"Karena seringnya bersama,
Tanpa sadar sebuah rasa akan muncul tanpa diminta."-BREATHLESS-
****
Enam tahun yang lalu..
-Moonlight International High School-"Eh, Wa, dapet punishment apa lo dari Miss Janette? Apa kata gue juga, njir. Jangan ngerokok di toilet sekolah. Udah gak aman, cari lapak lain napa."
Dewa menjawab dengan enteng sembari mengangkat bahu lalu merangkulkan satu lengan di bahu Diaz yang duduk disebelahnya, "cuman skors satu minggu doang.."
"..Sama SP 1," lanjutnya.
"Enteng banget lo ngomong. Wa," cibir Chen padanya.
"Mau D.O juga gue gak peduli, masih banyak sekolah yang mau nampung siswa berduit." Dewa berkata dengan seringai tipis di wajahnya.
Sementara Diaz hanya memutar bola matanya, Chen menimpali dengan sengit, "nih, nih. Gini nih kalo lahir otaknya ketinggalan di rahim!" Seru Chen sembari menunjuk ke arah Dewa.
Tentu saja, mendengarnya Dewa langsung menghadiahi Chen dengan satu tempeleng mesra.
"Bangke! Mulut lo tuh perlu di ruqyahin. Lagian—"
Sementara teman-temannya begitu khusyuk dengan adu bacot mereka, Aksa masih saja tertunduk pada ipod di genggamannya dengan handsfree yang setia menempel pada telinga.
Tak terlalu memperhatikan obrolan-obrolan yang tidaklah berfaedah untuknya.
"Kakak, ish! Kakak tuh, ya, Grandpa kan udah kasih ultimatum, jangan buat masalah terus. Gak capek apa di drop out mulu."
Mendengar ocehan tiba-tiba dengan suara melengking nan imut itu, Aksa refleks mendongak.
Sebelah alisnya terangkat, mendapati seorang gadis dengan seragam SMP Moonlight International High School nampak tengah memukuli gemas lengan Dewa.
Di Moonlight sekolah menengah, SMP dengan SMA berada di satu lingkungan.
Sejak kapan bocah kecil itu datang?
Ah, ya. Gadis kecil ini adalah adik kecil kesayangan seorang Xadewa Arsenio.
Yang tak pernah bosan Dewa ceritakan di setiap kumpulan mereka.
Perhatian Aksa kini terpusat pada gadis itu.
Lelaki itu menggeleng pelan. Ia tidak habis pikir, pentolan sekolah, ketua geng motor, berandalan elit yang tak kenal ampun, teman yang ia kenal sejak bangku sekolah dasar ini begitu tunduk pada sang adik.
Dewa begitu menyayangi adiknya.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, tanpa sadar Aksa terus memerhatikan interaksi mereka.
Lalu..
Aksa melihat senyum itu.
Senyum dari seorang gadis yang kini mulai beranjak remaja.
Lelaki itu seakan baru tersadar, sejak kapan bocah kecil yang dahulu selalu menangis di pelukan kakaknya itu tumbuh menjadi seorang gadis cantik?
Saat ini Aksa, Dewa, Chen, dan Diaz, menginjak kelas satu sekolah menengah atas, sementara bocah kecil ini baru menginjak bangku kelas dua SMP.
Apakah karena Aksa terlalu hanyut menutup diri dari dunia hingga ia tak sadar terhadap segala perubahan pada orang di sekitarnya?
Lalu senyum itu..
Entah kenapa, Aksa menyukainya.
Dan tanpa sadar senyum itu menular pada manusia dengan kadar keacuhan mendekati over limit itu.
"Cess! Ayok, udah mau bel."
Panggilan dari seorang bocah laki-laki di ujung koridor menarik Aksa dari lamunan.
"Kakak, awas ya! Jangan bikin masalah lagi, aku gak mau beda sekolah lagi sama kakak," ucap gadis itu sembari berkacak pinggang, dengan satu jari telunjuk menunjuk tepat di hidung Dewa.
Aksa menahan senyumnya, ingin sekali ia tertawa melihat bagaimana seorang Xadewa Arsenio yang begitu sangar dan ditakuti banyak orang tidak berkutik sama sekali dihadapan adik kesayangannya.
Bahkan tawa Aksa semakin naik ke permukaan saat gadis itu melotot sebal karena Dewa hanya memutar malas bola matanya sebagai balasan.
Berani sekali memang.
