Home / Romansa / BLIND HEART [INDONESIA] / Bab V - Akhirnya Kembali

Share

Bab V - Akhirnya Kembali

Author: Ayu Tarigan
last update Last Updated: 2020-10-22 14:33:07

              Aku memandang wajah sayu itu di depan cermin, sisa-sisa air mata masih membekas di sana. Rambut kusam serta bibir pucat menjadi pemandangan utama.

              Kuhela napas sekali lagi, lalu mengambil tas yang tergeletak di sisi ranjang. Pagi ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah besar tempatku bekerja beberapa hari ini. Aku mengesampingkan ego dan emosiku kemarin demi untuk tetap bisa bekerja di sana dan berharap gajiku nanti mampu membantu Ayah dan Ibu.

              Saat melewati ruang tengah, kulihat Ayah sedang duduk termenung sendirian, kehela napas berat, kali ini fokusku bukan lagi biaya wisuda, melainkan kelangsungan hidup keluarga.

              Aku berjalan mendekat, memeluk lengan Ayah yang duduk di sofa panjang. "Ayah jangan sedih, Silva janji akan cari uang buat bayar hutang kita," ucapku lembut, berharap mengurangi kegelisahan hati pria tercintaku ini.

              Ayah menghembuskan napas panjang, menoleh ke arahku dengan senyum dipaksakan. "Maafin Ayah," ucap beliau serak.

              Kusapu lembut lengan yang selama ini berusaha keras untuk menghidupi kami sekeluarga. "Seharusnya Silva yang minta maaf, belum bisa jadi anak kebanggan Ayah."

              Pria tua itu tersenyum lembut. "Kamu anak Ayah yang hebat, nggak manja dan selalu bisa diandalkan."

              Aku mnngangguk kecil. "Ya sudah, sekarang Ayah istirahat, Silva berangkat kerja dulu."

              "Kamu hati-hati, selalu waspada sama lelaki yang mendekati kamu," ujar Ayah menasehati.

              "Iya, Ayahku sayang."

              Setelah berpamitan, aku lekas meninggalkan rumah menuju kediaman tuan besar yang kali ini kuharap tak mengingat sikap tak sopanku semalam. Meski sebenarnya dialah yang lebih tak sopan.

              Aku memukul kepalaku saat ingatan tentang ciumannya kembali terlintas, bisa-bisanya aku membayangkan hal itu di saat seperti ini.

              Kakiku kini telah berdiri di depan gerbang yang menjulang, menampakan keangkuhan yang sama dengan sang empunya. Kutarik napas panjang seraya berdoa semoga niatku kali ini berjalan sempurna.

              Aku memantapkan langkah memasuki halaman luas ini setelah dipersilahkan petugas keamanan, mataku berkeliling mencari-cari sosok yang ingin kutemui.

              Nah, itu dia! Pria berwajah datar yang selalu mengikuti ke manapun Tuan Max pergi.

              "Selamat pagi, Jo," sapaku seramah mungkin.

              Pria itu menoleh tanpa ekspresi. "Untuk apa kau datang lagi?" tanyanya datar.

              Aku meringis tanpa sadar, dengan jantung berdebar-debar. "Kenapa pertanyaanmu seperti itu?" tanyaku, pura-pura tidak tahu.

              Jo mendengus kasar, lalu menatapku tajam. "Tuan Max hampir membunuhku karena ulah kurang ajarmu!" ucapnya geram.

              Aku berjengit kaget. Benarkah seperti itu? Lalu bagaimana nasibku sekarang?

              "Aku ... aku ... benar-benar tidak sengaja," sahutku pelan.

              "Terserah, sekarang silahkan tinggalkan tempat ini," usir pria itu.

              Mataku membulat sempurna, kepanikan melandaku seketika. Pekerjaan ini adalah harapanku satu-satunya, jika dipecat, bagaimana aku harus membayar hutang-hutang Ayah?

              "Jo ... bisakah aku berbicara dengan Tuan Max?" ujarku setengah mohon.

              "Tidak! Aku tak mau ambil resiko kau kembali memancing amarahnya."

              "Aku berjanji tidak akan membuat keributan, aku akan meminta maaf padanya," ucapku sungguh-sungguh.

              Belum sempat Jo menjawab, terdengar suara teriakan kasar serta bantingan benda-benda dari arah kamar Tuan Max. Sontak saja pria itu melarikan langkah ke sana, dan tanpa pikir panjang aku mengikutinya.

              Kami masuk bersama kepala pelayan yang juga baru tiba di depan kamar Tuan Max.

              "Maaf, Tuan, apa kami memiliki kesalahan?" Suara wanita paruh baya itu terdengar ketakutan.

              Dengusan kasar dari pria itu terdengar, matanya seperti kilatan api yang berkobar.

              "Keluar!" desis pria itu tajam, dadanya naik turun sebab emosi yang belum teredam.

              "Tuan--"

              "Kau juga keluar, Bangsat!" Hardikan Tuan Max menghentikan ucapan Jo.

              Jo menghela napas panjang, sementara sang kepala pelayan mulai mundur perlahan. Tentu saja, saat jni Tuan Max benar-benar terlihat mengerikan.

              Kusapu pandangan menjelajah isi ruangan yang berantakan, pecahan kaca beserta guci berserakan di lantai. Lalu, aku merasakan jantungku seakan lepas dari tempatnya ketika Tuan Max berjalan tanpa alas kaki menuju ranjang. Sumpah mati, hal itu bisa membuatnya terluka.

              "Tuan ... awas!" Spontan aku berlari ke arahnya, menarik lengan kekar itu menuju lantai tanpa pecahan kaca.

              Sayangnya, tarikanku terlalu kencang, hingga tubuh besar itu oleng dan malah jatuh menimpaku. Kami jatuh ke lantai dengan tubuh besarnya berada di atasku.

              Aku merasakan tubuhnya mendadak kaku, napasnya terdengar memburu. Tak lama, ia menggeram kasar layaknya srigala yang hendak memangsa. Sungguh, bulu kudukku sampai merinding dibuatnya.

              "Kau datang lagi," geramnya emosi.

              "Saya ... Saya ...."

              "Apa lagi maumu, hm?" tanyanya datar.

              "Tu ... Tuan, bisakah anda bergeser--"

              "Tidak bisa!" tukasnya garang.

              Aku sampai meringis mendengarnya, lalu aku melirik ke arah pintu kamar, berharap pertolongan dari Jo. Tapi, betapa terkejutnya aku saat tak mendapati siapa pun di sana, bahkan pintu itu sudah tertutup rapat.

              "Mencari bantuan, hm?" dengus Tuan Max mengejek.

              "Bukan begitu, hanya saja aku merasa sulit bernapas, badan anda terlalu berat," ujarku kesal. Apa dia tak tahu betapa besarnya tubuhnya itu?

              Pria itu mengerutkan dahi dalam, lalu setelahnya ia bergeser dari atas tubuhku.

              Hembusan napas lega keluar begitu saja. Sungguh, berdekatan dengannya bukan hanya membuat napasku sesak, tapi juga jantungku yang dengan gila-gilaannya berdetak.

              "Kenapa Tuan hobi sekali marah-marah?" tanyaku pelan, berusaha tak menyinggung perasaannya, tapi sayangnya aku tak berhasil karena wajahnya kini kembali menunjukkan kemarahan hebat.

              "Bukan urusanmu!" bentaknya, lalu berusaha berdiri dan kembali menuju ranjang.

              Aku segera bangkit dan menarik tangannya, kali ini tak sekuat saat pertama kali. Kutuntun ia menuju kasur tanpa melewati pecahan benda yang berserakan di lantai, lalu mendudukan pria itu di pinggir ranjang.

              "Aku akan bersihkan kamar, Tuan," ucapku pelan.

              "Tidak perlu, itu bukan tugasmu!" sahutnya tak suka.

              Apa dia tak mau aku menyentuh barang-barang berharga miliknya di sini? Ya, mungkin saja dia menganggap tanganku sehina itu. Aku mendengus dongkol karena pemikiran itu.

              "Kenapa kau datang lagi?" tanya pria itu tajam.

              Aku meringis karena lagi-lagi pertanyaan itu yang harus kujawab. "Maaf untuk hal kemarin, Tuan. Tapi, sungguh saya tidak berniat untuk berhenti," ucapku takut-takut.

              "Tidak berhenti? Sudah berapa kali kukatakan jangan pergi tanpa izinku. Tapi, kau mengabaikan itu!" desisnya geram.

              "Saya ... saya hanya kesal. Tuan menciumku tanpa permisi!" ujarku keras, kali ini aku yang mulai kesal sendiri.

              Tuan Max mendengus kasar dengan wajah merah padam, tangannya mengepal erat menandakan emosi yang siap meluap. Tapi, kalimat pria itu selanjutnya membuatku terlonjak kaget, mataku menatap horor ke arahnya.

              "Lalu, jika miminta izin apakah aku boleh menciummu? Atau bahkan menidurimu?" tanyanya dengan suara super duper datar.

*****

To be continued

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Saprin Oktandi Keriban
kurang seru ujung2 nya koin lagi
goodnovel comment avatar
Yusmidar Pujar
ceritanya buat penasaran
goodnovel comment avatar
arsyila NN
edannnnnn beneeeeeerrrr
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab VI - Perjodohan Silvana

    Aku melotot kaget, kalimat yang dilontarkan bayi besar ini membuat mulutku menganga lebar, tidak menyangka dengan pertanyaan kurang ajarnya. Tidur denganku katanya? Huh, dasar mata keranjang! Meski tak dapat melihat, nyatanya pikiran mesum tetap berjalan lancar di otak besarnya. "Kenapa diam?" tegurnya tajam.

    Last Updated : 2020-10-22
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab VII - Wanita Tuan Max

    Aku berusaha memejamkan mata, meninggalkan sejenak kemelut yang memenuhi dada. Sore tadi aku sempat meminta izin pada Jo agar tak masuk bekerja karena merasa pusing teramat sangat di kepala. Bekerja pun percuma, aku tak akan bisa fokus karena masalah yang melanda membuatku pusing setengah mati. Demi Tuhan, aku bahkan belum menyelesaikan masalah skripsi, lalu kebakaran yang menimpa usaha Ayah juga menyita perhatianku, dan kali ini tiba-tiba ada yang melamar dengan iming-iming akan meringankan hutang keluargaku.

    Last Updated : 2020-10-22
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab VIII - Hukuman Tak Berdasar

    "Tapi sebenarnya ini semua karena kau!" hardiknya tiba-tiba. Aku bahkan sampai meloncat mundur saking terkejutnya. "Apa salahku?" ucapku tak terima. "Seharusnya kau tidak terlambat!" Bibirku menipis seke

    Last Updated : 2020-10-22
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab IX - Pertolongan Mencurigakan

    Aku menyantap nasi goreng di kantin kampus karena bayi besar itu telah merampok sarapan pagiku. Tidak mungkin aku mengikuti perintahnya mengambil makanan di dapur rumah mewahnya untuk mengganti bekalku, meski sedikit rasa di hatiku menginginkannya. Bukan tanpa alasan, naluri kemiskinanku seolah menggeliat ingin mencicipi sarapan mewah orang kaya. Namun, segera kutepis keinginan memalukan itu, dan aku terpaksa merogoh kocek lebih untuk sarapanku pagi ini. Padahal niat hati ingin menghemat, tapi apa daya aku tak mampu melawan keinginan tuan besar.

    Last Updated : 2020-10-22
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab X - Hadiah Mengejutkan

    Sampai sore hari, aku masih memikirkan tentang kontrak yang menurutku tak masuk akal itu. Mereka berani memberi modal tanpa takut kerugian. Bagaimana jika usaha Ayah tak mendapat keuntungan? Sudah barang tentu merekalah yang paling merasa dirugikan. Bukannya aku tak percaya keajaiban, hanya saja di zaman sekarang ini tak akan mudah mendapati hal semacan itu. Bahkan orang rela menjadi raja-rajaan demi menipu orang.&

    Last Updated : 2020-10-22
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XI - Penawaran Gila

    Aku langsung saja memukul dan melibas tangannya dengan handuk yang kupegang. Dasar bayi besar mesum! Berani-beraninya dia melakukan hal tak senonoh itu padaku. "Apa yang Tuan lakukan?" hardikku marah. Pria itu mengedikkan bahu santai, tak merasa bersalah sedikitpun. "Hanya berkenalan dengan tubuhmu," sahutnya terlampau tenang.

    Last Updated : 2020-10-22
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XII - Pergi Ke Rusia

    Aku masih kesal setengah mati dengan pria bertubuh penuh tato itu. Dia sama sekali tak merasa bersalah setelah melontarkan kalimat tak masuk akal itu. Dengan santai ia tetap melakukan aktivitasnya bergoyang kaki dengan gaya angkuh. "Ambilkan ponselku!" titahnya saat aku selesai merapikan piring bekas makan malamnya. Aku mendengus pelan seraya berjalan ke arah ranjang dan menemukan ponsel Tuan Max terge

    Last Updated : 2020-10-22
  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XIII - Rumah Besar Tuan Max

    Aku memandang kamar yang luasnya lebih besar dari rumahku itu dengan pandangan takjub. Lagi-lagi aku yang notabenenya adalah rakyat jelata dibuat terkagum-kagum dengan kemewahan yang ada di ruangan ini. Di tengah-tengah ruangan ada sebuah ranjang besar yang dilapisi bed cover berbahan sutra lengkap dengan side table-nya. Ada pula walk in closet super luas untuk menyimpan barang-barang yang kutahu nilainya bisa untuk menghidupiku berpuluh-puluh tahun ke depan. Belum lagi karpet bulu yang lebih halus dari kulitku ini, rasanya sangat tidak pantas kaki kumalku menginjak benda ini, seolah ia berkata untuk

    Last Updated : 2020-10-22

Latest chapter

  • BLIND HEART [INDONESIA]   XLVIII - Akhir Kebahagiaan

    Cinta adalah sesuatu yang tak terduga, dia datang dan pergi tanpa diminta. Menyakiti ataupun mengobati adalah keahliannya. Sama seperti yang kurasakan saat ini. Tak pernah kubayangkan akan jatuh hati pada pria kejam dan pemarah ini yang dulu selalu melecehkanku dengan sengaja. Meski menurutnya itulah cara dia mencari perhatianku.Tuan Max menang karena memang kenyataannya aku benar-benar merasa terusik dengan sikapnya. Ingatanku selalu tertuju padanya meski perasaan jengkel yang dulu selalu ada. Hingga kian hari perasaan itu berkembang menjadi suatu rasa menggembirakan yang menjungkirbalikkan duniaku.Aku menghela napas dan tersenyum setiap ada tamu yang datang untuk sekadar memberi ucapan selamat dan berjabat tangan. Ya, saat ini Tuan Max tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan mewah dan megah di Moskow yang menjadi topik perbincangan publik.Banyak pro dan kontra dengan status suami istri yang kini telah kami umumkan, dan menduga aku hanya memanfaatkan hati

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLVII - Sekali Lagi

    Aku tersenyum lebar saat menerima laporan yang kuminta pada Jo. Sebentar lagi Antonius akan tahu seberapa berbahaya musuh yang sedang di hadapinya. Tak perlu menggunakan kekerasan kepada pria tua itu. “Ada yang harus anda tahu, Tuan,” ucap Jo serius. Aku mengangkat alis tanda bertanya. “Kecelakaan yang menimpa anda waktu itu adalah rencana Antonius,”

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLVI - Max POV

    Tuan Max POV Cinta adalah suatu hal yang tabu dalam hidupku. Sejak kecil aku sudah dididik dengan keras oleh kakekku. Ia beralasan bahwa dunia di luar sana begitu kejam sehingga aku harus berlatih sedini mungkin. Awalnya aku sangat terganggu dengan hal itu, waktu bermainku hilang digantikan dengan belajar akademik dan ilmu bela diri. Namun itu se

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLV - Kegelapan

    “Hei, pembantu rendahan.” Suara mendesahnya yang menjijikan itu mengotori gendang telingaku. Apa katanya? Rendahan? Wanita ini sepertinya tidak pernah berkaca pada kelakuannya. Aku menarik sudut bibir menampilkan senyum merendahkan sebelum mengayunkan tangan ke wajah mulus wanita itu. Suara pekikan nyaring serta beberapa orang yang terkesiap kaget tak membuatku berhenti begitu saja. “Dengar ya perempuan murahan yang tak tahu malu memeluk suami orang sembarangan! Kamu tidak lebih tinggi dari apapun. Bukan hanya soal harta dan kecantikan, tapi

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLIV - SATU LAGI KEPERCAYAAN

    Aku memasuki kamar luas di sebuah hotel ternama di ibu kota, entah mengapa Jo malah membawaku ke sini. Tapi yang pasti, saat ini jantungku berdebar tak terkendali. Langkahku terayun pelan, menyusuri ruangan dengan warna abu yang dominan. Semakin jauh berjalan, jantungku semakin berdetak tak karuan. Sebuah ranjang king size terlihat begitu menggiurkan di tengah ruangan. Aku memilih duduk di sana dan memijat pelan kakiku. Jujur saja sebenarnya aku agak lelah saat berjalan di pasar tadi. Mungkin karena kehamilanku yang kini sudah memasuki bulan ke tiga. Ruangan ini sepi sekali, tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini dihuni. Berarti kata-kata Jo tadi hanya bualan semata, pria tua itu tak benar-benar pulang. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur seraya menghembuskan napas kecewa. Apakah ia belum puas meli

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLIII - Serangan

    Dua hari berlalu sejak Tuan Max berbicara lewat telepon waktu itu, masih belum ada tanda-tanda ia akan kembali, bahkan mengabari juga tidak sama sekali. Ia datang dan pergi sesuka hati, mengatur kehidupanku seenaknya sendiri. Kali ini aku sudah tak mau memusingkan hal itu lagi, aku berusaha mencari kegiatan agar tak terus menerus ingat dengan pria kejam itu. Seperti hari ini, aku pergi ke pasar untuk berbelanja dengan Ibu, meski aku harus membiarkan para bodyguard mengikuti kami dari jarak yang tidak terlalu dekat. Aku sudah menolak, tapi mereka berkeras dan tak mengizinkan kami pergi tanpa penjagaan. Keranjang belanjaan Ibu sudah penuh, kami hanya tinggal membeli daging dan sayur saja. Saat aku sedang memilih sayuran, seseorang menyapa dengan antusias.

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLII - Jangan Pergi

    Ibu meletakkan dua cangkir teh di atas meja untuk kedua tamu kami, lalu beliau ikut duduk di sebelahku yang berhadapan dengan Jerry dan papanya, sementara adikku duduk di sudut ruangan sambil memainkan ponsel, tapi aku tahu ia ikut mendengarkan."Jadi, Jerry apa kabar?" tanyaku lembut, membuatnya yang sejak tadi tertunduk merasa tersentak. Entahlah, daripada orang yang murung karena kehilangan, dia lebih terlihat seperti sedang ketakutan."Ba ... baik, Bu," sahut anak lelaki itu gugup.Aku berdehem pelan, memperhatikan mata anak itu yang tak mau menatap langsung padaku. Gerak tubuhnya juga terlihat sangat tidak nyaman.Aku tak tahu bagaimana cara menghibur anak ini. Dulu dia memang muridku, tapi sudah lama kami tak bertemu dan aku juga sedikit canggung karena papa Jerry terlihat sangat memperhatikanku."Bagaimana sekolahmu, Nak?" Kali ini ibu yang bertanya, mungkin dia menyadari kecanggunganku, untuk itu aku harus berterimakasih pada beliau."Baik

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XLI - Kedatangan Jerry

    Satu Minggu berlalu sejak perpisahan kami di bandara waktu itu. Aku kian murung saat tanda-tanda kepulangan Tuan Max tak kunjung menemukan titik terang. Aku rindu dan hanya dirinya yang bisa mengobati.Aku menghela napas panjang dan melangkah menuruni anak tangga. Pagi ini aku berniat ke kampus untuk mengurus syarat wisuda yang sempat terbengkalai karena Tuan Max cukup menyita waktuku."Anda tidak diizinkan keluar sendiri, Nyonya." Miama tergopoh-gopoh dari arah dapur menuju tempatku berdiri yang kini hampir mencapai pintu keluar.Aku menghela napas berat. "Ya, aku tahu. Kalian sudah mengingatkan itu seribu kali. Aku bahkan mematuhinya dengan tak pergi ke mana-mana selama seminggu ini," sahutku.Miama mengangguk pelan. "Anda mau ke mana, Nyonya?" tanyanya sopan."Aku harus mengurus masalah wisudaku, Miama.""Tuan sudah membereskannya untuk anda, bahkan tanggal wisuda anda sudah ditetapkan.""Apa? Jangan bercanda, Miama!" tegurku."Tent

  • BLIND HEART [INDONESIA]   Bab XL - Kegilaan Lydia

    Aku memutar kunci lalu mendorong pintu dengan perlahan, tak dapat kupungkiri jantungku berdetak begitu kencang. Ruangan ini terlihat berdebu meski barang-barang tetap tertata rapi.Langkahku semakin jauh ke dalam, aku mengamati sekitar dan tak menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, apa aku berharap menemukan bukti percintaan mereka di sini?"Tuan Max mengurung Nona Lydia dan pelayan-nya di sini selama seminggu." Miama bersuara di belakangku.Aku

DMCA.com Protection Status