(POV Salwa)Bucin! Bodoh! Murahan! Atau mungkin, masih banyak lagi umpatan kasar yang tepat dilemparkan untukku.Jujur, aku merasa menjadi wanita yang amat bucin karena rela mengejar lelaki yang sama sekali tidak tertarik padaku. Kak Aldi hanya mencintai Mbak Shakira.Lelaki itu rela menunggu bertahun-tahun demi bisa menikahi Mbak Shakira. Dan aku si bodoh ini terus saja berharap suatu saat pasti bisa memiliki Kak Aldi, suami dari kakak sendiri.Aku bahkan pernah berbuat hal yang sangat rendah. Murahan. Kadang aku bergidik jijik jika meningkat kejadian itu.Aku dalam keadaan sadar menggoda kakak ipar sendiri. Dengan harapan lelaki jika sudah jatuh ke dalam pelukan pasti tidak akan bisa ke lain hati. Ternyata aku salah.Sore itu ketika baru saja pulang dari kampus, aku tengah berjalan melewati sebuah taman. Taman komplek yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumahku. Tanpa sengaja mata ini menangkap dua sosok yang sangat kukenal. Mbak Shakira dan Kak Aldi.Mata ini menyipit. Ingin tahu
Status Mbak Shakira dengan Kak Aldi sudah resmi bercerai. Tadi siang palu hakim memutuskan hubungan mereka secara agama dan hukum. Entah kenapa tiba-tiba rasa bersalah kembali menyeruak di dada."Maafkan aku, Mbak," ucapku saat Mbak Shakira baru saja pulang menghadiri sidang perceraiannya. "Gara-gara aku, Mbak Kira menjanda dua kali.""Aku sudah maafkan kamu, Salwa," balas Mbak Shakira sembari menyusut air mataku. "Jodohku dengan Aldi memang cuma sebentar. Jadi jangan terlalu merasa bersalah," lanjutnya lembut. "Sekarang yang terpenting lanjutkan kembali hidupmu. Selesaikan kuliahmu. Raih impianmu selagi masih bisa. Dan ingat jangan pernah lagi memikirkan Aldi karena dia sekarang tengah dekat dengan Dokter Nina," papar Mbak Shakira serius. Kakak itu mana pernah bercanda. "Lebih baik mikirin Ray dari pada Aldi," suruhnya kemudian.Lalu omongan Mbak Shakira pun terbukti. Seminggu kemudian, ketika baru saja pulang diantar Ray, aku melihat mobil Kak Aldi di halaman. Tiga bulan lamanya ti
(POV Shakira)Akhirnya, gugatan ceraiku terhadap Aldi dikabulkan juga oleh mahkamah hakim. Hari ini hubunganku dengan dia sudah menjelma menjadi sahabat kembali. Detik ini juga aku kembali menyandang status janda untuk kedua kalinya.Ketika palu diketuk oleh hakim, aku bernapas lega. Hati ini terasa lapang. Seolah baru saja terlepas dari belenggu yang mengikat. Jeratan rasa balas budi.Beda saat pertama kali berpisah dengan Jamie. Walau pun dulu aku tengah amat membenci Jamie. Namun, ketika palu hakim benar-benar diketuk, aku tergugu dalam tangis.Kali ini dengan penuh ketegaran aku bangkit berdiri. Bersalaman dengan para hakim. Lantas bersalaman dengan Aldi."Al, maafkan aku," ucapku ketika kami keluar dari ruang sidang. Entah kenapa tiba-tiba melihat wajah sendunya, aku dihinggapi rasa iba. Aldi tulus mencintai aku. Namun, aku tidak bisa memaksakan diri untuk mencintainya."Maafkan jika selama menjadi istrimu, aku tidak pernah menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Maafkan aku
Lelaki itu menatapku lekat. "Apa yang kamu rasakan, aku pun mengalaminya." Dia berujar sambil kembali duduk di kursi. "Kamu tahu kan betapa baiknya Nina? Gadis itu ada di saat aku terpuruk. Mendukungku di setiap waktu. Selalu berusaha membuatku nyaman. Namun, hatiku tidak bisa dipaksakan untuk mencintai dia."Aku menggeleng dan tersenyum tipis. "Kamu memang keterlaluan, Jam," makiku lirih."Ya ... karena rasa cintaku padamu jauh lebih besar dari pada ke Nina."Aku termangu mendengar ungkapan tulus dari Jamie. Lelaki itu kembali mendekat dan meraih tanganku."Ingat pepatah yang mengatakan kalau jodoh tidak akan ke mana?" tanya Jamie lembut. "Kita itu jodoh, Ki. Bertahun berpisah nyatanya ketemu lagi. Pernah menemukan pasangan, nyatanya hati kita tetap terpaut." Mataku mengerjap mendengar betapa syahdunya Jamie berbicara. "Aku ingin kita kembali, Ki. Aku, kamu, dan Kimie hidup bersama dalam bahagia," janjinya tulus.Di pintu Ibu berdeham. Refleks aku dan Jamie."Eum ... maaf mengganggu,
