(Kembali ke POV Reno)Penjelasan wanita yang sedang berada di kursi roda itu membuatku terkejut. Mbak Veni dan Mas Bram tega menggunakan Allea sebagai alat untuk kekayaan mereka. Kurang ajar memang pasangan suami istri itu. Sel tahanan adalah tempat yang cocok bagi mereka.Bu Yeni tiba-tiba mendapat kabar bahwa putranya telah ditangkap dan Allea akan tiba dalam beberapa saat. Wanita yang ada di kursi roda itu pamit pergi. Rasanya memang tidak tega melihat putra satu-satunya akan diproses hukum, tetapi itu juga keputusannya sendiri. Aku menyebut Bu Yeni sebagai wanita hebat karena mendidik anak tidak sekedar ucapan, tetapi juga tindakan.Kudengar suara orang ramai-ramai memasuki rumah. Aku masih di kamar dan belum latihan berjalan jauh. Hanya duduk dan mencoba menapak lantai sambil belajar berdiri beberapa detik kemudian maju dua langkah lalu duduk lagi."Alhamdulillah, akhirnya pulang dengan selamat." Itu seperti suara asisten Mbak Veni."Mama kangen," ucap seorang wanita yang suarany
Allea tertawa kecil. "Kan, tadi udah," jawabnya."Peluk, dong! Aku kangen," rayuku setengah berbisik."Al, satu tahun aku cari kamu. Pulang kerja cari kamu. Malam pun cari kamu. Aku berdiam diri di tempat kamu hilang sambil menunggumu datang. Aku mengabaikan orang-orang yang menganggap aku gila," sambungku.Allea berkaca-kaca sambil menggigit bibir bawah. Dia pun mendekatkan anak-anak kepadaku. Dia memeluk kami dengan penuh cinta."Aku juga rindu kalian semua," balasnya dengan manis."Anak-anak udah makan?" tanyanya kemudian."Mereka udah makan. Aku juga udah makan tadi. Kamu pasti lapar, ya? Kamu makan dulu. Bu Dewi tadi masak banyak karena memang banyak orang berdatangan," ucapku.Perut Allea terdengar keroncongan. Aku segera memintanya makan kemudian kembali bercengkrama denganku. Dia beranjak meninggalkanku. Namun, Afkar menahan tubuh Allea. Rupanya, bocah enam tahun itu masih rindu."Kangen, ya, sama mama," kata Allea. Afkar hanya mengangguk."Biar makanannya dibawakan ke sini sa
"Masuk aja, yuk!" ajak Allea kepada Monica. "Terima kasih, Bu, tapi saya di sini saja. Saya hanya sebentar, kok," jawab Monica. "Kenapa?" tanya Allea. "Tidak apa-apa, Bu. Di sini saja," jawabnya. Untungnya dia menolak. Meski dia tidak memberitahu alasan menolak ajakan Allea untuk masuk, tetapi aku dapat menebak bahwa dia takut dengan kemoceng. "Kalau gitu, aku buatkan minum dulu, ya." Allea bergegas masuk untuk membuat minum.Aku dan Monica duduk di teras. Dia terus memperhatikan Allea yang melangkah ke dalam."Ada apa, Mon?" tanyaku."Nggak apa-apa. Cuma pengin tahu keadaan Pak Reno saja. Saya juga mau ngasih tahu kalau saya sudah pindah bekerja dan pindah kontrakan.""Terus? Apa hubungannya sama saya?" tanyaku heran."Ya ... saya cuma memberitahu. Siapa tahu Pak Reno kembali bekerja di kantor yang dulu terus mencari keberadaan saya."Aku menahan tawa mendengar penuturannya yang sangat percaya diri. "Mon, mana mungkin saya nyariin kamu. Saya juga sudah tidak bekerja di sana lagi
"Kenapa? Anak Mas Reno, 'kan, anak kamu juga. Masa', kamu mau sama bapaknya aja?" Sindiran Allea membuatku geleng-geleng kepala. "Al, udah!" ucapku. Kulihat Monica menggeleng pelan. "M–maaf, Bu. Saya tidak bermaksud ingin menjadi sugar baby atau istri ke dua. Tadi saya hanya bercanda saja," ucapnya kemudian. "Benar, 'kan, kalau mau jadi istri ke dua?" tanya Allea lagi.Monica menggeleng cepat. "Saya hanya bercanda, Bu. Maaf!" "Bercanda?" Allea mengernyit. "I–iya Bu. Saya hanya bercanda, kok. Maaf, ya! Saya pamit pulang dulu, permisi!" ujar Monica kemudian beranjak pergi. Aku melongo, nyali Monica menciut begitu saja setelah mendapat omongan sepanjang jalan kenangan dari Allea. Sok garang di belakang Allea. Nyatanya takut juga. Setelah Monica pergi, aku segera mengajak Allea masuk. Banyak pertanyaan yang akan kuberikan kepadanya. "Bu Dewi masih bekerja di sini, kenapa kamu mengatakan itu? Kamu mau memecatnya?" tanyaku. "Nggaklah, Mas." "Terus kamu hamil beneran?" tanyaku pena
Seperti biasa, aku selalu disuguhkan oleh pemandangan yang tak aku suka. Bukannya dandan cantik saat suami pulang, Allea justru menyambutku dengan penampilan yang berantakan. Rambut dicepol satu, wajah tak sedap dipandang, daster yang kedodoran, itulah istriku. Meski aku datang dengan raut wajah tak suka, tetapi dia selalu tersenyum seolah tak tahu jika aku membenci penampilannya ini. "Kamu belum mandi?" tanyaku seraya menahan aroma tubuh istriku."Aku baru selesai masak dan memandikan anak-anak. Sebentar lagi aku akan mandi, tapi kamu gantian jaga mereka, ya!" balasnya enteng."Kamu nggak tahu aku capek kerja? Aku pulang ke rumah untuk istirahat. Ini malah disuruh jaga anak-anak. Gimana, sih?" gerutuku kesal. "Lagian, kenapa kamu belum mandi jam segini?" tanyaku."Tadi Arvin mecahin banyak telur. Waktuku tersita untuk membersihkan telur-telur yang berceceran di lantai," jawabnya.Seketika aku naik pitam. "Bagaimana bisa? Kamu jadi ibu itu gimana? Kenapa bisa Arvin mecahin banyak tel
Selesai menerima pijatan dari Allea, aku memutuskan menonton televisi seraya bermain ponsel. Kulihat dia sedang sibuk di dapur. Baguslah! Biar dia ada kesibukan dan tidak tidur terlalu awal. Aku segera bangkit dan menghampiri Allea ketika tiba-tiba teringat sesuatu. "Al, besok aku akan ada pertemuan penting. Siapkan kemeja hitam yang baru kubeli beberapa waktu lalu! Jas hitam juga sudah harus siap! Bersihkan juga sepatuku! Jangan sampai ada kotoran sedikit pun!" pintaku. "Iya, Mas," jawabnya tanpa menoleh ke arahku. "Al, kamu dengar, tidak?" tanyaku geram. Aku tidak suka jika lawan bicara tidak memperhatikanku. Allea mematikan kran kemudian mengusap tangan dengan lap yang menggantung di dinding. Dia mendekatiku dan tersenyum. "Iya, aku dengar. Aku akan siapkan setelah ini, sekalian menyetrika pakaian," jawabnya lembut. "Ya udah, aku mau tidur," ujarku kemudian pergi meninggalkan Allea. Sudah menjadi kebiasannya beraktivitas di malam hari. Entah itu cuci piring, cuci baju, dan me
Allea pergi begitu saja. Aku pun bergegas pergi ke ruang tamu untuk menemui teman-teman. Entah apa yang sudah mereka katakan terhadapku. Allea benar-benar mengacaukan semuanya. Setelah berbincang-bincang, aku mengajak mereka ke ruang makan. Untung saja mainan di ruang tengah sudah tidak lagi berserakan. Kali ini kerja Allea sudah benar. Tanpa diperintah, dia sudah mengerti apa yang harus dia lakukan. Entah di mana dia sekarang. Tidak ada lagi suara anak-anak. Mungkinkah Allea menidurkan mereka? "Di mana istrimu?" tanya Dani. "Mungkin nidurin anak-anak," jawabku. "Panggil, dong! Kasihan dia. Ajak makan bareng-bareng!" kata Dani. Aku bergegas mencari Allea dan mendapati ia menidurkan tiga anak kami. Baguslah jika begitu. Aku memberi isyarat kepada Allea agar segera keluar dan bergabung dengan teman-teman. Makan malam kali ini dipenuhi pujian dari teman-teman. Mereka memuji kesuksesanku, kelezatan masakan istriku, dan kehebatan istriku yang mampu mengurus rumah serta tiga anak tan
Segera aku membawa Allea rumah sakit. Entah kenapa dia begitu lemah. Awalnya dia sangat sehat, tetapi justru pingsan saat di pesta pernikahan temanku. Pasti besok akan jadi bahan perbincangan. Sungguh, Allea membuatku malu! Dokter mengatakan jika ada masalah di lambung Allea. Selain itu, tekanan darahnya juga rendah. Dokter menasehatiku panjang lebar supaya menjaga kesehatan Allea. Aku hanya mengangguk kemudian mengajak Allea pulang. "Kamu malu-maluin banget, sih? Kenapa harus pingsan di acara pernikahan temanku?" protesku kepada wanita yang mengenakan dress hitam itu. "Maaf!" Singkat sekali jawabannya. Hanya maaf, itu saja. Sepanjang perjalanan pulang, aku memang memarahi Allea. Tak kupedulikan dia yang tengah sakit. Itu hanya sakit biasa. Tadi, dokter sempat mengatakan jika Allea terlalu stres. Memangnya stres kenapa dia? Uang bulanan juga selalu aku kasih lebih. Mana mungkin stres?!Allea hanya diam. Menjawab pun hanya anggukan kepala. Dia pikir, dengan pura-pura lemah seperti
"Kenapa? Anak Mas Reno, 'kan, anak kamu juga. Masa', kamu mau sama bapaknya aja?" Sindiran Allea membuatku geleng-geleng kepala. "Al, udah!" ucapku. Kulihat Monica menggeleng pelan. "M–maaf, Bu. Saya tidak bermaksud ingin menjadi sugar baby atau istri ke dua. Tadi saya hanya bercanda saja," ucapnya kemudian. "Benar, 'kan, kalau mau jadi istri ke dua?" tanya Allea lagi.Monica menggeleng cepat. "Saya hanya bercanda, Bu. Maaf!" "Bercanda?" Allea mengernyit. "I–iya Bu. Saya hanya bercanda, kok. Maaf, ya! Saya pamit pulang dulu, permisi!" ujar Monica kemudian beranjak pergi. Aku melongo, nyali Monica menciut begitu saja setelah mendapat omongan sepanjang jalan kenangan dari Allea. Sok garang di belakang Allea. Nyatanya takut juga. Setelah Monica pergi, aku segera mengajak Allea masuk. Banyak pertanyaan yang akan kuberikan kepadanya. "Bu Dewi masih bekerja di sini, kenapa kamu mengatakan itu? Kamu mau memecatnya?" tanyaku. "Nggaklah, Mas." "Terus kamu hamil beneran?" tanyaku pena
"Masuk aja, yuk!" ajak Allea kepada Monica. "Terima kasih, Bu, tapi saya di sini saja. Saya hanya sebentar, kok," jawab Monica. "Kenapa?" tanya Allea. "Tidak apa-apa, Bu. Di sini saja," jawabnya. Untungnya dia menolak. Meski dia tidak memberitahu alasan menolak ajakan Allea untuk masuk, tetapi aku dapat menebak bahwa dia takut dengan kemoceng. "Kalau gitu, aku buatkan minum dulu, ya." Allea bergegas masuk untuk membuat minum.Aku dan Monica duduk di teras. Dia terus memperhatikan Allea yang melangkah ke dalam."Ada apa, Mon?" tanyaku."Nggak apa-apa. Cuma pengin tahu keadaan Pak Reno saja. Saya juga mau ngasih tahu kalau saya sudah pindah bekerja dan pindah kontrakan.""Terus? Apa hubungannya sama saya?" tanyaku heran."Ya ... saya cuma memberitahu. Siapa tahu Pak Reno kembali bekerja di kantor yang dulu terus mencari keberadaan saya."Aku menahan tawa mendengar penuturannya yang sangat percaya diri. "Mon, mana mungkin saya nyariin kamu. Saya juga sudah tidak bekerja di sana lagi
Allea tertawa kecil. "Kan, tadi udah," jawabnya."Peluk, dong! Aku kangen," rayuku setengah berbisik."Al, satu tahun aku cari kamu. Pulang kerja cari kamu. Malam pun cari kamu. Aku berdiam diri di tempat kamu hilang sambil menunggumu datang. Aku mengabaikan orang-orang yang menganggap aku gila," sambungku.Allea berkaca-kaca sambil menggigit bibir bawah. Dia pun mendekatkan anak-anak kepadaku. Dia memeluk kami dengan penuh cinta."Aku juga rindu kalian semua," balasnya dengan manis."Anak-anak udah makan?" tanyanya kemudian."Mereka udah makan. Aku juga udah makan tadi. Kamu pasti lapar, ya? Kamu makan dulu. Bu Dewi tadi masak banyak karena memang banyak orang berdatangan," ucapku.Perut Allea terdengar keroncongan. Aku segera memintanya makan kemudian kembali bercengkrama denganku. Dia beranjak meninggalkanku. Namun, Afkar menahan tubuh Allea. Rupanya, bocah enam tahun itu masih rindu."Kangen, ya, sama mama," kata Allea. Afkar hanya mengangguk."Biar makanannya dibawakan ke sini sa
(Kembali ke POV Reno)Penjelasan wanita yang sedang berada di kursi roda itu membuatku terkejut. Mbak Veni dan Mas Bram tega menggunakan Allea sebagai alat untuk kekayaan mereka. Kurang ajar memang pasangan suami istri itu. Sel tahanan adalah tempat yang cocok bagi mereka.Bu Yeni tiba-tiba mendapat kabar bahwa putranya telah ditangkap dan Allea akan tiba dalam beberapa saat. Wanita yang ada di kursi roda itu pamit pergi. Rasanya memang tidak tega melihat putra satu-satunya akan diproses hukum, tetapi itu juga keputusannya sendiri. Aku menyebut Bu Yeni sebagai wanita hebat karena mendidik anak tidak sekedar ucapan, tetapi juga tindakan.Kudengar suara orang ramai-ramai memasuki rumah. Aku masih di kamar dan belum latihan berjalan jauh. Hanya duduk dan mencoba menapak lantai sambil belajar berdiri beberapa detik kemudian maju dua langkah lalu duduk lagi."Alhamdulillah, akhirnya pulang dengan selamat." Itu seperti suara asisten Mbak Veni."Mama kangen," ucap seorang wanita yang suarany
Gawat! Ada yang mencurigaiku. Namun, aku tetap tertawa layaknya Miss K. Tiba-tiba saja Arga menarik tubuhku dengan kasar dan menatapku. Aku menatapnya dengan senyum menyeringai."Kamu hanya pura-pura supaya bisa menghindar dariku? Begitu?" tanya Arga."Rawwrrrrr!" Aku mengerang dan mendorong tubuhnya. Kudekati Arga yang mulai takut. Kulingkarkan jari-jemariku di lehernya."Hihihihi ....""Lia! Le–lepas ...." Arga merintih.Aku tersenyum puas menatap Arga yang ketakutan. Kudorong tubuhnya hingga dia terjatuh. Aku menoleh ke arah anak buah Arga. Mereka semua mulai ketakutan menatapku."Hihihihi ...."Semakin aku melangkah, mereka semakin mundur. Kulempar meja kecil yang ada di hadapanku sambil tertawa. Mereka semua lari keluar rumah. Payah! Ini masih baru lempar meja. Aku pun kembali menatap Arga yang masih tidak berkutik. Kudekati dia dan betapa terkejutnya aku. Astaga! Arga ngompol."Hihihihi ...." Untung saja tawa lepas ini dapat tersalurkan melalui tawa Miss K. "Iiiiihihihihi ...."
"Terus gimana? Cuma ini tempat yang aman dari kejaran polisi," ucap Arga.Hah? Arga dikejar polisi? Kasus apa? Sungguh, aku masih bingung.Aku terus berjalan dan duduk di anak tangga. Rambut acak-acakan yang terus kumainkan dengan gaun putih yang kukenakan benar-benar mendukung sandiwara ini."Na na na ... hihihi ...."Mereka terus memperhatikan diriku. Penakut semua! Mereka tidak ada yang berani mendekat. Namun, seseorang yang memakai peci itu dilepas ikatannya dan perlahan berjalan ke arahku. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang diikat Arga tadi."Siapa kau sebenarnya?" tanyanya.Aku tidak mengindahkan. Hanya kulirik sekejap lalu kembali memainkan rambut dan bersenandung."Keluar dari tubuh ini!"Aku menggeleng pelan. Namun, pria itu tiba-tiba memegang kepalaku. Dia membacakan doa kepadaku. Aku ini hanya pura-pura. Doa itu tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Aku ikuti saja doa yang dia bacakan. Sontak saja semua orang terkejut dan semakin takut.Arga? Nyalinya menciut. D
(POV Allea)Mataku berbinar-binar. Pria yang berprofesi sebagai ojek online itu mengetahui alamat Mas Reno. Beliau mengaku bahwa Mas Reno menyebar poster di mana-mana yang menyertakan alamatnya. Beliau segera memintaku naik ke atas motornya dan melakukan perjalanan. Namun, ada yang aneh ketika di tengah-tengah perjalanan."Loh, Pak? Ini kenapa?" tanyaku yang merasa motor ini meliuk-liuk.Motor berhenti dan kami pun turun. Ban motornya kempes. "Waduh, maaf! Bocor, Mbak," jelasnya.Aku melihat ban motor itu benar-benar kempes. "Ya sudah, kita cari bengkel ayo, Pak!" ajakku."Mbak nggak apa-apa menunggu ban ini ditambal?""Nggak apa-apa.""Mbak, bengkelnya jauh. Mbak tunggu di warung itu aja! Nanti saya kemari.""Nggak apa-apa saya temani! Mari saya bantu dorong! Jalannya nanjak begini, Pak," kataku.Kami segera pergi untuk mencari bengkel. Tidak masalah meski jauh, yang penting nanti aku sampai di rumah. Namun, baru beberapa saat berjalan, sebuah mobil sedan berhenti di samping kami. Du
(POV Allea)Nama itu seperti tidak asing. Reno, Arvin, Ansel, Afkar. Siapa mereka? Kenapa aku selalu menangis saat mendengar nama-nama itu? Sejak kedatangan pria itu di rumah calon mertua, hariku selalu gelisah. Entah kenapa pikiran selalu tertuju kepada mereka, padahal aku tidak mengenalnya.Mendekati hari pernikahan, perasaanku mendadak hambar kepada Arga. Mungkin aku terlalu banyak memikirkan pria bernama Reno itu. Berulang kali aku menyadarkan diri bahwa Arga adalah calon suamiku. Harusnya Arga yang ada di pikiran, bukan pria bernama Reno.Bu Yeni, calon mertuaku itu mendesak aku kembali kepada Reno secara tiba-tiba. Padahal, aku tidak mengenal siapa itu Reno. Entah kenapa Bu Yeni jadi membela pria itu. Sempat terpikir bahwa Bu Yeni tidak mengharapkanku sebagai menantu. Namun, saat itu Arga berusaha meyakinkan diriku dan mengatakan bahwa ibunya sedang di bawah pengaruh Reno.***Detik-detik pernikahan, pikiran semakin tidak karuan. Hati selalu gelisah. Entah perasaan apa ini. Ber
Tengah malam pun tiba. Namun, Bu Dewi tak kunjung menemuiku. Mbak Veni? Mungkin dia sedang bertepuk tangan atas kebahagiaan si bejat itu. Aku penasaran dengan reaksi Mbak Veni setelah mengetahui bahwa yang dinikahi Arga adalah Allea.Tubuh ini seperti mati rasa karena terlalu lama berbaring. Tidak apa, lebih baik aku tiada saja daripada harus melihat Allea menjadi istri orang lain. Esok, akan kuminta Mas Bram untuk menambahkan ikatan ini atau aku akan menyuruhnya menghabisiku secara terang-terangan.Lelah rasanya hidup di tengah orang-orang munafik. Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Allea kala itu. Janganlah kita terlalu mempercayai orang lain meski itu saudara sendiri. Allea juga pernah mengatakan supaya kami tidak terlalu berharap kepada sesama manusia sekalipun itu sedarah sekandung. Meski tidak semua orang begitu, tetapi berjaga-jaga itu lebih baik. Dalamnya hati manusia tak ada yang tahu. Khawatir ujung-ujungnya akan mengecewakan seperti yang kualami.Tuhan. Ya, selama ini aku