Amira berhadapan dengan Cahaya yang kini ke mana-mana ditemani oleh Saka. Sudah dua minggu lebih sang putri berdekatan dengan bodyguard dari mamanya. Dan helai demi helai rambut hitam Aya mulai memutih.“Jelasin sama Mama, tagihan sebanyak ini kamu pakai beli apa, Aya?” Amira membeberkan tagihan kartu kredit milik Aya. Ya, beberapa saat lalu sang putri belanja brand Dior sedikit kalap. Selain untuk Saka juga untuk dia. “Ya, dipakai belanja, Mah, ada kok barang-barangnya,” jawab Aya sambil duduk santai di kursi. Saka berdiri tegak di sebelahnya. “Kamu pergi dulu. Saya lagi bicara sama anak saya.” Amira mengusir Saka. Pengawal setia itu beranjak mengikuti perintah Gusti Ratu.“Pak Saka nggak boleh pergi. Di sini aja!” Lain perintah dari sang putri. Taksaka tidak jadi beranjak. “Pergi!” ucap Amira. “Jangan!” Aya membantah. Saka jadi bimbang, keduanya merupakan orang lingkar dalam kerajaan yang sama-sama boleh dilaksanakan perintahnya. “Kamu berani melawan Mama, Aya!” Amira berdiri
Sabtu harusnya libur, tapi Amira membuat Aya banyak kerjaan. Putri manusia harimau tersebut mulai diajarkan untuk mengurus kebun teh, kebun kopi, juga kebun tebu. Aya jadi tambah banyak kegiatan dan semakin kenal orang lain. Amira juga mulai memberi tahu nama-nama relasi penting dalam menyambung bisnis. Meskipun sebenarnya Aya tidak tertarik sama sekali. Untung ada Saka yang selalu setia menemaninya seperti iklan deodorant, setia setiap saat. “Rasa-rasa pengen cosplay jadi ultraman giga, tsaahh, tsaah, tsaaaah,” ucap Aya di dalam mobil dengan gaya hero sedang menghancurkan monster. Saka menahan senyuman. Kelakuan sang putri yang random sudah tak terhitung selalu membuatnya tertawa. Pengawal utama itu jadi lupa kapan dia bersikap kaku.“Pak Saka, kok, diem aja?” “Karena saya tidak tahu siapa itu ultraman giga?” “Astagaaah, rungokno yo, Pak.” Aya mengangkat tangannya, ingin menjelaskan siapa itu ultraman. Tapi males, dah, percuma aja. “Kenapa diam, Non Aya.” Padahal Saka sudah mema
Tak lama lagi ujian nasional akan diadakan. Tak lama lagi juga sang putri akan diminta kembali ke Gunung Kalasra menjelang usianya mendekati angka ke 18. Tapi sang putri belum diberi tahu apa-apa oleh Saka. Sebab sang prabu baru saja sembuh dan belum mengeluarkan perintah. “Kalau disuruh kawin, nggak maulah, Aya,” ujar sang putri bergidik ngeri di dalam mobil. “Bukannya sudah cukup umur untuk kawin, Non?” tanya Saka. Iya di dunia manusia harimau, di dunia manusia biasa ya nggak. Masuk golongan pernikahan dini yang bukan cintanya yang terlarang, hanya waktu saja yang belum tepat merasakan semuanya. “Cukup, sih, cukup, Pak, tapi nggak cukup juga, kok. Cepet amat, belum juga sempat jalan-jalan ke tempat lain. Belum juga ngerasai berubah jadi ultraman beneran.” Bosan melanda, Aya menghidupkan musik di mobilnya. Gadis bermata biru itu agak lain selera dengan teman-temannya. Dia suka lagu tradisional berbahasa Jawa. Ya, sama seperti Abhiseka juga.Saka senyum-senyum sendiri lagi. Di ke
Gustri Prabu Abhiseka akhirnya sadar. Ia membuka mata birunya yang sempat membuat Amira takluk dalam rayuan serta pelukannya. Cakra Buana mematikan perapian ketika menyadari tuannya telah sadar. Ia membantu sang prabu duduk kemudian memberi hormat dengan menghaturkan dua tangannya. Abhiseka menarik napas sejenak. Ia mengingat lagi kejadian yang telah menimpanya. Sebuah ciuman dari Amira yang akhirnya membuat ia menderita, tetapi ternyata bukan Amira pelakunya. Karena pada saat itu Amira yang asli baru saja datang mencarinya. “Siapa pelakunya?” tanya Abhiseka pada Cakra. “Gusti Prabu, masih musuh yang lama, Astina.” Cakra membantu sang prabu turun dari ranjang bambu. Lelaki bermata biru itu tak mau dipegang. Dia adalah manusia harimau putih yang telah menguasai Gunung Kalastra. Hanya butuh waktu sebentar lagi saja untuk benar-benar pulih. Ayah kandung Putri Cahaya itu melangkah masuk dalam istananya yang sangat megah. Semua punggawa, dayang, dan yang para abdi memberi hormat. Lela
Tepat waktu Cakra Buana datang, saat itu Aya sedang memandang dirinya sendiri yang mengeluarkan api berwarna biru. Lalu dua pengawal Abhiseka itu membuat waktu terhenti seperkian detik lamanya. Taksaka mengelus pundak sang putri berkali-kali hingga api tersebut padam. Cakra sendiri menerbangkan semua perangkat yang digunakan untuk merekam kejadian tadi, lalu jatuh ke lantai dan semuanya retak alias rusak. Kemudian waktu berjalan seperti semula, tanpa kejadian apa pun yang mereka ingat, termasuk Putri Cahaya.“Ada apa kau datang kemari?” tanya Taksaka.“Gusti Prabu telah sadar dan beliau menanyakan putrinya,” jawab Cakra melihat anak gadis berlarian di lapangan sekolah Aya. Agak tidak beradab di matanya, karena berlari sambil memaki teman-temannya. “Apa Tuan Putri harus dibawa sekarang?” “Tidak, Gusti Prabu hanya berpesan agar menjaga Tuan Putri baik-baik, dan pesan Guru Wirata, kau harus membuka sedikit demi sedikit kemampuan Gusti Putri, supaya dia tidak kaget saat kembali ke ruma
Amira pulang sesegera mungkin ketika mengetahui Abhiseka ingin membawa Cahaya ke gunung. Walau selama hidup ia tak memperlihatkan bahwa ia begitu menyayangi putrinya. Sang ratu tidak akan pernah bisa merelakan anaknya diambil begitu saja. Dia yang hamil, dia yang sakit, dia yang melahirkan, lalu sesuka hati Abhiseka datang mengambilnya. “Nggak bisa, nggak boleh. Cahaya anakku, sampai kapan pun dia akan jadi anakku.” Amira tak sabar lekas sampai ke rumah. Ia telpon putrinya entah kenapa dari tadi tidak diangkat. “Pasti dia lagi jalan-jalan sama Saka. Bodyguard itu, berhasil ambil hati Aya. Oke, sampai tamat SMA aja, dia akan aku pecat.” Tak tenang Amira di dalam mobil. Baru sekarang terasa olehnya bagaimana kalau Cahaya pergi. Dulu-dulu sang ratu terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri. Mobil sampai di dalam pekarangan rumah Pak Bondan. Ketika dibuka, Amira langsung berhamburan keluar. Hal pertama yang ia cari ialah Aya. Hari sudah malam tentu putrinya sudah pulang dari sekolah.
Besok senin akan diadakan ujian nasional untuk kelulusan siswa/siswi internasional school. Artinya tidak lama lagi Aya akan dibawa oleh Saka ke Gunung Kalastra. Amira sendiri sedang berusaha semakin dekat dengan putrinya. “Kamu ngapain ke dunia manusia. Udah bagus tinggal bertapa di gunung, tempat ini bukan tempat kamu!” tunjuk Amira ke wajah Saka. Pengawal itu hanya diam saja melihat amarah ratunya. “Ya, biarin aja. Bagus, donk, ada Pak Saka. Jadi Aya nggak perlu ganti-ganti bodyguard lagi.” Aya menghadang mamanya yang ingin memarahi Saka lagi. “Kamu jadi kurang ajar, ya, gara-gara ada dia,” ujar sang ratu. Saka jadi merasa tidak enak hati melihat pertengkaran ibu dan anak yang hampir setiap hari terjadi. “Sejak kapan kita deket, Ma? Nggak pernah! Mama sibuk kerja, nggak ada waktu buat Aya. Nggak usah sok akrab sekarang. Nggak ada gunanya.” Aya mengambil tas sekolah dan menarik tangan Saka. Hari ini ujian akan berlangsung dan Amira membuat moodnya tidak baik. “Selesai ujian seko
Ujian akhir telah selesai selama dua minggu. Aya mampu melewati semuanya dengan baik walau ada sedikit trauma pasca peristia penembakan di sekolah. Sekarang saatnya liburan sampai pengumuman kelulusan tiba. Sebentar lagi tanggal 1 agustus, Aya akan berulang tahun ke 18. Di Gunung Kalastra seusia Cahaya sudah akan dinikahkan oleh Abhiseka. “Non Aya,” panggil Saka di pagi hari ketika tuannya tidak sekolah lagi. “Aya tahu, Pak, tapi bisa nggak ditunda tiga hari aja dulu ke gunungnya. Aya masih mau jalan-jalan. Aya nggak lari, kok. Cuman minta waktu dikit.” “Baiklah, tiga hari saja kalau begitu. Setelah itu saya akan membawa Non Aya, suka atau tidak suka ke Gunung Kalastra. Itu rumah Non Aya yang sebenarnya. Di sana semua orang akan menerima Non Aya dengan tangan terbuka.” “Di sini Aya juga diterima, kok, kecuali sama Mama.” Gadis itu menarik napas panjang sejenak. “Aya, ikut mama ke kebun. Kamu harus belajar ngurus usaha dari Opa mulai dari sekarang,” perintah sang ratu. “Oke,” jaw
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist