Tidak akan pernah ada kebaikan dalam sebuah kebohongan. Rahasia tak ubahnya bom waktu yang tidak akan pernah bisa kita duga, kapan kebenaran itu akan terkuak. Hingga menghancurkan segala hal yang selama ini kita jaga. Entah itu perasaan, atau bahkan sebuah hubungan.
Gerimis kecil masih berlangsung di malam yang pekat, seolah mengerti bagaimana perasaan seorang gadis yang duduk menekuk kedua lutut di depan jendela kamarnya. Menatap tetesan air hujan yang mengguyur deras membasahi bumi.
Dadanya terasa dihimpit, seolah tangan takdir yang tengah bermain selalu mencekiknya hingga rasanya ia ingin mati.
Air mata seolah tak ada surutnya, terus berderai meski kedua bola matanya sudah bengkak karena terlalu lama menangis.
Entah reinkarnasi itu ada atau tidak, terkadang Cessa mempertanyakan ....
Sefatal apakah kesahalannya dimasa lalu? Hingga kemalangan demi kemalangan menimpanya tanpa henti.
Kini tak ada lagi kehidupan dalam kedua iris cokelat yang selalu bersinar ceria itu. Sorot yang terpancar dari kedua bola matanya sudah benar-benar redup.
Bayang-bayang raut kecewa penuh luka sang kakak terus menari-nari di otaknya. Ingatannya kembali berputar pada kejadian besar beberapa jam lalu ....
Tak lama setelah Aksa mendapat apa yang ia inginkan, gedoran pada pintu kamar secara tiba-tiba menyadarkan Cessa bahwa sepertinya inilah waktunya sang kakak mengetahui segalanya.
Cessa merasa, inilah awal kehancuran yang sesungguhnya.
Bandara Heathrow London, Inggris. Seorang gadis cantik berambut cokelat bergelombang berdiri di dekat pesawat jet yang akan membawanya pulang ke Indonesia. Dia tampak sibuk menatap layar ponsel, menunggu seseorang membalas pesannya. Tak lama kemudian tersentak kaget ketika seorang pramugari menepuk bahunya ringan. "Permisi, Nona. Anda sebaiknya segera masuk, karena pesawat akan lepas landas dalam tiga puluh menit." Gadis itu tersenyum kecil dan mengangguk. Dia pun memutuskan untuk menelepon, namun tak mendapat jawaban. Cessa tersenyum pahit, "Padahal aku berharap bisa pamitan dulu sama kamu." Akhirnya ia menyerah dan naik pesawat. Tanpa sepengetahuannya, seseorang berdiri dari kejauhan menatapnya dari dalam gedung bandara. Pria itu menatap ponselnya yang telah berhenti bergetar, lalu kembali menatap jet yang akan membawa Cessa kembali ke Indonesia. Dia ingin berlari ke sana untuk memberikan pelukan perpisahan, tetapi janji yang dia bua
"Welcome home, Princess!" Ungkap Aksa ketika tangannya membuka handle pintu."Ini Apartemen kamu! Bukan rumah aku," jawab Cessa sekedarnya sembari memutar bola mata.Aksa hanya mengedikkan bahunya acuh. "My mine it's yours," ucapnya sembari menutup pintu.Sesuai janji, ia pulang bersama Aksa. Namun, bukannya mengantar ia pulang ke rumah, Aksa malah membawa Cessa ke Apartemen miliknya.Belum lama ia kembali ke Indonesia, bahkan belum seminggu ia berkuliah di Universitas Moonlight.Baru kali ini ia kembali mengunjungi tempat ini, setelah dua tahun lamanya ia pindah ke London.Bahkan, Cessa belum sempat memiliki qua
"Bagiku, kau adalah daerah teritorialku." -Aksa Mahatma Khaera-***"Aku lagi gak ada kelas hari ini, kalo gak di gedung basket, ya nangkring di kantin. Kalo udah selesai kuliahnya kabarin aja," tutur Aksa sembari membuka seat belt yang dikenakan Cessa.Gadis itu tersenyum tipis, "Iya."Lalu, seakan teringat sesuatu, Aksa membuka seat beltnya lalu meraih sesuatu yang ia simpan di jok belakang. "Look at this, kamu suka gak," ucap lelaki itu seraya menyerahkan sebuah paper bag pada Cessa.Cessa merogoh barang tersebut.
"Jangan pernah takut akan sesuatu yang belum pasti terjadi."-Princessa Elliazer-****Jam menunjukkan pukul 12.30 tepat saat Lingga keluar dari ruang kelasnya. Sejenak beristirahat dari padatnya jadwal perkuliahan hari ini."Eh, Ngga. Sumpah ya, si Aksa itu ngeselinnya tuh gini loh-"Lingga menulikan telinga, ocehan demi ocehan tidak penting Cessa kini seperti volume yang tiba-tiba d mute.Seluruh area jangkauan matanya menjadi blur, dan fokusnya hanya pada satu titik di ujung koridor sana.Dari kejauhan, ia melihat sosok itu.Gadis berponi dengan ra
"Karena seringnya bersama,Tanpa sadar sebuah rasa akan muncul tanpa diminta."-BREATHLESS-****Enam tahun yang lalu.. -Moonlight International High School-"Eh, Wa, dapet punishment apa lo dari Miss Janette? Apa kata gue juga, njir. Jangan ngerokok di toilet sekolah. Udah gak aman, cari lapak lain napa."Dewa menjawab dengan enteng sembari mengangkat bahu lalu merangkulkan satu lengan di bahu Diaz yang duduk disebelahnya, "cuman skors satu minggu doang..""..Sama SP 1," lanjutnya."Enteng banget lo ngomong. Wa,"
"Before you judge me, take a mirror first." -Princessa Elliazer-****“Oh, come on, Princess. Dua tahun di London, tapi lo masih gini-gini aja, tepos,” ejek Diaz dengan senyum miring menghiasi wajah.Suasana kanting cukup ramai siang itu.“nye, nye, nye. Bodo amat bang Diaz, gue udah kebal sama nyinyiran lo," cibir Cessa sembari memanyunkan bibir dengan mata memutar malas, tanpa mengalihkan pandangan memerhatikan kuku jarinya.Chandiaz Alexandrov, atau akrab disapa Diaz ini memang tipe lelaki yang tidak banyak bicara.Namun, sekali ia berkomentar, bon cabe pun kalah pedasnya.
"WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!"Suara bariton itu mengalun tajam memasuki gendang telinga, bak alunan musik kematian yang tengah menyambut datangnya sang iblis yang kini tengah berdiri di ambang pintu.Ketiganya mematung. Menoleh sejenak ke lantai, dan mendapati sebuah bayangan laki-laki berada tepat di belakang mereka.Mereka mengenal dengan baik suara itu.Gia merasa seolah menelan gumpalan besar di tenggorokan, bahkan sekilas ia melihat jemari Shaha sedikit gemetar. Sementara, Della? Wajahnya sudah pucat pasi.Cessa sedikit menolehkan kepala untuk melihat siapa orang tersebut—meski sebenarnya dari mendengar suaranya saja ia sudah hafal siapa yang menginterupsi pertengkaran mereka, kemudian tersenyum miring. 
Lima tahun yang lalu.."Kakak!"Dewa yang sedang men-dribble bola, sontak menoleh. Menaikkan alisnya, mendapati sang adik berdiri di sisi lapangan mengenakan seragam basket yang serupa dengannya.Sore itu Dewa, Aksa, Chen, Diaz, dan Eagan sedang bermain basket di lapangan sekolah. Kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan setiap sore di akhir pekan.Mengenai seragam basket Cessa, gadis itu memang selalu dibuatkan juga setiap kali Dewa dan gengnya membuat atribut. Entah itu seragam, jaket, gelang, atau semacamnya.
"Kau tahu, apa yang membuatku kecewa? Saat aku melihatnya terluka, dan itu olehmu." - Xadewa Arsenio -***Mobil Honda Civic milik Lingga mulai memasuki salah satu kawasan Elit di Pondok Indah. Bersama Rea di kursi depan, dan Livy yang sedari tadi terus mengoceh di kursi belakang.Lajunya mulai melambat, lalu perlahan belok ke salah satu hunian mewah di blok paling depan.Ia membuka kaca kemudi, kemudian tersenyum santun saat salah satu satpam tersenyum ramah sembari menekan tombol, dan pintu gerbang terbuka perlahan.Lingga mengangguk pelan, "makasih, pak Tomo,
"Menerima segala bentuk penindasan dengan ikhlas lapang dada? Maaf, hatiku tidak sebaik itu."-Princessa Elliazer-(*)Kembali, Cessa menghentikan langkah. Menatap jengah seseorang yang sedari tadi merecokinya sepanjang jalan menuju tempat parkir.Cessa mendesah frustasi. Sepanjang hari gadis ini terus saja mengganggunya. Melontarkan seribu satu alasan, kata maaf, dan penyesalan."Please, maafin gue. Sumpah! Gue bener-bener nyesel." Lagi, kalimat itu Gia lontarkan untuk kesekian kalinya.Untuk kesekian kalinya pula, Cessa meng
