Aku mengamati Tuan Max yang makan dengan kesusahan, berusaha menyendok kuah yang akhirnya berjatuhan, atau tertinggal di sudut bibirnya, lalu mengalir melewati dagu. Wajahnya masih ditekuk masam.
Entah mengapa, rasa sakit di hati hinggap begitu saja melihat keadaanya. Meski begitu pemarah, tapi di lain waktu juga terlihat sangat lemah, dan hal itu membuat rasa iba menelusup di dalan hati.
Tiba-tiba, pria itu menghempaskan sendok dengan kasar, hingga suara berdenting begitu memekakkan, napasnya memburu dengan mata memerah marah.
"Tu ... Tuan, biarkan saya menyuapi--"
"Tidak perlu," tukasnya marah, memotong ucapanku. "Bukankah kau tak mau melayaniku?" imbuhnya kasar.
Aku menghela napas dalam, entah keberanian dari mana yang menggerakkan tubuhku hingga duduk bersila di hadapannya, semakin merapat kepada sang Singa. "Maaf ... saya tidak bermaksud menyinggung, Tuan, hanya saja ... saya belum terbiasa seintim itu dengan seorang pria," ucapku terbata, kesusahan merangkai kata.
Mata itu menyipit tajam, meski dengan pandangan lurus ke depan. "Alasan! Memangnya kau tidak pernah berpacaran?" hardiknya.
Kutahan napas setiap kali suaranya terasa memekakkan telinga. Kenapa bayi besar ini suka sekali berteriak marah?
Lalu, apa katanya tadi? Berpacaran? Aku sungguh tak punya waktu untuk melakukan hal itu, karena membantu Ayah dan Ibu adalah rutinitasku saat tak ada tugas kampus. Aku menggeleng sebagai jawaban, lalu seketika sadar Tuan Max tak mampu melihat.
"Saya terlalu sibuk untuk melakukan hal itu," sahutku pelan.
Dengusan pria itu terdengar jelas. "Aku tak percaya," ucapnya datar.
"Tak masalah, yang terpenting saya sudah jujur pada, Tuan." Aku meraih sendok dan mencucinya di wastafel. "Sekarang, biarkan saya menyuapi anda," ucapku setelah kembali.
Pria itu tak menjawab, tapi wajahnya tak semengerikan tadi. Bekas tumpahan kuah masih tersisa di sudut bibir Tuan Max, membuatku gemas ingin segera membersihkan.
Kutarik selembar tisu sebelum berkata, "Bolehkah saya membersihkan bibir anda, Tuan?" tanyaku pelan.
Entah kenapa tiba-tiba tubuh itu menegang, dengan rahang mengeras serta mata membola tajam. Lalu, perlahan kepala Tuan Max mengangguk, meski dengan gerakan super duper kaku.
Aku meyapu ringan bingkai bibir menggoda itu dengan tisu yang kupegang, gerakan tanganku begitu perlahan, seakan takut merusak tekstur kenyal yang kurasakan lewat sentuhan.
Ah, pria ini. Bagaimana bisa ia terlahir dengan garis tubuh begitu sempurna, seakan memamerkan pada dunia keindahan dari karya yang mahakuasa.
Kusudahi kegiatanku dengan kikuk. Sumpah mati, debaran jantungku terasa kencang sekali, apalagi saat hembusan napas hangat pria itu menerpa kulitku berkali-kali.
Geraman kecil terdengar seperti binatang buas yang siap menerkam. Aku menatap wajahnya yang semakin merah padam. Tiba-tiba ia menangkup wajahku kasar, menekannya kuat hingga aku meringis tanpa sadar. "Bukan begitu caranya membersihkan bibirku," ujarnya mendesis tajam.
"La ... lalu seperti apa?" tanyaku bingung, apakah aku salah mengambil tisu? Apa benda itu kurang higienis?
