"Apa ini?" Nick menggerakan tubuh, tumbuhan berbulu yang Devada bawa telah bergerak liar membelit tubuh kekarnya.
"Dad!" Devada berusaha mengurainya, tetapi belitan itu terlihat makin kencang hingga kulit putih Nick terlihat membiru. Gadis yang menggerai rambutnya tersebut mengeluarkan pisau lipat dari saku jaket. Beberapa kali pisau tajam itu terayun, tetapi tidak mampu menembus tanaman misterius tersebut. Bahkan, benda tajam itu malah patah menjadi dua bagian."Sialan!" sembur Devada. Darahnya mulai memanas ketika Nick tidak lagi mampu bersuara.Devada mencari cara untuk melepas belitan di tubuh ayahnya. Batang tumbuhan itu susah sekali dilumpuhkan. Bahkan, dengan kekuatan supranaturalnya sekalipun. Benar-benar tidak masuk akal. Padahal, sebelumnya ia dapat mengambilnya hanya dengan sedikit tenaga. Gadis itu memandang gusar wajah Nick yang kian memucat, kemudian dia memerhatikan batang berbulu sebesar lengan anak kecil tersebut. Reflek, tangannya menyentPenglihatan Devada memindai lingkungan sekitar. Ia baru menyadari tentang kepekatan yang bertambah berkali-kali lipat. Lengkingan-lengkingan iblis laksana kidung menggema, mencakar bentangan hitam yang menaungi bumi. Koloni-koloni tak kasat mata melebur di bawah sorot rembulan. Siul bayu membawa riak-riak energi negatif bermuara ke gendang telinga. Sesekali desisan Yacumama menggigit suasana. Kekuatan iblis mencapai puncak. Dua pasang mata mendadak diselimuti ketidakpercayaan."Ibu!" Pekikan Devada mengejutkan makhluk yang menghampar di kulit hutan. Tak terkecuali Yacumama. Makhluk raksasa itu memutar kepala untuk mencari sumber suara."Dev! Dasar anak bodoh! Argh!" Nick tidak bisa menahan umpatan di sela-sela rasa sakitnya. Air sebesar biji jagung lolos dari pelupuk mata Devada. Bias gejolak seolah menulikannya dari sederet kata kasar dari Nick. Menopang tubuh, dia berlari ke altar di mana Masma terjebak di tengah-tengah simbol bintang yang terbuat dari ap
Angin bersiul sangat kencang. Devada terpental dari altar. Seorang wanita tua berwajah rusak menghampirinya dan berkata, "Hanya cinta ayahmu yang dapat menyelamatkannya!" Devada tertegun. Wanita yang datang tiba-tiba tersebut menghilang. Meninggalkan jejak tawa yang membuat sekujur tubuh terasa dingin. "Dad!" Devada berjalan tertatih-tatih menuju Nick. Masih jelas di pandangan bagaimana pria malang di sana menjadi mainan Yacumama. Jerit Devada mengudara ketika ia berhasil memegang ekor Yacumama. Dengan segenap tenaga dan kemampuan supranaturalnya, ia berhasil menggulingkan tubuh besar ular itu hingga menimbulkan goncangan pada bumi. Ular yang diyakini sebagai siluman tersebut mendesis dan memuntahkan tubuh Nick. Mata merahnya menyalak. Hewan besar itu membalas serangan Devada dengan agresif. Namun, gadis itu menggunakan trik untuk berkelit. Hingga saatnya sebuah peluang terbuka, Devada memanjat kepala ular. "Pergilah, aku tidak ingin membunuhmu! A
Di saat Nick dan Devada menunduk, wanita semampai tersebut melebarkan mata sehingga saat cahaya perlahan meredup, kedua matanya tidak dapat melihat kembali dengan sempurna. Dia menangis histeris menanyakan apa yang terjadi dengan indera penglihatannya. "Kenapa mataku tidak bisa melihat? Ya, Asmodeus! Datanglah dan jawab pertanyaanku." Perempuan tidak mendapatkan jawaban melainkan sesuatu lain terjadi tanpa diduga. Sebuah asap putih menghantam tubuhnya dan membuatnya kembali tidak sadarkan diri.Karena didorong rasa penasaran, Nick dan Devada memberanikan untuk melihat apa yang tengah terjadi. Rasa kejut seketika menghunjam mata Devada. Asap putih yang semula adalah cahaya tersebut ternyata sosok anak kecil yang selalu ia lihat. Sorot penuh dendam terpancar dari manik kecil tersebut. "A morte é o seu destino!" Iblis itu berujar dengan khas suara anak kecil. "Dad, dia akan membunuh kita!" "Siapa?" "Lihat saja di depan!" "Siapa?" Nick
"Laporan terkini, kasus hutan terlarang yang telah ditutup lama berhasil terungkap. Seseorang gadis dari Lago Sul dikabarkan pergi ke hutan bersama tokoh legendaris bernama Nick Erhan. Mereka berhasil keluar dengan membawa tiga tersangka hidup dari suku wanita yang membunuh dan memperkosa siapa saja kaum pria yang datang ke sana. Dari ...." Suara reporter dari saluran televisi terputus. Dev menatap hampa layar yang telah berubah hitam tersebut"Lihatlah, Dad! Sebentar lagi dunia akan meminta maaf kepadamu." Setelah berkata demikian, ia bangkit dan memutuskan pergi ke suatu tempat.Dengan memakai hoodie, topi, dan kacamata, dia berhasil sampai tanpa gangguan. Dilihatnya intens sosok wanita yang mengurusnya sejak kecil. Tidak ada kehidupan yang tercetak di wajah pucat wanita kurus tersebut. Ia menghela napas, memancarkan seberkas rindu yang coba dielak."Apa kau keluarganya?" Dev mengangguk saat seorang wanita berseragam polisi datang menghampirinya."Ada yan
"Ini tidak mungkin, Nak." Michele mengingkari apa yang tengah berlayar di kedua indera penglihatannya."Itulah yang terjadi, Paman.""Lalu, makam siapa yang berada di sampingnya?""Ibu kandungku." Michele menoleh penuh kejut sebelum akhirnya Dev menceritakan segalanya pada lelaki kurus itu.Dev menatap hampa hamparan yang menjadi tempat bersemayamnya jasad-jasad para tokoh kebanggaan negara. Tempat yang begitu indah dan terawat, tetapi mengandung banyak kesedihan."Setelah sekian lama, aku harus melihatnya di tempat yang tidak pernah kusangka-sangka. Semoga ia mendapatkan tempat yang indah di sisi Tuhan." Sebuah suara mengisi keheningan. Dev dan Michele membalik punggung. Sesosok laki-laki berjenggot lebat sedang berdiri di antara mereka. Sebuah wajah asing bagi Dev yang memperlihatkan bela sungkawanya."Mehmet? Kau di sini?" Michele bertanya dengan alis bertaut."Aku mengikuti kalian. Dev, apa kau mengingatku?" Devada mengangkat sebela
Cairan merah keluar deras dari mulut Jess. Dev dan semua yang ada di ruangan lengang itu tampak sangat syok menyaksikan keadaan Jess yang sangat mengerikan."Mom!" Dev menyambar sapu tangan yang terulur dari tangan Michele. Dengan itu dia membersihkan mulut ibunya."Tolong bantu aku bersihkan itu!" ucap Michele kepada dua pria yang bekerja di rumah sakit itu seraya mengarahkan tangannya pada genangan darah yang telah mengalir ke mana-mana."Tapi, Dok ... tidakkah kau lihat darah itu seperti genangan air yang berisi ribuan cacing nyamuk?" celetuk sang perawat."Kenapa kau cerewet sekali?" balas sang dokter."Cepat!" Sentakkan Miche membuat mereka berjingkat. Dua wajah yang diliputi rasa ragu itu pun dengan terpaksa melakukan perintah sang dokter."Dev, ini pakaian baru untuk ibumu. Segera gantikan. Aku akan segera kembali. Aku harus menyiapkan obat untuknya terlebih dahulu." Dev mengangguk dan langsung mengurus Jess penuh kasih sayang. Dia sama sekali ti
"Aku harus membawa ibumu ke rumah sakit. Entah mengapa semua alat kesehatan mendadak rusak.""Tidak! Aku akan membawanya pulang. Semua tempat tidak aman untuknya saat ini. Kau lihat dua orang yang kau suruh membersihkan darah itu kehilangan kesadaran tanpa sebab. Semua orang di sini menjadi aneh.""Dev, aku mengerti. Aku tidak tahu mengapa terjadi sesuatu yang tidak masuk akal di tempat ini. Tapi, kau tidak bisa menyamakan semua tempat tidak aman. Jess butuh pertolongan secepatnya. Bagaimana kau akan merawatnya di rumah sedangkan ....""Apa bagimu aku terlihat sangat bodoh?""Tidak, bukan seperti itu! Hanya saja ....""Aku tidak peduli!" Setelah Dev mempertahankan egonya, dia berlalu menggendong ibunya yang tidak berhenti kejang-kejang. Michele pun hanya bisa menggeleng karena tidak dapat mencegahnya.Di Paranoa, Dev membawa ibu tirinya. Wanita itu tidak lagi mengalami kejang atau pun muntah-muntah melainkan sudah hilang kesadaran. Dia membaringkan tubuh keras ibun
Melihat semua itu, Dev memegangi kepala seolah beban berat tengah bertumpu di sana. Tiga kaplet pil yang dikeluarkan dari saku celana ia telan tanpa air. Sementara dia melanjutkan perjalanan, di gedung kebanggaan mendiang Nick, Mehmet mulai merasakan keganjilan."Happy death day to you! Happy death day to you!" Mehmet mengedar saat lirik tersebut mengalun lembut di telinganya."Let's sing!""Siapa?" Mehmet bertanya kepada pemilik suara, tetapi sang empunya hanya memperdengarkan tawa menggemaskan khas anak berusia lima tahunan.Mehmet memeriksa tiap sudut kamar. Tidak ada anak kecil di sana. Hanya dia dan Jess yang tengah mendengkur pulas. Pria bercambang tersebut melangkah keluar, tetapi suara petikan gitar menahannya. Mehmet menoleh, lalu mengamati alat musik yang tergantung di sisi lemari kaca hias.Dari situlah, hal ganjil makin terasa. Satu per satu hiasan giok berbentuk berbagai macam binatang bergerak-gerak seolah memiliki kaki. Pertunjukan abnormal te