"Kau membuat kekosongan ini menjadi penuh makna dan cerita,Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu?"-Aksa Mahatma-***Aksa mengerjap pelan dengan satu tangan refleks terulur ke samping. Merabai permukaan sprei, mencari keberadaan sosok yang menemani permainan panasnya tadi sore.Kosong. Gadis itu tidak ada.Sorotnya menyisir ke segala penjuru ruangan bernuansa abu-abu itu. Nihil. Tidak ada di ranjang, di kamar mandi, di mana pun.Apa gadis itu meninggalkannya?Apa gadis itu mencampakkannya?"Arrrggghhhh!" Ia melempar sembarang bantal di sebelah
⚠ WARNING! PART INI MENGANDUNG KONTEN DEWASA (17+), BAGI YANG MERASA DIBAWAH UMUR, ATAU TIDAK BERKENAN, HARAP SKIP SAJA. TERIMAKASIH ♡´・ᴗ・'♡***"Canduku hanya padamu."-Aksa Mahatma-***Drrrrttt! Drrttt!Cessa yang tengah sibuk mengunyah snack, merogoh ponsel dalam tas. Mendapati sebuah chat Line tertera di notif layar. X_Arsen12.39 wib
"Selama undangan belum meluncur, Sepertiga malam masih siap menikung."-Andreas Theodore-****"Re!"Rea yang duduk di tepian ranjang, sedang berbincang ringan bersama Cessa dan Livy pun sontak menoleh. Tangannya terulur, secara refleks menerima buah salak yang dilemparkan padanya.Seolah sudah terbiasa, tanpa banyak bicara Rea mengupasi buah tersebut dengan telaten."Cie... Lo udah kek bininya aja tau gak, Re," ledek Livy sembari menyikut pelan lengan Rea."Gak gitu, Liv. 'Kan aku kenal dia udah lama banget, jadi.., ya, udah biasa," sanggah Rea-yang sebenarnya mengharapkan hal yang sama akan terwujud di masa mendatang.Si pelempar buah salak ini telah Rea kenal sejak mereka masih sam
Lima tahun yang lalu.."Kakak!"Dewa yang sedang men-dribble bola, sontak menoleh. Menaikkan alisnya, mendapati sang adik berdiri di sisi lapangan mengenakan seragam basket yang serupa dengannya.Sore itu Dewa, Aksa, Chen, Diaz, dan Eagan sedang bermain basket di lapangan sekolah. Kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan setiap sore di akhir pekan.Mengenai seragam basket Cessa, gadis itu memang selalu dibuatkan juga setiap kali Dewa dan gengnya membuat atribut. Entah itu seragam, jaket, gelang, atau semacamnya.
"WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!"Suara bariton itu mengalun tajam memasuki gendang telinga, bak alunan musik kematian yang tengah menyambut datangnya sang iblis yang kini tengah berdiri di ambang pintu.Ketiganya mematung. Menoleh sejenak ke lantai, dan mendapati sebuah bayangan laki-laki berada tepat di belakang mereka.Mereka mengenal dengan baik suara itu.Gia merasa seolah menelan gumpalan besar di tenggorokan, bahkan sekilas ia melihat jemari Shaha sedikit gemetar. Sementara, Della? Wajahnya sudah pucat pasi.Cessa sedikit menolehkan kepala untuk melihat siapa orang tersebut—meski sebenarnya dari mendengar suaranya saja ia sudah hafal siapa yang menginterupsi pertengkaran mereka, kemudian tersenyum miring. 
"Before you judge me, take a mirror first." -Princessa Elliazer-****“Oh, come on, Princess. Dua tahun di London, tapi lo masih gini-gini aja, tepos,” ejek Diaz dengan senyum miring menghiasi wajah.Suasana kanting cukup ramai siang itu.“nye, nye, nye. Bodo amat bang Diaz, gue udah kebal sama nyinyiran lo," cibir Cessa sembari memanyunkan bibir dengan mata memutar malas, tanpa mengalihkan pandangan memerhatikan kuku jarinya.Chandiaz Alexandrov, atau akrab disapa Diaz ini memang tipe lelaki yang tidak banyak bicara.Namun, sekali ia berkomentar, bon cabe pun kalah pedasnya.
"Karena seringnya bersama,Tanpa sadar sebuah rasa akan muncul tanpa diminta."-BREATHLESS-****Enam tahun yang lalu.. -Moonlight International High School-"Eh, Wa, dapet punishment apa lo dari Miss Janette? Apa kata gue juga, njir. Jangan ngerokok di toilet sekolah. Udah gak aman, cari lapak lain napa."Dewa menjawab dengan enteng sembari mengangkat bahu lalu merangkulkan satu lengan di bahu Diaz yang duduk disebelahnya, "cuman skors satu minggu doang..""..Sama SP 1," lanjutnya."Enteng banget lo ngomong. Wa,"