat pelipisnya, Reina yang bersindekap dada itu membuang napas berat, "Sejak kapan kau percaya intuisi?""Aku tidak bisa, Rei," tukas Laisa menggeleng gigih."Kau hanya terbawa perasaan, Laisa. Situasinya terlalu mendukung, kau bertemu dengan dia pada titik terlemahmu, itu saja."Barangkali justru karena itu.Ia semakin sulit mengabaikan sosok Gazza yang begitu ramah dan lembut. Murah dalam tersenyum. Juga manis dalam bertutur.Segala komponen dalam diri Gazza berhasil memikat hati Laisa. Meski tanpa kepastian, walau dia sendiri tidak yakin kapan takdir mau mempertemukan, Laisa yakin keputusannya tepat. Ia tidak akan menikahi Avram."Mencintainya?" senyum memincing Reina mengembang, "Omong kosong, Laisa. Kau hanya kesepian dan dia ramah ke semua orang!""Apa yang membuatmu begitu marah
Belum sampai Laisa mengambil keputusan, kabar pernikahan Avram lebih dulu tersebar di penjuru Nusantara. Satu perempuan misterius yang identitasnya dijaga dengan ketat. Ia mendapat mobil jemputan beberapa menit kemudian. Persis seperti tahanan, Laisa diringkus tanpa sempat mengelak. Ucapan Kim Sarang soal 'berhak menolak' rupanya hanya omong kosong semata. Pernikahan itu memang telah disusun secara mutlak sejak pengumaman pencarian calon pengantin wanita resmi dibuat. Dan seolah sudah sepakat, Reina hanya memandangnya dari kejauhan. Tanpa melambaikan tangan perpisahan, atau kalimat lain yang mengakhiri perjumpaan mereka. Laisa hanya bisa terduduk pasrah. Meratapi jalan hidupnya yang kian kacau berantakan. Usai bangkrut, menghadapi kematian kedua orang tua, serta terlilit hutang hingga bertahun-tahun lamanya. Tinggal selangkah lagi menuju kebebasan. Kurang satu tahap untuk menjemput cinta sejatinya. Ia terjerumus dalam pernikahan paksa yang dirancang oleh orang-orang kaya. Entah ke
"Apa yang kau lakukan?" Dingin suara Avram mencengkeram nuansa pekat pada seisi ruangan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu menatap punggung letih Laisa yang berbaring membelakanginya. Tiga per empat malam pesta itu dihabiskan olehnya sendiri di atas pelaminan. "Jawab, Laisa," tandas Avram penuh penekanan. Lelaki itu sudah mengepalkan dua telapan tangan erat-erat. Menahan amarahnya yang sudah sampai di puncak kepala. Kalau saja Laisa tidak menunjukkan pergerakan, entah bagaimana kalut Avram akan menghabisinya. "Kau melihatnya, Avram, jangan pura-pura buta," komentar Laisa tanpa menoleh. Matanya sudah sembab, habis untuk menangisi sosok Gazza. Tapi dia memanfaatkan masalah yang lebih masuk akal, yang juga ia pakai beralibi pada sang ibu mertua. "Lihat aku jika bicara." "Aku hanya ingin istirahat dengan tenang, bisakah..." "Lihat aku, Laisa!" gelegar suara Avram menyambar seisi kamar. Lelaki itu melempar salah satu perabot yang berada dalam jangkauannya hingga pecah belah. Membuat
Denting sendok yang beradu dengan piring terhenti. Suasana ruang makan membeku begitu sosok Avram berdiri di ambang pintu masuk. Hanya Nada yang tersenyum, bocah yang menempel pada Laisa itu melambaikan tangannya sebagai isyarat agar sang ayah ikut bergabung. "Berangkat sekarang, Nada, Daddy ada rapat sebelum jam delapan," ujarnya lembut meski tanpa senyuman. "Rapat?" Kim Sarang meletakkan alat makannya kesal, "Menikah baru kemarin sudah mau rapat? Nada tidak sekolah, jadi aku harap kalian menghabiskan waktu bertiga." Dengan sigap, Gazza yang duduk di samping kanan wanita itu menggenggam punggung tangannya. Ia berusaha meredahkan amarah. Sementara Laisa yang duduk di seberang Kim Sarang menyibukkan diri pada Nada. Ia tidak tertarik melirik Avram. "Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," sahut Avram seraya mendekat. Membuat Nada yang semula duduk tenang terpaksa harus bersiap memenuhi panggilan. Akan tetapi, Gazza bangkit dari duduknya, "Nada denganku saja. Sepertinya kalian bertiga
Mudah saja bagi Laisa untuk memesan taksi dan kembali ke kediaman Salomon. Namun, ia memilih berjalan kaki tanpa tujuan. Menikmati nyerinya tapak demi tapak langkah yang ia jejak. Kamar kos yang ia sewa, sudah bersih dari barang pribadinya. Orang suruhan Salomon dengan sigap menyeleksi barang yang layak digunakan dan tidak. Mereka membuang apapun yang dirasa tidak lagi berguna. Oleh karena itu, Laisa tidak bisa pulang ke sana. Reina? Ah, tentu saja. Perempuan itu bahkan tidak menghubungi Laisa lagi selepas pesta pernikahan. Apalagi soal Leon. Laisa bahkan tidak tahu harus membicarakan kepada siapa masalah itu. Mana mungkin Reina percaya? Bahwa Leon menggoda dirinya. Perempuan itu mungkin akan berasumsi bahwa Laisa masih bersikeras memisahkan hubungan seperti sebelum-sebelumnya. Dan yah... memang apalagi yang Laisa harapkan dari persahabatan mereka? Tidak ada. Persahabatan mereka sudah hancur sejak Reina memilih untuk menyeret Laisa dalam perjodohan keluarga Salomon tanpa sepengat
