Kepergian Jess yang tiba-tiba menjadi sebuah elegi bagi Nick. Senyum indah yang berpendar beberapa waktu lalu telah meranggas mengikuti alur yang tercipta. Nick memandang sendu wajah cantik istrinya di dalam peti yang telah dihias oleh bunga. Hari ini, Jess memakai dress ala putri berwarna putih dengan riasan tipis. Dress semata kaki yang dihiasi mutiara asli di bagian rok dan pinggiran lengan serta dada tersebut adalah pakaian kesukaan Jess. Jika dulu wanita itu mengenakannya dengan senyum dan mata yang berbinar maka hari ini dia mengenakannya dengan mata terpejam.
“Maaf, Nick. Aku belum bisa menemukan keberadaan Dev, kamera pengintai yang ada di kalungnya tidak menampilkan apa-apa.” Suara Michele membuat Nick menoleh.
“Dia pasti pergi ke tempat yang tidak bisa dijangkau untuk menenangkan diri,” sahut Michele. Nick berjalan mendekati peti. Menatap wajah istrinya untuk yang terakhir kali sebelum misa arwah dan upacara pemakaman dimulai. Sentuhan
“Jessy!” panggil Nick lirih. Ia membuang napas lega melihat istrinya masih berada di tempat yang sama. Itu artinya wanita yang hampir membunuhnya tadi bukan Jess.Tanpa pikir panjang, Nick bergegas turun kembali ke ruang perjamuan. Kosong. Wanita itu tidak lagi berada di sana. Bahkan, noda darah yang mengotori lantai juga tidak terlihat. Lantai tampak kering dan bersih. Nick menyalakan semua lampu dan memeriksa seluruh sudut ruangan hingga ke area luar rumah. Akan tetapi, dia tidak melihat siapa-siapa. Hanya ada kabut yang tersorot lampu. Nick kembali memasuki rumah dengan pikiran kalut. Dia meraup wajah dengan telapak tangan. Darah yang sempat mengaliri hidung tidak ada. Nick mengarahkan dirinya ke cermin yang berada di kamar. Tidak ada luka sedikitpun di keningnya.“Kenapa semuanya terasa membingungkan? Apa aku sudah gila?”Pagi menjelang, Nick menyiapkan sarapan untuk Jess. Berbagai menu kesukaan istrinya telah tersaji di atas meja. Se
Nick termenung, memikirkan permintaan Dev yang begitu sulit. Jika ia menolak maka sekali lagi ia akan menyakiti perasaan anaknya. Apa pun alasannya, Dev memang berhak untuk mengetahui siapa ibu kandungnya. Dia sama sekali tidak keberatan. Terlebih ketika anak itu sudah terlanjur tahu bahwa Jess bukanlah ibu yang mengandungnya.“Bagaimana caraku untuk mempertemukan kalian? Ibumu hidup dalam hutan yang berbahaya. Aku masih ingat betul ketika setan-setan berwujud wanita cantik itu berusaha merebutmu dariku. Bahkan, mereka sangat bernapsu untuk membunuhmu, Dev.” Nick menghela napas panjang.“Mungkin sudah waktunya kau tahu.” Nick menambahkan.“Tahu apa, Daddy?” Dev memandang ayahnya dengan mimik serius.“Ibumu adalah bagian dari kelompok yang membunuh banyak laki-laki dengan cara yang biadab,” ungkap Nick, kemudian ia menceritakan serangkaian peristiwa mengerikan saat menjelajah. Devada menyimak. Di bagian terte
Kegelisahan terus berputar mengerubungi keluarga Erhan. Tak hanya Nick yang merasa hidup di bawah tekanan tinggi. Pun dengan Devada. Anak itu tidak hanya belum menerima gender barunya sebagai perempuan, tetapi juga sulit menerima kenyataan bahwa dia hanyalah anak hasil dari pengkhianatan. Bahkan, ia tidak tahu pasti tentang identitas ibunya. Apakah wanita yang melahirkannya itu manusia atau makhluk lain seperti yang Nick katakan. Semua terasa begitu rumit, mengingat ia belum berhasil menemukan Elfara. Devada berteriak frustrasi di kamar bernuansa dark blue miliknya.“Sial! Semua yang terjadi membuat kepalaku sangat sakit. Aku tidak bisa berdiam diri di sini. Aku harus segera menemukan Elfara agar aku bisa mengurus urusanku sendiri.” Dia menyambar topi hitam yang tersimpan di lemari khusus setelah mengikat rambut hitamnya, lalu membawa langkahnya ke luar Lago Sul. Gadis itu menyusuri ibu kota. Berkali-kali, ia berusaha menggunakan mata ke tiga. Namun, yang terlihat
