"Ha ... halo, Kira." Suara Aldi terdengar lirih."Al, Kimie ingin video call nih.""Apa? Video call? Oke-oke ... bentar dulu!" Entah kenapa aku seperti menangkap kepanikan pada suara itu. "Lima menit lagi aku telpon balik. Aku lagi di kamar mandi nih."Belum sempat aku membalas, Aldi sudah mematikan sambungan. Aku menghela napas. Kenapa terkesan gugup Aldi tadi?Ibu yang berada di ruang tamu mendekat. Wanita itu duduk tidak jauh dari kursi Jamie. Lima menit kemudian, Aldi memenuhi janjinya. Pria itu melakukan panggilan video."Hallo!" Dalam video Aldi melambaikan tangan. Bibirnya melukis senyum. "Kira, mana Kimie?" tanya dia kemudian."Sebentar!"Kuserahkan ponsel pada Kimie. Gadis itu langsung menyengir senang. Menyapa hangat ayah sambungnya."Ayah Aldi, nanti siang Kimie mau dikemo. Doakan lancar ya," mohon Kimie dengan suara lemah."Oh ... tentu! Ayah berdoa siang dan malam demi kesembuhan princess ayah," sambut Aldi terdengar semangat.Kimie tersenyum kecil. Gadis cilik itu pun
(POV Shakira)"Salwa? Nga-ngapain kamu?" tegur Aldi terlihat gugup."Kenapa Kak Aldi ngehindari aku?" tanya Salwa dengan wajah dinginnya.Aldi tidak langsung menyahut. Terdengar dia mendesah. "Kita memang gak boleh dekat-dekat, Wa. Takut aku ... aku khilaf lagi."Khilaf? Apa maksudnya?Tiba-tiba dadaku terasa sesak.Menit berikutnya, terlihat Salwa menunduk. "Tahu kamu, Kak, beberapa hari ini aku dilanda takut," ungkapnya terdengar tergetar."Kenapa?" Aldi menatap Salwa sekilas."Aku ... aku telat."Bagai ada tangan yang mencekik leherku mendengar pengakuan Salwa."Telat?" Kulihat mata Aldi membulat sempurna, "ma-maksudnya?" tanya Aldi dengan mimik kecemasan."Ya ... telat. Aku belum--""Kira!"Aku menoleh. Sosok Ibu menghampiri dengan tergopoh-gopoh. "Ngapain di sini malem-malem? Kimie nyariin itu," tegur Ibu.Sebenarnya tidak terlalu keras. Hanya saja sunyinya malam, membuat suara Ibu terdengar sampai Aldi dan Salwa. Kedua mahluk beda jenis itu langsung merenggangkan jarak."Salwa?
Keesokan paginya, aku tidak punya waktu lagi untuk menanyakan kembali arti kata telat dan khilaf. Karena Kimie mengalami demam dan mual-mual. Lalu berakhir pada muntah.Kondisi Kimie terlihat lemah sekali. Aku dan Jamie tidak bisa beranjak ke mana-mana. Kimie mengingikan kami selalu berada tidak jauh darinya."Kalo seandainya aku meninggal, maukah Bunda dan Ayah berjanji untukku," pinta Kimie dengan bibir pucatnya."Kamu ngomong apa sih, Kim?" Aku menukas gemas. Rasa takut membuatku menitikkan air mata. "Kimie, kamu itu akan sembuh. Sekarang sedang dalam proses pemulihan. Harus sabar," nasihatku sambil memeluknya erat."Katakan pada ayah! Apa yang harus ayah lakukan agar Kimie semangat lagi?" tanya Jamie menatap putrinya dengan penuh kasih sayang."Beneran ayah mau menuhin permintaan aku?" Kimie mengerjap penuh harap."Tentu. Untuk Kimie, apa pun akan ayah lakukan untukmu," janji Jamie terdengar yakin.Kimie tersenyum. Bocah itu kini beralih mendekap ayahnya. "Kalo nanti pulang, aku m
PRANK!Aku dan Aldi sontak berpaling pada meja Salwa. Tampak pundak gadis itu turun naik seolah tengah menahan amarah. Cangkir berisi minuman baru saja ia pecahkan."Kamu apa-apaan, Salwa?" tegurku heran melihat wajah gadis itu memerah.Salwa tidak menjawab. Gadis itu mendekat, lantas langsung menarik baju Aldi."Setelah sembuh dari sakitmu dengan bisa meniduri aku, sekarang kamu meminta hakmu pada Mbak Kira, iya?!" gertak Salwa sambil mengguncang tubuh Aldi. "Serakah sekali kamu, mau memakan adik kakak secara bergantian," semburnya dengan mata mendelik. "Walau pun aku tidak jadi hamil, tapi kamu harus tetap bertanggung jawab!" tuntut Salwa tegas.Bibirku kelu mendengar penuturan Salwa. "Ka-kalian?" "Ya. Kak Aldi pernah meniduri aku, Mbak," sahut Salwa lantang.Mulutku ternganga lebar. Dunia ini seakan runtuh menimpa badan, saat mendengar kejujuran dari bibir Salwa. Aku ingin mengingkarinya, tapi ini nyata. Tiba-tiba dada ini terasa sesak. Ketika kupukul, rasa itu tidak juga menghil
Pengkhianatan Aldi dan Salwa tentu sangat membekas di hati. Mungkin akan kumaafkan kesalahan mereka, jika Aldi tidak sampai menyentuh Salwa. Seringkali tubuh ini bergidik ngeri jika membayangkan Aldi yang kotor itu menjamah. Aku memang bukan wanita yang suci. Alasan itulah yang membuatku beberapa kali menolak pinangan Aldi. Namun, aku merasa sedikit lebih baik darinya karena tidak pernah melakukan pengkhianatan terhadap pasangan.Sementara itu, hubunganku dengan Salwa juga mengalami kebekuan. Kami malas bertukar sapa. Masing-masing dari kami berusaha untuk saling menghindar. Suasana hangat pada saat makan bersama kini telah sirna. Sungguh ini sangat tidak nyaman."Kok Ibu merasa kalo kalian seperti tengah perang dingin, ya," ujar Ibu pada suatu malam. Wanita itu sengaja mendudukkan aku, Salwa, dan Aldi di ruang keluarga usai makan malam. Tidak ada Kimie. Bocah itu sudah terlelap sehabis meminum obat malamnya."Ahhh ... itu hanya perasaan Ibu saja." Salwa membantah langsung. Gadis it
"Mulai detik ini, belajarlah mencintai Salwa. Karena gadis itu benar-benar tulus mencintaimu, Al," suruhku lembut sembari memegang kedua pundaknya."Apakah itu artinya kamu sangat menginginkan perceraian kita?" tanya Aldi lirih. Embun di matanya menjadi penanda jika dia teramat nelanga."Demi kebahagiaan Salwa. Demi kebahagiaan kamu, aku rela menjanda dua kali," putusku yakin."Bagaimana aku bahagia jika kebahagiaanku adalah kamu," sanggah Aldi serius. "Beri aku kesempatan kedua, Kira. Aku mohon.""Sudahlah, Al. Jangan buat semuanya jadi ribet." Aku mengakhiri perdebatan dengan mendorong tubuh Aldi keluar dari kamar. Lantas menguncinya rapat. Dari semenjak pengakuan Salwa satu bulan kemarin, aku dan Aldi memang pisah ranjang. Beruntung Ibu belum mencurigainya. Walau pernah memergoki Aldi tidur di sofa ruang keluarga.*Hari ke hari kondisi Kimie berangsur pulih. Wajah pucatnya kini telah berseri kembali. Napsu makannya meningkat. Gadis itu ingin menginjakkan kakinya kembali ke sekola
Stop-stop!" Aku setengah berteriak menengahi mantan sahabat yang dulu begitu dekat itu. "Kalian gak malu bertengkar di depan anak kecil?" cibirku sinis. Mataku menatap tajam pada Aldi dan Jamie secara bergantian. "Udah Kim, kita pergi ke mal naik taksi saja!" ajakku kemungkinan dengan menarik lengan Kimie."Jangan-jangan!" Aldi mencegah cepat. "Udah kita pergi pake mobilnya Jamie saja," ujarnya mengalah.Jamie tersenyum penuh kemenangan. Lelaki itu langsung menyalakan remote mobilnya. Begitu pintu terbuka aku dan Kimie duduk di kursi belakang. Di depan Aldi menemani Jamie mengemudi. Baik Aldi maupun Jamie tidak ada yang berbicara. Keduanya hanya menimpali pertanyaan Kimie dengan secukupnya. Menciptakan rasa tidak nyaman dan aroma persaingan tercium jelas."Kamu lagi ada masalah dengan Aldi?" tegur Jamie ketika kami telah duduk santai menunggu Kimie. Bocah itu tengah asyik bermain di temani Aldi."Kenapa kamu bisa menebak seperti itu?" Aku balik tanya dengan datar."Aku mengenal watak
"Aku dan Kak Aldi pernah ... kami pernah memadu kasih layaknya suami istri, Bu."PLAK!Ibu menampar keras pipi Salwa sebelah kanan. Meninggalkan tanda merah pada pipi mulus itu."Kami saling mencintai, Bu."PLAK!Kali ini telapak tangan Ibu menggampar pipi sebelah kiri adikku. "Kamu selingkuh dengan kakak iparmu sendiri dan terlihat bangga?!" Ibu mengecam dengan pandangan nanar. Bulir bening luruh membanjiri pipinya. "Keterlaluan kamu, SALWAAA!" makinya nelangsa.Salwa terdiam. Gadis itu memegang pipinya yang merah. Matanya terpaku menatap Ibu."Kenapa Ibu menggampar aku?" Salwa bertanya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun, suaranya tetap terdengar stabil."Kamu gak hanya perlu ditampar, tapi kamu juga harus diruqiah, SALWAAA!" Ibu membalas gemas dengan tangan yang mengguncang pundak Salwa.Akhirnya air mata meleleh juga di pelupuk matanya Salwa. "Ibu gak adil." Gadis itu mengecam marah, "Dulu Mbak Kira sampai hamil kenapa dia gak ditampar kayak aku? Aku juga anakmu, Bu. Kenapa