"Seperti ini caranya, Gadis kecil," desisnya, lalu menyambar bibirku secepat kilat, mengobrak-abrik bersama decapan super kuat.
Tubuhku kaku, dengan aliran darah yang seolah menyerbu. Memberi efek linglung yang membuatku merasa bodoh untuk sesaat, bahkan sampai pria itu menyudahi ciumannya yang cukup dahsyat.
Saat tersadar, aku refleks melayangkan tamparan keras di pipi kanannya, dan hal itu cukup membuatnya terkejut. Tapi, amarahnya langsung menguasai, tampak dari sorot membara yang terpancar dari wajahnya.
Tak kupedulikan hal itu, aku lebih marah di sini. Seenaknya saja dia menciumku tanpa permisi. Memangnya aku benda yang bisa sesuka hati dia sentuh tanpa perlu izin?
Aku bergerak kasar meninggalkan kasur dengan dada naik turun menahan emosi yang siap menyembur. Kakiku hampir melangkah menuju pintu sebelum pria itu kembali bersuara.
"Berani kau pergi tanpa izinku, maka kau akan tahu akibatnya," ancam pria itu datar, lewat wajah sangarnya aku tahu amarahnya belum juga mereda.
Tapi, peduli setan, toh dia juga tak meminta izin saat menciumku. Tak kubalas gertakannya itu, bahkan jika esok ia ingin memecatku tak masalah. Bekerja sebagai pengasuh bayi besar bukanlah hal yang mudah, butuh kesabaran yang super duper tinggi.
Saat mencapai pintu, aku sempat mendengar geramannya mengalir bersama umpatan kasar yang memekakkan gendang telinga. Tapi, tak kupedulikan, tetap kupacu langkah meninggalkan kediaman sang tuan durhaka ini.
Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri singgah ke sebuah minimarket untuk membeli senjata ampuh para wanita jika kedatangan tamu tak diundang setiap bulan. Tapi, kegiatanku terhenti saat ponsel jadul di dalam tas meraung tak terkendali. Aku meringis saat seorang ibu-ibu yang terlihat judes menatap garang ke arahku.
Segera aku menyingkir ke sudut yang agak sepi, lalu mengangkat panggilan yang ternyata dari ibuku.
"Hallo, Bu," sapaku pelan.
"Sil ... kamu di mana, Nak?" Suara tangis Ibu membuatku terkejut seketika.
"Silva di mini market. Ibu kenapa nangis?" tanyaku panik.
"Mebel Bapakmu, Nak, mebel Bapakmu kebakaran." Tangis Ibu semakin tak terkendali, seiring dengan jantungku yang seakan mendadak berhenti.
Aku segera berlari, keluar dari tempat itu tanpa jadi membeli apa pun. Langkahku terayun kencang menuju rumah, berharap apa yang Ibu katakan hanya sebuah lelucon belaka.
Sejak setahun yang lalu, Ayah memang mencoba peruntungan dengan membuka toko mebel kecil-kecilan setelah bertahun-tahun bekerja di toko milik orang lain.
Modalnya pun Ayah dapat dari pinjaman bank dengan jaminan surat rumah, satu-satunya harta berharga yang kami miliki. Jika hal mengerikan itu benar-benar terjadi, bagaimana cara kami mencicil hutang di bank setelah ini?
Langkahku terhenti tepat di depan sebuah bangunan kecil yang kini dikelilingi warga bersama petugas pemadam kebakaran. Kobaran api seakan menjadi penerang di tengah pekatnya langit malam.
Sebagian sudut bangunan sudah tak berbentuk lagi, dan sisanya masih berdiri dengan warna gelap menghiasi setiap sisi. Beberapa hasil kerajinan Ayah tampak sudah tak bisa digunakan lagi, seolah menjadi barang rongsokan yang siap dibuang kapan saja.
Suara raungan kencang jelas terdengar. Aku menoleh, dan mendapati Ibu sudah terjatuh ke tanah dalam dekapan Ayah. Sementara ketiga adikku, ikut menangis bersama sambil berpegang tangan erat.
Aku tak sanggup menggerakkan kaki untuk menghampiri mereka, seolah tubuh ini terpaku tak berdaya. Jantungku berdentam begitu hebat, hingga membuat kepalaku rasanya ikut berputar-putar. Lalu, seketika pandangan ikut berkunang-kunang, sebelum gelap tiba-tiba ikut menyerang.
*****
To be continued
Aku memandang wajah sayu itu di depan cermin, sisa-sisa air mata masih membekas di sana. Rambut kusam serta bibir pucat menjadi pemandangan utama. Kuhela napas sekali lagi, lalu mengambil tas yang tergeletak di sisi ranjang. Pagi ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah besar tempatku bekerja beberapa hari ini. Aku mengesampingkan ego dan emosiku kemarin demi untuk tetap bisa bekerja di sana dan berharap gajiku nanti mampu membantu Ayah dan Ibu.&nbs
Aku melotot kaget, kalimat yang dilontarkan bayi besar ini membuat mulutku menganga lebar, tidak menyangka dengan pertanyaan kurang ajarnya. Tidur denganku katanya? Huh, dasar mata keranjang! Meski tak dapat melihat, nyatanya pikiran mesum tetap berjalan lancar di otak besarnya. "Kenapa diam?" tegurnya tajam.
Aku berusaha memejamkan mata, meninggalkan sejenak kemelut yang memenuhi dada. Sore tadi aku sempat meminta izin pada Jo agar tak masuk bekerja karena merasa pusing teramat sangat di kepala. Bekerja pun percuma, aku tak akan bisa fokus karena masalah yang melanda membuatku pusing setengah mati. Demi Tuhan, aku bahkan belum menyelesaikan masalah skripsi, lalu kebakaran yang menimpa usaha Ayah juga menyita perhatianku, dan kali ini tiba-tiba ada yang melamar dengan iming-iming akan meringankan hutang keluargaku.
"Tapi sebenarnya ini semua karena kau!" hardiknya tiba-tiba. Aku bahkan sampai meloncat mundur saking terkejutnya. "Apa salahku?" ucapku tak terima. "Seharusnya kau tidak terlambat!" Bibirku menipis seke
Aku menyantap nasi goreng di kantin kampus karena bayi besar itu telah merampok sarapan pagiku. Tidak mungkin aku mengikuti perintahnya mengambil makanan di dapur rumah mewahnya untuk mengganti bekalku, meski sedikit rasa di hatiku menginginkannya. Bukan tanpa alasan, naluri kemiskinanku seolah menggeliat ingin mencicipi sarapan mewah orang kaya. Namun, segera kutepis keinginan memalukan itu, dan aku terpaksa merogoh kocek lebih untuk sarapanku pagi ini. Padahal niat hati ingin menghemat, tapi apa daya aku tak mampu melawan keinginan tuan besar.
Sampai sore hari, aku masih memikirkan tentang kontrak yang menurutku tak masuk akal itu. Mereka berani memberi modal tanpa takut kerugian. Bagaimana jika usaha Ayah tak mendapat keuntungan? Sudah barang tentu merekalah yang paling merasa dirugikan. Bukannya aku tak percaya keajaiban, hanya saja di zaman sekarang ini tak akan mudah mendapati hal semacan itu. Bahkan orang rela menjadi raja-rajaan demi menipu orang.&
Aku langsung saja memukul dan melibas tangannya dengan handuk yang kupegang. Dasar bayi besar mesum! Berani-beraninya dia melakukan hal tak senonoh itu padaku. "Apa yang Tuan lakukan?" hardikku marah. Pria itu mengedikkan bahu santai, tak merasa bersalah sedikitpun. "Hanya berkenalan dengan tubuhmu," sahutnya terlampau tenang.
