“Mati aku sampai di atas nanti. Hukuman apa kira-kira yang akan diberikan oleh Gusti Prabu,” ujar pengawal itu perlahan. Saka berjalan di depan dan Aya mengikutinya dari belakang. Mereka melewati tempat yang indah dan membuat mata terlena. “Pak Saka,” panggil sang putri. Namun, pengawal itu sedang tidak ingin bicara apa-apa.“Pak Saka marah sama Aya?” tanya gadis bermata biru itu. “Tidak, kita harus cepat sampai, Tuan Putri. Gusti Prabu pasti sudah menunggu.” Saka menyingkirkan ranting pepohonan yang menghalangi langkah mereka berdua. “Yang tadi nggak sengaja loh, Pak, suer.” “Tidak sengaja apanya?” gumam pengawal itu tak percaya. “Ah, tapi Pak Saka diem aja, nggak ada ngelawan, artinya Bapak mau juga donk.” Aya senyum lagi. “Tuan Putri, harap jaga bicara di sini ya, jangan berkata mesum, nanti terj—” “Terjadi hal-hal yang diinginkan?” tebak Aya. “Shyuuuh, tenang dan nikmati alam pemandangan sekitar.” Saka kemudian menunjuk taman bunga yang sangat luas di lahan tak berpenghuni
“Tuan Putri Cahaya Argani, selamat datang di istana Kerajaan Gunung Kalastra, hamba Marlin, kepala dayang di istana ini.” Sambutan dari salah satu pengurus istana yang paling tua, sambil menundukkan kepala memberi hormat. “Keren amat nama di gunung Marlin, kiran Paijo, Painem, Suketi gitu.” Aya masih memperhatikan gerbang masuk istana yang begitu megah daripada rumah Amira. Semua yang ada di sana memberikan hormat padanya. “Tuan Putri, ayo, hamba akan mengganti bajumu. Gusti Prabu sudah menunggu,” ajak Marlin. Dia membuka tas ransel sang putri dan memberikannya pada dayang muda. “Eh itu ada sunscreen, cussion, retinol, bedak, lipstik.” Aya meminta lagi tasnya. “Tuan Putri tidak perlu itu semua di sini. Mari, kita ganti semua barang-barang manusia biasa yang fana ini. Antar Tuan Putri ke pemandian.” Perintah Marlin pada lima dayangnya. Sepanjang jalan Aya hanya ber woow dan say amazing saja atas kemegahan istana milik Abhiseka. Bahkan dia tidak memanggil Saka lagi. Sudah ada lima
“Taksaka, kau diam dulu di sini sampai pertemuan selesai.” Guru Wirata membuka suara. “Baik, Guru.” Lelaki itu memutuskan tinggal di sisi tuannya lagi. Sesekali manusia harimau kuning tersebut melirik Putri Cahaya yang akhirnya bisa memadamkan api biru sendirian. Kemudian gadis yang sama keras kepalanya seperti Amira duduk sesuai tempat yang ditunjukkan Mei Mei. ‘Oh my god, kenapa semua cowok di sini nggak pakai baju,’ gumam Cahaya dalam hatinya. Malu kalau didengar orang lain. Dari semua yang hadir, hanya Abhiseka yang menggunakan jubah serupa dirinya. Sisanya shirtlees seperti Saka. Very maskulin like gentleman and slaaay. ‘Ya ampun, puas donk mata aku lihat pemandangan indah setiap hari.’ Gadis bermata biru itu senyum-senyum sendiri. ‘Semoga nggak ada gay di sini, sayang banget, udah six pack, macho, uwoooow, kayaknya kalau milih sambil merem nggak apa ini kalau asal comot.’ Gitu kata Aya dalam hati, padahal matanya dari tadi melihat Saka terus. Sampai manusia harimau itu jadi
“Tuan Putri, bangun, Tuan Putri, bangun, hari sudah pagi, ayo kita bersiap.” Mei Mei mengguncang betis tuannya. Aya tidur memakai kain yang sangat tipis dan pendek, mungkin kepanasan, padahal di gunung sangat dingin. “Bentar, lagi, Ma, kan, libur sekolah.” Aya balik tengkurep. “Tuan Putri, nanti Gusti Prabu marah kalau putrinya bangun siang. Tak baik untuk anak gadis apalagi yang belum menikah,” bisik Mei Mei lagi. “Aya nikah sama Pak Saka aja.” Mendengkur lagi gadis bermata biru itu. “Tuan Putri pilihannya hanya tiga pangeran yang datang.” Mei Mei tak menyerah membangunkan tuannya. “Pangeran, Gusti Prabu,” ulang Aya sambil membuka mata perlahan. Lalu ia sadar sudah berada di dalam istana. Detik itu juga Aya duduk bersila. “Cepet banget waktu berjalan, perasaan baru kemarin main ultraman sama Pak Saka.” Aya garuk-garuk kepala. “Ayo, Tuan Putri, hamba bantu mandi.” “Pak Saka mana?” tanya gadis itu. “Tidak tahu, Tuan Putri, kami beda urusan dan pekerjaan. Kita harus cepat, sebab
“Nggak ada kasta, nggak ada main curang, nggak ada kaya miskin, nggak ada pangeran atau pengawal. Bola is bola, masuk gawang lawan, goool, poin satu, masuk gawang sendiri, tandanya gol bunuh diri. Kalah, gagal.” Aya menjelaskan peraturan singkat permainan sepak bola pada dua kapten yang ditunjuk tim masing-masing. Tim harimau putih dan harimau kuning sedang bersiap, bola api ada di kaki Aya. Agak lain memang putri yang satu ini. Dia bisa membuat semua orang berkerumun di halaman kerajaan dan menyaksikan pertandingan. Para dayang perempuan teruwow-uwow melihat penampilan para lelaki yang kekar dan gagah. Nggak cuman itu, Gusti Prabu Abhiseka dan Guru Wirata sampai menghentikan pembicaraan mereka berdua karena terlalu ramai dan tak bisa tenang. “Putrimu yang satu ini memang luar biasa, Gustri Prabu, lain dari yang lain.” Guru Wirata bertepuk tangan, takjub dengan keajaiban Putri Cahaya. “Mungkin karena tinggal di dunia manusia terlalu lama, makanya otaknya agak kena sedikit, untungla
“Aya, Putri Cahaya, datanglah kemari. Aku rindu denganmu.” Astina mengirimkan asap hitam ke dalam dimensi cermin saat Aya tertidur. Gadis bermata biru itu langsung terbangun dan berdiri dengan tatapan mata kosong. “Putri Cahaya, bukankah kau ingin membakar gunung ini sampai hangus, kalau cintamu pada Saka tak kesampaian?” Perkataan Astina membuat sang putri mengangguk. “Kalau begitu kemarilah, aku bisa membuat apimu lebih besar dan menghanguskan seisi gunung, tak akan ada yang bisa mencegahmu,” ujar Astina sekali lagi. Kemudian Aya berjalan kaki, dia melompati jendela mengikut suara Astina agar tak ketahuan oleh Mei, dan pengawal yang lain. Sang putri digiring oleh Astina agar mereka bertemu di satu tempat. Lalu dengan pengaruh darinya api Aya akan semakin membesar hingga membakar semuanya tanpa terkecuali di dalam gunung. Setelah itu Astina akan membunuh Aya, dan tuntas sudah dendamnya pada Abhiseka. Langkah kaki Aya didengar oleh Abhiseka dan dua pengawalnya. Gadis bermata biru
Putri Cahaya ikut dengan Mei Mei ke bagian belakang istana. Dia lagi malas disuruh bertemu dan menghadap sama ayahanda yang di umur 18 tahun baru ketahuan siapa orangnya. Mei Mei memberikan makan ayam emas peliharaan Gusti Prabu. Dayang itu dulunya pengurus peliharaan baginda raja, terus naik pangkat jadi pendamping Aya. “Bosan banget tinggal di sini. Padahal baru empat hari, enakan di dunia manusia. Pasti sekarang lagi ngurus tempat kuliah, ketemu temen-temen baru, walau tiap hari ribut sama Mama.” Aya duduk di tanah begitu saja. Bajunya jadi kotor, tapi dia nggak peduli. Sang putri tetap menyuruh Mei untuk memberi makan peliharaan ayahandanya.“Sebenarnya hamba juga penasaran bagaimana dunia manusia itu, Tuan Putri. Apa benar menyenangkan?” “Pergi kita, Mei?” Berbinar mata Aya. “Inginnya begitu, tapi pasti akan tertangkap, Tuan Putri. Ilmu hamba tak sehebat Tuan Saka dan Cakra Buana. Sampai di kaki gunung juga sudah ketahuan.” “Payah, coba dikasih kebebasan,” cibir Aya.“Ada al
Day 1Aya membuka semua merk obat terlambat datang bulan. Dia suruh Mei Mei rebus dalam satu wadah sampai jadi satu jamu yang sangat kental. Entah apa-apa aromanya apalagi rasa. Beggh, Aya aja nggak berani deket-deket. “Tuan Putri, ini jamu apa?” tanya Mei sambil tutup hidung. “Jamu sabar langsung subur, Mei, jangan dicoba sakit nanti. Eh, tapi manusia harimau bisa sakit, nggak, Mei?” “Bisa, Tuan Putri, tapi ya lebih cepat sembuh daripada manusia. Kita juga mati, tapi lebih lama.” “Paling cepet kalian mati di usia berapa?”“Kalau tidak salah paling muda 200 tahun.” “Di dunia manusia udah tua banget itu. Ya udah, yuk, kita ketemu Pangeran Takguna. Jangan lupa jamuan makan sama jamu dihidangkan ya, Mei. Jangan sampai gagal.” “Baik, Tuan Putri. Jangan lupa Pangeran Takguna dia paling suka disanjung dan dipuji setinggi langit. Coba Tuan Putri lakukan itu untuk mengambil hatinya.” Mei meninggalkan Aya dan mempersiapkan tempat makan untuk keduanya. Aya sudah menunggu dengan duduk man
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist