“Jadi, apa aku boleh pergi sendiri? Mas lihat ‘kan aku sudah pandai mengemudi?” tanyaku pada akhirnya. Untuk test DNA itu, sepertinya tak bisa lagi kutunda lebih lama. Bella dan Mama Rida sedang berkonspirasi untuk mengusirku dari kehidupan Mas Wisnu sejauh-jauhnya. Anggukkan Mas Wisnu sudah bisa membuatku bernapas lega. Menunggu weekend terlalu lama. Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pergi. Hanya saja, satu hal yang harus aku ambil risikonya. Aku tak bisa bicara pada Mas Wisnu. Dia pasti akan heran dan banyak tanya. Kenapa tak menunggu weekend saja. Lagipula, dia pasti heran, soalnya aku kerja. Sepertinya, Mas Wisnu pun sibuk. Dia tak akan tahu juga aku pergi ke mana. Perjalanan ke Bandung tak terlalu jauh juga. Aku bisa kembali sebelum Mas Wisnu pulang nanti. Tiba ke klinik, aku hanya menyapa beberapa karyawan. Lalu, setelahnya menginformasikan pada orang kepercayaanku, aku sedang ada janji dengan klien. Dia pun tak banyak tanya, aku ownernya. Yang penting, aku sudah menanda
“Bisa jelaskan ini! Jika kamu kerja dan tak ke mana-mana, lalu siapa lelaki ini! Video ini diambil siang tadi di Bandung.” Glek!Baru kali ini aku merasa kehabisan kata-kata. Jelas sekali Mas Wisnu menunjukkan videoku yang tengah berbincang dengan Bertrand. Hanya berdua. Kukyakin, video ini diambil ketika Rania belum datang. Baru kali ini, aku merasa kehabisan kata-kata. Sepasang mata elang Mas Wisnu menatap tajam. “Gak bisa jawab ‘kan? Mas kecewa sama kamu.” Deg!Satu kalimat itu tak dia ucapkan dengan teriak-teriak. Namun, dari nadanya membuat jantung dalam dadaku seperti berhenti berdetak. “Aku bisa jelaskan, Mas!” Mas Wisnu menyeringai. Dia berjalan menjauh, lalu duduk di tepi ranjang. Dia menatapku tajam. “Ya, apapun penjelasannya, Mas tetap kecewa sama kamu. Kenapa kamu harus berbohong seperti ini pada Mas? Mas paling gak suka dibohongi.” “Maaf, aku benar-benar punya alasan untuk melakukan ini.” “Hmmm … katakan, katakan alasannya!” Aku terdiam. Dilemma yang kurasakan s
Keesokan paginya, aku membangunkan Mas Wisnu seperti biasa. Dia menatapku sambil mengerjap. Kedua alisnya saling bertaut seperti tengah mengingat-ingat. “Bangun, Mas! Shalat," tukasku singkat. Dia bangkit, lalu duduk. Ditatapnya aku yang lekas menjauh. Aku takut, dia masih marah. Namun, tampaknya raut kemarahan sudah mereda. “Kamu kenapa gak marah?” tanyanya sambil menatapku. “Marah? Untuk?” Aku menoleh setelah menyampirkan handuk. Rambut basahku kusisir. Sejak malam, kepalaku berdenyut pusing. Karena itu juga, akhirnya aku keramas pagi ini. Guyuran shower yang hangat mampu membuat tubuh terasa segar. “Tadi malam.” Dia menjawab singkat. Lalu bangun sambil memijat pelipisnya. Bajunya masih mengenakan kemeja kantor dan celana bahan yang kemarin. “Ooo … itu, apa kalau aku marah, masalah akan selesai, Mas?” tanyaku sambil tersenyum. Lekas aku menyiapkan pakaian ganti untuknya, tak lupa handuknya juga. Kupasang wajah penuh senyuman. Sabar, Nika. Kalaupun mau marah, belum saatnya. Di
Rencana yang sudah disusun akhir pekan, mau tak mau dibatalkan. Berbagai alasan aku kemukakan pada Mas Wisnu agar tak usah ikut, tetapi dia bersikeras. Aku tak tahu kenapa dia bisa begitu nurutnya pada Mama Rida. Bahkan perkara liburan ke villa ini, menjadi pertengkaran kecil antara aku dan dia. Baiklah, tak mau masalah berbuntut panjang, akhirnya aku mengalah. Meskipun sedikit kecewa, karena mempertemukan Mas Wisnu dengan Bi Narti, harus diundur juga. Namun, tak apa. Hasil test DNA-nya juga masih seminggu lagi dan aku, masih punya senjata, tiga permintaan pada Mas Wisnu. Ya, aku punya itu. Perjalanan menuju Villa, menggunakan dua mobil. Papa Hutama dan Mama Rida bergabung denganku dan Mas Wisnu. Sementara itu, Sandy dan Maria menggunakan satu mobil lainnya berdua. Rupanya, Villa yang di sewa berada di daerah Dago, Bandung. Kami tiba di sana menjelang sore. Berangkat dari rumah memang setelah zuhur tadi. Lalu, mampir-mampir dulu membeli bahan makanan untuk malam nanti. Acaranya barb
“Mas!” Tak ada yang menjawab. Aku pun hendak memutar tubuh, ketika tiba-tiba tanganku ditarik seseorang. Aku baru hendak berteriak, ketika tangan itu membekapku. Bugh!Siku kuayun sekuat tenaga. Suara teriakkan tertahan, sepertinya seranganku mengenai ulu hatinya. Bekapannya mengendur, aku menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Lalu, aku berbalik dan menghajarnya. Gerakan-gerakan karate yang kupelajari, rupanya berguna. Aku memang cukup pandai dan hapal. Pernah ikut kelas karate selama masa SMPA dan SMA dulu di Riau, aku memang aktif dalam kelas karate. Ketika berangkat ke Bandung untuk kuliah, aku sudah memperoleh sabuk cokelat atau kyu tingkat satu. Meskipun, belum sampai pada sabuk hitam, tetapi aku sudah bisa menggunakan jurus-jurus karate tersebut dengan baik.Rupanya orang yang ditugaskan hmmm sepertinya oleh Mama Rida untuk membekukku, hanya orang biasa. Dalam beberapa kali gerakkan dia sudah tumbang tak berdaya. Lelaki yang rambutnya sudah beruban sebagian itu ter
Setelah mengirim pesan. Aku pun keluar dari kamar mandi. Dengan dalih cuci muka, aku mengaku sudah lebih segar. Lalu bergegas mengajak Mas Wisnu keluar. Rupanya di ruang keluarga semua masih lengkap formasinya, kecuali Antony dan Bella. Wajah Mama Rida tampak terkejut sekali melihatku berjalan dengan Mas Wisnu sambil tertawa-tawa. “Kalian habis dari mana?” Mama Rida menautkan alisnya. Sepasang mata itu menatapku tajam. “Astaghfirulloh! Bella!” Aku memekik. Sengaja dengan suara keras. Semuanya menoleh padaku dengan pandangan heran. Tak terkecuali Mama Rida. “Kenapa, Sayang?” Mas Wisnu menatapku. “Bella, Bella diculik!” Aku bicara dengan panik. Pak Barata---ayah Bella mematikan suara musik. Semua menatap ke arahku yang tengah memasang wajah panik. “Diculik? Siapa yang nyulik, Sayang? Mana ada penculik masuk ke villa?” Mas Wisnu menautkan alis. Benar, kan? Semua tak akan percaya jika ada penculikkan di sini. Andai aku yang kena. Maka pasti, ketika aku bilang aku diculik, semua han
Kami tengah mengobrol ketika Bi Narti muncul. Ekspresinya terlihat terkejut. Dia membawakan minuman dan kue-kue dalam nampan. Lalu dia meletakkan dia tas meja. Setelah itu, dia berpamitan hendak ke belakang lagi. “Bibi, sebetulnya Mas Wisnu ke sini mau ketemu Bibi. Boleh Mas Wisnu bicara sebentar!” ucapanku menghentikkan langkahnya. Bi Narti mengangguk ragu. “B—baik.” Bi Narti menjawab singkat. “Di kebun belakang, ya, Bi!” tukas Mas Wisnu. Nenek menatap heran pada Mas Wisnu, tapi Mas Wisnu tak bicara banyak. Dia hanya mengatakan ada hal penting yang harus dibahas. Akhirnya kami beranjak ke taman belakang. Mas Wisnu yang memilih tempatnya. Nenek tak ikut. Dia memilih menunggu di ruang tengah. Meskipun terlihat heran ketika kami memilih bicara di belakang. Namun, perempuan sepuh itu tak terlalu banyak tanya. Kami duduk di bangku taman yang berhadap-hadapan. Taman belakang cukup luas. Mungkin ada sekitar seratus meter persegi. Ada tiang jemuran, satu pohon mangga dan juga rumput go
“Mas, kumohon! Jangan! Ini hanya akan membuat kamu dan Papa bertengkar. Aku, hanya mau kamu bisa bertemu dengan Wak Ratna, mengakuinya sebagai Ibu. Aku hanya ingin dia sembuh!” tukasku.Namun, dia seperti tengah kesetanan. Dia tak menjawab. Beberapa kali klakson dia pijit karena mengendarai mobil secara zigzag. “Mas, kamu sudah berjanji waktu itu, kamu akan mengabulkan tiga permintaanku. Aku memintanya sekarang, satu! Jangan bocorkan dulu apapun pada keluarga kamu! Jangan katakan, kamu sudah tahu tentang ini. Bisa kan 'Mas?” Mas Wisnu masih bergeming. Hanya saja laju mobil tidak separah tadi. Sekarang sudah lebih terkendali. “Aku ingin, kita diam-diam dulu menyembuhkan Wak Ratna. Aku yakin sekali, Mas. Obat dia hanyalah kamu. Setelah Wak Ratna sembuh, barulah kita ajak Wak Ratna bertemu dengan orang-orang yang sudah menyakitinya! Aku sudah ada ide, Mas! Aku ingin Wak Ratna kembali menempati posisinya. Kamu mau 'kan Ibu kandung kamu sehat lagi?” Hembusan napas kasar terdengar. Mas