Putri Cahaya ikut dengan Mei Mei ke bagian belakang istana. Dia lagi malas disuruh bertemu dan menghadap sama ayahanda yang di umur 18 tahun baru ketahuan siapa orangnya. Mei Mei memberikan makan ayam emas peliharaan Gusti Prabu. Dayang itu dulunya pengurus peliharaan baginda raja, terus naik pangkat jadi pendamping Aya. “Bosan banget tinggal di sini. Padahal baru empat hari, enakan di dunia manusia. Pasti sekarang lagi ngurus tempat kuliah, ketemu temen-temen baru, walau tiap hari ribut sama Mama.” Aya duduk di tanah begitu saja. Bajunya jadi kotor, tapi dia nggak peduli. Sang putri tetap menyuruh Mei untuk memberi makan peliharaan ayahandanya.“Sebenarnya hamba juga penasaran bagaimana dunia manusia itu, Tuan Putri. Apa benar menyenangkan?” “Pergi kita, Mei?” Berbinar mata Aya. “Inginnya begitu, tapi pasti akan tertangkap, Tuan Putri. Ilmu hamba tak sehebat Tuan Saka dan Cakra Buana. Sampai di kaki gunung juga sudah ketahuan.” “Payah, coba dikasih kebebasan,” cibir Aya.“Ada al
Day 1Aya membuka semua merk obat terlambat datang bulan. Dia suruh Mei Mei rebus dalam satu wadah sampai jadi satu jamu yang sangat kental. Entah apa-apa aromanya apalagi rasa. Beggh, Aya aja nggak berani deket-deket. “Tuan Putri, ini jamu apa?” tanya Mei sambil tutup hidung. “Jamu sabar langsung subur, Mei, jangan dicoba sakit nanti. Eh, tapi manusia harimau bisa sakit, nggak, Mei?” “Bisa, Tuan Putri, tapi ya lebih cepat sembuh daripada manusia. Kita juga mati, tapi lebih lama.” “Paling cepet kalian mati di usia berapa?”“Kalau tidak salah paling muda 200 tahun.” “Di dunia manusia udah tua banget itu. Ya udah, yuk, kita ketemu Pangeran Takguna. Jangan lupa jamuan makan sama jamu dihidangkan ya, Mei. Jangan sampai gagal.” “Baik, Tuan Putri. Jangan lupa Pangeran Takguna dia paling suka disanjung dan dipuji setinggi langit. Coba Tuan Putri lakukan itu untuk mengambil hatinya.” Mei meninggalkan Aya dan mempersiapkan tempat makan untuk keduanya. Aya sudah menunggu dengan duduk man
“Ayo, Pak Saka, dikit lagiii. Menang, menang, menang, menang.” Aya menyemangati pengawalnya. “Ayo, menang, Pak, nanti Aya masakin ayam goreng, pakai bumbu kunyit, jahe, sama bawang putih.” Mendengar kata ayam goreng, telinga Saka langsung tegak berdiri. Makanan kesukaannya selama di dunia manusia. Saka mengumpulkan tenaganya lebih banyak dan akhirnyaaaa … “Yees, ente gagal, Bro, pulang sono.” Aya sorak-sorak bergembira. Kemenangan ada di tangan Saka selama hampir setengah hari adu tenaga antara sesama pejantan tangguh. Pangeran kedua merasa dihina oleh Saka. Namun, perjanjian tetaplah perjanjian. Manusia harimau putih itu kembali ke kerajaannya. Tinggal satu pangeran lagi yang akan uji nyali bersama Putri Cahaya. “Nanti Aya antar ayam gorengnya, ya, Pak. Pak Saka tunggu aja, Aya janji.” “Hmm,” jawab Saka. Kemudian manusia harimau kuning itu berpikir, bagaimana caranya Aya dapat ayam. Sedangkan jalan kaki turun dari gunung lama pakai banget, dan gadis bermata biru tersebut belum
Astina memperhatikan Tuan Putri Cahaya yang sedang berusaha dijodohkan oleh pangeran ketiga. Siluman kelabang itu tertawa lebar. Padahal sudah jelas mereka tidak cocok tapi masih bisa dipaksakan. “Abhiseka itu bodoh, terlalu menggebu-gebu ingin punya keturunan lagi. Padahal kalau putrimu itu sampai punya anak, akan aku habisi juga. Percayalah, tak akan aku biarkan kau punya cucu, Abhiseka. Soal anak, ya aku akan biarkan Cahaya hidup, sebagai keturunan terakhir yang tak akan bisa memberimu penerus lagi, ckckckck, kasihannya.” Astina meniupkan asap hitam dari dalam gua persembunyiannya. “Bagus kalau aku bermain-main dengan harimau putih yang ini. Kita lihat sampai sejauh mana dia bisa tahan melihat paha sang putri tersingkap kainnya.” Astina telah mengirimkan sihir untuk mempengaruhi isi kepala pangeran ketiga. Selanjutnya dia hanya perlu melihat apa yang akan terjadi. “Semoga kalian tersulut untuk berperang dan saling membunuh satu sama lain. Pada saat kesempatan itulah aku bisa mem
Kepala Abhiseka sedang dipijit oleh seorang tabib di dalam kamarnya. Sejak ribuan tahun lalu baru kali ini ia merasakan sakit yang sangat berbeda. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan Putri Cahaya yang banyak perangai.“Sudah baikan, kah, Gusti Prabu?” tanya Guru Wirata yang datang ke kamar sang raja.“Lebih baik daripada kemarin.” Abhiseka berpenampilan sederhana tanpa atribut raja sama sekali. Penampilan yang dulu sempat dipuja-puja oleh Amira. “Ada apa gerangan Gusti Prabu memanggilku dan mana Saka serta Cakra?” “Mereka masih menghilangkan warna emas pada tubuh mereka.” “Gara-gara Tuan Putri lagi?” “Iya, siapa lagi kalau bukan dia. Benar-benar sakit kepalaku dibuatnya. Apakah penyebab dia jadi seperti itu, Guru. Cahaya tak bisa terus-terusan seperti ini. Dia anak manusia harimau. Apa Guru punya saran?” “Aku sarankan suruh dia belajar dengan putra-putri bangsawan lainnya. Putri Cahaya percampuran yang sangat aneh, sifatnya memang mirip dengan manusia biasa, tapi kemampuannya jang
“Susah banget huruf di sini. Kriting-kriting semua.” Aya menulis pada sebuah kain putih sesuai apa kata gurunya. “Kenapa harus kain cobak, lesu gini. Katanya dunia manusia harimau canggih, enakan dunia manusia ke mana-mana.” Gadis bermata biru itu tak henti-hentinya menggerutu dari tadi. “Jadi nyesel pindah ke sini, mendingan ikut Mama walau berantem tiap hari. Ternyata cinta butuh pengorbanan yang sangat besar.” Aya masih mengeluh. Adhikara mendekat dan melihat hasil tulisan tangan sang putri. Dia mengatakan salah. Aya berdecih. “Jadi ingat si julidah guru MTK, julid amat jadi orang.” Tiga hari sudah Aya ada di sana. Sang putri tak tahu dunia di luar sana bagaimana. Pun tidak ada Mei Mei yang menjadi kupingnya di dalam istana. Padahal berita gembira bagi orang lain tidak bagi Aya tak lama lagi akan dimulai. Di luar sana Saka sudah bertemu dengan calon istrinya. Gadis berparas paling cantik dari kalangan rakyat biasa yang dinilai sepadan oleh sang prabu. Keduanya telah bertemu da
Putri Cahaya mencekik leher calon pengantin Saka hingga tubuh perempuan itu terangkat ke atas tanah. Mata Aya yang berwarna biru tidak memancarkan belas kasihan sama sekali. Saka mendekat ke arah sang putri yang tengah murka. Jika dibiarkan akan jatuh korban jiwa hanya karena amarah sesaat saja. “Tuan Putri, tenangkan dirimu, dia tidak bersalah, dia hanya menjalani perintah Gusti Prabu saja.” Saka memegang pundak Aya, sama seperti dulu ketika sang putri sedang tak bisa mengendalikan diri. Aya menoleh pada lelaki di sebelahnya. Penampilan Saka tak seperti pengantin baru lagi. Genggaman tangan Aya melemah dan pengantin perempuan itu jatuh ke tanah sambil terbatuk-batuk. Takut dengan amarah sang putri, calon pengantin Saka pun berlari menjauh. Memikirkan keselamatan dirinya jauh lebih penting daripada pernikahan bersama orang yang tak menginginkannya.“Tenang, hamba tak jadi menikah demi kau, Tuan Putri,” ucap Saka pada Aya, terserah Abhiseka mendengar atau tidak. Toh semuanya sudah ta
“Pak Saka mana, Mei?” tanya Aya. Dua minggu pasca kejadian gunung terbakar memang Aya tak pernah lagi berjumpa dengan Saka. Kata Mei Mei karena dia sibuk.“Jangan-jangan ada yang kalian sembunyikan lagi. Bagus jujur dari sekarang, Mei.” “Tidak ada, Tuan Putri, hamba ada di sini bersamamu terus-menerus. Kalau ada yang terjadi artinya itu di luar kendali hamba.” “Iya, juga, sih. Ini udah boleh keluar belum? Lama banget apinya padam. Memang sebesar apa dampaknya, Mei?” “Yang pasti manusia biasa sampai datang dan mengambil kesempatan mendekati gunung kita. Karena itu butuh waktu lama untuk memadamkannya.” “Ada yang mati nggak kira-kira?” Aya mulai merasa bersalah. “Sejauh ini belum ada, Tuan Putri, dan semoga tidak akan ada. Tapi hamba rasa kalau apinya lebih besar lagi, pasti akan ada yang mati.” “Bahaya juga kekuatan Aya, ya, Mei. Untung aja di dunia manusia nggak pernah keluar besar banget.” Gadis bermata biru itu memandang dua telapak tangannya. Dua orang beda kasta di dunia m
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist