Devada menyipitkan mata ketika lukisan karya Francis Bacon itu mengeluarkan darah, lalu terjatuh. Ia berjalan seraya memandang lekat dinding yang menjadi sandaran lukisan tersebut. Ada retakan yang bergerak yang membuat lapisannya terkelupas. Tampak denyutan yang makin lama makin besar. Tubuh Devada terseret mundur ketika tiba-tiba sebuah kepala muncul dari sana. Gelombang amarah yang meledak-ledak kini berubah haluan. Ia kehilangan kendali atas gemuruh yang membungkus jantungnya.
Kepala seukuran anak kecil itu telah menyembul sempurna dari dalam dinding. Jari-jari berkuku runcing merambat turun ke lantai, menyeret bagian tubuhnya dengan sempurna. Tubuh kecil itu berdiri dengan rambut panjang menjuntai menutupi sebagian wajah. Sebelah matanya yang hitam tajam menusuk Devada penuh kebencian.
“Happy death day to you!” Suara khas anak kecil keluar dari sosok berwajah pucat tersebut. Kakinya yang tinggi sebelah berayun mengitari Devada. Mulut kecilnya tak berhenti menden
“Kita akan menggunakan heli pribadi di markas komunitas!” terang Nick seraya menarik resleting ransel berisi perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan untuk menjelajah.“Itu tidak perlu! Hanya akan membuang-buang waktu!” cegah Devada membuat Nick mengernyit.“Memangnya ada yang lebih cepat dari itu?”“Kau melupakan satu hal, Dad! Aku mewarisi darah yang berbeda, bukan? Tidak sulit bagiku untuk sampai ke sana dalam waktu yang singkat.”“Iya, aku melupakan keistimewaanmu.”“Siapkan mentalmu, Dad!” Devada memperingatkan. Mereka berjalan ke luar gedung.“Kemarilah!” Nick mengangguk dan membiarkan Devada menggenggam tangannya.Memejamkan mata sekilas, Devada mempererat genggamannya, lalu melesat cepat ketika matanya kembali terbuka. Nick yang terkesiap memekik. Laju kaki yang cepat itu berhasil membuat bagian dalam
Sepasang anak dan ayah itu memandang nanar sepasang kelopak mata Masma yang menguncup. Derap langkah kian memberat seiring jarak yang terpangkas, hampir sempurna terlewati. Lentera kehidupan hampir padam di pilar penyiksaan. Tak sekacau Devada, Nick merasakan gulungan luka diam-diam berdentum hebat di pusat jantung. Jemarinya terulur, menggapai wajah lipu syarat elegi. Kelopak mata yang kuncup itu tiba-tiba terbuka perlahan, menampilkan iris biru sebening lautan."Nick!" Bibir tipis Masma memanggil dengan isakan kecil."Ya!" Nick berbisik seraya menghapus air mata yang mengalir di pipi Masma."Kenapa kau ada di sini?" Nick menempelkan telunjuknya pada bibir kering wanita di depannya sambil mendesis."Aku akan melepas dulu tali yang mengikatmu." Lagi, Nick berujar. Dia menoleh pada Devada agar gadis itu bersedia membantunya."Ayo, kita pergi sebelum mereka kembali!" seru Nick setelah semua tali terurai dengan baik. 
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Nick."Kau tahu jawabannya! Apa reaksinya saat tahu kalau aku seorang perempuan?" Nick tidak kaget dengan pertanyaan yang Devada lontarkan. Dia sudah menduga hal itu sebelumnya."Kau pun tahu jawabannya, Nak!" sahut Nick dengan ekspresi datar. Setelah itu, Devada tidak lagi tertarik untuk mencari jawaban."Tunggu! Apa kau merasa ada yang tidak beres?" tanya Nick. Bola matanya mengedar pada langit yang membentang. Pun Devada, gadis itu terdiam mengamati gerak awan. Cahaya langit meredup begitu cepat. Entah ke mana bintang besar yang menguasai siang itu terjegal. Hamparan biru di sana lenyap tanpa syarat."Apa cuaca sedang mendung?" Nick begitu penasaran."Tidak, Dad! Lihat itu!" Devada mengacungkan telunjuk pada titik kecil yang memancarkan sinar putih di atas sana. Ya, kristal-kristal yang bertaburan di sana adalah bintang."Mustahil! Kenapa malam bisa secepat ini?"