"Hei, Honey." Perempuan itu semringah. Berjoget mengikuti dentum musik diskotik yang diputar dengan volume maksimal. Ia mengenakan dress hitam dengan punggung belakang yang terbuka. Sengaja menunjukkan kemolekan dirinya di hadapan Avram Ranendra Salomon. "Ikut aku, Karina. Kita tidak bisa bicara di tempat seperti ini," datar Avram menanggapi. "Oh, ayolah, Honey... berusahalah untuk beradaptasi. Mau sampai kapan kau kaku dan terlalu formal seperti ini? Nikmati saja, dan... awhh..." Avram yang tidak mau berbasa-basi menyeret lengan Karina. Perempuan itu tentu kesulitan memberontak. Cengkraman Avram yang begitu kuat membuatnya terpaksa patuh jika tidak mau jatuh di tengah keramaian. Ia baru melepaskan Karina begitu sampai di ruangan khusus yang kedap suara. Avram sudah menyewa tempat untuk menemui perempuan itu jauh dari sorot publik dan kamera. Ada hal penting yang harus mereka selesaikan. "Sakit, Honey. Tempramenmu sepertinya semakin buruk setelah aku tinggal pergi," gerutu Karin
Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me
"Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al
"Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A
"Apa maksudnya?" Kim Sarang memijat pelipis sambil bersuara lemah, "Menghapus Gazza dari keluarga Salomon? Tidakkah itu keterlaluan?"Avram masih dalam diamnya. Ia menyisipkan jemari pada sela-sela jari Laisa guna menenangkan diri dari amarah. Sementara Laisa tertunduk dalam, berusaha keras menghindari tatapan Gazza."Apa ini kesepakatan yang kalian buat berdua?" Henry Salomon ikut bertanya. Ia mencoba mencerna situasi dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, "Nak Laisa? Apa kau terlibat dalam keputusan Avram? Apakah menurutmu itu bijaksana?"Mata Laisa sontak berlarian, ia terkejut bukan main. Kim Sarang yang tampak berharap cemas, sementara Henry Salomon yang menuntut jawaban. Laisa semakin erat menggenggam tangan Avram. Ia tak mampu menemukan jawaban.Laisa tahu, ia paham betul betapa Gazza mengatinya sekarang."Laisa mungkin akan menempati posisi Nyonya Kim begitu saya menjabat, dan atas kesepakatan kami, jauh lebih baik jika Gazza tak terlibat pada lini bisnis Salomon begitu say
"Aku akan memajukan hari pelantikan," Avram bersuara serak sembari membelai lembut rambut Laisa yang berbaring pada lengannya.Mereka menghabiskan hari yang panjang. Saling memuja, mendamba, serta menginginkan. Dan kalimat Avram yang terdengar menggantung di udara itu membuat Laisa mendongak."Setelah itu apa?" tanya Laisa, ia berusaha keras mencerna air muka Avram yang tegak lurus menatap ke depan."Menghapus Gazza dari garis keluarga."Sepersekian detik itu, Laisa tercekat. Sontak saja ia membuang pandang menjauh sambil bergerak bangkit dari tidurnya. Membicarakan Gazza dalam hubungan mereka tetaplah janggal, Laisa masih merasa getaran samar meski mulai melemah."Kau akan mengusirnya?" Laisa kembali bertanya, kali ini ia membungi Avram agar tak menyaksikan raut murka."Dia selalu ingin pergi, bukan?"Laisa berbalik, menatap manik mata Avram tidak mengerti. Mengapa tenang sekali? Sejak kapan Avram memiliki tabiat seperti ini?"Aku menyampaikannya sebagai bentuk percayaku, Laisa. Aku
Nyeri, begitulah satu kata yang bisa menggambarkan situasi Laisa saat ini. Perempuan itu terbaring lemah di atas ranjang dengan air mata yang terus mengalir. Pedih, menyerahkan diri kepada Avram selalu terasa begitu sakit.Padahal lelaki itu pernah sebegitu lembut padanya. Sempat juga membuat ia merasa seperti diperlakukan sebagaimana istri normal. Tapi tidakkah semua itu hanya tipu daya? Tabiat buruk Avram soal amarah tidak akan pernah berubah.Bahkan sekalipun semua ini disebabkan oleh kesalahannya yang berselingkuh dengan Gazza, Avram tak berhak bersikap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, Laisa memaksa dirinya bangkit dari posisi terlentang. Mencoba duduk meski tulang selangkanya enggan diajak kerjasama. Laisa mendesis kala kakinya berhasil menggantung di pinggir ranjang, kemudian mengedarkan pandang guna mencari helai-helai kain yang bisa melindungi tubuh bugilnya.Namun sial, Avram seperti tidak Sudi mengijinkannya berbusana. Bahkan secarik selimut pun tak bisa Laisa temukan.
Laju kendaraan Avram bukan menuju rumah utama, melainkan hunian pinggir pantai miliknya. Ia harus memberi Laisa pelajaran. Menunjukkan akibat dari perbuatan kurang ajar yang Laisa lakukan.Dengan kemudi yang ugal-ugalan, Avram tak berhenti mendenguskan murka. Lelaki itu sesekali melirik tajam Laisa lewat spion atas. Tindakan yang membuat Laisa menciut pasrah dengan linang air mata.Pikiran Laisa campur aduk tidak jelas. Sembari merasakan nyeri di sebujur tubuhnya akibat tindak kasar Avram. Pada momen itu, Laisa bahkan tidak peduli jika harus meregang nyawa. Apapun murka Avram telah siap ia terima.Mobil terparkir usai mempersingkat perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Avram membuka pintu belakang lantas menarik kasar lengan Laisa. "Jalan yang benar!" titah Avram tegas, sambil menyeret Laisa serupa tawanan penjahat.Mereka sampai di depan pintu dengan sambutan debur ombak. Sedetik kemudian Avram menekan tombol sandi, dan langsung mendorong Laisa ke sofa begitu pintu terbuka.
"Bu Midah? Mana Laisa?"Kening Avram mengernyit heran. Ia sudah mencari perempuan itu di kamar namun nihil bersua. Tapi jauh lebih mengherankannya lagi adalah kamar Nada, untuk apa Bu Midah berusaha menidurkannya?Dengan berat hati, Bu Midah memberikan isyarat agar Avram tidak menimbulkan kegaduhan. Nada butuh waktu terlelap, dan Avram terpaksa mundur perlahan sambil menahan rasa penasaran.Pesta bakar-bakar sebagai kejutan sudah disiapkan. Oleh-oleh yang ia bawa juga keluar dari bagasi mobil semua. Tapi apa yang terjadi selama Avram tidak ada? Kemana perginya Laisa?Enggan berlama-lama mengadu jawab dan tanya di kepala, Avram berusaha menelpon Laisa. Tetapi belasan kali pun ia mengulang hal yang sama, panggilannya tetap dijawab oleh mesin suara. Avram berdecak sengit, ia menganalisis berbagai skenario yang paling mungkin."Batalkan semuanya," titah Avram datar, rahang bawah langsung mengeras kala melihat sosok Tej berjalan ke arahnya."Mohon maaf, bagaimana, Tuan?" Tej memastikan. Me
Tidak munafik, pertemuan dengan Kim Sarang tentu menggunjang jiwa Gazza. Ia tidak tenang, mungkinkah Kim Sarang menyadari hubungan mereka? Wanita itu juga bukan tipe manusia yang berpegang teguh pada asumsi semata.Melihat dari tabiatnya, jelas, Kim Sarang telah menemukan bukti yang kuat.Di dalam kekalutannya, Gazza secara sadar menekan pedal gas menjauhi kota. Ia seperti sengaja mengalihkan perhatian pada kemudi alih-alih kalut pikiran. Gazza lari menjauhi fakta, bahwa hubungannya dengan Laisa merupakan sebuah kesalahan besar.Tapi Gazza bisa apa? Ia mencintai Laisa. Tak bisakah itu menjadi satu-satunya alasan untuk membenarkan? Toh kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, Gazza lebih dulu bertemu Laisa.Ia lebih dulu jatuh cinta padanya. Mereka layak untuk bersama dibanding dengan siapapun di dunia. Gazza dan Laisa adalah takdir yang sempurna.Tentu saja Gazza marah, kesal, murka, segala perpaduan emosional yang sejujurnya sulit dicerna. Apakah benar semua ini adalah kesalahannya