Tak lama lagi ujian nasional akan diadakan. Tak lama lagi juga sang putri akan diminta kembali ke Gunung Kalasra menjelang usianya mendekati angka ke 18. Tapi sang putri belum diberi tahu apa-apa oleh Saka. Sebab sang prabu baru saja sembuh dan belum mengeluarkan perintah. “Kalau disuruh kawin, nggak maulah, Aya,” ujar sang putri bergidik ngeri di dalam mobil. “Bukannya sudah cukup umur untuk kawin, Non?” tanya Saka. Iya di dunia manusia harimau, di dunia manusia biasa ya nggak. Masuk golongan pernikahan dini yang bukan cintanya yang terlarang, hanya waktu saja yang belum tepat merasakan semuanya. “Cukup, sih, cukup, Pak, tapi nggak cukup juga, kok. Cepet amat, belum juga sempat jalan-jalan ke tempat lain. Belum juga ngerasai berubah jadi ultraman beneran.” Bosan melanda, Aya menghidupkan musik di mobilnya. Gadis bermata biru itu agak lain selera dengan teman-temannya. Dia suka lagu tradisional berbahasa Jawa. Ya, sama seperti Abhiseka juga.Saka senyum-senyum sendiri lagi. Di ke
Gustri Prabu Abhiseka akhirnya sadar. Ia membuka mata birunya yang sempat membuat Amira takluk dalam rayuan serta pelukannya. Cakra Buana mematikan perapian ketika menyadari tuannya telah sadar. Ia membantu sang prabu duduk kemudian memberi hormat dengan menghaturkan dua tangannya. Abhiseka menarik napas sejenak. Ia mengingat lagi kejadian yang telah menimpanya. Sebuah ciuman dari Amira yang akhirnya membuat ia menderita, tetapi ternyata bukan Amira pelakunya. Karena pada saat itu Amira yang asli baru saja datang mencarinya. “Siapa pelakunya?” tanya Abhiseka pada Cakra. “Gusti Prabu, masih musuh yang lama, Astina.” Cakra membantu sang prabu turun dari ranjang bambu. Lelaki bermata biru itu tak mau dipegang. Dia adalah manusia harimau putih yang telah menguasai Gunung Kalastra. Hanya butuh waktu sebentar lagi saja untuk benar-benar pulih. Ayah kandung Putri Cahaya itu melangkah masuk dalam istananya yang sangat megah. Semua punggawa, dayang, dan yang para abdi memberi hormat. Lela
Tepat waktu Cakra Buana datang, saat itu Aya sedang memandang dirinya sendiri yang mengeluarkan api berwarna biru. Lalu dua pengawal Abhiseka itu membuat waktu terhenti seperkian detik lamanya. Taksaka mengelus pundak sang putri berkali-kali hingga api tersebut padam. Cakra sendiri menerbangkan semua perangkat yang digunakan untuk merekam kejadian tadi, lalu jatuh ke lantai dan semuanya retak alias rusak. Kemudian waktu berjalan seperti semula, tanpa kejadian apa pun yang mereka ingat, termasuk Putri Cahaya.“Ada apa kau datang kemari?” tanya Taksaka.“Gusti Prabu telah sadar dan beliau menanyakan putrinya,” jawab Cakra melihat anak gadis berlarian di lapangan sekolah Aya. Agak tidak beradab di matanya, karena berlari sambil memaki teman-temannya. “Apa Tuan Putri harus dibawa sekarang?” “Tidak, Gusti Prabu hanya berpesan agar menjaga Tuan Putri baik-baik, dan pesan Guru Wirata, kau harus membuka sedikit demi sedikit kemampuan Gusti Putri, supaya dia tidak kaget saat kembali ke ruma
Amira pulang sesegera mungkin ketika mengetahui Abhiseka ingin membawa Cahaya ke gunung. Walau selama hidup ia tak memperlihatkan bahwa ia begitu menyayangi putrinya. Sang ratu tidak akan pernah bisa merelakan anaknya diambil begitu saja. Dia yang hamil, dia yang sakit, dia yang melahirkan, lalu sesuka hati Abhiseka datang mengambilnya. “Nggak bisa, nggak boleh. Cahaya anakku, sampai kapan pun dia akan jadi anakku.” Amira tak sabar lekas sampai ke rumah. Ia telpon putrinya entah kenapa dari tadi tidak diangkat. “Pasti dia lagi jalan-jalan sama Saka. Bodyguard itu, berhasil ambil hati Aya. Oke, sampai tamat SMA aja, dia akan aku pecat.” Tak tenang Amira di dalam mobil. Baru sekarang terasa olehnya bagaimana kalau Cahaya pergi. Dulu-dulu sang ratu terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri. Mobil sampai di dalam pekarangan rumah Pak Bondan. Ketika dibuka, Amira langsung berhamburan keluar. Hal pertama yang ia cari ialah Aya. Hari sudah malam tentu putrinya sudah pulang dari sekolah.
Besok senin akan diadakan ujian nasional untuk kelulusan siswa/siswi internasional school. Artinya tidak lama lagi Aya akan dibawa oleh Saka ke Gunung Kalastra. Amira sendiri sedang berusaha semakin dekat dengan putrinya. “Kamu ngapain ke dunia manusia. Udah bagus tinggal bertapa di gunung, tempat ini bukan tempat kamu!” tunjuk Amira ke wajah Saka. Pengawal itu hanya diam saja melihat amarah ratunya. “Ya, biarin aja. Bagus, donk, ada Pak Saka. Jadi Aya nggak perlu ganti-ganti bodyguard lagi.” Aya menghadang mamanya yang ingin memarahi Saka lagi. “Kamu jadi kurang ajar, ya, gara-gara ada dia,” ujar sang ratu. Saka jadi merasa tidak enak hati melihat pertengkaran ibu dan anak yang hampir setiap hari terjadi. “Sejak kapan kita deket, Ma? Nggak pernah! Mama sibuk kerja, nggak ada waktu buat Aya. Nggak usah sok akrab sekarang. Nggak ada gunanya.” Aya mengambil tas sekolah dan menarik tangan Saka. Hari ini ujian akan berlangsung dan Amira membuat moodnya tidak baik. “Selesai ujian seko
Ujian akhir telah selesai selama dua minggu. Aya mampu melewati semuanya dengan baik walau ada sedikit trauma pasca peristia penembakan di sekolah. Sekarang saatnya liburan sampai pengumuman kelulusan tiba. Sebentar lagi tanggal 1 agustus, Aya akan berulang tahun ke 18. Di Gunung Kalastra seusia Cahaya sudah akan dinikahkan oleh Abhiseka. “Non Aya,” panggil Saka di pagi hari ketika tuannya tidak sekolah lagi. “Aya tahu, Pak, tapi bisa nggak ditunda tiga hari aja dulu ke gunungnya. Aya masih mau jalan-jalan. Aya nggak lari, kok. Cuman minta waktu dikit.” “Baiklah, tiga hari saja kalau begitu. Setelah itu saya akan membawa Non Aya, suka atau tidak suka ke Gunung Kalastra. Itu rumah Non Aya yang sebenarnya. Di sana semua orang akan menerima Non Aya dengan tangan terbuka.” “Di sini Aya juga diterima, kok, kecuali sama Mama.” Gadis itu menarik napas panjang sejenak. “Aya, ikut mama ke kebun. Kamu harus belajar ngurus usaha dari Opa mulai dari sekarang,” perintah sang ratu. “Oke,” jaw
Saka dan Aya masih berada di kebun tebu. Suasana yang dingin di sana membuat sang putri betah dan masih belum mau beranjak. Soal kebakaran Aya tak ambil pusing. Kebun-kebun itu milik mamanya, belum tentu juga akan menjadi miliknya. Karena tiga hari lagi ia pun akan ke tempat yang katanya cocok dengannya. “Eh, itu si pucat,” tunjuk Aya pada hantu temannya yang dulu ada di sekolah. “Hmm, biarkan saja Non Aya, dia betah jadi orang-orangan kebun.” Saka melihat ke seluruh perkebunan. Luas sekali peninggalan milik Pak Bondan sejak dibawah kendali Amira. Tak ayal sang ratu pun ekpansi bisnis sampai ke luar negeri. “Pak, Aya ada ide gila sedikit, sih. Mau nggak Pak Saka buat hari ini aja sama Aya. Besok-besok nggak bakalan ada lagi.” Aya mengedipkan mata birunya berkai-kali. Saka curiga, pikiran random sang putri sulit sekali ditebak. Sebentar bilang benci sebentar bilang sayang, sudah sering. “Kalau boleh tahu, apa itu, Non, asal jangan minta yang aneh-aneh saja.” “Eeh, nggak aneh, kok,
Tinggal menunggu satu hari berlalu. Aya tidak akan tinggal di rumah Pak Bondan lagi. Apa yang sekarang dilakukan oleh Aya dan Saka setelah kemarin cosplay menjadi Ultraman Giga? Yaitu pergi karaoke. Saka sampai tutup telinga karena dentum musik yang terlalu kuat di telinganya. Aya menyanyikan lagu masa kini juga lagu daerah. Suaranya memang bagus, tapi tanpa menyanyi pun sang putri sudah membuat hidup pengawal itu jadi berisik setengah mampus. “Besok aku sudah sampai di gunung. Semoga setelah ini hidupku tenang. Tidak apa cinta lepas lagi. Asalkan aku mendapat kedamaian,” ucap Saka ketika melihat Aya jingkrak-jingkrak nggak jelas di dalam ruangan. “Pak Saka ngomong apa tadi?” tanya Aya. “Tidak ada, lanjutkan saja menyanyinya, Non, di gunung hal seperti ini tidak akan ada.” Saka, sebenarnya dia juga mahir memainkan alat musik ketika sedang termenung di gunung. Sebuah suling yang ia buat dengan tangannya sendiri. Sayangnya, ia tinggalkan di gunung karena di dunia manusia sudah terlal