Lelaki itu menatapku lekat. "Apa yang kamu rasakan, aku pun mengalaminya." Dia berujar sambil kembali duduk di kursi. "Kamu tahu kan betapa baiknya Nina? Gadis itu ada di saat aku terpuruk. Mendukungku di setiap waktu. Selalu berusaha membuatku nyaman. Namun, hatiku tidak bisa dipaksakan untuk mencintai dia."Aku menggeleng dan tersenyum tipis. "Kamu memang keterlaluan, Jam," makiku lirih."Ya ... karena rasa cintaku padamu jauh lebih besar dari pada ke Nina."Aku termangu mendengar ungkapan tulus dari Jamie. Lelaki itu kembali mendekat dan meraih tanganku."Ingat pepatah yang mengatakan kalau jodoh tidak akan ke mana?" tanya Jamie lembut. "Kita itu jodoh, Ki. Bertahun berpisah nyatanya ketemu lagi. Pernah menemukan pasangan, nyatanya hati kita tetap terpaut." Mataku mengerjap mendengar betapa syahdunya Jamie berbicara. "Aku ingin kita kembali, Ki. Aku, kamu, dan Kimie hidup bersama dalam bahagia," janjinya tulus.Di pintu Ibu berdeham. Refleks aku dan Jamie."Eum ... maaf mengganggu,
"Jadi, Kira, maukah kamu menjadi istriku kembali?" lamar Jamie sambil memperlihatkan sebuah cincin platinum bertahtakan berlian.Sekali lagi aku hanya bisa ternganga. Kedua tangan ini menutup mulut yang terbuka cukup lebar ini. Bibirku terlalu kelu untuk membalas pertanyaan Jamie."Jawablah, Kira!" mohon Jamie lembut. "Tolong, jangan tolak aku lagi. Aku sudah cukup hancur kemarin." Dia berterus terang dengan jujur."Tidakkah ini terlalu cepat, Jam?" tanyaku ragu. "Masa idahku memang sudah lewat, tapi ... aku tidak ingin tergesa-gesa membina hubungan," tuturku lirih dan menunduk.Jamie menghela napas panjang. Begitu juga dengan orang tua kami. Namun, mereka tidak ada yang berani berkomentar. Keputusan ini mutlak milikku."Aku tahu kamu terluka atas kegagalan untuk kedua kalinya. Tapi, sungguh kali ini apa pun yang terjadi, aku akan berusaha menjadi imam keluarga yang baik. Apalagi sekarang usia kita sudah dewasa. Sudah matang ketika berpikir.""Kamu benar, tapi ...." Aku tidak menerusk
Sesuai kesepakatan pernikahanku dengan Jamie diselenggarakan tiga bulan lagi. Seperti halnya Aldi dulu, Jamie juga menginginkan pernikahan keduanya ini selain sakral juga mewah.Lelaki itu mengajakku menemui WO. Menyampaikan konsep pernikahannya. Jamie berencana ijab qobul dan resepsi pernikahan kami digelar di vilanya yang cukup luas.Jamie juga membawaku menemui designer kenamaan untuk menjahit baju pengantin kami. Mengajakku ke toko perhiasan mahal untuk memesan cincin."Jam, apa ini gak terlalu berlebihan?" tanyaku usai memesan cincin. Kami dalam perjalanan pulang."Kenapa? Kamu gak suka?" Jamie bertanya dengan pandangan tetap ke arah depan jalanan."Ini pernikahan ketigaku, Jam. Aku malu," jujurku menunduk.Jamie meraih jemariku. Meremasnya kuat. "Insya Allah ini akan menjadi pernikahan terakhir kita, Ki." Doa Jamie terdengar yakin. "Di pernikahan pertama, kita sama-sama menangis karena belum siap. Lalu pernikahan keduamu, kamu juga tidak bahagia. Terpaksa demi membalas budinya A
"Maksudnya apa ini?" Mataku memincing."Seumur hidup, aku belum pernah mendengar pengakuan cinta darimu. Makanya aku menyuruh Aldi untuk melakukan ini semua," jawab Jamie terdengar santai."Apaaah? Jadi kalian mengerjai aku?" geramku muntab. Mata ini mendelik marah. Bagaimana tidak kesal make up dan tatanan rambut yang dibuat berjam-jam harus rusak. Gaun basah kuyup ini pun menciptakan dingin yang menusuk tulang."Suprise kan?" Sandrina dan Salwa menyahut. Keduanya tersenyum puas."Senang lihat Mbak Kira panik banget tadi," celetuk Salwa tanpa rasa berdosa."Iya, padahal biasanya jarang berekspresi." Sandrina menimpali dengan sedikit terkikik."Enak saja bilang jarang berekspresi. Emangnya aku psikopat?!" sergahku geram."Emang iya." Salwa menyahut sambil memeletkan lidah. Sandrina pun kembali tergelak geli."Ihhh .. awas ya kaliaaan!" seruku gemas. Ketika tangan ini hendak menjewer telinga Salwa, Jamie menahan."Udaaah! Sebaiknya kita ganti baju yuk! Dingin kan?" bujuk Jamie lembut.
Jamie menyodorkan sebuah gamis yang terlihat begitu indah. Lengkap dengan jilbab segi empat dengan warna senada. Mataku mengerjap saat melihat ada bros dengan inisial namaku. Di mana bros tersebut tampak berkilauan karena bertabur kristal Swarovski. "Indah sekali, Jam. Terima kasih," ucapku bahagia. Kupeluk pria itu sekilas. Lantas gegas mengenakan gamis berwarna merah pastel ini. Sentuhan brokat di area dada membuat pakaian ini terlihat mewah. Sementara pita kecil di bagian perut menambah kesan manis. "Dulu aku udah sering lihat kamu pakai hijab, jika berpergian," tutur Jamie ketika mendekat. Lelaki itu membantu menaikkan risleting gamis ini. "Dan kamu terlihat empat kali lipat lebih cantik jika berhijab. Sayang aku dulu belum sempat membelikan kamu pakaian tertutup ini." Aku tersenyum mendengarnya. "Terima kasih." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Tanganku mulai melipat kain penutup kepala ini menjadi bentuk segitiga. Selanjutnya mataku kembali fokus ke cermin. Menutupi rambut den
Setelah puas berlibur dan menenangkan diri di vila Jamie selama seminggu, kami pun kembali ke Jakarta. Jamie langsung membawaku dan Kimie ke rumahnya sendiri. Rumah yang ia tinggali beberapa bulan terakhir saat ia memutuskan untuk hidup mandiri.Hal itu tentu saja membuat Kimie senang. Karena akhirnya mempunyai kamar pribadi sendiri. Selama ini dia harus berbagi ranjang denganku atau Ibu. Anak itu berulang kali mengucap terima kasih pada ayahnya karena kamarnya dikonsep laksana kamar seorang putri raja.Tujuh hari kemudian, jadwal keberangkatan ke tanah suci pun tiba. Sempat terjadi drama. Kimie memaksa ikut. Bocah itu nangis diajak serta."Bunda jahat! Bunda gak sayang aku! Kenapa aku gak boleh ikut," rajuknya dengan bibir yang maju sepuluh centi."Bukannya gak boleh, Sayang, tapi ini perjalanan khusus," jawabku mencoba memberi pemahaman."Perjalanan khusus apa?" tukas Kimie masih manyun. "Banyak kok teman-teman Kimie yang ikutan umroh. Jadi haji kecil," tuturnya kian jadi."Kimie ..
Keesokan harinya aku dan Lutfi mengisi waktu masih untuk bersantai di dalam hotel. Tujuan kami datang ke tanah suci selain untuk umroh juga memang ingin berbulan madu. Apalagi kami masih merasakan lelah setelah perjalanan panjang kemarin.Pukul delapan pagi waktu setempat aku dan Jamie turun untuk sarapan. Kebetulan kami mendapatkan fasilitas breakfast buffet. Di mana restoran tersebut menyajikan aneka makanan dan minuman.Berbagai sajian mulai dari hidangan pembuka sampai hidangan penutup tepah disediakan, ditata, dan diatur di atas meja buffet atau meja panjang. Pengunjung bisa bebas memilih dan mengambil makanan sendiri sesuai dengan selera makan mereka.Kebetulan pagi itu menu sarapannya adalah English breakfast. Pilihan aku jatuh pada sepotong roti bakar dengan olesan cokelat, telor omelet, sosis bakar, segelas cokelat hangat, dan beberapa potong buah semangka dan melon. Sementara Jamie mengambil roti panggang dengan olesan butter, daging asap, kacang yang dimasak dengan saos tom
Selain beribadah, Jamie juga membawaku jalan-jalan ke tempat yang romantis yaitu Jabal Rahmah atau bukit kasih sayang. Jabal Rahmah adalah bukit kecil dengan ketinggian sekitar tujuh puluh meter.Tempat itu diyakini sebagai tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa setelah berpisah ratusan tahun. Usai mereka diturunkan ke bumi dari surga karena mereka memakan buah terlarang yakni buah khuldi. Padahal Allah SWT sudah melarang tetapi setan terus menggoda.Bagi umat Islam sendiri Jabal Rahmah memiliki nilai sejarah yang cukup penting. Sebab di tempat tersebutlah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu terakhir. Yakni pada saat beliau menunaikan Haji Wada atau Haji terakhir dan sedang melakukan wukuf.Tempat ini terletak persis di padang Arafah, pinggiran timur kota Makkah. Sengatan terik matahari yang tajam tidak menyurutkan niat kami untuk mendaki bukit tersebut. Di atas bukit pemerintah Arab Saudi sudah membangun sebuah Tugu. Tugu tersebut diyakini sebagai tempat bertemunya Nabi Adam dan Hawa.