Kemudian gadis itu berlalu dengan langkah kaki yang dihentakkan, tangan menyilang di dada, dan mulut yang mencebik.
Aksa sudah mengenal gadis itu sejak pertama ia mengenal Dewa. Bahkan sejak gigi ompong masih menjadi pemanis gadis kecil yang selalu Dewa prioritaskan di atas segalanya.
Bukan sekali Aksa melihat sikap kekanakan itu.
Namun, entah sejak kapan, kini malah terlihat begitu menggemaskan di matanya.
Ingin sekali ia mencium bibir manyun yang sialnya membuat seorang Aksa Mahatma merasa gemas sendiri jadinya.
Hah, memang..
Karena seringnya bersama, tanpa sadar sebuah rasa akan muncul tanpa diminta.
..
.****
Lagi, Andre meneguk kasar minuman soda kaleng di genggamannya.
Matanya masih tak lepas memerhatikan pasangan yang hanya terhalang satu meja dari tempatnya merada.
Kantin itu begitu luas, namun mengapa mereka memilih meja yang begitu dekat dengannya.
Apakah lelaki sialan itu sengaja ingin mengomporinya?
Lagi-lagi Andre meneguk kasar menuman kaleng itu karena tenggorokannya mendadak kering melihat kebersamaan mereka.
Kenapa ia merasa kesal sekali sekarang?
Apakah karena ketidaksukaannya pada seorang Aksa mahatma?
Atau..
Apakah karena ia tidak suka senyum manis itu bukan tertuju padanya?
Tidak, tidak. Bukankah yang Andre rasakan tidak lebih dari sekedar penasaran?
Lalu, kenapa rasanya sangat memuakkan melihat kebersamaan mereka saat ini?
Ah, sial! Memikirkannya Andre merasa pusing sendiri.
Masa iya, seorang fuck boy macam dirinya jatuh cinta pada kekasih orang lain. Terlebih, kekasih dari musuhnya sendiri?
Ini terlalu tidak masuk akal.
Pesona macam apa yang dimiliki gadis itu hingga mampu menumbuhkan rasa cemburu pada diri seorang Andreas Theodore Bagaskara?
Hawa di kantin terasa semakin beruap panas saja ketika Andre lagi-lagi memerhatikan interaksi mereka.
Kini, yang manik hazel itu tangkap, Aksa yang mengenakan topi hitam serta kaos putih itu nampak menoleh sejenak di sela-sela makannya saat Cessa membisikkan sesuatu sembari bergelayut manja di lengan lelaki itu.
"Enggak, bee. Kamu apaan sih, mana ada aku main-main selama kamu di UK."
Samar-samar, kalimat itulah yang tertangkap oleh indera pendengarannya.
Mendengarnya membuat mata Andre terasa ingin keluar dari tempatnya.
Lalu, ia melihat lagi tawa yang— entah sejak kapan Andre sukai itu mengudara, entah apa saja yang mereka bicarakan.
Gadis itu kini terlihat seakan tersipu, kemudian menenggelamkan wajah di lengan Aksa dengan satu tangan menutupi sebagian wajahnya.
Andre mendesis. Melihatnya, membuat lelaki itu semakin gerah saja.
Yang semakin membuat kepala Andre beruap panas, ketika Aksa mencium mesra kening Cessa yang sedang mengalungkan kedua tangan di lengannya.
Sial, sial, sial!
'Huh. Harus, ya, mesra-mesraan di tempat umum?'
Andre menggerutu dalam hatinya, seperti tidak punya tempat lain untuk bermesraan saja.
Dengan kasar Andre meraih kunci wrangler jeep miliknya.
"Oy! Mau kemana lo?" Tanya David saat Andre mulai beranjak.
"Cari udara seger. Di sini panas, lama-lama bisa meledak gue yang ada," jawab Andre sekenanya, kemudian berlalu.
Sejenak, lelaki itu menghentikkan langkah saat dari kejauhan netranya menangkap posisi mobilnya yang berada di satu barisan yang sama dengan mobil milik Aksa, meski tidak bersebelahan.
Mereka menggunakan mobil dengan jenis yang sama, namun dengan tipe yang berbeda.
Jika Aksa yang memang sudah sejak lama, dan terlebih dahulu memakai wrangler jeep rubicon berwarna metalik dua baris atau empat kursi.
Maka, wrangler jeep milik Andre hanya berbeda tipe saja, dengan desain mobil yang lebih minimalis.
Andre mulai tenggelam dengan pikirannya sendiri. Entah sejak kapan, ia mulai bersaing dengan lelaki sialan itu.
Lebih tepatnya, Andre yang selalu merasa tersaingi.
Andreas Theodore Bagaskara, nama yang selalu dibicarakan temannya sejak ia duduk di bangku menengah pertama.
Andre yang selalu menjadi pusat perhatian dan tak tertandingi, pelan-pelan merasa sinarnya mulai meredup saat ia menginjak dunia kampus dan muncul seorang pesaing dengan pesona yang tak kalah darinya.
Aksa yang memiliki pesona tersendiri dengan sikap acuh tak acuhnya, membuat Andre mulai menganggapnya sebagai rival.
Hingga perlahan Andre selalu menjadi bayang-bayang di dalam setiap hal yang Aksa miliki, atau Aksa lakukan.
Lalu, gadis itu..
Tanpa sadar segaris seringai tipis terbit dari wajah kental khas eropa itu.
Ia pun bergumam dengan pikiran yang berkelana pada sosok gadis cantik yang sudah menarik perhatiaannya dari awal perjumpaan mereka.
..
."Aksa mahatma, kita bakalan bersaing dalam urusan percintaan juga. Karena, kayaknya gue suka beneran sama cewek lo."
-TBC-
"Before you judge me, take a mirror first." -Princessa Elliazer-****“Oh, come on, Princess. Dua tahun di London, tapi lo masih gini-gini aja, tepos,” ejek Diaz dengan senyum miring menghiasi wajah.Suasana kanting cukup ramai siang itu.“nye, nye, nye. Bodo amat bang Diaz, gue udah kebal sama nyinyiran lo," cibir Cessa sembari memanyunkan bibir dengan mata memutar malas, tanpa mengalihkan pandangan memerhatikan kuku jarinya.Chandiaz Alexandrov, atau akrab disapa Diaz ini memang tipe lelaki yang tidak banyak bicara.Namun, sekali ia berkomentar, bon cabe pun kalah pedasnya.
"WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!"Suara bariton itu mengalun tajam memasuki gendang telinga, bak alunan musik kematian yang tengah menyambut datangnya sang iblis yang kini tengah berdiri di ambang pintu.Ketiganya mematung. Menoleh sejenak ke lantai, dan mendapati sebuah bayangan laki-laki berada tepat di belakang mereka.Mereka mengenal dengan baik suara itu.Gia merasa seolah menelan gumpalan besar di tenggorokan, bahkan sekilas ia melihat jemari Shaha sedikit gemetar. Sementara, Della? Wajahnya sudah pucat pasi.Cessa sedikit menolehkan kepala untuk melihat siapa orang tersebut—meski sebenarnya dari mendengar suaranya saja ia sudah hafal siapa yang menginterupsi pertengkaran mereka, kemudian tersenyum miring. 
Lima tahun yang lalu.."Kakak!"Dewa yang sedang men-dribble bola, sontak menoleh. Menaikkan alisnya, mendapati sang adik berdiri di sisi lapangan mengenakan seragam basket yang serupa dengannya.Sore itu Dewa, Aksa, Chen, Diaz, dan Eagan sedang bermain basket di lapangan sekolah. Kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan setiap sore di akhir pekan.Mengenai seragam basket Cessa, gadis itu memang selalu dibuatkan juga setiap kali Dewa dan gengnya membuat atribut. Entah itu seragam, jaket, gelang, atau semacamnya.