Aku masih kesal setengah mati dengan pria bertubuh penuh tato itu. Dia sama sekali tak merasa bersalah setelah melontarkan kalimat tak masuk akal itu. Dengan santai ia tetap melakukan aktivitasnya bergoyang kaki dengan gaya angkuh. "Ambilkan ponselku!" titahnya saat aku selesai merapikan piring bekas makan malamnya. Aku mendengus pelan seraya berjalan ke arah ranjang dan menemukan ponsel Tuan Max terge
Cinta adalah sesuatu yang tak terduga, dia datang dan pergi tanpa diminta. Menyakiti ataupun mengobati adalah keahliannya. Sama seperti yang kurasakan saat ini. Tak pernah kubayangkan akan jatuh hati pada pria kejam dan pemarah ini yang dulu selalu melecehkanku dengan sengaja. Meski menurutnya itulah cara dia mencari perhatianku.Tuan Max menang karena memang kenyataannya aku benar-benar merasa terusik dengan sikapnya. Ingatanku selalu tertuju padanya meski perasaan jengkel yang dulu selalu ada. Hingga kian hari perasaan itu berkembang menjadi suatu rasa menggembirakan yang menjungkirbalikkan duniaku.Aku menghela napas dan tersenyum setiap ada tamu yang datang untuk sekadar memberi ucapan selamat dan berjabat tangan. Ya, saat ini Tuan Max tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan mewah dan megah di Moskow yang menjadi topik perbincangan publik.Banyak pro dan kontra dengan status suami istri yang kini telah kami umumkan, dan menduga aku hanya memanfaatkan hati
Aku tersenyum lebar saat menerima laporan yang kuminta pada Jo. Sebentar lagi Antonius akan tahu seberapa berbahaya musuh yang sedang di hadapinya. Tak perlu menggunakan kekerasan kepada pria tua itu. “Ada yang harus anda tahu, Tuan,” ucap Jo serius. Aku mengangkat alis tanda bertanya. “Kecelakaan yang menimpa anda waktu itu adalah rencana Antonius,”
Tuan Max POV Cinta adalah suatu hal yang tabu dalam hidupku. Sejak kecil aku sudah dididik dengan keras oleh kakekku. Ia beralasan bahwa dunia di luar sana begitu kejam sehingga aku harus berlatih sedini mungkin. Awalnya aku sangat terganggu dengan hal itu, waktu bermainku hilang digantikan dengan belajar akademik dan ilmu bela diri. Namun itu se
“Hei, pembantu rendahan.” Suara mendesahnya yang menjijikan itu mengotori gendang telingaku. Apa katanya? Rendahan? Wanita ini sepertinya tidak pernah berkaca pada kelakuannya. Aku menarik sudut bibir menampilkan senyum merendahkan sebelum mengayunkan tangan ke wajah mulus wanita itu. Suara pekikan nyaring serta beberapa orang yang terkesiap kaget tak membuatku berhenti begitu saja. “Dengar ya perempuan murahan yang tak tahu malu memeluk suami orang sembarangan! Kamu tidak lebih tinggi dari apapun. Bukan hanya soal harta dan kecantikan, tapi
Aku memasuki kamar luas di sebuah hotel ternama di ibu kota, entah mengapa Jo malah membawaku ke sini. Tapi yang pasti, saat ini jantungku berdebar tak terkendali. Langkahku terayun pelan, menyusuri ruangan dengan warna abu yang dominan. Semakin jauh berjalan, jantungku semakin berdetak tak karuan. Sebuah ranjang king size terlihat begitu menggiurkan di tengah ruangan. Aku memilih duduk di sana dan memijat pelan kakiku. Jujur saja sebenarnya aku agak lelah saat berjalan di pasar tadi. Mungkin karena kehamilanku yang kini sudah memasuki bulan ke tiga. Ruangan ini sepi sekali, tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini dihuni. Berarti kata-kata Jo tadi hanya bualan semata, pria tua itu tak benar-benar pulang. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur seraya menghembuskan napas kecewa. Apakah ia belum puas meli
Dua hari berlalu sejak Tuan Max berbicara lewat telepon waktu itu, masih belum ada tanda-tanda ia akan kembali, bahkan mengabari juga tidak sama sekali. Ia datang dan pergi sesuka hati, mengatur kehidupanku seenaknya sendiri. Kali ini aku sudah tak mau memusingkan hal itu lagi, aku berusaha mencari kegiatan agar tak terus menerus ingat dengan pria kejam itu. Seperti hari ini, aku pergi ke pasar untuk berbelanja dengan Ibu, meski aku harus membiarkan para bodyguard mengikuti kami dari jarak yang tidak terlalu dekat. Aku sudah menolak, tapi mereka berkeras dan tak mengizinkan kami pergi tanpa penjagaan. Keranjang belanjaan Ibu sudah penuh, kami hanya tinggal membeli daging dan sayur saja. Saat aku sedang memilih sayuran, seseorang menyapa dengan antusias.
Ibu meletakkan dua cangkir teh di atas meja untuk kedua tamu kami, lalu beliau ikut duduk di sebelahku yang berhadapan dengan Jerry dan papanya, sementara adikku duduk di sudut ruangan sambil memainkan ponsel, tapi aku tahu ia ikut mendengarkan."Jadi, Jerry apa kabar?" tanyaku lembut, membuatnya yang sejak tadi tertunduk merasa tersentak. Entahlah, daripada orang yang murung karena kehilangan, dia lebih terlihat seperti sedang ketakutan."Ba ... baik, Bu," sahut anak lelaki itu gugup.Aku berdehem pelan, memperhatikan mata anak itu yang tak mau menatap langsung padaku. Gerak tubuhnya juga terlihat sangat tidak nyaman.Aku tak tahu bagaimana cara menghibur anak ini. Dulu dia memang muridku, tapi sudah lama kami tak bertemu dan aku juga sedikit canggung karena papa Jerry terlihat sangat memperhatikanku."Bagaimana sekolahmu, Nak?" Kali ini ibu yang bertanya, mungkin dia menyadari kecanggunganku, untuk itu aku harus berterimakasih pada beliau."Baik
Satu Minggu berlalu sejak perpisahan kami di bandara waktu itu. Aku kian murung saat tanda-tanda kepulangan Tuan Max tak kunjung menemukan titik terang. Aku rindu dan hanya dirinya yang bisa mengobati.Aku menghela napas panjang dan melangkah menuruni anak tangga. Pagi ini aku berniat ke kampus untuk mengurus syarat wisuda yang sempat terbengkalai karena Tuan Max cukup menyita waktuku."Anda tidak diizinkan keluar sendiri, Nyonya." Miama tergopoh-gopoh dari arah dapur menuju tempatku berdiri yang kini hampir mencapai pintu keluar.Aku menghela napas berat. "Ya, aku tahu. Kalian sudah mengingatkan itu seribu kali. Aku bahkan mematuhinya dengan tak pergi ke mana-mana selama seminggu ini," sahutku.Miama mengangguk pelan. "Anda mau ke mana, Nyonya?" tanyanya sopan."Aku harus mengurus masalah wisudaku, Miama.""Tuan sudah membereskannya untuk anda, bahkan tanggal wisuda anda sudah ditetapkan.""Apa? Jangan bercanda, Miama!" tegurku."Tent
Aku memutar kunci lalu mendorong pintu dengan perlahan, tak dapat kupungkiri jantungku berdetak begitu kencang. Ruangan ini terlihat berdebu meski barang-barang tetap tertata rapi.Langkahku semakin jauh ke dalam, aku mengamati sekitar dan tak menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, apa aku berharap menemukan bukti percintaan mereka di sini?"Tuan Max mengurung Nona Lydia dan pelayan-nya di sini selama seminggu." Miama bersuara di belakangku.Aku