Amira pulang sesegera mungkin ketika mengetahui Abhiseka ingin membawa Cahaya ke gunung. Walau selama hidup ia tak memperlihatkan bahwa ia begitu menyayangi putrinya. Sang ratu tidak akan pernah bisa merelakan anaknya diambil begitu saja. Dia yang hamil, dia yang sakit, dia yang melahirkan, lalu sesuka hati Abhiseka datang mengambilnya. “Nggak bisa, nggak boleh. Cahaya anakku, sampai kapan pun dia akan jadi anakku.” Amira tak sabar lekas sampai ke rumah. Ia telpon putrinya entah kenapa dari tadi tidak diangkat. “Pasti dia lagi jalan-jalan sama Saka. Bodyguard itu, berhasil ambil hati Aya. Oke, sampai tamat SMA aja, dia akan aku pecat.” Tak tenang Amira di dalam mobil. Baru sekarang terasa olehnya bagaimana kalau Cahaya pergi. Dulu-dulu sang ratu terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri. Mobil sampai di dalam pekarangan rumah Pak Bondan. Ketika dibuka, Amira langsung berhamburan keluar. Hal pertama yang ia cari ialah Aya. Hari sudah malam tentu putrinya sudah pulang dari sekolah.
Besok senin akan diadakan ujian nasional untuk kelulusan siswa/siswi internasional school. Artinya tidak lama lagi Aya akan dibawa oleh Saka ke Gunung Kalastra. Amira sendiri sedang berusaha semakin dekat dengan putrinya. “Kamu ngapain ke dunia manusia. Udah bagus tinggal bertapa di gunung, tempat ini bukan tempat kamu!” tunjuk Amira ke wajah Saka. Pengawal itu hanya diam saja melihat amarah ratunya. “Ya, biarin aja. Bagus, donk, ada Pak Saka. Jadi Aya nggak perlu ganti-ganti bodyguard lagi.” Aya menghadang mamanya yang ingin memarahi Saka lagi. “Kamu jadi kurang ajar, ya, gara-gara ada dia,” ujar sang ratu. Saka jadi merasa tidak enak hati melihat pertengkaran ibu dan anak yang hampir setiap hari terjadi. “Sejak kapan kita deket, Ma? Nggak pernah! Mama sibuk kerja, nggak ada waktu buat Aya. Nggak usah sok akrab sekarang. Nggak ada gunanya.” Aya mengambil tas sekolah dan menarik tangan Saka. Hari ini ujian akan berlangsung dan Amira membuat moodnya tidak baik. “Selesai ujian seko
Ujian akhir telah selesai selama dua minggu. Aya mampu melewati semuanya dengan baik walau ada sedikit trauma pasca peristia penembakan di sekolah. Sekarang saatnya liburan sampai pengumuman kelulusan tiba. Sebentar lagi tanggal 1 agustus, Aya akan berulang tahun ke 18. Di Gunung Kalastra seusia Cahaya sudah akan dinikahkan oleh Abhiseka. “Non Aya,” panggil Saka di pagi hari ketika tuannya tidak sekolah lagi. “Aya tahu, Pak, tapi bisa nggak ditunda tiga hari aja dulu ke gunungnya. Aya masih mau jalan-jalan. Aya nggak lari, kok. Cuman minta waktu dikit.” “Baiklah, tiga hari saja kalau begitu. Setelah itu saya akan membawa Non Aya, suka atau tidak suka ke Gunung Kalastra. Itu rumah Non Aya yang sebenarnya. Di sana semua orang akan menerima Non Aya dengan tangan terbuka.” “Di sini Aya juga diterima, kok, kecuali sama Mama.” Gadis itu menarik napas panjang sejenak. “Aya, ikut mama ke kebun. Kamu harus belajar ngurus usaha dari Opa mulai dari sekarang,” perintah sang ratu. “Oke,” jaw
Saka dan Aya masih berada di kebun tebu. Suasana yang dingin di sana membuat sang putri betah dan masih belum mau beranjak. Soal kebakaran Aya tak ambil pusing. Kebun-kebun itu milik mamanya, belum tentu juga akan menjadi miliknya. Karena tiga hari lagi ia pun akan ke tempat yang katanya cocok dengannya. “Eh, itu si pucat,” tunjuk Aya pada hantu temannya yang dulu ada di sekolah. “Hmm, biarkan saja Non Aya, dia betah jadi orang-orangan kebun.” Saka melihat ke seluruh perkebunan. Luas sekali peninggalan milik Pak Bondan sejak dibawah kendali Amira. Tak ayal sang ratu pun ekpansi bisnis sampai ke luar negeri. “Pak, Aya ada ide gila sedikit, sih. Mau nggak Pak Saka buat hari ini aja sama Aya. Besok-besok nggak bakalan ada lagi.” Aya mengedipkan mata birunya berkai-kali. Saka curiga, pikiran random sang putri sulit sekali ditebak. Sebentar bilang benci sebentar bilang sayang, sudah sering. “Kalau boleh tahu, apa itu, Non, asal jangan minta yang aneh-aneh saja.” “Eeh, nggak aneh, kok,
Tinggal menunggu satu hari berlalu. Aya tidak akan tinggal di rumah Pak Bondan lagi. Apa yang sekarang dilakukan oleh Aya dan Saka setelah kemarin cosplay menjadi Ultraman Giga? Yaitu pergi karaoke. Saka sampai tutup telinga karena dentum musik yang terlalu kuat di telinganya. Aya menyanyikan lagu masa kini juga lagu daerah. Suaranya memang bagus, tapi tanpa menyanyi pun sang putri sudah membuat hidup pengawal itu jadi berisik setengah mampus. “Besok aku sudah sampai di gunung. Semoga setelah ini hidupku tenang. Tidak apa cinta lepas lagi. Asalkan aku mendapat kedamaian,” ucap Saka ketika melihat Aya jingkrak-jingkrak nggak jelas di dalam ruangan. “Pak Saka ngomong apa tadi?” tanya Aya. “Tidak ada, lanjutkan saja menyanyinya, Non, di gunung hal seperti ini tidak akan ada.” Saka, sebenarnya dia juga mahir memainkan alat musik ketika sedang termenung di gunung. Sebuah suling yang ia buat dengan tangannya sendiri. Sayangnya, ia tinggalkan di gunung karena di dunia manusia sudah terlal
Di kamarnya, Guru Wirata baru saja selesai memahat patung kecil-kecil. Di antaranya mereka adalah, Putri Cahaya dan tiga calon suaminya yang ia pilih dari gunung lain sesuai dengan titah sang prabu. Langkah selanjutnya yaitu mencari kecocokan dari tiga pangeran tersebut. Mana kiranya yang akan layak menjadi pelindung Putri Cahaya. Satu dari tiga pangeran harimau putih itu bahkan sebentar lagi akan menjadi raja. “Baiklah, semoga ada yang layak untukmu, Putri Cahaya yang separuhnya berdarah manusia, separuh lagi berdarah harimau.” Guru Wirata mengikat patung sang putri dengan salah satu pangeran menggunakan benang merah. Ia bakar menggunakan api yang juga berwarna biru. Benang merah tersebut putus dan patung pangerannya hangus menjadi abu. Tidak dengan Aya.Berlanjut pada patung pangeran kedua. Masih sama, bahkan patung pangeran harimau putih itu meledak. Pertanda jika dipaksakan Aya dengannya, bukan tak mungkin ada perang besar antara dua kerajaan. Mengingat sang putri bukanlah sepert
“Mati aku sampai di atas nanti. Hukuman apa kira-kira yang akan diberikan oleh Gusti Prabu,” ujar pengawal itu perlahan. Saka berjalan di depan dan Aya mengikutinya dari belakang. Mereka melewati tempat yang indah dan membuat mata terlena. “Pak Saka,” panggil sang putri. Namun, pengawal itu sedang tidak ingin bicara apa-apa.“Pak Saka marah sama Aya?” tanya gadis bermata biru itu. “Tidak, kita harus cepat sampai, Tuan Putri. Gusti Prabu pasti sudah menunggu.” Saka menyingkirkan ranting pepohonan yang menghalangi langkah mereka berdua. “Yang tadi nggak sengaja loh, Pak, suer.” “Tidak sengaja apanya?” gumam pengawal itu tak percaya. “Ah, tapi Pak Saka diem aja, nggak ada ngelawan, artinya Bapak mau juga donk.” Aya senyum lagi. “Tuan Putri, harap jaga bicara di sini ya, jangan berkata mesum, nanti terj—” “Terjadi hal-hal yang diinginkan?” tebak Aya. “Shyuuuh, tenang dan nikmati alam pemandangan sekitar.” Saka kemudian menunjuk taman bunga yang sangat luas di lahan tak berpenghuni
“Tuan Putri Cahaya Argani, selamat datang di istana Kerajaan Gunung Kalastra, hamba Marlin, kepala dayang di istana ini.” Sambutan dari salah satu pengurus istana yang paling tua, sambil menundukkan kepala memberi hormat. “Keren amat nama di gunung Marlin, kiran Paijo, Painem, Suketi gitu.” Aya masih memperhatikan gerbang masuk istana yang begitu megah daripada rumah Amira. Semua yang ada di sana memberikan hormat padanya. “Tuan Putri, ayo, hamba akan mengganti bajumu. Gusti Prabu sudah menunggu,” ajak Marlin. Dia membuka tas ransel sang putri dan memberikannya pada dayang muda. “Eh itu ada sunscreen, cussion, retinol, bedak, lipstik.” Aya meminta lagi tasnya. “Tuan Putri tidak perlu itu semua di sini. Mari, kita ganti semua barang-barang manusia biasa yang fana ini. Antar Tuan Putri ke pemandian.” Perintah Marlin pada lima dayangnya. Sepanjang jalan Aya hanya ber woow dan say amazing saja atas kemegahan istana milik Abhiseka. Bahkan dia tidak memanggil Saka lagi. Sudah ada lima
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist