Adam tidak mendapati Alma ada di dalam ruangannya. Tas tangannya pun tidak ada. Ia melirik ke sekeliling ruangan pun tidak ada satu pun barang istrinya yang tertinggal disini.“Sayang? Dia kemana ya? Apa di luar?"Adam merogoh ponsel dan memainkannya sebentar. Ia mencari nomor telpon Alma dan menghubunginya. Nomornya tidak aktif. Kemana dia? Baru ditinggal sepuluh menit sudah menghilang.Tidak ada waktu untuk mencari Alma barang hanya mengelilingi rumah sakit ini. Ia harus segera memulai rapat di ruangan aula bersama dokter lainnya. Selama rapat pikirannya kalut sekali memikirkan kemana pergi istrinya. Tidak biasanya begini. Bukankah tidak ada yang salah dengan ucapannya? Kenapa Alma pergi begitu saja? Mereka hanya melakukan pemanasan dan tidak sempat bertukar ucapan lain selain pujian. Dengan langkah lemah, Adam berjalan menuju ruang rapat. Semoga pikirannya masih bisa diajak kompromi untuk beberapa jam kedepan.“Dokter
Alma begitu menikmati pelukannya di dada Mario yang bidang. Badan mantan pacarnya yang tinggi tegap membuatnya selalu merasa disayangi ketika ia sudah merebahkan diri di pelukannya. Telinganya juga terasa nyaman karena tidak mendengar nasehat Adam yang terus di berikannya secara acak. Belum lagi biasanya ia juga mendengar suara tangisan maestro Belleza yang selalu memekakan telinganya.Meski baru delapan hari menjadi seorang istri dari duda beranak balita, tapi hidup Alma benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat menyeramkan. Ia memang mencintai Adam, tapi tidak dengan anak menyebalkannya itu. “Ma, aku jadi inget waktu kita pacaran.”Alma bergerak mengubah posisi duduknya. Ia menatap Mario yang kini menatapnya, “Aku juga.”“Dulu rasanya, kamu cuma punya aku. Sekarang... kamu punya suami kamu.”Alma diam. Andai ia tidak gegabah dalam menerima pinangan paksaan itu dari mama, mungkin hidupnya akan baik-baik saja dalam lingkup omelan mama yang selalu mengganggunya ketika tid
Saat Alma dan Mario sedang sarapan di resto hotel, Alma tak sengaja melihat Virza yang baru memasuki area resto tapi langsung putar balik setelah menerima telpon dari seseorang. Ia terlihat berlari dan entah pergi kemana. Semoga saja ia pergi dari hotel ini. Alma terus menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, membuat Mario curiga. Apa ada suaminya disini? “Sayang, suami kamu ada disini?' Alma menggeleng, “Ada temennya.” Mario mengedarkan penglihatannya ke sekeliling resto, “Mana?” “Udah pergi sih, dia keliatan buru-buru abis angkat telpon.” “Oh, ya udah kalo udah pergi.” “Rio, kok kamu santai banget sih. Aku gak mau liat dia. Kalo dia liat aku disini sama kamu, dia bisa lapor sama mas Adam.” “Ya bagus dong, sayang.” Alma mengernyit keheranan, “Kok bagus?” Mario menggenggam tangan Alma, “Semakin cepat semakin baik. Adam emang harus segera tahu hubungan kita. Dia harus tahu kalo kita masih saling mencintai.” Alma diam. Jujur ia tidak nyaman Mario terus membahas masalah ini.
Alma dan Mario sengaja pergi untuk sekedar jalan-jalan setelah sarapan untuk menghindari Virza yang mungkin masih berkeliaran di hotel. Mereka yang sebenarnya tidak memiliki tujuan hanya berkeliling saja tak tentu arah. Mario terus bertanya agar membuat Alma kembali mengingat hubungan mereka empat tahun belakang, tapi nyatanya ia hanya diam memikirkan nasibnya ke depan. “Sayang, kamu tegang amat sih. Aku yakin temennya Adam pasti udah pergi kok.” Alma menoleh, “Aku cuma takut harus ribut lagi sama mas Adam.” “Kamu takut sama dia?” “Bukan gitu, Rio. Aku cuma males. Kita ribut hampir tiap hari. Lama-lama aku bisa darah tinggi ngadepin dia.” Mario melajukan mobil dengan pelan, tangan kirinya menggenggam tangan Alma dengan lembut, “Itu tandanya kalian gak cocok. Coba kamu inget-inget, selama empat tahun hubungan, kita jarang banget berantem. Ya aku setuju sih sama pendapat kalo sebuah hubungan memang butuh berantem, tapi kan cukup sesekali aja, kalo tiap hari, itu tandanya... kalian h
Virza menatap Alma, “Apapun, Ma, apapun alesannya kamu gak berhak pergi gitu aja tanpa izin suami kamu. Apa susahnya sih bilang kalo kamu marah sama Adam karena foto itu. Foto itu cuma masa lalu, dan bukan sebuah perselingkuhan.”“Bentar, aku potong. Yang bilang itu perselingkuhan siapa? Aku cuma bilang alesan aku pergi karena udah liat foto itu.”“Itu cuma salah paham, Ma. Foto itu gak bener dan—"“Aku pulang sekarang, jadi berhenti ngomong yang gak perlu."Mario menatap Alma kesal, “Sayang, kok kamu pulang sih?”Alma melirik Mario, “Aku... mau pulang. Kamu juga pulang, besok kerja ‘kan?”Virza menatap Adam yang tengah menyaksikan obrolan menggelikan istri dengan selingkuhannya. Alma ini terbilang berani melakukan itu di depan muka Adam, membuatnya tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Iya, besok aku kerja. Ya udah, aku nurut aja sama calon istri. Yang namanya laki-laki yang mencintai dengan tulus itu emang harus banyak ngalah.” Mario melirik Adam ketika mengatakan kalimat itu p
Alma belum tidur. Matanya tak bisa terpejam karena memikirkan dari mana ia bisa mendapatkan nomor Tiara untuk mencari tahu mengenai foto itu dan syukur-syukur bisa sekalian mencari informasi senakal apa suaminya itu di masa lalu. Badannya yang memunggungi Adam dikasur bergerak perlahan. Ia membalikkan badan untuk mengecek suaminya. Ternyata suaminya sudah tidur lelap.“Dasar om-om tua. Jam segini udah tidur. Baru jam sembilan juga.”Alma bangkit dan duduk memainkan ponselnya. Ada pesan masuk dari Mario. Ia tak membalasnya. Ia sedang tidak mood untuk meladeni romansanya dengan mantan pacarnya itu. Ia juga merasa seharusnya hubungan mereka seharusnya tidak pernah ada.Saat kembali memainkan ponselnya, ia melihat story Virza yang tengah memotret dirinya yang sibuk depan laptopnya. Alma memiliki sebuah ide untuk memanfaatkan keberadaannya. Meski belum tentu sahabat Adam itu mau membantunya, tapi coba saja dulu. Alma menyentuh menu telpon. Setelah beberapa detik Virza mengangkatnya.“H
“Oaaaaak. Oaaaak.”Alma menutup kedua telinganya dengan lipatan bantal. Ia benar-benar terganggu dengan tangisan menggelegar Belle.“Oaaaaak. Oaaaak."“Belle! Berisik banget sih.” Alma terpaksa bangun dan melempar bantal. Ia yang masih ngantuk tidak berniat melanjutkan tidur. Ia hanya mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.“Cup, cup, tenang ya, sayang.” suara bariton Adam terdengar menenangkan Belle di kamarnya.Alma menggulingkan badannya dan bergumul dengan selimut tebal. Ini masih jam enam, dan jam tidur normalnya minimal satu jam lagi baru bangun. Tapi suara Belle terdengar makin kencang sehingga boro-boro lanjut tidur, untuk tutup mata saja rasanya susah.“Dasar tuyul keriting!” umpatnya pelan.“Sayang, sayang, mau apa, hm? Kan suster Ruthnya pulang dulu. Sekarang sama papa dulu ya.”Alma membuka mata dan terduduk sekaligus. Ia nyaris saja lupa bahwa suster Ruth sedang izin pulang kampung untuk tiga hari ke depan. Dan ia dengan jumawa mengatakan akan menggantikan peran
Ting-NongTing-NongTidak ada yang membuka pintu atau menjawab telpon suster Tiwi, Suster Infal yang akan menggantikan suster Ruth tiga hari kedepan.“Kok gak ada yang buka pintu sih.”“Oaaaaak. Oaaaaaak.” “Itu Belle dari tadi nangis terus. Emang majikan Ruth kemana? Katanya ada istri pak Adam di dalem."Suster Tiwi terus menelpon Alma untuk memintanya membuka pintu. Tapi tetap tidak ada jawaban. Ia mau menelpon Adam tapi segan karena takut mengganggu. Ia tahu majikan temannya adalah seorang dokter.“Tapi kasian anaknya, gak papa deh aku telpon aja.”Tak terlihat ada hilal telponnya akan di angkat. Tapi telponnya tersambung. Berarti Adam sedang mengaktifkan telponnya ‘kan?Di tempat lain, suster Anna, suster yang bertugas menjadi asisten ketika jadwal praktek melihat ponsel Adam berdering kencang. Ada nomor baru yang menelponnya beberapa kali. Tapi ia tak berani mengangkat karena takut di nilai tidak sopan. Meski sebenarnya mungkin tidak papa karena Adam sedang tidak bisa men