Aya keluar dari mobil setelah Saka berhenti dan parkir dengan baik serta benar. Tepatnya di depan toko kue langganan anak-anak muda seusia lebih atau kurang dikit seperti Aya. Penciuman Saka sampai merasa terganggu dengan aneka ragam aroma jenis cake yang bercampur baur menjadi satu di udara. Pengawal itu benar-benar tidak bisa makan jika tidak ada unsur daging sama sekali.“Pak Saka mau makan roti yang mana? Biar Aya yang traktir, jangan takut, kan, ada kartu sakti dari Mama buat bayar.” Aya menawarkan pada bodyguardnya karena yang ia tahu Saka belum makan apa pun dari tadi. Ya, emang bener, tapi makanan Saka bukan roti imut dan unyu dibentuk bunga, daun, atau hewan lucu. Pengawal setia itu pun menggeleng saja. “Minum nggak, Pak? Ada matcha latte, ada americano, ada green tea, ada black coffe, pesen aja, Pak, nggak apa-apa. Jangan terlalu formal gitu sama Aya.” Akhirnya karena didesak sang putri, Saka pun mengambil kertas yang berisikan daftar menu. Iya, salah satu pengawal setia
Nggak pernah ada bodyguard yang berani bilang gitu sama dia. Karena semua bekerja berdasarkan gaji. Namun, senyum Aya sirna ketika melihat seorang peremuan cantik dan seksi menghampiri mereka berdua. “Hai, ganteng, biasanya, sih 500k semalam sampai puas. Sama kamu diskon aja 250k sampai pagi, gimana?” Perempuan itu mencolek dagu Saka sambil mengedipkan mata. Taksaka terdiam bseribu bahasa dibuatnya. “Gatel, minta digaruk kayaknya.” Aya yang emosi melihatnya. Sedangkan Saka membeku, belum ada perempuan yang berani seperti itu sama dia. Di kerajaan Gunung Kalastra dia disegani dan dihormati. Habis harga diri manusia harimau itu baru satu hari di dunia manusia. Kesuciannya ternodah. Kejujurannya diuji dari tadi, belum lagi sang putri yang berasa seperti manusia biasa yang pergaulannya luar biasa. “Gimana, ganteng, yuk! Ayolah, jangan malu, tipe-tipe gini, sih, biasanya, empat ronde juga sanggup.” Tangan perempuan itu memegang bahu Saka. Lelaki itu menjauh dan darahnya berdesir pan
Atas pesan Amira yang dititipkan pada pembantu, Saka diminta tinggal di rumah mengingat status lelaki itu saat melamar pekerjaan adalah jomlo lumutan hampir berkarat. Sang pengawal ditempatkan di kamar sendiri di bagian belakang dekat dapur. Sedangkan kamar Aya sendiri di lantai satu dan cukup besar untuk memuat semua keperluannya. Di dalam kamar itu Saka melihat kasur ukuran single yang biasanya digunakan oleh manusia untuk tidur. Pengawal itu mencoba berbaring dan rasanya cukup nyaman, walau lebih enak berbaring di dekat rerumputan segar dengan aroma embun pagi. Saka meletakkan dua tangan di belakang kepala. Sesekali ia tertawa ketika mengingat perangai sang putri padanya. “Dia memang berbeda dengan yang lain,” ucap Saka tanpa melepas kemeja dan jas yang dia kenakan dari pagi. Lalu pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Saka dengar, cuman pikirannya lagi ke mana-mana. Ya, maklum baru ini deket sama lawan jenis. Biasanya yang dilihat, Abhiseka, Cakra Buana, Wirata, gitu aja terus s
“Beneran nggak ada baju lain, ya, Pak?” Aya ingin bertanya lagi, tapi bingung harus mulai dari mana. Pak Saka seperti orang baru keluar dari hutan baginya. “Ini, Pak, namanya matematika. Pelajaran yang isinya sebenernya gampang, kali, bagi, tambah, kurang. Yang buat susah itu pas kedatangan sinus, cosinus, dan kangen.” “Kangen,” ulang Saka. “Tangen, kamsudnya, Pak Saka. Aduh polos bener, ya ampuuun, anak mana sih, Pak Saka. Oke forget that. Ini PR apakah Bapak mengerti? Karena Aya tidak mengerti.” Aya menunjukkan buku paketnya. Saka mengambil buku itu, apalagi dia lebih parah nggak ngertinya. “Di kelas itu yang pinter matematika Sivani Sivaji Nameste acha acha nehi nehi,” ucap Aya hingga membuat kening Saka berkerut. “Anak orang India yang juara umum dari kelas 1 sampai kelas 3. Kayaknya dia makan sempoa sama kalkulator makanya pinter.” “Baik, Non Aya, akan saya kerjakan PR matematika ini dengan tempo waktu yang sesingkat-singkatnya.” Saka sudah dapat petunjuk.“Wih, udah kayak p
“Yen, yen, yen, oyeen, oyeeen, ganteng banget, sih, kamu. Coba kalau bisa jadi manusia aku ajak kawin kamu.” Cahaya gemes dengan kucing kuning peliharannya. Kucing yang membuat Amira merasa risih karena fisik nyaris sama dengan harimau. Beda size aja. Selagi mamanya di luar negeri, si oyen dinaikkan ke atas meja makan oleh Aya. Oyen makan makanan yang sama dengan bosnya. “Pak Saka mana, ya? Kok, nggak keluar dari kamar.” Dari tadi Aya menanti kedatangan bodyguard barunya. Setelah dipanggil baru Saka memperlihatkan diri. Dari tadi dia cosplay jadi manusia mager hobi rebahan.“Pak Saka beneran nggak punya baju lain, ya?” Aya menatap Saka dengan mata birunya. “Gini, loh, nggak harus tiap hari kok pakai jaz sama kemeja. Nggak seformal itu, Pak, jadi pengawal, ya tapi jangan nggak pakai baju juga kayak tadi malam.” Pernyataan Aya membuat bibi pembantu jadi menguping lebih lanjut. Kepo tingkat dewa. “Non Aya, tadi malam ngapain?” Nekat si bibi rupanya. “Nggak ada, cuman lihat pemandanga
Walau belum mengerti sama sekali tetapi Saka menangkap satu nama yaitu Suketi Perih. Dengan cepat pengawal setia itu memejamkan mata. Ia melepas sukmanya sesaat dan menuju ke dalam sekolah. Mencari Suketi yang bukan kuntilanak. Dapat, Saka melihat perempuan berkaca mata tebal dengan cara bicara sama seperti Putri Cahaya. Sukma lelaki itu menuju raga Suketi. Saka memegang kepala manusia biasa itu dan menyerap semua kemampuan sang mastah dalam berbahasa Inggris. Tring tring tring, setelah itu Saka kembali ke dalam mobil. Itu dia, kecanggihan hidup manusia harimau yang menembus batasan manusia biasa. “Are you okay?” Aya mengguncang tubuh Saka yang membeku seperti es. Tiba-tiba aja lelaki itu bergerak dan membuat sang putri kaget. “Jabang bayik. Lama-lama copot jantungku.” Aya mengelus dadanya yang mengkaget gegara Saka bangun tiba-tiba. “I’m fine, Miss Aya,” ucap Saka udah lancar jaya bahasa Inggrisnya. “Omo, omo, omo, daebaak jinja daebaaak, gomawo, sarangheyo, jinjayo? Daebaak, k
Amira berhadapan dengan Cahaya yang kini ke mana-mana ditemani oleh Saka. Sudah dua minggu lebih sang putri berdekatan dengan bodyguard dari mamanya. Dan helai demi helai rambut hitam Aya mulai memutih.“Jelasin sama Mama, tagihan sebanyak ini kamu pakai beli apa, Aya?” Amira membeberkan tagihan kartu kredit milik Aya. Ya, beberapa saat lalu sang putri belanja brand Dior sedikit kalap. Selain untuk Saka juga untuk dia. “Ya, dipakai belanja, Mah, ada kok barang-barangnya,” jawab Aya sambil duduk santai di kursi. Saka berdiri tegak di sebelahnya. “Kamu pergi dulu. Saya lagi bicara sama anak saya.” Amira mengusir Saka. Pengawal setia itu beranjak mengikuti perintah Gusti Ratu.“Pak Saka nggak boleh pergi. Di sini aja!” Lain perintah dari sang putri. Taksaka tidak jadi beranjak. “Pergi!” ucap Amira. “Jangan!” Aya membantah. Saka jadi bimbang, keduanya merupakan orang lingkar dalam kerajaan yang sama-sama boleh dilaksanakan perintahnya. “Kamu berani melawan Mama, Aya!” Amira berdiri
Sabtu harusnya libur, tapi Amira membuat Aya banyak kerjaan. Putri manusia harimau tersebut mulai diajarkan untuk mengurus kebun teh, kebun kopi, juga kebun tebu. Aya jadi tambah banyak kegiatan dan semakin kenal orang lain. Amira juga mulai memberi tahu nama-nama relasi penting dalam menyambung bisnis. Meskipun sebenarnya Aya tidak tertarik sama sekali. Untung ada Saka yang selalu setia menemaninya seperti iklan deodorant, setia setiap saat. “Rasa-rasa pengen cosplay jadi ultraman giga, tsaahh, tsaah, tsaaaah,” ucap Aya di dalam mobil dengan gaya hero sedang menghancurkan monster. Saka menahan senyuman. Kelakuan sang putri yang random sudah tak terhitung selalu membuatnya tertawa. Pengawal utama itu jadi lupa kapan dia bersikap kaku.“Pak Saka, kok, diem aja?” “Karena saya tidak tahu siapa itu ultraman giga?” “Astagaaah, rungokno yo, Pak.” Aya mengangkat tangannya, ingin menjelaskan siapa itu ultraman. Tapi males, dah, percuma aja. “Kenapa diam, Non Aya.” Padahal Saka sudah mema
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist