"Hei, Honey." Perempuan itu semringah. Berjoget mengikuti dentum musik diskotik yang diputar dengan volume maksimal. Ia mengenakan dress hitam dengan punggung belakang yang terbuka. Sengaja menunjukkan kemolekan dirinya di hadapan Avram Ranendra Salomon. "Ikut aku, Karina. Kita tidak bisa bicara di tempat seperti ini," datar Avram menanggapi. "Oh, ayolah, Honey... berusahalah untuk beradaptasi. Mau sampai kapan kau kaku dan terlalu formal seperti ini? Nikmati saja, dan... awhh..." Avram yang tidak mau berbasa-basi menyeret lengan Karina. Perempuan itu tentu kesulitan memberontak. Cengkraman Avram yang begitu kuat membuatnya terpaksa patuh jika tidak mau jatuh di tengah keramaian. Ia baru melepaskan Karina begitu sampai di ruangan khusus yang kedap suara. Avram sudah menyewa tempat untuk menemui perempuan itu jauh dari sorot publik dan kamera. Ada hal penting yang harus mereka selesaikan. "Sakit, Honey. Tempramenmu sepertinya semakin buruk setelah aku tinggal pergi," gerutu Karin
Sosok yang paling mengkhawatirkan kepergiannya adalah Kim Sarang. Wanita itu banyak bertanya pada Laisa mengenai kronologi kejadian. Bahkan ia sampai menyampaikan ribuan maaf atas tindak tanduk putranya. Seakan-akan dia adalah segala penyebab dari kebiadapan Avram. Akan tetapi, tragedi bengis yang Laisa sampaikan tak membuat Kim Sarang melunak. Ia menolak mentah-mentah keinginan Laisa untuk pisah kamar. Baginya, pernikahan tetaplah pernikahan. Apapun yang terjadi di dalamnya, mereka tetaplah sepasang. Tentu Laisa akan menyanggah kalau saja Gazza tidak menahannya. Lelaki itu mengaku tidak keberatan. Sekalipun hubungan mereka telah menjadi spesial, bagaimanapun Laisa tetap berstatus sebagai istri sah Avram. Lagipula, Gazza tidak ingin membantah titah sang ibunda. Laisa terpaksa menelan keputusan itu bulat-bulat. Tinggal berdua dengan Avram sepanjang malam. Berharap ia bisa tidur tiga kali lebih nyenyak sampai tak menyadari keberadaan lelaki itu di sisinya. Sekaligus berdoa agar kejad
Tiada nafsu bagi Laisa untuk menyentuh makanan. Ia enggan beranjak dari pembaringan. Mengabaikan ketukan demi ketukan pintu yang tak ada hentinya. Sampai belasan panggilan tidak terjawab dari Gazza. Sekalipun sesekali suara Kim Sarang muncul diikuti teriakan Nada. Laisa tidak tergugah. Dunia Laisa terasa runtuh tiap kali mengingat kejadian semalam. Ya. Aktifitas yang ia lakukan sepanjang hari hanyalah berendam. Menggosok tanda kemerahan yang Avram tinggalkan di sebujur tubuhnya kemudian kembali terisak. Dia semakin merasa kotor dan tidak berharga. Rasa jijik Laisa terhadap dirinya jauh lebih besar dibanding kedinginan. Ia tidak peduli meski ujung-ujung jarinya keriput memucat. Bahkan ia cenderung ikhlas jika Tuhan merenggut nyawanya detik itu juga. Lambat laun, Laisa mulai rindu pada kehidupan lamanya. Mengurus toko dan pelanggan. Mungkin sesekali ia akan mendapat kritik pedas dari Tuan Lesmana. Tapi sungguh itu bukan masalah, ia lebih rela menghabiskan sisa hidupnya dikerjar rent
Satu kali, dua kali mengerjap. Iris mata Laisa tertimpa silau cahaya. Seperti ada yang salah dengan kematiannya. Dia masih bisa merasakan remuk tulang belulang. Bahkan sistem pernapasannya bisa terdengar oleh telinga, mana mungkin mati bisa serupa kehidupan?Laisa memaksa ekor matanya bekerja lebih keras. Menyeret mereka berpedar mengelilingi ruangan. Kabar buruk selanjutnya yang terpaksa ia telan adalah kenyataan bahwa dirinya masih berada di kamar yang sama. Sebuah ruangan yang memuat ingatan kelam.Tak butuh waktu lama hingga akhirnya Laisa memahami situasinya sekarang. Dia selamat. Usaha untuk menenggelamkan diri di dalam bathtup purna gagal total. Mimpi soal kilasan hidup yang konon merupakan tanda kematian hanya halusinasi semata. Ia kembali ke kehidupan Laisa."Hei, Mommy... are you oke?" suara melengking nan lembut itu muncul seiring dengan wajah imutnya. Gadis mungil yang menjadi alasan Laisa menikah. Putri kecilnya.Laisa menyuguhkan senyum hangat, meski kekecewaan begitu be
"Dan apa yang kau lakukan sepanjang liburan? Kau tidak sedang berusaha melakukan upaya pembunuhan terhadap Laisa, kan?" Kim Sarang membanting berkas-berkas yang butuh tanda tangannya sembarangan. Desah panjangnya memenuhi seisi ruangan. Sambil melepaskan kacamata, wanita itu menyandarkan badan pada punggung kuris kerjanya. "Kami bukan sedang meminta ijin, Nyonya Kim. Ini keputusan," Avram yang tidak pernah peduli dengan reaksi Kim Sarang itu langsung menjawab. "Dengar, Laisa. Di rumah ini kau tidak perlu patuh pada Avram. Sejak awal kau adalah bagian dari urusanku, jadi laporkan saja kalau dia membuat ulah," Kim Sarang mengabaikan Avram, ia lebih tertarik menasihati Laisa yang berdiri ringkih di samping Avram. Sejak masuk ke kediaman keluarga Salomon, Laisa selalu makan dengan porsi kecil. Ia bahkan melawati momen-momen sulit semenjak resmi menjadi seorang istri. Kim Sarang tentu khawatir, dan secara teknis ia tidak takut pada Avram sama sekali. Bagi Kim Sarang, Avram selalu boca
Lengking suara Avram terdengar bisig meneriakkan nama Laisa. Sementara dua sejoli itu masih bersembunyi di dalam ruangan, saling memandang guna mencari jalan keluar. Pilihannya hanya dua, membiarkan Avram mengetahui hubungan mereka, atau mengijinkan Laisa pergi berlibur sekarang. "Ini kesempatan bagus untuk kita, Gazza. Avram hanya butuh aku sebagai pengalih perhatian terhadap Karina, dan kau mungkin bisa membujuk perempuan itu selagi kami ke luar kota," ujar Laisa setengah merengek dalam bisiknya. "Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi karena ulahnya." "Dan kau memilih hubungan kita berakhir sekarang karena ketahuan? Aku tidak sepakat. Kau hanya perlu ke luar sekarang, dan menggiring Avram sedikit menjauh dari ruang kerja. Aku akan berlari ke lapangan menyusul Nada." "Tap..." "Tolong hormati pilihanku, Gazza. Aku bersumpah akan menghubungimu setiap saat." Gamang. Gazza berdiri di antara keraguan. Ia tidak cukup berani mengambil keputusan melepas Laisa bersama kakak le
"Nada tidak bisa mandi air dingin, tolong rebuskan air," ujar Avram sembari tersenyum manis.Itu adalah titah yang ia layangkan sekian juta kali. Masalahnya lelaki itu tahu betul jika Laisa masih menyikat toilet yang menurutnya kotor dan sangat jijik. Belum lagi Nada yang terus mengeluh terkait serangga nyamuk yang banyak sekali.Laisa memang terbiasa hidup miskin, tapi bukan untuk mengurusi hidup manusia lain. Dua keturunan sultan ini persis seperti bayi. Membuat Laisa melempar sikat toilet sambil bertolak pinggang guna meluapkan emosi."Laisa... sepertinya perbekalan makan Nada belum diangkat dari mobil ya?" teriak Avram lagi, seolah tidak peduli sudah berapa banyak perintah yang belum Laisa selesaikan hingga detik ini.Akan tetapi Laisa tidak bisa menunjukkan amarahnya di hadapan Nada. Bocah empat tahun itu bersikeras tidak mau tidur meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan betapa terkejutnya ia begitu sampai di ruang tengah. Avram mengobrak-abrik seluruh tas perbekalan