"Selama undangan belum meluncur, Sepertiga malam masih siap menikung."-Andreas Theodore-****"Re!"Rea yang duduk di tepian ranjang, sedang berbincang ringan bersama Cessa dan Livy pun sontak menoleh. Tangannya terulur, secara refleks menerima buah salak yang dilemparkan padanya.Seolah sudah terbiasa, tanpa banyak bicara Rea mengupasi buah tersebut dengan telaten."Cie... Lo udah kek bininya aja tau gak, Re," ledek Livy sembari menyikut pelan lengan Rea."Gak gitu, Liv. 'Kan aku kenal dia udah lama banget, jadi.., ya, udah biasa," sanggah Rea-yang sebenarnya mengharapkan hal yang sama akan terwujud di masa mendatang.Si pelempar buah salak ini telah Rea kenal sejak mereka masih sam
⚠ WARNING! PART INI MENGANDUNG KONTEN DEWASA (17+), BAGI YANG MERASA DIBAWAH UMUR, ATAU TIDAK BERKENAN, HARAP SKIP SAJA. TERIMAKASIH ♡´・ᴗ・'♡***"Canduku hanya padamu."-Aksa Mahatma-***Drrrrttt! Drrttt!Cessa yang tengah sibuk mengunyah snack, merogoh ponsel dalam tas. Mendapati sebuah chat Line tertera di notif layar. X_Arsen12.39 wib
"Kau membuat kekosongan ini menjadi penuh makna dan cerita,Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu?"-Aksa Mahatma-***Aksa mengerjap pelan dengan satu tangan refleks terulur ke samping. Merabai permukaan sprei, mencari keberadaan sosok yang menemani permainan panasnya tadi sore.Kosong. Gadis itu tidak ada.Sorotnya menyisir ke segala penjuru ruangan bernuansa abu-abu itu. Nihil. Tidak ada di ranjang, di kamar mandi, di mana pun.Apa gadis itu meninggalkannya?Apa gadis itu mencampakkannya?"Arrrggghhhh!" Ia melempar sembarang bantal di sebelah
"Menerima segala bentuk penindasan dengan ikhlas lapang dada? Maaf, hatiku tidak sebaik itu."-Princessa Elliazer-(*)Kembali, Cessa menghentikan langkah. Menatap jengah seseorang yang sedari tadi merecokinya sepanjang jalan menuju tempat parkir.Cessa mendesah frustasi. Sepanjang hari gadis ini terus saja mengganggunya. Melontarkan seribu satu alasan, kata maaf, dan penyesalan."Please, maafin gue. Sumpah! Gue bener-bener nyesel." Lagi, kalimat itu Gia lontarkan untuk kesekian kalinya.Untuk kesekian kalinya pula, Cessa meng
"Kau tahu, apa yang membuatku kecewa? Saat aku melihatnya terluka, dan itu olehmu." - Xadewa Arsenio -***Mobil Honda Civic milik Lingga mulai memasuki salah satu kawasan Elit di Pondok Indah. Bersama Rea di kursi depan, dan Livy yang sedari tadi terus mengoceh di kursi belakang.Lajunya mulai melambat, lalu perlahan belok ke salah satu hunian mewah di blok paling depan.Ia membuka kaca kemudi, kemudian tersenyum santun saat salah satu satpam tersenyum ramah sembari menekan tombol, dan pintu gerbang terbuka perlahan.Lingga mengangguk pelan, "makasih, pak Tomo,
"Kau tahu, apa yang membuatku kecewa? Saat aku melihatnya terluka, dan itu olehmu." - Xadewa Arsenio -***Mobil Honda Civic milik Lingga mulai memasuki salah satu kawasan Elit di Pondok Indah. Bersama Rea di kursi depan, dan Livy yang sedari tadi terus mengoceh di kursi belakang.Lajunya mulai melambat, lalu perlahan belok ke salah satu hunian mewah di blok paling depan.Ia membuka kaca kemudi, kemudian tersenyum santun saat salah satu satpam tersenyum ramah sembari menekan tombol, dan pintu gerbang terbuka perlahan.Lingga mengangguk pelan, "makasih, pak Tomo,
"Menerima segala bentuk penindasan dengan ikhlas lapang dada? Maaf, hatiku tidak sebaik itu."-Princessa Elliazer-(*)Kembali, Cessa menghentikan langkah. Menatap jengah seseorang yang sedari tadi merecokinya sepanjang jalan menuju tempat parkir.Cessa mendesah frustasi. Sepanjang hari gadis ini terus saja mengganggunya. Melontarkan seribu satu alasan, kata maaf, dan penyesalan."Please, maafin gue. Sumpah! Gue bener-bener nyesel." Lagi, kalimat itu Gia lontarkan untuk kesekian kalinya.Untuk kesekian kalinya pula, Cessa meng
"Kau membuat kekosongan ini menjadi penuh makna dan cerita,Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu?"-Aksa Mahatma-***Aksa mengerjap pelan dengan satu tangan refleks terulur ke samping. Merabai permukaan sprei, mencari keberadaan sosok yang menemani permainan panasnya tadi sore.Kosong. Gadis itu tidak ada.Sorotnya menyisir ke segala penjuru ruangan bernuansa abu-abu itu. Nihil. Tidak ada di ranjang, di kamar mandi, di mana pun.Apa gadis itu meninggalkannya?Apa gadis itu mencampakkannya?"Arrrggghhhh!" Ia melempar sembarang bantal di sebelah
⚠ WARNING! PART INI MENGANDUNG KONTEN DEWASA (17+), BAGI YANG MERASA DIBAWAH UMUR, ATAU TIDAK BERKENAN, HARAP SKIP SAJA. TERIMAKASIH ♡´・ᴗ・'♡***"Canduku hanya padamu."-Aksa Mahatma-***Drrrrttt! Drrttt!Cessa yang tengah sibuk mengunyah snack, merogoh ponsel dalam tas. Mendapati sebuah chat Line tertera di notif layar. X_Arsen12.39 wib
"Selama undangan belum meluncur, Sepertiga malam masih siap menikung."-Andreas Theodore-****"Re!"Rea yang duduk di tepian ranjang, sedang berbincang ringan bersama Cessa dan Livy pun sontak menoleh. Tangannya terulur, secara refleks menerima buah salak yang dilemparkan padanya.Seolah sudah terbiasa, tanpa banyak bicara Rea mengupasi buah tersebut dengan telaten."Cie... Lo udah kek bininya aja tau gak, Re," ledek Livy sembari menyikut pelan lengan Rea."Gak gitu, Liv. 'Kan aku kenal dia udah lama banget, jadi.., ya, udah biasa," sanggah Rea-yang sebenarnya mengharapkan hal yang sama akan terwujud di masa mendatang.Si pelempar buah salak ini telah Rea kenal sejak mereka masih sam
Lima tahun yang lalu.."Kakak!"Dewa yang sedang men-dribble bola, sontak menoleh. Menaikkan alisnya, mendapati sang adik berdiri di sisi lapangan mengenakan seragam basket yang serupa dengannya.Sore itu Dewa, Aksa, Chen, Diaz, dan Eagan sedang bermain basket di lapangan sekolah. Kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan setiap sore di akhir pekan.Mengenai seragam basket Cessa, gadis itu memang selalu dibuatkan juga setiap kali Dewa dan gengnya membuat atribut. Entah itu seragam, jaket, gelang, atau semacamnya.
"WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!"Suara bariton itu mengalun tajam memasuki gendang telinga, bak alunan musik kematian yang tengah menyambut datangnya sang iblis yang kini tengah berdiri di ambang pintu.Ketiganya mematung. Menoleh sejenak ke lantai, dan mendapati sebuah bayangan laki-laki berada tepat di belakang mereka.Mereka mengenal dengan baik suara itu.Gia merasa seolah menelan gumpalan besar di tenggorokan, bahkan sekilas ia melihat jemari Shaha sedikit gemetar. Sementara, Della? Wajahnya sudah pucat pasi.Cessa sedikit menolehkan kepala untuk melihat siapa orang tersebut—meski sebenarnya dari mendengar suaranya saja ia sudah hafal siapa yang menginterupsi pertengkaran mereka, kemudian tersenyum miring. 
"Before you judge me, take a mirror first." -Princessa Elliazer-****“Oh, come on, Princess. Dua tahun di London, tapi lo masih gini-gini aja, tepos,” ejek Diaz dengan senyum miring menghiasi wajah.Suasana kanting cukup ramai siang itu.“nye, nye, nye. Bodo amat bang Diaz, gue udah kebal sama nyinyiran lo," cibir Cessa sembari memanyunkan bibir dengan mata memutar malas, tanpa mengalihkan pandangan memerhatikan kuku jarinya.Chandiaz Alexandrov, atau akrab disapa Diaz ini memang tipe lelaki yang tidak banyak bicara.Namun, sekali ia berkomentar, bon cabe pun kalah pedasnya.
"Karena seringnya bersama,Tanpa sadar sebuah rasa akan muncul tanpa diminta."-BREATHLESS-****Enam tahun yang lalu.. -Moonlight International High School-"Eh, Wa, dapet punishment apa lo dari Miss Janette? Apa kata gue juga, njir. Jangan ngerokok di toilet sekolah. Udah gak aman, cari lapak lain napa."Dewa menjawab dengan enteng sembari mengangkat bahu lalu merangkulkan satu lengan di bahu Diaz yang duduk disebelahnya, "cuman skors satu minggu doang..""..Sama SP 1," lanjutnya."Enteng banget lo ngomong. Wa,"