"Apa ini?" Nick menggerakan tubuh, tumbuhan berbulu yang Devada bawa telah bergerak liar membelit tubuh kekarnya. "Dad!" Devada berusaha mengurainya, tetapi belitan itu terlihat makin kencang hingga kulit putih Nick terlihat membiru. Gadis yang menggerai rambutnya tersebut mengeluarkan pisau lipat dari saku jaket. Beberapa kali pisau tajam itu terayun, tetapi tidak mampu menembus tanaman misterius tersebut. Bahkan, benda tajam itu malah patah menjadi dua bagian. "Sialan!" sembur Devada. Darahnya mulai memanas ketika Nick tidak lagi mampu bersuara.Devada mencari cara untuk melepas belitan di tubuh ayahnya. Batang tumbuhan itu susah sekali dilumpuhkan. Bahkan, dengan kekuatan supranaturalnya sekalipun. Benar-benar tidak masuk akal. Padahal, sebelumnya ia dapat mengambilnya hanya dengan sedikit tenaga. Gadis itu memandang gusar wajah Nick yang kian memucat, kemudian dia memerhatikan batang berbulu sebesar lengan anak kecil tersebut. Reflek, tangannya menyent
Penglihatan Devada memindai lingkungan sekitar. Ia baru menyadari tentang kepekatan yang bertambah berkali-kali lipat. Lengkingan-lengkingan iblis laksana kidung menggema, mencakar bentangan hitam yang menaungi bumi. Koloni-koloni tak kasat mata melebur di bawah sorot rembulan. Siul bayu membawa riak-riak energi negatif bermuara ke gendang telinga. Sesekali desisan Yacumama menggigit suasana. Kekuatan iblis mencapai puncak. Dua pasang mata mendadak diselimuti ketidakpercayaan."Ibu!" Pekikan Devada mengejutkan makhluk yang menghampar di kulit hutan. Tak terkecuali Yacumama. Makhluk raksasa itu memutar kepala untuk mencari sumber suara."Dev! Dasar anak bodoh! Argh!" Nick tidak bisa menahan umpatan di sela-sela rasa sakitnya. Air sebesar biji jagung lolos dari pelupuk mata Devada. Bias gejolak seolah menulikannya dari sederet kata kasar dari Nick. Menopang tubuh, dia berlari ke altar di mana Masma terjebak di tengah-tengah simbol bintang yang terbuat dari ap
Angin bersiul sangat kencang. Devada terpental dari altar. Seorang wanita tua berwajah rusak menghampirinya dan berkata, "Hanya cinta ayahmu yang dapat menyelamatkannya!" Devada tertegun. Wanita yang datang tiba-tiba tersebut menghilang. Meninggalkan jejak tawa yang membuat sekujur tubuh terasa dingin. "Dad!" Devada berjalan tertatih-tatih menuju Nick. Masih jelas di pandangan bagaimana pria malang di sana menjadi mainan Yacumama. Jerit Devada mengudara ketika ia berhasil memegang ekor Yacumama. Dengan segenap tenaga dan kemampuan supranaturalnya, ia berhasil menggulingkan tubuh besar ular itu hingga menimbulkan goncangan pada bumi. Ular yang diyakini sebagai siluman tersebut mendesis dan memuntahkan tubuh Nick. Mata merahnya menyalak. Hewan besar itu membalas serangan Devada dengan agresif. Namun, gadis itu menggunakan trik untuk berkelit. Hingga saatnya sebuah peluang terbuka, Devada memanjat kepala ular. "Pergilah, aku tidak ingin membunuhmu! A
Di saat Nick dan Devada menunduk, wanita semampai tersebut melebarkan mata sehingga saat cahaya perlahan meredup, kedua matanya tidak dapat melihat kembali dengan sempurna. Dia menangis histeris menanyakan apa yang terjadi dengan indera penglihatannya. "Kenapa mataku tidak bisa melihat? Ya, Asmodeus! Datanglah dan jawab pertanyaanku." Perempuan tidak mendapatkan jawaban melainkan sesuatu lain terjadi tanpa diduga. Sebuah asap putih menghantam tubuhnya dan membuatnya kembali tidak sadarkan diri.Karena didorong rasa penasaran, Nick dan Devada memberanikan untuk melihat apa yang tengah terjadi. Rasa kejut seketika menghunjam mata Devada. Asap putih yang semula adalah cahaya tersebut ternyata sosok anak kecil yang selalu ia lihat. Sorot penuh dendam terpancar dari manik kecil tersebut. "A morte é o seu destino!" Iblis itu berujar dengan khas suara anak kecil. "Dad, dia akan membunuh kita!" "Siapa?" "Lihat saja di depan!" "Siapa?" Nick
"Laporan terkini, kasus hutan terlarang yang telah ditutup lama berhasil terungkap. Seseorang gadis dari Lago Sul dikabarkan pergi ke hutan bersama tokoh legendaris bernama Nick Erhan. Mereka berhasil keluar dengan membawa tiga tersangka hidup dari suku wanita yang membunuh dan memperkosa siapa saja kaum pria yang datang ke sana. Dari ...." Suara reporter dari saluran televisi terputus. Dev menatap hampa layar yang telah berubah hitam tersebut"Lihatlah, Dad! Sebentar lagi dunia akan meminta maaf kepadamu." Setelah berkata demikian, ia bangkit dan memutuskan pergi ke suatu tempat.Dengan memakai hoodie, topi, dan kacamata, dia berhasil sampai tanpa gangguan. Dilihatnya intens sosok wanita yang mengurusnya sejak kecil. Tidak ada kehidupan yang tercetak di wajah pucat wanita kurus tersebut. Ia menghela napas, memancarkan seberkas rindu yang coba dielak."Apa kau keluarganya?" Dev mengangguk saat seorang wanita berseragam polisi datang menghampirinya."Ada yan
“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke
Dev masih menunggu orang-orang itu melepas topeng. Dengan sabar, dia menyimak obrolan yang mungkin akan memberinya petunjuk. Seseorang datang menduduki kursi agung. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok. Ia berkata, "Apa kalian sudah menjalankan tugas dengan baik?" Dari suaranya Dev tahu bahwa orang itu adalah perempuan."Tentu. Semua berjalan seperti yang kau inginkan. Jess sudah mati setelah melewati penderitaan yang pantas." Seorang laki-laki menjawab. Dev merasa tidak asing dengan suara tersebut."Bagus. Semua berkat Dewi Lilith. Haimm untuknya." Wanita itu menyeru."Wanita cantik, Lilith! Kau adalah angin malam. Ketika rambut panjangmu mengalir tanpa suara, tatapanmu menusuk hati para pria. Dalam kegelapan bayanganmu tumbuh. Dark Moon Lilith, ular yang menyiksa. Aku mengagumimu tanpa rasa takut. Dewi, kau penting dan kaulah yang aku hormati. Ibu Lilith yang selamat dari sisa-sisa waktu, roh dari semua yang liar. Perwujudanmu kematian Ilahi. Aku datang sebagai anakmu. Lindungi aku
"Kau pikir aku tertarik dengan dunia sihir?" Elfara memandang gusar pada Dev."Aku tidak bertanya seperti itu, kan? Aku menemukannya di kamarmu.""Terserah kau, aku tidak peduli." Elfara berkata dingin dan Dev memilih diam. Tidak ingin memperburuk suasana hati Elfara.Sesampainya di rumah, keduanya saling diam hingga malam menjelang. Keanehan pun kembali terjadi. Dev di dalam kamarnya beberapa kali mendengar eraman naga, tetapi tidak bisa melihat wujudnya.Dalam keresahan, Dev menutup kedua lubang telinganya. Entah mengapa, tiba-tiba rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Keringat mulai lolos dari pori-pori. Tetiba, Dev sangat membenci audio yang Mehmet setting putar otomatis setiap pagi, siang, dan malam. "Argh!" Dev mulai menggelinjang dan mulai merasakan listrik bertegangan rendah menyengat kakinya."Asmodeus!" gumamnya. Dia melihat makhluk berkepala tiga pada pantulan lemari kaca dengan wajah yang sangat murka."Mehmet é um inimigo em um cobertor! Você tem que matá-lo!" A
"Elfara!" Dev tergopoh-gopoh ke kamar rawat kakaknya. Gadis itu tampak sangat ketakutan."Apa ada yang menyakitimu?" Dev berusaha menenangkan Elfara."Nania! Nania menerorku!" Elfara menjawab setelah beberapa lama terpaku sejak kedatangan Dev. Genggaman Dev terlepas dari bahu kakaknya."Tenanglah! Aku akan memastikan dia tidak akan mengganggumu lagi." Sekeluarnya Dev dari kamar rawat Elfara, dia memutuskan keluar dari gedung rumah sakit."Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum kau melakukan sesuatu." Langkah Dev terhenti di halaman depan rumah sakit."Kau mendengar semuanya. Apa kau tidak percaya pada Elfara?" Dev bertanya dengan tatapan lurus ke depan."Orang cerdas akan bersikap bijak, bukan?""Ya, aku mengamati Nania sejak lama. Aku harap kau tidak keberatan, Paman Mehmet!""Tentu. Aku selalu berpihak pada kebenaran."Dev menyiram tubuhnya yang lengket di bawah shower. Sejak dikejutkan oleh perubahan bentuk fisiknya, dia belum merasakan segarnya sentuhan air. Di bawah guyur