Home / Romansa / BLIND HEART [INDONESIA] / Bab III - Si Tuan Pemarah

Share

Bab III - Si Tuan Pemarah

Author: Ayu Tarigan
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

              Sore ini, aku kembali datang ke rumah besar itu setelah mengurus beberapa hal di kampus mengenai skripsiku, ada sebagian dosen yang belum aku temui untuk melancarkan kelulusanku.

              Sebuah keributan terdengar saat aku hampir mencapai pintu utama, terlihat seorang wanita cantik bak bintang film sedang mengamuk di hadapan beberapa pelayan yang berbaris kaku.

              "Beritahu aku, di mana calon suamiku!" hardik wanita itu geram.

              Aku terdiam di belakang wanita itu, bingung harus melakukan apa, ingin segera masuk tapi sialnya harus melewatinya yang sedang mengamuk.

              "Aku akan adukan kalian semua pada Max," desisnya tajam.

              Setelahnya ia berbalik, dan seketika menyipit tajam saat melihatku. Sungguh, tatapannya lebih mengerikan dari seorang ibu tiri.

              "Siapa kamu?" tanyanya ketus, dengan mata meneleti penampilanku dari ujung kepala hingga kaki.

              "Saya ... saya ...." Entah kenapa aku merasa bingung harus mendefinisikan pekerjaanku sendiri.

              "Nona Silavana pelayan baru di sini, Nona," ucap salah satu wanita berseragam yang sudah cukup tua, kurasa ia adalah kepala pelayan di sini.

              "Pelayan?" Wanita dengan rambut tergerai panjang hingga pinggang dengan gelombang indah itu menyipit tajam.

              "Sejak kapan? Dan kenapa dia tidak memakai seragam pembantu seperti kalian?" tanyanya congkak.

              "Karena Nona Silvana adalah pelayan pribadi Tuan Max, Nona," jawab wanita tua itu lagi.

              "Nona? Kau memanggilnya Nona? Dia cuma pembantu!" bentak wanita itu marah.

              Aku mengerutkan dahi, benar juga kata wanita itu. Aku bahkan tak menyadari hal itu, karena panggilan seseorang tak terlalu penting bagiku selama itu masih sopan. Tapi, yang aku herankan, kenapa wanita itu yang harus marah?

              "Dengar, akulah yang akan menjadi Nyonya di rumah ini, jadi jangan berani-beraninya kalian membantah perintahku!" hardiknya kasar.

              Tak ada jawaban dari para pelayan itu, aku benar-benar tak mengerti siapa sebenarnya wanita ini. Tadi dia bilang Tuan Max adalah calon suaminya, Benarkah bayi besar itu akan menikah dengan wanita sekasar ini? Ah, kurasa mereka memang cocok.

              "Sudah berkali-kali kukatakan, jangan membuat keributan di rumahku, Serena!" Suara dingin itu berasal dari belakangku, spontan aku menoleh, dan mendapati pria bertubuh tegap itu sedang berdiri dengan wajah datar.

              "Hai, Max, mereka menghalangiku untuk menemuimu," rajuk wanita bernama Serena itu manja, berbeda jauh dengan intonasinya saat berbicara dengan para pelayan tadi.

              Serena berjalan mendekati pria itu, lalu melingkarkan kedua tangan di lengan kekar Tuan Max. "Aku rindu padamu," rengeknya, membuatku mengernyit jijik.

              "Usir jalang ini, Jo!" titahnya dingin seraya menghempaskan tubuh yang bergelayut manja di lengannya hingga jatuh tersungkur.

              Setelahnya, pria itu berjalan tanpa menghiraukan jeritan histeris Serena yang diseret paksa oleh dua laki-laki berbadan besar sesuai intruksi Jo.

              "Aku menggajimu bukan untuk menonton di sana. Siapkan air hangat untuk mandiku!" Bentakan keras Max membuatku berjengit kaget, semua pelayan menunduk dengan mulut tertutup rapat. Dia sedang marah padaku?

              "Ba ... baik, Tuan." Aku segera berjalan mengikutinya. Dengan langkah pasti, Max berjalan menaiki tangga tanpa merasa kesulitan. Aku heran, dia gesit sekali seolah mempunyai mata sehat sempurna, tanpa tongkat ataupun meraba-raba.

              Aku menyiapkan segala keperluan mandi pria pemarah itu, menyiapkan air hangat, sabun serta sampo sesuai instruksinya.

              "Sudah siap, Tuan, silahkan," ucapku sesopan mungkin.

              Tuan Max tak menjawab dan langsung berjalan melewatiku, memasuki kamar mandi tanpa ekspresi.

              Tak kuhiraukan wajah seram bak hantu pohon jeruk itu, aku lebih memilih menyiapkan pakaian ganti untuknya, lalu bergegas turun ke dapur untuk mengambil makan malam Tuan kesayangan umat di rumah ini.

              "Nona Silvana ingin menyiapkan makanan untuk Tuan Max?" tanya salah seorang pelayan.

              "Ya, ngomong-ngomong jangan panggil Nona, panggil Silva saja," ucapku tersenyum tipis.

              Pelayan wanita itu mengerutkan dahi, lalu menggeleng samar. "Nona jangan memusingkan ucapan Nona Serena, Tuan Max sendiri yang memerintahkan kami memanggil Nona Silva seperti itu."

              Tuan Max? Apa tujuan pria itu sebenarnya?

              "Makan malam Tuan Max sudah siap, Nona." Suara wanita itu mengalihkan fokusku.

              Aku melirik sup ayam bening dengan tambahan kentang dan wortel bertabur bawang goreng yang masih mengepulkan uap panas.

              "Tidak pakai nasi?" tanyaku mengerutkan dahi.

              Pelayan itu menatapku sejenak, sebelum tersenyum kecil. "Tuan Max tidak menyukai nasi," ucapnya.

              Aku membulatkan bibir tanda mengerti, lalu segera membawa nampan itu menuju lantai dimana kamar Tuan Max berada. Dia tidak suka nasi, aku malah tak bisa hidup tanpa nasi.

              Kudorong pintu perlahan saat memasuki kamarnya, dan aku terkesiap mendapati bayi besar ini berdiri berkacak pinggang dengan mata menyorot tajam. Ah, jika orang yang tidak tahu, pasti tak akan menyangka pria ini memiliki kekurangan.

              "Makanan anda, Tuan," ucapku seraya meletakkan baki di atas nakas.

              "Siapa yang menyuruhmu meninggalkanku tanpa izin?" semburnya marah, aku sampai berjengit kaget dibuatnya.

              "Tapi, Tuan, saya sedang menyiapkan makan malam anda, bukan pergi tanpa pamit seperti dugaan Tuan." Cepat kuberi alasan, agar ia tak semakin murka.

              Tapi nyatanya percuma, aku tersentak saat tangan kekar itu menarik kasar lenganku. Hei, darimana dia tahu posisiku?

              "Tetap saja, aku tak suka mencarimu seperti orang bodoh," desisnya tajam, tepat di sebelah telingaku.

              Kucoba untuk melepaskan cengkramannya, tapi pria itu tak bergeming dan malah semakin mengapit tubuhku.

              "Sekali lagi kuperingatkan! Jangan pergi tanpa seizinku! Apa kau paham?" geramnya.

              Aku mengangguk pasrah, sumpah mati kukatan, raut pria ini lebih mengerikan dari singa lapar yang mengincar mangsanya.

              "Saya tak akan meninggalkan anda tanpa pamit, Tuan," ucapku akhirnya.

              Pria itu mendengus kasar, melepas tubuhku hingga terhuyung ke belakang. "Cepat pakaikan celanaku!" titahnya datar. Tangan pria itu tiba-tiba melepas lilitan handuk putih yang menggantung seadanya di pinggang.

              Aku terpekik dan spontan menutup mata. Sungguh, aku tak ingin mataku jadi ternoda, meski noda yang begitu menggoda. Aish, berpikir apa aku ini.

              "Apa yang kau lakukan? Cepat kerjakan tugasmu!" hardiknya garang.

              Dengan takut-takut kurenggangkan jari tangan yang menutup mataku dari pandangan terlarang, seketika aku menghembuskan napas lega saat tahu bahwa Tuan Max mengenakan segitiga pengaman, tak seperti dugaanku sebelumnya. Ah, kenapa ada sekelebat rasa kecewa? Dasar otak mesum sialan!

              Aku berjalan mendekat, meminta Tuan Max duduk dipinggir ranjang agar memudahkanku memasangkan celana pendek untuknya.

              "Tuan, bisakah anda mengaitkannya sendiri?" tanyaku ragu-ragu. Sungguh, aku hanya ingin menghindari sentuhan terlarang yang akan membuat benakku terbayang-bayang.

              Pria tampan dengan rahang tegas menggoda itu berdecak kasar, lalu kedua tangannya berusaha mencari pengait celana dan berusaha menyatukannya. Saat selesai, aku menegakkan tubuh, mengambil nampan berisi sup dan berniat menyuapi sang bayi besar.

              Namun, aku terkejut ketika tiba-tiba ia merampasnya dari tanganku, hingga kuah sup sedikit tumpah, dengan wajah super masam dia berkata, "Biar aku saja! Kau pikir aku laki-laki lemah yang tak bisa berbuat apa-apa?" dengusnya marah.

              Oh, Tuhan, suara bersungut-sungutnya itu, apakah ia sedang merajuk?

*****

To be continued

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur afifah
kayaknya seruuuuuuu
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab IV - Memilih Berlari

    Aku mengamati Tuan Max yang makan dengan kesusahan, berusaha menyendok kuah yang akhirnya berjatuhan, atau tertinggal di sudut bibirnya, lalu mengalir melewati dagu. Wajahnya masih ditekuk masam. Entah mengapa, rasa sakit di hati hinggap begitu saja melihat keadaanya. Meski begitu pemarah, tapi di lain waktu juga terlihat sangat lemah, dan hal itu membuat rasa iba menelusup di dalan hati. Tiba-tiba, pr

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab V - Akhirnya Kembali

    Aku memandang wajah sayu itu di depan cermin, sisa-sisa air mata masih membekas di sana. Rambut kusam serta bibir pucat menjadi pemandangan utama. Kuhela napas sekali lagi, lalu mengambil tas yang tergeletak di sisi ranjang. Pagi ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah besar tempatku bekerja beberapa hari ini. Aku mengesampingkan ego dan emosiku kemarin demi untuk tetap bisa bekerja di sana dan berharap gajiku nanti mampu membantu Ayah dan Ibu.&nbs

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab VI - Perjodohan Silvana

    Aku melotot kaget, kalimat yang dilontarkan bayi besar ini membuat mulutku menganga lebar, tidak menyangka dengan pertanyaan kurang ajarnya. Tidur denganku katanya? Huh, dasar mata keranjang! Meski tak dapat melihat, nyatanya pikiran mesum tetap berjalan lancar di otak besarnya. "Kenapa diam?" tegurnya tajam.

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab VII - Wanita Tuan Max

    Aku berusaha memejamkan mata, meninggalkan sejenak kemelut yang memenuhi dada. Sore tadi aku sempat meminta izin pada Jo agar tak masuk bekerja karena merasa pusing teramat sangat di kepala. Bekerja pun percuma, aku tak akan bisa fokus karena masalah yang melanda membuatku pusing setengah mati. Demi Tuhan, aku bahkan belum menyelesaikan masalah skripsi, lalu kebakaran yang menimpa usaha Ayah juga menyita perhatianku, dan kali ini tiba-tiba ada yang melamar dengan iming-iming akan meringankan hutang keluargaku.

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab VIII - Hukuman Tak Berdasar

    "Tapi sebenarnya ini semua karena kau!" hardiknya tiba-tiba. Aku bahkan sampai meloncat mundur saking terkejutnya. "Apa salahku?" ucapku tak terima. "Seharusnya kau tidak terlambat!" Bibirku menipis seke

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab IX - Pertolongan Mencurigakan

    Aku menyantap nasi goreng di kantin kampus karena bayi besar itu telah merampok sarapan pagiku. Tidak mungkin aku mengikuti perintahnya mengambil makanan di dapur rumah mewahnya untuk mengganti bekalku, meski sedikit rasa di hatiku menginginkannya. Bukan tanpa alasan, naluri kemiskinanku seolah menggeliat ingin mencicipi sarapan mewah orang kaya. Namun, segera kutepis keinginan memalukan itu, dan aku terpaksa merogoh kocek lebih untuk sarapanku pagi ini. Padahal niat hati ingin menghemat, tapi apa daya aku tak mampu melawan keinginan tuan besar.

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab X - Hadiah Mengejutkan

    Sampai sore hari, aku masih memikirkan tentang kontrak yang menurutku tak masuk akal itu. Mereka berani memberi modal tanpa takut kerugian. Bagaimana jika usaha Ayah tak mendapat keuntungan? Sudah barang tentu merekalah yang paling merasa dirugikan. Bukannya aku tak percaya keajaiban, hanya saja di zaman sekarang ini tak akan mudah mendapati hal semacan itu. Bahkan orang rela menjadi raja-rajaan demi menipu orang.&

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XI - Penawaran Gila

    Aku langsung saja memukul dan melibas tangannya dengan handuk yang kupegang. Dasar bayi besar mesum! Berani-beraninya dia melakukan hal tak senonoh itu padaku. "Apa yang Tuan lakukan?" hardikku marah. Pria itu mengedikkan bahu santai, tak merasa bersalah sedikitpun. "Hanya berkenalan dengan tubuhmu," sahutnya terlampau tenang.

    Huling Na-update : 2024-10-29

Pinakabagong kabanata

  • BLIND HEART [INDONESIA]   XLVIII - Akhir Kebahagiaan

    Cinta adalah sesuatu yang tak terduga, dia datang dan pergi tanpa diminta. Menyakiti ataupun mengobati adalah keahliannya. Sama seperti yang kurasakan saat ini. Tak pernah kubayangkan akan jatuh hati pada pria kejam dan pemarah ini yang dulu selalu melecehkanku dengan sengaja. Meski menurutnya itulah cara dia mencari perhatianku.Tuan Max menang karena memang kenyataannya aku benar-benar merasa terusik dengan sikapnya. Ingatanku selalu tertuju padanya meski perasaan jengkel yang dulu selalu ada. Hingga kian hari perasaan itu berkembang menjadi suatu rasa menggembirakan yang menjungkirbalikkan duniaku.Aku menghela napas dan tersenyum setiap ada tamu yang datang untuk sekadar memberi ucapan selamat dan berjabat tangan. Ya, saat ini Tuan Max tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan mewah dan megah di Moskow yang menjadi topik perbincangan publik.Banyak pro dan kontra dengan status suami istri yang kini telah kami umumkan, dan menduga aku hanya memanfaatkan hati

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLVII - Sekali Lagi

    Aku tersenyum lebar saat menerima laporan yang kuminta pada Jo. Sebentar lagi Antonius akan tahu seberapa berbahaya musuh yang sedang di hadapinya. Tak perlu menggunakan kekerasan kepada pria tua itu. “Ada yang harus anda tahu, Tuan,” ucap Jo serius. Aku mengangkat alis tanda bertanya. “Kecelakaan yang menimpa anda waktu itu adalah rencana Antonius,”

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLVI - Max POV

    Tuan Max POV Cinta adalah suatu hal yang tabu dalam hidupku. Sejak kecil aku sudah dididik dengan keras oleh kakekku. Ia beralasan bahwa dunia di luar sana begitu kejam sehingga aku harus berlatih sedini mungkin. Awalnya aku sangat terganggu dengan hal itu, waktu bermainku hilang digantikan dengan belajar akademik dan ilmu bela diri. Namun itu se

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLV - Kegelapan

    “Hei, pembantu rendahan.” Suara mendesahnya yang menjijikan itu mengotori gendang telingaku. Apa katanya? Rendahan? Wanita ini sepertinya tidak pernah berkaca pada kelakuannya. Aku menarik sudut bibir menampilkan senyum merendahkan sebelum mengayunkan tangan ke wajah mulus wanita itu. Suara pekikan nyaring serta beberapa orang yang terkesiap kaget tak membuatku berhenti begitu saja. “Dengar ya perempuan murahan yang tak tahu malu memeluk suami orang sembarangan! Kamu tidak lebih tinggi dari apapun. Bukan hanya soal harta dan kecantikan, tapi

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLIV - SATU LAGI KEPERCAYAAN

    Aku memasuki kamar luas di sebuah hotel ternama di ibu kota, entah mengapa Jo malah membawaku ke sini. Tapi yang pasti, saat ini jantungku berdebar tak terkendali. Langkahku terayun pelan, menyusuri ruangan dengan warna abu yang dominan. Semakin jauh berjalan, jantungku semakin berdetak tak karuan. Sebuah ranjang king size terlihat begitu menggiurkan di tengah ruangan. Aku memilih duduk di sana dan memijat pelan kakiku. Jujur saja sebenarnya aku agak lelah saat berjalan di pasar tadi. Mungkin karena kehamilanku yang kini sudah memasuki bulan ke tiga. Ruangan ini sepi sekali, tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini dihuni. Berarti kata-kata Jo tadi hanya bualan semata, pria tua itu tak benar-benar pulang. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur seraya menghembuskan napas kecewa. Apakah ia belum puas meli

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLIII - Serangan

    Dua hari berlalu sejak Tuan Max berbicara lewat telepon waktu itu, masih belum ada tanda-tanda ia akan kembali, bahkan mengabari juga tidak sama sekali. Ia datang dan pergi sesuka hati, mengatur kehidupanku seenaknya sendiri. Kali ini aku sudah tak mau memusingkan hal itu lagi, aku berusaha mencari kegiatan agar tak terus menerus ingat dengan pria kejam itu. Seperti hari ini, aku pergi ke pasar untuk berbelanja dengan Ibu, meski aku harus membiarkan para bodyguard mengikuti kami dari jarak yang tidak terlalu dekat. Aku sudah menolak, tapi mereka berkeras dan tak mengizinkan kami pergi tanpa penjagaan. Keranjang belanjaan Ibu sudah penuh, kami hanya tinggal membeli daging dan sayur saja. Saat aku sedang memilih sayuran, seseorang menyapa dengan antusias.

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLII - Jangan Pergi

    Ibu meletakkan dua cangkir teh di atas meja untuk kedua tamu kami, lalu beliau ikut duduk di sebelahku yang berhadapan dengan Jerry dan papanya, sementara adikku duduk di sudut ruangan sambil memainkan ponsel, tapi aku tahu ia ikut mendengarkan."Jadi, Jerry apa kabar?" tanyaku lembut, membuatnya yang sejak tadi tertunduk merasa tersentak. Entahlah, daripada orang yang murung karena kehilangan, dia lebih terlihat seperti sedang ketakutan."Ba ... baik, Bu," sahut anak lelaki itu gugup.Aku berdehem pelan, memperhatikan mata anak itu yang tak mau menatap langsung padaku. Gerak tubuhnya juga terlihat sangat tidak nyaman.Aku tak tahu bagaimana cara menghibur anak ini. Dulu dia memang muridku, tapi sudah lama kami tak bertemu dan aku juga sedikit canggung karena papa Jerry terlihat sangat memperhatikanku."Bagaimana sekolahmu, Nak?" Kali ini ibu yang bertanya, mungkin dia menyadari kecanggunganku, untuk itu aku harus berterimakasih pada beliau."Baik

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLI - Kedatangan Jerry

    Satu Minggu berlalu sejak perpisahan kami di bandara waktu itu. Aku kian murung saat tanda-tanda kepulangan Tuan Max tak kunjung menemukan titik terang. Aku rindu dan hanya dirinya yang bisa mengobati.Aku menghela napas panjang dan melangkah menuruni anak tangga. Pagi ini aku berniat ke kampus untuk mengurus syarat wisuda yang sempat terbengkalai karena Tuan Max cukup menyita waktuku."Anda tidak diizinkan keluar sendiri, Nyonya." Miama tergopoh-gopoh dari arah dapur menuju tempatku berdiri yang kini hampir mencapai pintu keluar.Aku menghela napas berat. "Ya, aku tahu. Kalian sudah mengingatkan itu seribu kali. Aku bahkan mematuhinya dengan tak pergi ke mana-mana selama seminggu ini," sahutku.Miama mengangguk pelan. "Anda mau ke mana, Nyonya?" tanyanya sopan."Aku harus mengurus masalah wisudaku, Miama.""Tuan sudah membereskannya untuk anda, bahkan tanggal wisuda anda sudah ditetapkan.""Apa? Jangan bercanda, Miama!" tegurku."Tent

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XL - Kegilaan Lydia

    Aku memutar kunci lalu mendorong pintu dengan perlahan, tak dapat kupungkiri jantungku berdetak begitu kencang. Ruangan ini terlihat berdebu meski barang-barang tetap tertata rapi.Langkahku semakin jauh ke dalam, aku mengamati sekitar dan tak menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, apa aku berharap menemukan bukti percintaan mereka di sini?"Tuan Max mengurung Nona Lydia dan pelayan-nya di sini selama seminggu." Miama bersuara di belakangku.Aku

DMCA.com Protection Status