"Bagiku, kau adalah daerah teritorialku."
-Aksa Mahatma Khaera-
"Aku lagi gak ada kelas hari ini, kalo gak di gedung basket, ya nangkring di kantin. Kalo udah selesai kuliahnya kabarin aja," tutur Aksa sembari membuka seat belt yang dikenakan Cessa.
Gadis itu tersenyum tipis, "Iya."
Lalu, seakan teringat sesuatu, Aksa membuka seat beltnya lalu meraih sesuatu yang ia simpan di jok belakang. "Look at this, kamu suka gak," ucap lelaki itu seraya menyerahkan sebuah paper bag pada Cessa.
Cessa merogoh barang tersebut. Sebelah alisnya terangkat, namun ia tidak terkejut sama sekali.
..
.Sebuah ponsel baru.
Iphone 12 berwarna silver keluaran terbaru, rupanya Aksa mengganti ponsel Cessa dengan tipe yang serupa, dan warna yang sama, dengan yang telah dirusaknya kemarin.
"Kalo gitu aku ke kelas dulu," ucap Cessa sembari hendak memegang handle pintu mobil.
Cessa malas berterima kasih. Ini sudah sangat sering terjadi. Karena kebiasaan Aksa itu, sedari dulu ia seringkali kehilangan kontak teman-temannya.
Aksa merangkulkan sebelah tangan kemudian mengecup sisi kening Cessa. "I love you, Princess," ucapnya sembari mengusap sayang puncak kepala gadis itu.
"Me too," balas Cessa dengan senyum mengembang.
Tepat setelah memegang handle pintu, gadis itu kembali menoleh, "jalanin janji kamu itu," titahnya sembari mengerlingkan salah satu mata, kemudian mengecup sekilas pipi Aksa.
Aksa balas tersenyum. "Pasti, bee."
Cessa melambaikan tangan saat Aksa pergi meninggalkan parkiran gedung fakultasnya, kemudian berjalan menuju kelas sembari menenteng paper bag tersebut.
Gadis itu merasa lebih baik sekarang.
Meskipun Aksa 'menculik' dan menyiksanya selama berhari-hari, setidaknya masalah yang sudah berlarut-larut selama empat tahun lamanya, akhirnya bisa dibahas dan diambil kesepakatan terbaik.
Tidak bisa dibilang itu sebuah siksaan, karena nyatanya Cessa begitu terbuai oleh manisnya sentuhan Aksa padanya.
Menyebalkan memang.
Cessa merasa lututnya seperti akan lumpuh. Lemas sekali, hingga sulit untuk sekedar berdiri saja.
Seperti itulah hukuman yang Aksa maksud.
Membuat Cessa memohon, dan mengiba padanya dalam desah napas yang saling beradu.
Segera menepis pikiran kotor itu, tanpa sadar Cessa menggeleng pelan. "Aish! Mikir apa sih gue! Pagi-pagi gini ini otak udah ngeres aja," gerutunya pada diri sendiri.
"Hai, lo anak baru itu kan?" Tepukan di pundak serta sapaan orang asing itu menghentikkan langkah Cessa.
Cessa pun berbalik, "Ya?" Balasnya dengan sebelah alis terangkat.
Lelaki itu mengulurkan satu tangannya. "Kenalin, gue Radika, panggil aja Dika. Ketua HIMA fakultas lo, senior lo juga di sini, kita satu jurusan soalnya," kata lelaki itu dengan senyum ramah.
Cessa malah terlihat sedikit celingukan.
Ia takut, jika Aksa melihat pemandangan ini lalu membuat suatu kekacauan.
Ah, ia baru ingat. Bukankah lelaki itu sudah berjanji padanya?
Dengan senyum lebar, ia menjabat uluran tangan lelaki itu. "Princessa, panggil Cessa aja."
"Kalo lo ada kendala apapun di sini, lo bisa cari gue, atau anak HIMA yang lain yang lo kenal. Kita pasti bantu," imbuhnya seraya melepas jabatan tangan itu.
"Hm," jawab Cessa dengan senyum tipisnya.
Sembari berjalan menuju gedung fakultas, mereka sedikit berbincang, "...Gue gak nyangka sih sebenarnya, manusia es tanpa emosi macam si Aksa, bisa punya bucin juga ya ternyata, sampe empat tahun lagi," aku Dika sembari tertawa renyah.
"Gue tuh seangkatan sama dia. Emang sih, dia mahasiswa paling famous selain Andre di sini..," tutur Dika kembali.
"..Tapi gak ada cewek yang tahan ngejar dia. Seagresif apapun, dia gak pernah gubris sama sekali. Mau kayak gimana pun dia digangguin, dia gak pernah keliatan marah, bahkan cenderung gak peduli sama semua hal disekitarnya. Ngomong aja seperlunya banget. Dia sampe digosipin homo tau gak."
Tawa Cessa mengudara di koridor kampus kala itu, "Sekalinya marah gue ampe dibikin ngesot anjay," cicit Cessa dengan bibir cemberutnya. Begitu rendah, bahkan tak terdengar oleh Dika .
"Ha? Lo bilang apa barusan?"
Mendengarnya, Cessa mengibaskan satu tangan. "Gak kok, kak, bukan apa-apa."
"Yaudah, kalo gitu gue ke ruang HIMA dulu," pamit Dika dengan satu jari telunjuk mengarah ke kanan saat mereka sampai d persimpangan koridor.
Gadis itu tersenyum ramah. "Oke."
"Bye. See ya," kata lelaki itu sembari melambaikan tangan, lalu memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, kemudian berlalu.
Sementara Cessa hanya membalasnya dengan lambaian tangan kemudian melangkah menuju lift, karena kelasnya terletak di lantai empat.
Sesampainya di ruang kelas, netranya langsung menangkap sosok Lingga yang sedang berdiskusi serius dengan seorang gadis.
Cessa tak habis pikir, bisa-bisanya partner in-PRnya itu memendam rasa pada seorang gadis selama lebih dari tiga tahun.
Tentu Cessa tahu mengenai hal itu, karena satu-satunya teman 'berbagi' Lingga adalah dirinya.
Gadis itu adalah Reana Juwita Soeharno, puteri salah satu pengusaha Advertising di jakarta. Mereka bertiga, bersama Aksa, dan gengnya, satu sekolah sejak SMA.
Cessa melangkah riang menghampiri mereka berdua, "ihola, good people," sapa Cessa sembari menjatuhkan bokong di bangku depan Lingga.
Refleks Lingga menoleh ke depan, kemudian dengan gemas menyentil dahi gadis itu. "Lo kemana aja, sih. berhari-hari hp lo nggak aktif, gue cari di rumah gak ada."
Kemudian arah pandang lelaki itu berubah menatap paper bag yang Cessa taruh di atas meja.
"Dirusakin lagi sama do'i?" Tanya Lingga dengan ekspresi meringisnya. Butuh uang yang tidak sedikit, untuk membeli barang itu.
"Hm. Kayak lo baru kenal Aksa kemarin sore aja."
Raut muka Rea seketika berubah saat dua orang dihadapannya sedang membahas satu nama yang cukup sensitif untuknya.
"Long time no see, Sa. Setelah dua tahun, lo balik juga, ya, ternyata," tutur Rea sembari tetap fokus mencatat tugasnya.
"Gak pengen banget ya, Re, gue balik?" Tembak Cessa, membuat Rea refleks mendongak.
"Ah, ya. Itu.. Bukan, maksud gue bukan gitu. Tapi-" Rea menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
"Astaga, Re. I was joking, you know," potong Cessa dengan tawa renyah sembari mengibaskan rambutnya yang menjuntai indah.
"Eh, eh, Ngga..," rengek manja Cessa sahabatnya itu.
Lingga memutar malas bola matanya. "Apa?" Tanyanya berbasa-basi dengan kedua tangan melipat di dada, padahal ia sudah tahu apa yang diinginkan gadis itu.
"Nyontek."
Kembali, Lingga memutar malas bola matanya. "Kapan rajinnya sih, lo," jawabnya sembari menyerahkan binder tugasnya pada Cessa.
Gadis itu tersenyum lebar.
..
."Entar, kalo otak pinter lo, udah lo warisin ke gue."
Sementara itu, di tempat yang berbeda...
"Dik."
Langkah Dika langsung terhenti mendengar sapaan yang ditujukan kepadanya tersebut. Refleks ia menoleh dan berbalik, "eh, Sa. Gue kira siapa," sapa balik Dika, sekedar basa-basi.
"Ada apa nih? Tumbenan amat orang penting kek elo, nyari remahan keripik kek gue," canda Dika, berniat mencairkan suasana yang ia rasa mendadak terasa mencekam.
Namun, si lawan bicara hanya menampilkan segaris senyum tipis, yang bahkan hampir tak terlihat.
Aksa yang nampak tengah bersender di dinding dengan kedua lengan melipat di dada pun angkat suara, "gue ada keperluan nih sama lo, makanya gue ke sini."
Alis Dika terangkat, ada keperluan apa mahasiswa famous seperti Aksa sengaja datang mencari dirinya seperti ini?
Aksa pun memberi isyarat arah menggunakan dagunya.
..
."Ikut gue."
***
Bugh!
Lelaki itu terbatuk. Lagi, ia kembali mendapat pukulan itu. Tubuhnya sudah lemas tak berdaya.
Dika tak menyangka, tujuan Aksa mencari dirinya adalah untuk menghajarnya seperti ini.
Aksa mengajak Dika ke sebuah gedung tak terpakai yang terletak di ujung belakang kampus.
Disana sudah ada beberapa mahasiswa berandal pengikut Aksa yang sudah siap dengan segala alat hajarnya.
Ia pun sama sekali tak pernah membayangkan, sosok manusia tanpa emosi seperti Aksa bisa berubah menjadi seberingas ini hanya karena seorang perempuan.
Tubuh jangkung Aksa yang berdiri membelakang Dika tampang menjulang, Dika yang sedang terkapar dengan beberapa luka lebam di tubuh tak mampu berbuat banyak.
"Ini hukuman karena lo udah berani deketin cewek gue." Nada suara Aksa yang terdengar rendah itu membuat orang-orang yang berada di sana bergidik. Auranya terasa begitu menyeramkan.
"Demi Tuhan, Sa. Gue cuman nyapa dia doang," ucap Dika dengan nada lemah.
Mendengarnya, Aksa menolehkan kepala. Melihat tatapan tajam tak bersahabat itu, Dika menelan ludah.
Sepertinya Dika telah salah berbicara.
"Gue gak peduli motif lo apa," balas Aksa dengan singkat.
Bagi Aksa, Princessa adalah daerah teritorialnya.
Ia tidak akan pernah membiarkan siapapun mengusik, mendekati, apalagi mencoba mengambil alih apapun yang ia klaim sebagai wilayah jangkauannya.
Terlebih Cessa, gadis itu adalah hidupnya. Titik center kawasan teritorial seorang Aksa Mahatma.
Aksa pun berbalik, ia terlihat seakan meremas tangannya sendiri. Kemudian berjongkok tepat di sebelah Dika, "Gue bisa aja sebenarnya, habisin lo pake tangan gue sendiri ..."
"... Tapi gue gak mungkin ninggalin jejak di badan gue, karena cewek gue pasti bakalan langsung curiga dan marah sama gue kalo dia tau soal ini," akunya lagi dengan senyum licik.
Kemudian Aksa pun kembali berdiri.
"Arghh!!"
Dika berteriak kencang saat Aksa menginjak dengan keras telapak tangan dan jari-jarinya.
"Dan ini hukuman karena lo udah sentuh cewek gue pake tangan busuk lo," ujar Aksa penuh penekanan, tak ada ekspresi apapun di raut mukanya.
Aksa maju beberapa langkah, meraih tongkat baseball yang sedang dipegang salah satu pengikutnya.
Memukul ringan tongkat itu ke telapak tangan, Aksa menatap lelaki sialan yang sudah berani menggoda gadisnya itu.
"Dasar, psikopat gila," ucap lemah Dika diantara kesadarannya yang sudah hampir hilang.
Bukannya raut marah, malah seringai licik yang Aksa tampilkan.
Orang-orang yang berada dalam gedung, termasuk Dika. Baru pertama kali ini melihat kemarahan seorang Aksa Mahatma Khaera, dan itu sangatlah menyeramkan.
Ia pun kembali berjalan menghampiri Dika yang sudah terkulai lemah, dengan rahang mengetat dan gigi yang bergemelatuk.
Dengan penuh amarah, Aksa memberikan Dika satu pukulan telak terakhir.
..
."Sekali lagi lo berani deketin cewek gue, gue matiin lo, njing!"
- TBC -
"Jangan pernah takut akan sesuatu yang belum pasti terjadi."-Princessa Elliazer-****Jam menunjukkan pukul 12.30 tepat saat Lingga keluar dari ruang kelasnya. Sejenak beristirahat dari padatnya jadwal perkuliahan hari ini."Eh, Ngga. Sumpah ya, si Aksa itu ngeselinnya tuh gini loh-"Lingga menulikan telinga, ocehan demi ocehan tidak penting Cessa kini seperti volume yang tiba-tiba d mute.Seluruh area jangkauan matanya menjadi blur, dan fokusnya hanya pada satu titik di ujung koridor sana.Dari kejauhan, ia melihat sosok itu.Gadis berponi dengan ra
"Karena seringnya bersama,Tanpa sadar sebuah rasa akan muncul tanpa diminta."-BREATHLESS-****Enam tahun yang lalu.. -Moonlight International High School-"Eh, Wa, dapet punishment apa lo dari Miss Janette? Apa kata gue juga, njir. Jangan ngerokok di toilet sekolah. Udah gak aman, cari lapak lain napa."Dewa menjawab dengan enteng sembari mengangkat bahu lalu merangkulkan satu lengan di bahu Diaz yang duduk disebelahnya, "cuman skors satu minggu doang..""..Sama SP 1," lanjutnya."Enteng banget lo ngomong. Wa,"
"Before you judge me, take a mirror first." -Princessa Elliazer-****“Oh, come on, Princess. Dua tahun di London, tapi lo masih gini-gini aja, tepos,” ejek Diaz dengan senyum miring menghiasi wajah.Suasana kanting cukup ramai siang itu.“nye, nye, nye. Bodo amat bang Diaz, gue udah kebal sama nyinyiran lo," cibir Cessa sembari memanyunkan bibir dengan mata memutar malas, tanpa mengalihkan pandangan memerhatikan kuku jarinya.Chandiaz Alexandrov, atau akrab disapa Diaz ini memang tipe lelaki yang tidak banyak bicara.Namun, sekali ia berkomentar, bon cabe pun kalah pedasnya.
"WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!"Suara bariton itu mengalun tajam memasuki gendang telinga, bak alunan musik kematian yang tengah menyambut datangnya sang iblis yang kini tengah berdiri di ambang pintu.Ketiganya mematung. Menoleh sejenak ke lantai, dan mendapati sebuah bayangan laki-laki berada tepat di belakang mereka.Mereka mengenal dengan baik suara itu.Gia merasa seolah menelan gumpalan besar di tenggorokan, bahkan sekilas ia melihat jemari Shaha sedikit gemetar. Sementara, Della? Wajahnya sudah pucat pasi.Cessa sedikit menolehkan kepala untuk melihat siapa orang tersebut—meski sebenarnya dari mendengar suaranya saja ia sudah hafal siapa yang menginterupsi pertengkaran mereka, kemudian tersenyum miring. 
Lima tahun yang lalu.."Kakak!"Dewa yang sedang men-dribble bola, sontak menoleh. Menaikkan alisnya, mendapati sang adik berdiri di sisi lapangan mengenakan seragam basket yang serupa dengannya.Sore itu Dewa, Aksa, Chen, Diaz, dan Eagan sedang bermain basket di lapangan sekolah. Kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan setiap sore di akhir pekan.Mengenai seragam basket Cessa, gadis itu memang selalu dibuatkan juga setiap kali Dewa dan gengnya membuat atribut. Entah itu seragam, jaket, gelang, atau semacamnya.
"Selama undangan belum meluncur, Sepertiga malam masih siap menikung."-Andreas Theodore-****"Re!"Rea yang duduk di tepian ranjang, sedang berbincang ringan bersama Cessa dan Livy pun sontak menoleh. Tangannya terulur, secara refleks menerima buah salak yang dilemparkan padanya.Seolah sudah terbiasa, tanpa banyak bicara Rea mengupasi buah tersebut dengan telaten."Cie... Lo udah kek bininya aja tau gak, Re," ledek Livy sembari menyikut pelan lengan Rea."Gak gitu, Liv. 'Kan aku kenal dia udah lama banget, jadi.., ya, udah biasa," sanggah Rea-yang sebenarnya mengharapkan hal yang sama akan terwujud di masa mendatang.Si pelempar buah salak ini telah Rea kenal sejak mereka masih sam
⚠ WARNING! PART INI MENGANDUNG KONTEN DEWASA (17+), BAGI YANG MERASA DIBAWAH UMUR, ATAU TIDAK BERKENAN, HARAP SKIP SAJA. TERIMAKASIH ♡´・ᴗ・'♡***"Canduku hanya padamu."-Aksa Mahatma-***Drrrrttt! Drrttt!Cessa yang tengah sibuk mengunyah snack, merogoh ponsel dalam tas. Mendapati sebuah chat Line tertera di notif layar. X_Arsen12.39 wib
"Kau membuat kekosongan ini menjadi penuh makna dan cerita,Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu?"-Aksa Mahatma-***Aksa mengerjap pelan dengan satu tangan refleks terulur ke samping. Merabai permukaan sprei, mencari keberadaan sosok yang menemani permainan panasnya tadi sore.Kosong. Gadis itu tidak ada.Sorotnya menyisir ke segala penjuru ruangan bernuansa abu-abu itu. Nihil. Tidak ada di ranjang, di kamar mandi, di mana pun.Apa gadis itu meninggalkannya?Apa gadis itu mencampakkannya?"Arrrggghhhh!" Ia melempar sembarang bantal di sebelah
"Kau tahu, apa yang membuatku kecewa? Saat aku melihatnya terluka, dan itu olehmu." - Xadewa Arsenio -***Mobil Honda Civic milik Lingga mulai memasuki salah satu kawasan Elit di Pondok Indah. Bersama Rea di kursi depan, dan Livy yang sedari tadi terus mengoceh di kursi belakang.Lajunya mulai melambat, lalu perlahan belok ke salah satu hunian mewah di blok paling depan.Ia membuka kaca kemudi, kemudian tersenyum santun saat salah satu satpam tersenyum ramah sembari menekan tombol, dan pintu gerbang terbuka perlahan.Lingga mengangguk pelan, "makasih, pak Tomo,
"Menerima segala bentuk penindasan dengan ikhlas lapang dada? Maaf, hatiku tidak sebaik itu."-Princessa Elliazer-(*)Kembali, Cessa menghentikan langkah. Menatap jengah seseorang yang sedari tadi merecokinya sepanjang jalan menuju tempat parkir.Cessa mendesah frustasi. Sepanjang hari gadis ini terus saja mengganggunya. Melontarkan seribu satu alasan, kata maaf, dan penyesalan."Please, maafin gue. Sumpah! Gue bener-bener nyesel." Lagi, kalimat itu Gia lontarkan untuk kesekian kalinya.Untuk kesekian kalinya pula, Cessa meng
"Kau membuat kekosongan ini menjadi penuh makna dan cerita,Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu?"-Aksa Mahatma-***Aksa mengerjap pelan dengan satu tangan refleks terulur ke samping. Merabai permukaan sprei, mencari keberadaan sosok yang menemani permainan panasnya tadi sore.Kosong. Gadis itu tidak ada.Sorotnya menyisir ke segala penjuru ruangan bernuansa abu-abu itu. Nihil. Tidak ada di ranjang, di kamar mandi, di mana pun.Apa gadis itu meninggalkannya?Apa gadis itu mencampakkannya?"Arrrggghhhh!" Ia melempar sembarang bantal di sebelah
⚠ WARNING! PART INI MENGANDUNG KONTEN DEWASA (17+), BAGI YANG MERASA DIBAWAH UMUR, ATAU TIDAK BERKENAN, HARAP SKIP SAJA. TERIMAKASIH ♡´・ᴗ・'♡***"Canduku hanya padamu."-Aksa Mahatma-***Drrrrttt! Drrttt!Cessa yang tengah sibuk mengunyah snack, merogoh ponsel dalam tas. Mendapati sebuah chat Line tertera di notif layar. X_Arsen12.39 wib
"Selama undangan belum meluncur, Sepertiga malam masih siap menikung."-Andreas Theodore-****"Re!"Rea yang duduk di tepian ranjang, sedang berbincang ringan bersama Cessa dan Livy pun sontak menoleh. Tangannya terulur, secara refleks menerima buah salak yang dilemparkan padanya.Seolah sudah terbiasa, tanpa banyak bicara Rea mengupasi buah tersebut dengan telaten."Cie... Lo udah kek bininya aja tau gak, Re," ledek Livy sembari menyikut pelan lengan Rea."Gak gitu, Liv. 'Kan aku kenal dia udah lama banget, jadi.., ya, udah biasa," sanggah Rea-yang sebenarnya mengharapkan hal yang sama akan terwujud di masa mendatang.Si pelempar buah salak ini telah Rea kenal sejak mereka masih sam
Lima tahun yang lalu.."Kakak!"Dewa yang sedang men-dribble bola, sontak menoleh. Menaikkan alisnya, mendapati sang adik berdiri di sisi lapangan mengenakan seragam basket yang serupa dengannya.Sore itu Dewa, Aksa, Chen, Diaz, dan Eagan sedang bermain basket di lapangan sekolah. Kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan setiap sore di akhir pekan.Mengenai seragam basket Cessa, gadis itu memang selalu dibuatkan juga setiap kali Dewa dan gengnya membuat atribut. Entah itu seragam, jaket, gelang, atau semacamnya.
"WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!"Suara bariton itu mengalun tajam memasuki gendang telinga, bak alunan musik kematian yang tengah menyambut datangnya sang iblis yang kini tengah berdiri di ambang pintu.Ketiganya mematung. Menoleh sejenak ke lantai, dan mendapati sebuah bayangan laki-laki berada tepat di belakang mereka.Mereka mengenal dengan baik suara itu.Gia merasa seolah menelan gumpalan besar di tenggorokan, bahkan sekilas ia melihat jemari Shaha sedikit gemetar. Sementara, Della? Wajahnya sudah pucat pasi.Cessa sedikit menolehkan kepala untuk melihat siapa orang tersebut—meski sebenarnya dari mendengar suaranya saja ia sudah hafal siapa yang menginterupsi pertengkaran mereka, kemudian tersenyum miring. 
"Before you judge me, take a mirror first." -Princessa Elliazer-****“Oh, come on, Princess. Dua tahun di London, tapi lo masih gini-gini aja, tepos,” ejek Diaz dengan senyum miring menghiasi wajah.Suasana kanting cukup ramai siang itu.“nye, nye, nye. Bodo amat bang Diaz, gue udah kebal sama nyinyiran lo," cibir Cessa sembari memanyunkan bibir dengan mata memutar malas, tanpa mengalihkan pandangan memerhatikan kuku jarinya.Chandiaz Alexandrov, atau akrab disapa Diaz ini memang tipe lelaki yang tidak banyak bicara.Namun, sekali ia berkomentar, bon cabe pun kalah pedasnya.
"Karena seringnya bersama,Tanpa sadar sebuah rasa akan muncul tanpa diminta."-BREATHLESS-****Enam tahun yang lalu.. -Moonlight International High School-"Eh, Wa, dapet punishment apa lo dari Miss Janette? Apa kata gue juga, njir. Jangan ngerokok di toilet sekolah. Udah gak aman, cari lapak lain napa."Dewa menjawab dengan enteng sembari mengangkat bahu lalu merangkulkan satu lengan di bahu Diaz yang duduk disebelahnya, "cuman skors satu minggu doang..""..Sama SP 1," lanjutnya."Enteng banget lo ngomong. Wa,"