"Apa ini kau sebut mencuci?" Dingin suara Avram menggema. Lelaki itu berada di ruang tengah sembari mengamati hasil jemuran Laisa sementara yang diajak bicara sibuk menyiapkan menu makan siang. Menginjak hari ke tiga edisi liburan mereka, dan Avram yang super cerewet itu selalu menyodorkan list makanan persis seperti di rumah utama. Tentu Laisa hanya bisa mengusap peluhnya, kemudian mendengus sejenak. Percuma menanggapi protesan Avram dengan amarah. Tenaga Laisa menjadi terkuras dua kali lipat. "Kau sisihkan saja kalau masih kotor," begitu sahutnya sedikit berteriak. Dua manusia itu tengah bebas bersuara. Nada baru tidur dini hari sehingga tidak akan tergugah dengan kegaduhan mereka. Lagipula bocah empat tahun itu mulai menikmati kegiatan mereka, dia merasa mendapat banyak perhatian. "Semua. Cuci ulang semua." Spontan Laisa meletakkan seluruh alat masak. Embusan napas yang ia lontarkan tidak cukup untuk menampung kesabaran. Perempuan itu bahkan sampai memejamkan mata sejenak, seb
Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me
"Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al
"Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A
"Apa maksudnya?" Kim Sarang memijat pelipis sambil bersuara lemah, "Menghapus Gazza dari keluarga Salomon? Tidakkah itu keterlaluan?"Avram masih dalam diamnya. Ia menyisipkan jemari pada sela-sela jari Laisa guna menenangkan diri dari amarah. Sementara Laisa tertunduk dalam, berusaha keras menghindari tatapan Gazza."Apa ini kesepakatan yang kalian buat berdua?" Henry Salomon ikut bertanya. Ia mencoba mencerna situasi dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, "Nak Laisa? Apa kau terlibat dalam keputusan Avram? Apakah menurutmu itu bijaksana?"Mata Laisa sontak berlarian, ia terkejut bukan main. Kim Sarang yang tampak berharap cemas, sementara Henry Salomon yang menuntut jawaban. Laisa semakin erat menggenggam tangan Avram. Ia tak mampu menemukan jawaban.Laisa tahu, ia paham betul betapa Gazza mengatinya sekarang."Laisa mungkin akan menempati posisi Nyonya Kim begitu saya menjabat, dan atas kesepakatan kami, jauh lebih baik jika Gazza tak terlibat pada lini bisnis Salomon begitu say
"Aku akan memajukan hari pelantikan," Avram bersuara serak sembari membelai lembut rambut Laisa yang berbaring pada lengannya.Mereka menghabiskan hari yang panjang. Saling memuja, mendamba, serta menginginkan. Dan kalimat Avram yang terdengar menggantung di udara itu membuat Laisa mendongak."Setelah itu apa?" tanya Laisa, ia berusaha keras mencerna air muka Avram yang tegak lurus menatap ke depan."Menghapus Gazza dari garis keluarga."Sepersekian detik itu, Laisa tercekat. Sontak saja ia membuang pandang menjauh sambil bergerak bangkit dari tidurnya. Membicarakan Gazza dalam hubungan mereka tetaplah janggal, Laisa masih merasa getaran samar meski mulai melemah."Kau akan mengusirnya?" Laisa kembali bertanya, kali ini ia membungi Avram agar tak menyaksikan raut murka."Dia selalu ingin pergi, bukan?"Laisa berbalik, menatap manik mata Avram tidak mengerti. Mengapa tenang sekali? Sejak kapan Avram memiliki tabiat seperti ini?"Aku menyampaikannya sebagai bentuk percayaku, Laisa. Aku
Nyeri, begitulah satu kata yang bisa menggambarkan situasi Laisa saat ini. Perempuan itu terbaring lemah di atas ranjang dengan air mata yang terus mengalir. Pedih, menyerahkan diri kepada Avram selalu terasa begitu sakit.Padahal lelaki itu pernah sebegitu lembut padanya. Sempat juga membuat ia merasa seperti diperlakukan sebagaimana istri normal. Tapi tidakkah semua itu hanya tipu daya? Tabiat buruk Avram soal amarah tidak akan pernah berubah.Bahkan sekalipun semua ini disebabkan oleh kesalahannya yang berselingkuh dengan Gazza, Avram tak berhak bersikap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, Laisa memaksa dirinya bangkit dari posisi terlentang. Mencoba duduk meski tulang selangkanya enggan diajak kerjasama. Laisa mendesis kala kakinya berhasil menggantung di pinggir ranjang, kemudian mengedarkan pandang guna mencari helai-helai kain yang bisa melindungi tubuh bugilnya.Namun sial, Avram seperti tidak Sudi mengijinkannya berbusana. Bahkan secarik selimut pun tak bisa Laisa temukan.