Devada menyipitkan mata ketika lukisan karya Francis Bacon itu mengeluarkan darah, lalu terjatuh. Ia berjalan seraya memandang lekat dinding yang menjadi sandaran lukisan tersebut. Ada retakan yang bergerak yang membuat lapisannya terkelupas. Tampak denyutan yang makin lama makin besar. Tubuh Devada terseret mundur ketika tiba-tiba sebuah kepala muncul dari sana. Gelombang amarah yang meledak-ledak kini berubah haluan. Ia kehilangan kendali atas gemuruh yang membungkus jantungnya. Kepala seukuran anak kecil itu telah menyembul sempurna dari dalam dinding. Jari-jari berkuku runcing merambat turun ke lantai, menyeret bagian tubuhnya dengan sempurna. Tubuh kecil itu berdiri dengan rambut panjang menjuntai menutupi sebagian wajah. Sebelah matanya yang hitam tajam menusuk Devada penuh kebencian. “Happy death day to you!” Suara khas anak kecil keluar dari sosok berwajah pucat tersebut. Kakinya yang tinggi sebelah berayun mengitari Devada. Mulut kecilnya tak berhenti menden
“Kita akan menggunakan heli pribadi di markas komunitas!” terang Nick seraya menarik resleting ransel berisi perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan untuk menjelajah.“Itu tidak perlu! Hanya akan membuang-buang waktu!” cegah Devada membuat Nick mengernyit.“Memangnya ada yang lebih cepat dari itu?”“Kau melupakan satu hal, Dad! Aku mewarisi darah yang berbeda, bukan? Tidak sulit bagiku untuk sampai ke sana dalam waktu yang singkat.”“Iya, aku melupakan keistimewaanmu.”“Siapkan mentalmu, Dad!” Devada memperingatkan. Mereka berjalan ke luar gedung.“Kemarilah!” Nick mengangguk dan membiarkan Devada menggenggam tangannya.Memejamkan mata sekilas, Devada mempererat genggamannya, lalu melesat cepat ketika matanya kembali terbuka. Nick yang terkesiap memekik. Laju kaki yang cepat itu berhasil membuat bagian dalam
Sepasang anak dan ayah itu memandang nanar sepasang kelopak mata Masma yang menguncup. Derap langkah kian memberat seiring jarak yang terpangkas, hampir sempurna terlewati. Lentera kehidupan hampir padam di pilar penyiksaan. Tak sekacau Devada, Nick merasakan gulungan luka diam-diam berdentum hebat di pusat jantung. Jemarinya terulur, menggapai wajah lipu syarat elegi. Kelopak mata yang kuncup itu tiba-tiba terbuka perlahan, menampilkan iris biru sebening lautan."Nick!" Bibir tipis Masma memanggil dengan isakan kecil."Ya!" Nick berbisik seraya menghapus air mata yang mengalir di pipi Masma."Kenapa kau ada di sini?" Nick menempelkan telunjuknya pada bibir kering wanita di depannya sambil mendesis."Aku akan melepas dulu tali yang mengikatmu." Lagi, Nick berujar. Dia menoleh pada Devada agar gadis itu bersedia membantunya."Ayo, kita pergi sebelum mereka kembali!" seru Nick setelah semua tali terurai dengan baik. 
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Nick."Kau tahu jawabannya! Apa reaksinya saat tahu kalau aku seorang perempuan?" Nick tidak kaget dengan pertanyaan yang Devada lontarkan. Dia sudah menduga hal itu sebelumnya."Kau pun tahu jawabannya, Nak!" sahut Nick dengan ekspresi datar. Setelah itu, Devada tidak lagi tertarik untuk mencari jawaban."Tunggu! Apa kau merasa ada yang tidak beres?" tanya Nick. Bola matanya mengedar pada langit yang membentang. Pun Devada, gadis itu terdiam mengamati gerak awan. Cahaya langit meredup begitu cepat. Entah ke mana bintang besar yang menguasai siang itu terjegal. Hamparan biru di sana lenyap tanpa syarat."Apa cuaca sedang mendung?" Nick begitu penasaran."Tidak, Dad! Lihat itu!" Devada mengacungkan telunjuk pada titik kecil yang memancarkan sinar putih di atas sana. Ya, kristal-kristal yang bertaburan di sana adalah bintang."Mustahil! Kenapa malam bisa secepat ini?"
"Apa ini?" Nick menggerakan tubuh, tumbuhan berbulu yang Devada bawa telah bergerak liar membelit tubuh kekarnya. "Dad!" Devada berusaha mengurainya, tetapi belitan itu terlihat makin kencang hingga kulit putih Nick terlihat membiru. Gadis yang menggerai rambutnya tersebut mengeluarkan pisau lipat dari saku jaket. Beberapa kali pisau tajam itu terayun, tetapi tidak mampu menembus tanaman misterius tersebut. Bahkan, benda tajam itu malah patah menjadi dua bagian. "Sialan!" sembur Devada. Darahnya mulai memanas ketika Nick tidak lagi mampu bersuara.Devada mencari cara untuk melepas belitan di tubuh ayahnya. Batang tumbuhan itu susah sekali dilumpuhkan. Bahkan, dengan kekuatan supranaturalnya sekalipun. Benar-benar tidak masuk akal. Padahal, sebelumnya ia dapat mengambilnya hanya dengan sedikit tenaga. Gadis itu memandang gusar wajah Nick yang kian memucat, kemudian dia memerhatikan batang berbulu sebesar lengan anak kecil tersebut. Reflek, tangannya menyent