Hari merangkak malam. Kimie hanya terjaga sebentar di waktu makan malam. Bocah kecil itu tampak amat bahagia, ketika pertama kali membuka mata yang terlihat adalah wajah ibunya. Ibu dan anak itu saling berdekapan melepas rindu. Shakira begitu telaten menyuapi anaknya makan serta minum obat. Sementara Kimie yang amat menurut pada nasihat ibunya. Bocah cilik itu manut saat disuruh meminum beberapa butir obat. Sampai malam menjelang aku masih setia di tempat tersebut. Rasanya enggan meninggalkan Kimie yang masih terlihat pucat. Namun, saat melihat Shakira yang sudah terlihat lelah, aku pun sadar diri. Apalagi dari tadi Aldi sudah beberapa kali mengirim sinyal pengusiran secara halus.Akhirnya dengan berat hati, aku pamit pulang. Tentu saja Aldi langsung mengiyakan, sedang Shakira hanya mengangguk pelan. Kaki ini kuayun keluar ruangan. Setelah beberapa menit berjalan, entah mengapa hatiku menyuruh untuk tetap bertahan di sini. Aku putar balik ke kamar Kimie lagi.Lewat kaca kecil di pin
(POV Shakira)Ada yang tidak beres dengan Kimie. Anak itu masih saja ceria. Namun, kian hari wajahnya tampak memucat. Sering mengeluh lelah padahal tidak melakukan aktivitas fisik yang berlebihan. Demam tanpa alasan yang jelas. Lebam-lebam di sekitar tubuhnya.Tadinya aku manut dengan nasihat Ibu. Dengan tidak berpikiran buruk. Meyakini jika Kimie kelelahan dan stress karena akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Namun, ketika intensitas mimisan Kimie mengalami kenaikan. Hatiku sudah tidak bisa lagi diam.Aku menghubungi Jamie. Memberi tahu padanya mengenai kondisi Kimie. Bagaimana pun dia adalah ayah kandungnya.Tentu saja Jamie langsung cemas mendengar penuturanku. Tanpa menunggu, lelaki itu mengajakku untuk memeriksakan Kimie pada Sandrina. Aku langsung setuju. Karena Sandrina seorang dokter anak yang sudah cukup berpengalaman.*"Sebaiknya Kimie harus segera di-CT scan," saran Sandrina ketika kami datang memeriksakan Kimie. Mata wanita fokus membaca buku riwayat sakitnya Kimie."Ke
(POV Aldi)Mencintai Shakira, perasaan itu sudah tumbuh sejak aku masih sekolah dulu. Shakira yang dan pintar tentu saja menjadi salah satu siswa yang populer pada waktu itu. Ditambah pembawaannya yang tenang dan kalem membuat incaran para siswa laki-laki. Dan aku salah satu penggemar misteriusnya.Aku bukan seorang pecundang. Sama seperti Shakira, aku pun masuk dalam jajaran siswa populer. Banyak bilang aku tampan. Apalagi sejak menjadi pemain basket bisa kata hampir semua siswi di sekolah mengenal aku.Sebenarnya aku juga tergolong siswa berotak encer. Namun, kesibukan sebagai seorang foto model dan pemain basket membuat waktu belajarku berantakan. Apalagi setelah mengetahui gadis yang kupuja menjalin hubungan dengan kawan baik sendiri.Aku bahkan dibuat shock saat mendengar Shakira hamil di luar nikah dengan Jamie. Tidak kusangka, gadis kalem yang tidak pernah neko-neko itu bisa jatuh ke lubang nista. Sangat menyayangkan masa depan Shakira harus terenggut karena ulah kebodohannya.
(POV Aldi)Ujian rumah tanggaku dengan Shakira mulai diuji. Kimie tercinta terkena kanker darah. Anak itu memerlukan perawatan khusus dengan biaya yang tidak sedikit.Sebagai seorang ayah walau berstatus sambung, aku merasa sedih. Karena tidak mampu memberikan kontribusi yang maksimal pada Kimie. Aku bukan seorang hartawan seperti Jamie. Bagiku sakitnya Kimie seolah mendekatkan hubungan Shakira dan Jamie yang sempat merenggang.Sering kudapati Shakira, Jamie, dan Kimie tengah tergelak bersama. Tawa Shakira benar-benar lepas. Binar matanya menunjukkan kebahagiaan. Dan itu tidak pernah kudapati jika bersamaku.Hatiku kian dilanda cemas, saat mendengar permintaan Kimie. Bocah itu mengharapkan kedua orang tuanya bersatu kembali."Jadi kamu mendoakan agar rumah tanggaku dan Kira kandas?" heranku saat mendengar betapa entengnya Jamie menyanggupi permintaan Kimie."Tentu tidak," sanggah Jamie kalem. Mulutnya mulai mengunyah nasi Padang yang ia bawa. "Aku cuma tidak mau mendahului takdir Alla
(POV Shakira)Bapak Jaya alias papanya Jamie sepakat membawa Kimie berobat ke Singapura. Tidak tanggung-tanggung, pria kaya itu memboyong semua keluargaku ke negeri singa tersebut. Kecuali Aldi tentunya. Karena Bapak Jaya hanya mau mengakomodasi orang-orang yang memiliki hubungan pertalian darah dengan Kimie.Sayangnya Salwa tidak bisa turut serta. Gadis itu sedang ada ujian. Ketika menjalani pemeriksaan, dirinya juga sum-sum tulang belakangnya tidak cocok untuk Kimie.Bertujuh dengan Sandrina, kami bertolak ke Singapura pada pukul sebelas lewat lima menit. Pukul satu siang kami tiba di Bandara Changi Singapura. Bapak Jaya membawa kami semua beristirahat sejenak di Orchard Mandarin Hotel.Papa Jamie sengaja memesan kamar di hotel tersebut, karena lokasinya yang berada tidak jauh dari rumah sakit tempat Kimie dirawat nantinya. Suami dari Tante Lia itu membooking tiga kamar untuk dirinya dengan sang istri, Jamie, dan Sandrina. Sementara aku dan Ibu akan tinggal di rumah sakit menemani K
"Ha ... halo, Kira." Suara Aldi terdengar lirih."Al, Kimie ingin video call nih.""Apa? Video call? Oke-oke ... bentar dulu!" Entah kenapa aku seperti menangkap kepanikan pada suara itu. "Lima menit lagi aku telpon balik. Aku lagi di kamar mandi nih."Belum sempat aku membalas, Aldi sudah mematikan sambungan. Aku menghela napas. Kenapa terkesan gugup Aldi tadi?Ibu yang berada di ruang tamu mendekat. Wanita itu duduk tidak jauh dari kursi Jamie. Lima menit kemudian, Aldi memenuhi janjinya. Pria itu melakukan panggilan video."Hallo!" Dalam video Aldi melambaikan tangan. Bibirnya melukis senyum. "Kira, mana Kimie?" tanya dia kemudian."Sebentar!"Kuserahkan ponsel pada Kimie. Gadis itu langsung menyengir senang. Menyapa hangat ayah sambungnya."Ayah Aldi, nanti siang Kimie mau dikemo. Doakan lancar ya," mohon Kimie dengan suara lemah."Oh ... tentu! Ayah berdoa siang dan malam demi kesembuhan princess ayah," sambut Aldi terdengar semangat.Kimie tersenyum kecil. Gadis cilik itu pun
(POV Shakira)"Salwa? Nga-ngapain kamu?" tegur Aldi terlihat gugup."Kenapa Kak Aldi ngehindari aku?" tanya Salwa dengan wajah dinginnya.Aldi tidak langsung menyahut. Terdengar dia mendesah. "Kita memang gak boleh dekat-dekat, Wa. Takut aku ... aku khilaf lagi."Khilaf? Apa maksudnya?Tiba-tiba dadaku terasa sesak.Menit berikutnya, terlihat Salwa menunduk. "Tahu kamu, Kak, beberapa hari ini aku dilanda takut," ungkapnya terdengar tergetar."Kenapa?" Aldi menatap Salwa sekilas."Aku ... aku telat."Bagai ada tangan yang mencekik leherku mendengar pengakuan Salwa."Telat?" Kulihat mata Aldi membulat sempurna, "ma-maksudnya?" tanya Aldi dengan mimik kecemasan."Ya ... telat. Aku belum--""Kira!"Aku menoleh. Sosok Ibu menghampiri dengan tergopoh-gopoh. "Ngapain di sini malem-malem? Kimie nyariin itu," tegur Ibu.Sebenarnya tidak terlalu keras. Hanya saja sunyinya malam, membuat suara Ibu terdengar sampai Aldi dan Salwa. Kedua mahluk beda jenis itu langsung merenggangkan jarak."Salwa?
Keesokan paginya, aku tidak punya waktu lagi untuk menanyakan kembali arti kata telat dan khilaf. Karena Kimie mengalami demam dan mual-mual. Lalu berakhir pada muntah.Kondisi Kimie terlihat lemah sekali. Aku dan Jamie tidak bisa beranjak ke mana-mana. Kimie mengingikan kami selalu berada tidak jauh darinya."Kalo seandainya aku meninggal, maukah Bunda dan Ayah berjanji untukku," pinta Kimie dengan bibir pucatnya."Kamu ngomong apa sih, Kim?" Aku menukas gemas. Rasa takut membuatku menitikkan air mata. "Kimie, kamu itu akan sembuh. Sekarang sedang dalam proses pemulihan. Harus sabar," nasihatku sambil memeluknya erat."Katakan pada ayah! Apa yang harus ayah lakukan agar Kimie semangat lagi?" tanya Jamie menatap putrinya dengan penuh kasih sayang."Beneran ayah mau menuhin permintaan aku?" Kimie mengerjap penuh harap."Tentu. Untuk Kimie, apa pun akan ayah lakukan untukmu," janji Jamie terdengar yakin.Kimie tersenyum. Bocah itu kini beralih mendekap ayahnya. "Kalo nanti pulang, aku m