Laju kendaraan Avram bukan menuju rumah utama, melainkan hunian pinggir pantai miliknya. Ia harus memberi Laisa pelajaran. Menunjukkan akibat dari perbuatan kurang ajar yang Laisa lakukan.Dengan kemudi yang ugal-ugalan, Avram tak berhenti mendenguskan murka. Lelaki itu sesekali melirik tajam Laisa lewat spion atas. Tindakan yang membuat Laisa menciut pasrah dengan linang air mata.Pikiran Laisa campur aduk tidak jelas. Sembari merasakan nyeri di sebujur tubuhnya akibat tindak kasar Avram. Pada momen itu, Laisa bahkan tidak peduli jika harus meregang nyawa. Apapun murka Avram telah siap ia terima.Mobil terparkir usai mempersingkat perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Avram membuka pintu belakang lantas menarik kasar lengan Laisa. "Jalan yang benar!" titah Avram tegas, sambil menyeret Laisa serupa tawanan penjahat.Mereka sampai di depan pintu dengan sambutan debur ombak. Sedetik kemudian Avram menekan tombol sandi, dan langsung mendorong Laisa ke sofa begitu pintu terbuka.
"Bu Midah? Mana Laisa?"Kening Avram mengernyit heran. Ia sudah mencari perempuan itu di kamar namun nihil bersua. Tapi jauh lebih mengherankannya lagi adalah kamar Nada, untuk apa Bu Midah berusaha menidurkannya?Dengan berat hati, Bu Midah memberikan isyarat agar Avram tidak menimbulkan kegaduhan. Nada butuh waktu terlelap, dan Avram terpaksa mundur perlahan sambil menahan rasa penasaran.Pesta bakar-bakar sebagai kejutan sudah disiapkan. Oleh-oleh yang ia bawa juga keluar dari bagasi mobil semua. Tapi apa yang terjadi selama Avram tidak ada? Kemana perginya Laisa?Enggan berlama-lama mengadu jawab dan tanya di kepala, Avram berusaha menelpon Laisa. Tetapi belasan kali pun ia mengulang hal yang sama, panggilannya tetap dijawab oleh mesin suara. Avram berdecak sengit, ia menganalisis berbagai skenario yang paling mungkin."Batalkan semuanya," titah Avram datar, rahang bawah langsung mengeras kala melihat sosok Tej berjalan ke arahnya."Mohon maaf, bagaimana, Tuan?" Tej memastikan. Me
Tidak munafik, pertemuan dengan Kim Sarang tentu menggunjang jiwa Gazza. Ia tidak tenang, mungkinkah Kim Sarang menyadari hubungan mereka? Wanita itu juga bukan tipe manusia yang berpegang teguh pada asumsi semata.Melihat dari tabiatnya, jelas, Kim Sarang telah menemukan bukti yang kuat.Di dalam kekalutannya, Gazza secara sadar menekan pedal gas menjauhi kota. Ia seperti sengaja mengalihkan perhatian pada kemudi alih-alih kalut pikiran. Gazza lari menjauhi fakta, bahwa hubungannya dengan Laisa merupakan sebuah kesalahan besar.Tapi Gazza bisa apa? Ia mencintai Laisa. Tak bisakah itu menjadi satu-satunya alasan untuk membenarkan? Toh kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, Gazza lebih dulu bertemu Laisa.Ia lebih dulu jatuh cinta padanya. Mereka layak untuk bersama dibanding dengan siapapun di dunia. Gazza dan Laisa adalah takdir yang sempurna.Tentu saja Gazza marah, kesal, murka, segala perpaduan emosional yang sejujurnya sulit dicerna. Apakah benar semua ini adalah kesalahannya