Segera aku membawa Allea rumah sakit. Entah kenapa dia begitu lemah. Awalnya dia sangat sehat, tetapi justru pingsan saat di pesta pernikahan temanku. Pasti besok akan jadi bahan perbincangan. Sungguh, Allea membuatku malu!
Dokter mengatakan jika ada masalah di lambung Allea. Selain itu, tekanan darahnya juga rendah. Dokter menasehatiku panjang lebar supaya menjaga kesehatan Allea. Aku hanya mengangguk kemudian mengajak Allea pulang."Kamu malu-maluin banget, sih? Kenapa harus pingsan di acara pernikahan temanku?" protesku kepada wanita yang mengenakan dress hitam itu."Maaf!" Singkat sekali jawabannya. Hanya maaf, itu saja.Sepanjang perjalanan pulang, aku memang memarahi Allea. Tak kupedulikan dia yang tengah sakit. Itu hanya sakit biasa. Tadi, dokter sempat mengatakan jika Allea terlalu stres. Memangnya stres kenapa dia? Uang bulanan juga selalu aku kasih lebih. Mana mungkin stres?!Allea hanya diam. Menjawab pun hanya anggukan kepala. Dia pikir, dengan pura-pura lemah seperti itu akan membuat amarahku reda? Tentu saja tidak. Aku masih memikirkan bagaimana nasibku di kantor besok.Setibanya di rumah Mbak Veni, kami segera mengajak anak-anak pulang. Mbak Veni meminta anak-anak agar menginap di sana, tetapi mereka tidak mau. Sudah pasti mereka akan mencari Allea. Mereka tidak bisa tidur tanpa ibu mereka."Al, kamu sakit?" tanya Mbak Veni.Allea menggeleng. "Nggak, Mbak.""Udah, ayo cepetan! Ini udah malam," kataku sambil menarik tangan Allea. "Mbak, kami pulang dulu. Makasih udah jagain mereka," lanjutku kepada Mbak Veni."Ren, istrimu pucat dan lemas begitu. Kalau dia sakit, biarkan anak-anak di sini. Biar aku yang menjaga mereka," kata Mbak Veni."Mbak, Allea nggak sakit. Dia baik-baik aja, kok. Kami pulang dulu, ya," ucapku.Allea adalah wanita kuat. Meski tadi sempat pingsan, tetapi dia tetap kuat berjalan. Sungguh, wanita yang luar biasa hebat!***Allea kembali ke kamar setelah tadi berpamitan menidurkan anak-anak. Kulihat wajahnya begitu pucat."Udah minum obat?" tanyaku."Udah."Allea tidur membelakangiku. Aku memutuskan untuk memeriksa kondisi di luar kamar. Semuanya sudah rapi dan bersih. Anak-anak sudah tidur pulas di tempat mereka masing-masing. Namun, mataku tertuju ke tumpukan pakaian kotor yang ada di keranjang. Bisa-bisanya dia langsung tidur tanpa mencuci pakaian terlebih dahulu.Saat kembali ke kamar, aku melihat Allea begitu pulas. Dahinya basah oleh keringat. Mungkin itu efek obat yang tadi dia minum. Tiba-tiba saja aku teringat dengan ucapan Gideon untuk memasang kamera tersembunyi.Panjang umur untuk Gideon. Baru saja aku memikirkan saran darinya, dia mengirim pesan kepadaku. Dia mengingatkanku untuk memasang kamera tersembunyi. Katanya, agar aku tahu bagaimana gilanya istriku. Berani sekali Gideon menyebut Allea gila!Aku memandang wajah cantik Allea. Entah perasaanku saja atau bagaimana. Kecantikannya memang sedikit memudar. Ke mana Allea yang dulu kukenal? Apa karena faktor usia? Mendadak teringat Allea saat gadis dulu. Di usianya yang masih dua puluh tiga tahun dan baru menjabat sebagai sekretaris pribadiku, aku langsung mengakhiri masa lajangnya. Kecerdasannya, kecantikannya, tutur katanya, sikapnya, membuatku terpana.Allea adalah gadis yang mampu membuatku jatuh cinta dalam hitungan menit. Entah kenapa aku merasa harus memiliki dan mendapatkannya saat pertama kali berjumpa. Tidak ada pacaran di antara kami. Aku langsung melamar dan menikahinya."Seandainya kamu cekatan dan pandai merawat diri seperti dulu, Al ... aku nggak bakal terlalu sering marah-marah ke kamu," ujarku sambil mengusap kepala Allea.Aneh, aku merasa aneh dengan Allea. Semenjak melahirkan anak ke tiga, dia mendadak lemot. Apa-apa, harus menunggu perintah dariku. Sedikit-sedikit, meminta bantuanku. Merawat diri juga tidak bisa.***Pulang dari kantor, aku mengikuti saran Gideon, yaitu memasang kamera tersembunyi di rumah. Aku meminta bantuan Gideon dan keponakannya yang ahli dalam bidang itu untuk melakukannya. Sementara aku, mengajak Allea dan anak-anak pergi. Gideon melarangku memberitahu Allea perihal kamera tersembunyi ini."Al, udah lama kita nggak pernah makan di luar," ucapku kepada Allea yang memangku Arvin.Allea hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Namun, senyumnya sangatlah tidak ramah. Sebelah bibirnya terangkat seolah mengejek ucapanku tadi."Kenapa senyummu gitu?" tanyaku."Nggak apa-apa.""Kamu nggak seneng aku ajak makan di luar?" tanyaku."Seneng.""Tatap lawan bicaramu, Al!" pintaku.Allea menatapku. Tatapannya sedikit sayu. "Kalau keluar, nggak bisa, ya, pakai bedak dikit dan lipstik? Biar seger aja wajahmu itu," celetukku."Nggak sempat.""Buktinya kemarin-kemarin bisa," omelku."Itu aku nyuri waktu dan kamu lihat sendiri apa akibatnya, kan? Apa aja benda-benda yang dijatuhin anak-anak?" Pertanyaan Allea seperti memancing amarahku. Padahal, aku hanya memintanya berdandan tipis."Al, jangan pancing emosiku!" kataku."Makanya, bantuin jaga anak-anak kalau aku sibuk dengan diriku sendiri. Kamu meminta aku dandan, tapi kamu nggak mau jagain mereka." Allea menjadi kesal kepadaku, terlihat dari nada bicaranya yang sangat tidak ramah."Kok, kamu nyolot? Kamu nyalahin aku?" protesku.Allea hanya diam. Sesampainya di tempat makan yang kami tuju, Allea segera turun. Sambil menggendong Arvin, dia membantu Ansel dan Afkar untuk turun."Bantuin gandeng salah satu, Mas!" titah Allea."Apaan, sih? Mereka udah gede," jawabku. Tidak berguna sekali perintah Allea. Namun, aku terkejut saat melihat Ansel berlari ke arah lain. Allea yang masih menggendong Arvin pun mengejar. Tangan kanannya masih tetap menggandeng Afkar. Aku pun ikut mengejar mereka. Ingin rasanya aku memarahi Ansel. Membuat malu saja berlarian di tempat umum."Sayang, ini di tempat umum. Bukan waktunya untuk bermain. Kita ke sini untuk makan. Kalau ingin main, nanti di rumah saja, ya! Di dalam sana ada es krim, kamu mau?" tanya Allea kepada Ansel.Ansel mengangguk. Afkar juga ikut berseru. Mereka memang sangat suka es krim. Allea selalu membuatkan es krim yang lezat dan bergizi untuk mereka ketika di rumah.Saat makan, aku melihat Allea repot sendiri dengan tiga anak kami. Dia bahkan hanya makan sedikit. Waktu Allea terbuang banyak untuk menyuapi tiga putra kami secara bergantian. Sungguh, lama sekali! Namun, aku melihat Allea begitu sabar melakukannya.***Dua hari aku habiskan waktu di luar kota untuk urusan pekerjaan. Aku merasa sangat lelah dan tak sabar ingin segera tiba di rumah. Pasti Allea dan anak-anak juga sudah merindukan aku.Setibanya di rumah, aku terkejut bukan main. Rumah seperti kapal pecah. Entah apa saja yang dilakukan Allea selama dua hari ini. Bola-bola kecil berserakan di lantai."Allea!" Aku memanggilnya dengan nada tinggi. Kali ini aku benar-benar marah.Allea keluar dengan penampilan yang seperti biasa, kacau! "Iya, Mas? Udah pulang? Kenapa nggak ngabarin aku? Bawa kunci cadangan?""Nggak usah banyak tanya! Itu kenapa rumah berantakan, ha? Kamu ngapain aja, Al?" sentakku."Ansel tantrum, Mas. Nggak tahu jelas apa yang diminta. Katanya minta mainan, tapi tiga kotak mainan itu nggak ada yang cocok," jelasnya."Terus kamu diam aja? Beresin, Allea!" Tidak aku pedulikan meski aku membentaknya dengan nada tinggi."Iya, barusan amarah Ansel mereda. Arvin tadi ikut nangis lihat kakaknya tantrum. Afkar juga merengek terus minta dibuatkan puding. Jadi, aku nenangin mereka dulu," tuturnya."Nggak usah curhat! Pulang ke rumah bukannya seneng, tapi malah emosi. Bisa nggak, sih, kamu itu senengin aku dikit? Bisa nggak, aku pulang itu rumah rapi dan bersih? Terus kamu juga cantik dan wangi, bisa nggak? Jujur, ya! Aku eneg lihat penampilanmu yang nggak karuan begini. Mana bau masakan! Ditambah rumah yang seperti kapal pecah. Lama-lama aku pilih tidur di kantor aja, Al! Pusing lihat beginian terus di rumah," celetukku kesal.Aku pergi meninggalkan Allea. Setelah mandi, aku bersiap untuk tidur. Tubuhku benar-benar lelah. Sengaja aku mengunci pintu kamar agar anak-anak tidak keluar masuk menggangguku.***Mataku terbuka perlahan. Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Rupanya aku tertidur cukup lama. Aku segera mencuci muka dan mecari Allea. Dia pasti sudah menyiapkan sarapan lezat dan kopi untukku.Ada yang berbeda pagi ini. Suasana tampak sepi. Tidak ada bau masakan dan kamar anak-anak masih tertutup rapat. Segera aku membukanya, tetapi kosong. Aku pergi ke ruang tengah, juga tidak ada siapapun."Al!" Aku segera pergi ke dapur dan tidak mendapati Allea. Tidak ada sarapan dan kopi yang tersaji untukku. Tempat cucian piring juga bersih. Panci dan wajan juga tersusun rapi."Apa Allea tidak masak? Apa mungkin dia beli? Terus anak-anak ke mana?" Aku terus bertanya-tanya.Tidak ada anak-anak di rumah ini. Entah ke mana mereka. Aku pun kembali ke kamar anak. Tempat tidur mereka sudah rapi. Namun, ada yang aneh saat ada lemari yang sedikit terbuka. Betapa terkejutnya saat mendapati lemari pakaian anakku—kosong. Kulihat dua koper di atas lemari juga tidak ada. Sepatu anak-anak juga sebagian tidak ada di tempat.Aku berlari ke dapur dan tidak mendapati satu pun kaleng susu Arvin. Tiga botol susu Arvin juga tidak ada. Entah kenapa pikiranku macam-macam sejak melihat lemari kosong tadi. Ditambah peralatan Arvin tidak ada di tempat. Semoga dugaanku salah. Pandanganku tiba-tiba tertuju ke arah lemari pendingin. Ada sebuah kertas menempel di sana yang bertuliskan 'Aku lelah'.CCTV! Ya, beberapa hari yang lalu aku memasang CCTV. Aku harus memeriksanya sekarang. Mungkin saja Allea hanya bercanda. Tidak mungkin jika dia pergi dariku. Itu mustahil!Sekarang aku tahu kenapa Gideon memaksa memasang kamera tersembunyi. Sekarang aku paham kenapa Gideon menyebut istriku gila. Aku mengerti kenapa Gideon memintaku untuk menjaga kewarasan Allea. Layar di hadapanku telah menunjukkan semua aktivitas Allea. Apa itu wanitaku selama ini? Wanita yang bertahun-tahun meminta pengasuh atau asisten, tetapi tidak pernah kupenuhi. Di sela-sela kesibukan Allea sebagai ibu rumah tangga, kulihat rambutnya ditarik, tubuh kecilnya diperebutkan anak-anak untuk dinaiki. Namun, aku tidak melihat Allea marah dalam posisi itu. Dia justru menggoda anak-anak dan membuat mereka tertawa. Satu hal yang membuatku terkejut, yaitu Allea makan hanya saat anak-anak tidur, tepat di malam hari. Memang, saat libur kerja, aku pernah melihat Allea diganggu anak-anak ketika makan. Apakah itu berlangsung setiap hari sehingga membuat Allea baru bisa mendapatkan waktu makan saat malam? Bodoh! Aku sangat bodoh! Kenapa aku tidak bisa memahami istriku selama ini? Cukup! Aku ti
"Pak Reno, dasinya masih belum rapi," ucap Monica saat aku sudah kembali ke ruangan. "Jika diizinkan, saya akan membantu," ujarnya lagi. Tidak mungkin juga aku bertemu orang-orang dengan dasi berantakan seperti ini. Aku terdiam menatap Monica kemudian mengangguk. "Silakan!" kataku terpaksa.Monica mendekat dan merapikan dasiku. Aku memintanya agar melakukan itu dengan cepat karena takut ada karyawan lain yang melihat. Bisa jadi kacau kalau sampai ada yang salah paham. "Memangnya istri Pak Reno ke mana, sih? Pakaian kusut, dasi berantakan. Apa sibuk ngurus tiga anak sampai lupa dengan suami?"Segera aku menjauhkan diri dari Monica. Lancang sekali pertanyaannya. "Sopan kamu bertanya seperti itu?" hardikku. "Ma–maaf! Saya tidak bermaksud begitu.""Kamu tidak tahu apa saja yang Allea lakukan untuk saya. Jaga bicaramu tentang Allea jika ingin tetap bekerja di sini!" ancamku kepadanya. Monica tertunduk. Entah apa yang dipikirkan sekarang. Apakah aku berlebihan? Mungkin, tapi yang jelas
Tanpa menunggu lama, aku segera meluncur ke taman. Aku melaju dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampai. Mudah-mudahan saja mereka masih di sana. Untung jarak rumah ini ke Taman Pelangi tidaklah jauh. Pandanganku langsung tertuju ke arah Mbak Veni di tempat parkir mobil. Kulihat dia seperti menghalangi Allea. Aku segera ke sana dan turun dari mobil. "Allea!" seruku. Allea berlari entah ke mana. Aku dan Mbak Veni mengejar. Sementara, Mas Bram kulihat bersama anak-anakku di mobil. Allea terus berlari ke arah keramaian sehingga membuatku susah mendapatkannya. Dia seperti orang ketakutan saat melihatku. "Argh! Sial!" Aku tak sengaja menabrak seseorang yang tengah makan sosis. Sosisnya terjatuh dan sausnya mengotori pakaianku. Dia marah dan ibunya menahanku. Sementara, kulihat Mbak Veni terus mengejarnya. Anak remaja yang sosisnya terjatuh itu minta ganti rugi. Aku memberinya selembar uang berwarna biru. Kulanjutkan langkah dan mendapati Mbak Veni tengah berhenti dengan napas tersen
(POV Allea)Dia adalah pria yang mengejarku enam tahun lalu. Baru beberapa bulan menjadi sekretaris pribadinya, dia sudah melamar diriku. Dia mengungkapkan ketertarikannya kepada diri ini. Awalnya aku ragu dan tidak memberi jawaban. Namun, dia tidak menyerah dan terus mendatangi orangtuaku. Bahasa cintanya selalu tersirat. Mas Reno ibarat tokoh fiksi di dunia novel yang sering kubaca. Seorang atasan yang bucin terhadap bawahannya. Ya, itulah Mas Reno. Pada akhirnya, Mas Reno berhasil mengambil hati orangtuaku. Akhirnya, ayah dan ibu mendesakku supaya menerima lamaran Mas Reno. Mbak Veni sering menemuiku agar menerima lamaran adiknya itu. Sedikit memaksa, bukan? Ya sudah, aku terima saja karena dari berbagai pihak sudah banyak yang mendukung. Mas Reno bahkan tidak sungkan menunjukkan ketertarikannya kepadaku di hadapan teman-teman kantor. Seiring berjalannya waktu, pernikahan kami berlangsung bahagia. Kelahiran anak pertama—Afkar—semakin menambah kebahagiaan kami. Selang beberapa bu
(POV Allea)Bu Yeni menemuiku dan mengajakku bicara empat mata. Wanita tua itu meminta kejelasan, sejelas-jelasnya tentang hubunganku dengan Mas Reno. Jujur, aku tidak bisa berbicara banyak karena mengingat dirinya saja sudah membuatku sangat tertekan. Lagi-lagi Bu Yeni memahamiku. Entah mimpi apa aku bisa bertemu orang sebaik Bu Yeni. ***Hari ini Bu Yeni ingin mengajak anak-anak ke Taman Pelangi. Awalnya aku keberatan dan tidak setuju karena taman itu dekat dengan rumah Mas Reno. Namun, Bu Yeni memaksa karena ingin melihat anak-anak bermain bebas dan jajan di sana. Memang, taman itu sangat luas. Cocok untuk semua kalangan dan sudah dilengkapi aneka jajanan yang cukup banyak."Sekali ini aja, Lia! Aku juga pengin jalan-jalan sama anak kecil. Aku suka iri kalau lihat seseorang main sama cucu-cucunya. Apalagi si Arga itu nggak nikah-nikah," curhatnya kepadaku. Memang, Bu Yeni hanya memiliki satu putra, yaitu Arga. Apalagi di usianya yang tak lagi muda ini sedang membutuhkan teman agar
(Kembali ke POV Reno)Sudah tiga hari ini, aku mengurus anak-anak seorang diri. Mbak Veni? Pulang karena si kembar mendadak sakit. Allea juga tidak datang sampai detik ini. Entah kenapa ibu dari anak-anakku itu sangat tega. Kupikir dia akan kembali. Jika tidak demi diriku, setidaknya demi anak-anak. Rumah, aku bersihkan seadanya. Makan, aku pesan melalui aplikasi. Aku tidak sanggup jika harus memasak. Selain tidak ahli, anak-anak juga selalu mengganggu. Semua pakaian mereka kusut karena aku tidak bisa menyetrikanya bahkan tidak ada waktu. Belum lagi mereka kompak mencari ibunya. Pekerjaan juga menjadi kacau. Terpaksa aku harus bekerja dari rumah. Datang ke kantor hanya beberapa saat kemudian kembali lagi. Saat pergi, anak-anak kutinggal di rumah. Seluruh pintu dan jendela aku kunci. Barang-barang yang mudah pecah dan benda tajam sudah aku amankan. Semua mainan mereka aku berikan supaya tidak mencari saat aku pergi. Pengasuh? Ya, aku saat ini sedang berusaha mencari pengasuh. Aku ti
Senyumku hilang seketika. Kupikir dia adalah Allea, ternyata bukan. "Hai, Pak Reno!" "Ada apa, Mon?" tanyaku kepada Monica. "Saya bawa makanan untuk Pak Reno dan anak-anak."Monica menyerahkan rantang susun kepadaku. "Kenapa kamu repot-repot?" tanyaku. "Nggak repot, kok, Pak. Saya cuma ingin berbagi makanan aja." Aku menerima makanan pemberian Monica. Memang, dia sudah tahu perihal kepergian Allea. "Terima kasih," ujarku kemudian. "Di mana anak-anak? Boleh saya menemui mereka?" Aku hanya mengangguk kemudian mempersilakan Monica untuk masuk. "Hai!" Monica menyapa anak-anak. Mereka hanya menoleh kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Ansel menghampiriku yang membawa rantang. "Apa itu, Pa?" tanyanya penasaran. "Makanan dari Tante Monica. Mau?" tawarku. Ansel mengangguk. Afkar yang sibuk dengan makanannya pun turut mendekat. "Biar saya bantu siapkan, ya. Saya ambilkan sesuatu, ya, Pak." Monica berdiri dan entah akan ke mana. "Kamu mau ke mana?" tanyaku. "Ke dapur." "Dudu
Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku? Di saat aku dan anak-anak sedang membutuhkan Allea, kabar buruk tengah menimpa kami. Pantas jika tadi perasaan mendadak tidak enak saat melihat mobil yang kecelakaan di dekat jembatan. Mbak Veni dan Monica berada di rumah untuk menjaga anak-anak. Aku dan Mas Bram pergi untuk mencari keberadaan Alleaku yang dikabarkan jatuh ke bawah jembatan.Pikiran dan perasaanku saat ini benar-benar tidak karuan. Segala kemungkinan buruk terus terlintas. Meski Mas Bram memintaku untuk tetap berpikir positif, tetap saja tidak bisa. Alleaku mengalami kecelakaan dan jatuh ke bawah jembatan. Bagaimana aku bisa berpikir positif?Setibanya di lokasi kejadian, pikiran semakin kacau melihat ada mobil yang terguling di tepian sungai yang mengalir. Kupikir tadi adalah kecelakaan tunggal, ternyata di bawah sini ada mobil yang katanya ditumpangi oleh Allea. Separuh jiwaku seolah hilang. Tubuh mendadak lemas apalagi saat mengetahui sungai yang mengalir di bawah sini cuku
"Kenapa? Anak Mas Reno, 'kan, anak kamu juga. Masa', kamu mau sama bapaknya aja?" Sindiran Allea membuatku geleng-geleng kepala. "Al, udah!" ucapku. Kulihat Monica menggeleng pelan. "M–maaf, Bu. Saya tidak bermaksud ingin menjadi sugar baby atau istri ke dua. Tadi saya hanya bercanda saja," ucapnya kemudian. "Benar, 'kan, kalau mau jadi istri ke dua?" tanya Allea lagi.Monica menggeleng cepat. "Saya hanya bercanda, Bu. Maaf!" "Bercanda?" Allea mengernyit. "I–iya Bu. Saya hanya bercanda, kok. Maaf, ya! Saya pamit pulang dulu, permisi!" ujar Monica kemudian beranjak pergi. Aku melongo, nyali Monica menciut begitu saja setelah mendapat omongan sepanjang jalan kenangan dari Allea. Sok garang di belakang Allea. Nyatanya takut juga. Setelah Monica pergi, aku segera mengajak Allea masuk. Banyak pertanyaan yang akan kuberikan kepadanya. "Bu Dewi masih bekerja di sini, kenapa kamu mengatakan itu? Kamu mau memecatnya?" tanyaku. "Nggaklah, Mas." "Terus kamu hamil beneran?" tanyaku pena
"Masuk aja, yuk!" ajak Allea kepada Monica. "Terima kasih, Bu, tapi saya di sini saja. Saya hanya sebentar, kok," jawab Monica. "Kenapa?" tanya Allea. "Tidak apa-apa, Bu. Di sini saja," jawabnya. Untungnya dia menolak. Meski dia tidak memberitahu alasan menolak ajakan Allea untuk masuk, tetapi aku dapat menebak bahwa dia takut dengan kemoceng. "Kalau gitu, aku buatkan minum dulu, ya." Allea bergegas masuk untuk membuat minum.Aku dan Monica duduk di teras. Dia terus memperhatikan Allea yang melangkah ke dalam."Ada apa, Mon?" tanyaku."Nggak apa-apa. Cuma pengin tahu keadaan Pak Reno saja. Saya juga mau ngasih tahu kalau saya sudah pindah bekerja dan pindah kontrakan.""Terus? Apa hubungannya sama saya?" tanyaku heran."Ya ... saya cuma memberitahu. Siapa tahu Pak Reno kembali bekerja di kantor yang dulu terus mencari keberadaan saya."Aku menahan tawa mendengar penuturannya yang sangat percaya diri. "Mon, mana mungkin saya nyariin kamu. Saya juga sudah tidak bekerja di sana lagi
Allea tertawa kecil. "Kan, tadi udah," jawabnya."Peluk, dong! Aku kangen," rayuku setengah berbisik."Al, satu tahun aku cari kamu. Pulang kerja cari kamu. Malam pun cari kamu. Aku berdiam diri di tempat kamu hilang sambil menunggumu datang. Aku mengabaikan orang-orang yang menganggap aku gila," sambungku.Allea berkaca-kaca sambil menggigit bibir bawah. Dia pun mendekatkan anak-anak kepadaku. Dia memeluk kami dengan penuh cinta."Aku juga rindu kalian semua," balasnya dengan manis."Anak-anak udah makan?" tanyanya kemudian."Mereka udah makan. Aku juga udah makan tadi. Kamu pasti lapar, ya? Kamu makan dulu. Bu Dewi tadi masak banyak karena memang banyak orang berdatangan," ucapku.Perut Allea terdengar keroncongan. Aku segera memintanya makan kemudian kembali bercengkrama denganku. Dia beranjak meninggalkanku. Namun, Afkar menahan tubuh Allea. Rupanya, bocah enam tahun itu masih rindu."Kangen, ya, sama mama," kata Allea. Afkar hanya mengangguk."Biar makanannya dibawakan ke sini sa
(Kembali ke POV Reno)Penjelasan wanita yang sedang berada di kursi roda itu membuatku terkejut. Mbak Veni dan Mas Bram tega menggunakan Allea sebagai alat untuk kekayaan mereka. Kurang ajar memang pasangan suami istri itu. Sel tahanan adalah tempat yang cocok bagi mereka.Bu Yeni tiba-tiba mendapat kabar bahwa putranya telah ditangkap dan Allea akan tiba dalam beberapa saat. Wanita yang ada di kursi roda itu pamit pergi. Rasanya memang tidak tega melihat putra satu-satunya akan diproses hukum, tetapi itu juga keputusannya sendiri. Aku menyebut Bu Yeni sebagai wanita hebat karena mendidik anak tidak sekedar ucapan, tetapi juga tindakan.Kudengar suara orang ramai-ramai memasuki rumah. Aku masih di kamar dan belum latihan berjalan jauh. Hanya duduk dan mencoba menapak lantai sambil belajar berdiri beberapa detik kemudian maju dua langkah lalu duduk lagi."Alhamdulillah, akhirnya pulang dengan selamat." Itu seperti suara asisten Mbak Veni."Mama kangen," ucap seorang wanita yang suarany
Gawat! Ada yang mencurigaiku. Namun, aku tetap tertawa layaknya Miss K. Tiba-tiba saja Arga menarik tubuhku dengan kasar dan menatapku. Aku menatapnya dengan senyum menyeringai."Kamu hanya pura-pura supaya bisa menghindar dariku? Begitu?" tanya Arga."Rawwrrrrr!" Aku mengerang dan mendorong tubuhnya. Kudekati Arga yang mulai takut. Kulingkarkan jari-jemariku di lehernya."Hihihihi ....""Lia! Le–lepas ...." Arga merintih.Aku tersenyum puas menatap Arga yang ketakutan. Kudorong tubuhnya hingga dia terjatuh. Aku menoleh ke arah anak buah Arga. Mereka semua mulai ketakutan menatapku."Hihihihi ...."Semakin aku melangkah, mereka semakin mundur. Kulempar meja kecil yang ada di hadapanku sambil tertawa. Mereka semua lari keluar rumah. Payah! Ini masih baru lempar meja. Aku pun kembali menatap Arga yang masih tidak berkutik. Kudekati dia dan betapa terkejutnya aku. Astaga! Arga ngompol."Hihihihi ...." Untung saja tawa lepas ini dapat tersalurkan melalui tawa Miss K. "Iiiiihihihihi ...."