"Jadi, Kira, maukah kamu menjadi istriku kembali?" lamar Jamie sambil memperlihatkan sebuah cincin platinum bertahtakan berlian.Sekali lagi aku hanya bisa ternganga. Kedua tangan ini menutup mulut yang terbuka cukup lebar ini. Bibirku terlalu kelu untuk membalas pertanyaan Jamie."Jawablah, Kira!" mohon Jamie lembut. "Tolong, jangan tolak aku lagi. Aku sudah cukup hancur kemarin." Dia berterus terang dengan jujur."Tidakkah ini terlalu cepat, Jam?" tanyaku ragu. "Masa idahku memang sudah lewat, tapi ... aku tidak ingin tergesa-gesa membina hubungan," tuturku lirih dan menunduk.Jamie menghela napas panjang. Begitu juga dengan orang tua kami. Namun, mereka tidak ada yang berani berkomentar. Keputusan ini mutlak milikku."Aku tahu kamu terluka atas kegagalan untuk kedua kalinya. Tapi, sungguh kali ini apa pun yang terjadi, aku akan berusaha menjadi imam keluarga yang baik. Apalagi sekarang usia kita sudah dewasa. Sudah matang ketika berpikir.""Kamu benar, tapi ...." Aku tidak menerusk
Sesuai kesepakatan pernikahanku dengan Jamie diselenggarakan tiga bulan lagi. Seperti halnya Aldi dulu, Jamie juga menginginkan pernikahan keduanya ini selain sakral juga mewah.Lelaki itu mengajakku menemui WO. Menyampaikan konsep pernikahannya. Jamie berencana ijab qobul dan resepsi pernikahan kami digelar di vilanya yang cukup luas.Jamie juga membawaku menemui designer kenamaan untuk menjahit baju pengantin kami. Mengajakku ke toko perhiasan mahal untuk memesan cincin."Jam, apa ini gak terlalu berlebihan?" tanyaku usai memesan cincin. Kami dalam perjalanan pulang."Kenapa? Kamu gak suka?" Jamie bertanya dengan pandangan tetap ke arah depan jalanan."Ini pernikahan ketigaku, Jam. Aku malu," jujurku menunduk.Jamie meraih jemariku. Meremasnya kuat. "Insya Allah ini akan menjadi pernikahan terakhir kita, Ki." Doa Jamie terdengar yakin. "Di pernikahan pertama, kita sama-sama menangis karena belum siap. Lalu pernikahan keduamu, kamu juga tidak bahagia. Terpaksa demi membalas budinya A
"Maksudnya apa ini?" Mataku memincing."Seumur hidup, aku belum pernah mendengar pengakuan cinta darimu. Makanya aku menyuruh Aldi untuk melakukan ini semua," jawab Jamie terdengar santai."Apaaah? Jadi kalian mengerjai aku?" geramku muntab. Mata ini mendelik marah. Bagaimana tidak kesal make up dan tatanan rambut yang dibuat berjam-jam harus rusak. Gaun basah kuyup ini pun menciptakan dingin yang menusuk tulang."Suprise kan?" Sandrina dan Salwa menyahut. Keduanya tersenyum puas."Senang lihat Mbak Kira panik banget tadi," celetuk Salwa tanpa rasa berdosa."Iya, padahal biasanya jarang berekspresi." Sandrina menimpali dengan sedikit terkikik."Enak saja bilang jarang berekspresi. Emangnya aku psikopat?!" sergahku geram."Emang iya." Salwa menyahut sambil memeletkan lidah. Sandrina pun kembali tergelak geli."Ihhh .. awas ya kaliaaan!" seruku gemas. Ketika tangan ini hendak menjewer telinga Salwa, Jamie menahan."Udaaah! Sebaiknya kita ganti baju yuk! Dingin kan?" bujuk Jamie lembut.
Jamie menyodorkan sebuah gamis yang terlihat begitu indah. Lengkap dengan jilbab segi empat dengan warna senada. Mataku mengerjap saat melihat ada bros dengan inisial namaku. Di mana bros tersebut tampak berkilauan karena bertabur kristal Swarovski. "Indah sekali, Jam. Terima kasih," ucapku bahagia. Kupeluk pria itu sekilas. Lantas gegas mengenakan gamis berwarna merah pastel ini. Sentuhan brokat di area dada membuat pakaian ini terlihat mewah. Sementara pita kecil di bagian perut menambah kesan manis. "Dulu aku udah sering lihat kamu pakai hijab, jika berpergian," tutur Jamie ketika mendekat. Lelaki itu membantu menaikkan risleting gamis ini. "Dan kamu terlihat empat kali lipat lebih cantik jika berhijab. Sayang aku dulu belum sempat membelikan kamu pakaian tertutup ini." Aku tersenyum mendengarnya. "Terima kasih." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Tanganku mulai melipat kain penutup kepala ini menjadi bentuk segitiga. Selanjutnya mataku kembali fokus ke cermin. Menutupi rambut den