"Terus gimana? Cuma ini tempat yang aman dari kejaran polisi," ucap Arga.Hah? Arga dikejar polisi? Kasus apa? Sungguh, aku masih bingung.Aku terus berjalan dan duduk di anak tangga. Rambut acak-acakan yang terus kumainkan dengan gaun putih yang kukenakan benar-benar mendukung sandiwara ini."Na na na ... hihihi ...."Mereka terus memperhatikan diriku. Penakut semua! Mereka tidak ada yang berani mendekat. Namun, seseorang yang memakai peci itu dilepas ikatannya dan perlahan berjalan ke arahku. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang diikat Arga tadi."Siapa kau sebenarnya?" tanyanya.Aku tidak mengindahkan. Hanya kulirik sekejap lalu kembali memainkan rambut dan bersenandung."Keluar dari tubuh ini!"Aku menggeleng pelan. Namun, pria itu tiba-tiba memegang kepalaku. Dia membacakan doa kepadaku. Aku ini hanya pura-pura. Doa itu tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Aku ikuti saja doa yang dia bacakan. Sontak saja semua orang terkejut dan semakin takut.Arga? Nyalinya menciut. D
(POV Allea)Mataku berbinar-binar. Pria yang berprofesi sebagai ojek online itu mengetahui alamat Mas Reno. Beliau mengaku bahwa Mas Reno menyebar poster di mana-mana yang menyertakan alamatnya. Beliau segera memintaku naik ke atas motornya dan melakukan perjalanan. Namun, ada yang aneh ketika di tengah-tengah perjalanan."Loh, Pak? Ini kenapa?" tanyaku yang merasa motor ini meliuk-liuk.Motor berhenti dan kami pun turun. Ban motornya kempes. "Waduh, maaf! Bocor, Mbak," jelasnya.Aku melihat ban motor itu benar-benar kempes. "Ya sudah, kita cari bengkel ayo, Pak!" ajakku."Mbak nggak apa-apa menunggu ban ini ditambal?""Nggak apa-apa.""Mbak, bengkelnya jauh. Mbak tunggu di warung itu aja! Nanti saya kemari.""Nggak apa-apa saya temani! Mari saya bantu dorong! Jalannya nanjak begini, Pak," kataku.Kami segera pergi untuk mencari bengkel. Tidak masalah meski jauh, yang penting nanti aku sampai di rumah. Namun, baru beberapa saat berjalan, sebuah mobil sedan berhenti di samping kami. Du
(POV Allea)Nama itu seperti tidak asing. Reno, Arvin, Ansel, Afkar. Siapa mereka? Kenapa aku selalu menangis saat mendengar nama-nama itu? Sejak kedatangan pria itu di rumah calon mertua, hariku selalu gelisah. Entah kenapa pikiran selalu tertuju kepada mereka, padahal aku tidak mengenalnya.Mendekati hari pernikahan, perasaanku mendadak hambar kepada Arga. Mungkin aku terlalu banyak memikirkan pria bernama Reno itu. Berulang kali aku menyadarkan diri bahwa Arga adalah calon suamiku. Harusnya Arga yang ada di pikiran, bukan pria bernama Reno.Bu Yeni, calon mertuaku itu mendesak aku kembali kepada Reno secara tiba-tiba. Padahal, aku tidak mengenal siapa itu Reno. Entah kenapa Bu Yeni jadi membela pria itu. Sempat terpikir bahwa Bu Yeni tidak mengharapkanku sebagai menantu. Namun, saat itu Arga berusaha meyakinkan diriku dan mengatakan bahwa ibunya sedang di bawah pengaruh Reno.***Detik-detik pernikahan, pikiran semakin tidak karuan. Hati selalu gelisah. Entah perasaan apa ini. Ber
Tengah malam pun tiba. Namun, Bu Dewi tak kunjung menemuiku. Mbak Veni? Mungkin dia sedang bertepuk tangan atas kebahagiaan si bejat itu. Aku penasaran dengan reaksi Mbak Veni setelah mengetahui bahwa yang dinikahi Arga adalah Allea.Tubuh ini seperti mati rasa karena terlalu lama berbaring. Tidak apa, lebih baik aku tiada saja daripada harus melihat Allea menjadi istri orang lain. Esok, akan kuminta Mas Bram untuk menambahkan ikatan ini atau aku akan menyuruhnya menghabisiku secara terang-terangan.Lelah rasanya hidup di tengah orang-orang munafik. Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Allea kala itu. Janganlah kita terlalu mempercayai orang lain meski itu saudara sendiri. Allea juga pernah mengatakan supaya kami tidak terlalu berharap kepada sesama manusia sekalipun itu sedarah sekandung. Meski tidak semua orang begitu, tetapi berjaga-jaga itu lebih baik. Dalamnya hati manusia tak ada yang tahu. Khawatir ujung-ujungnya akan mengecewakan seperti yang kualami.Tuhan. Ya, selama ini aku