Beranda / Pernikahan / BIDADARI YANG HILANG / 3. Saran Memasang CCTV

Share

3. Saran Memasang CCTV

Penulis: Bintang Aldebaran
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Allea pergi begitu saja. Aku pun bergegas pergi ke ruang tamu untuk menemui teman-teman. Entah apa yang sudah mereka katakan terhadapku. Allea benar-benar mengacaukan semuanya.

Setelah berbincang-bincang, aku mengajak mereka ke ruang makan. Untung saja mainan di ruang tengah sudah tidak lagi berserakan. Kali ini kerja Allea sudah benar. Tanpa diperintah, dia sudah mengerti apa yang harus dia lakukan.

Entah di mana dia sekarang. Tidak ada lagi suara anak-anak. Mungkinkah Allea menidurkan mereka?

"Di mana istrimu?" tanya Dani.

"Mungkin nidurin anak-anak," jawabku.

"Panggil, dong! Kasihan dia. Ajak makan bareng-bareng!" kata Dani.

Aku bergegas mencari Allea dan mendapati ia menidurkan tiga anak kami. Baguslah jika begitu. Aku memberi isyarat kepada Allea agar segera keluar dan bergabung dengan teman-teman.

Makan malam kali ini dipenuhi pujian dari teman-teman. Mereka memuji kesuksesanku, kelezatan masakan istriku, dan kehebatan istriku yang mampu mengurus rumah serta tiga anak tanpa asisten.

Setelah mereka pulang, aku meminta Allea untuk membersihkan semuanya. Namun, dia masih duduk sembari memandangi bekas piring makan kami.

"Al! Kamu dengar? Aku meminta kamu membersihkannya sekarang!" pintaku.

"Bantuin, ya, Mas!" katanya.

"Kok, aku? Ini tugas kamu. Bisa-bisanya kamu minta aku mengerjakan tugas rumah tangga, apalagi nyuci piring. Nggak bisa," balasku menolak. Allea aneh-aneh saja. Mana mungkin aku mencuci piring sebanyak itu?

Aku merebahkan tubuh di ruang tengah. Rasanya tentram sekali jika anak-anak tidur lebih awal. Tidak ada keramaian, mainan tidak berserakan, rasanya benar-benar damai.

***

Pukul 01.00 WIB aku mendengar suara Arvin menangis. Segera aku bangunkan Allea dan memintanya pergi ke kamar anak. Selang beberapa menit, ternyata dia kembali dengan membawa Arvin dan meletakkannya di dekatku. Aku melihat jam menunjukkan pukul 02.00 WIB.

"Mas, bantu jaga Arvin, dong! Badanku rasanya sakit semua. Aku butuh istirahat. Aku cuma tidur sebentar tadi," keluh Allea.

"Kamu ngeluh? Pantas kamu ngeluh begitu? Tinggal tidurin lagi, apa susahnya?" sentakku.

Aku kembali memejamkan mata. Namun, tubuhku terasa diguncang pelan. "Mas, aku pusing beneran. Jagain bentar aja! Tolong! Arvin nggak mau tidur," ujar Allea.

Aku mengabaikan dia yang terus merengek dan mengguncang tubuhku. Apa dia pikir aku tidak pusing setiap hari melihat kekacauan di rumah? Belum lagi menghadapi pekerjaan di kantor. Allea terus mengganggu hingga aku benar-benar tidak bisa kembali tidur.

"Allea! Kamu jangan manja! Biasanya jaga anak juga bisa. Begadang sendiri juga sudah biasa. Kenapa kamu manja sekali, ha? Kamu nggak tahu aku capek?" sentakku yang tak sanggup menahan emosi.

Aku melihat Allea berkaca-kaca. Biar saja dia jera. Tidak sopan sekali memaksa suami untuk begadang! Dia beranjak sambil membawa Arvin keluar. Baguslah! Aku bisa melanjutkan tidurku.

Baru beberapa menit tidur, aku sudah mendengar suara berisik. Aku memeriksa keluar. Afkar dan Ansel sudah bangun. Mereka menonton video di televisi sambil tertawa tidak jelas. Sedangkan, Allea sibuk bermain di tenda anak dengan Arvin.

Segera aku mengambil remote dan mematikan televisi. "Berisik! Ini masih jam tiga," ucapku sambil membawa remote itu pergi.

"Papa!"

"Ma, Papa, Ma!"

"Mas, anak-anak nonton. Kenapa dimatiin?" Sudah kuduga, Allea pasti akan bertanya ini.

"Mengganggu! Aku nggak bisa tidur dari tadi. Lagian kenapa kamu bangunin mereka jam segini? Biar kamu ada temannya buat jagain Arvin? Iya?" tebakku.

"Mas, mereka tidur lebih awal. Pantas jika bangun lebih awal dari biasanya. Bukannya kamu sendiri yang kemarin protes gara-gara kelakuan mereka? Makanya aku usahain buat tidurin mereka lebih awal agar tidak mengganggu teman-temanmu," jawab Allea.

"Terus kamu nyalahin aku kalau mereka bangun lebih awal dan kamu begadang? Kemarin Arvin jatuh, kamu juga nyalahin aku. Padahal, aku sudah menjaga mereka," protesku.

Allea terdiam sejenak kemudian tersenyum menatapku. Dasar aneh!

"Ma, remote-nya di Papa," ucap Afkar seraya menarik baju Allea.

"Ma, ambilin remote-nya di Papa," sahut Ansel yang ikut menarik baju Allea.

Mereka terus merengek di bawah lutut Allea sambil menarik pakaiannya. Si kecil pun turut menarik pakaian Allea karena ikut-ikutan kedua kakaknya. Anehnya, Allea hanya diam dan masih terus menatapku.

"Apa? Kamu mau marah sama aku? Berani marah sama suami, ha?" sentakku sambil melotot ke arahnya.

Bibir pucat itu tersenyum. Dia terduduk perlahan seraya memeluk ketiga anakku. Entah apa maksudnya. Kudengar Allea sedikit terisak. Apakah dia menangis? Dasar cengeng! Begitu saja dia menangis, seperti mendapatkan beban hidup yang berat saja.

Aku meninggalkan Allea di sana. Dasar lemah! Dibentak sedikit saja sudah menangis.

***

Saat menyiapkan sarapan, kulihat dia tampak lesu. Mungkin saja masih marah denganku. Aku pun marah dengannya karena dia ... jam tidurku menjadi terganggu. Untung saja tidak ada pertemuan hari ini. Jadi, aku bisa sedikit santai di kantor.

"Tumben kamu masak ini doang?" tanyaku seraya menunjuk telur ceplok dan sayur bening bayam.

"Simpel." Jawabannya sama seperti masakannya, simpel.

"Yang niat, dong, Al! Anak-anak cuma kamu kasih telur aja sebagai protein hewaninya? Kasih yang lain!" titahku.

"Nanti siang aku masak lagi untuk mereka," ucapnya dengan nada lemah. Suaranya seperti sedikit serak.

"Kamu sakit?" tanyaku.

Allea hanya menggeleng. Dia sibuk menyiapkan satu per satu makanan di piring kami berempat. Allea? Dia selalu makan terakhir jika kami berempat sudah selesai makan.

"Nanti malam aku mau pergi ke acara pernikahan teman. Aku mau kamu ikut denganku. Sudah lama sekali kamu nggak pernah ikut serta kalau aku ada acara di luar. Jangan jadikan anak sebagai alasan! Titipkan anak-anak ke Mbak Veni!" ucapku.

Mbak Veni adalah kakak kandungku. Dia tinggal di kecamatan yang berbeda denganku. Namun, jarak rumahnya lumayan jauh dari sini.

"Mbak Veni ada si kembar, Mas. Aku takut ngerepotin kalau menitipkan anak-anak ke sana," jawab Allea kemudian.

"Si kembar sudah besar. Mereka sudah enam tahun dan sudah mengerti," kataku.

"Ta—"

"Udahlah, Al! Jangan banyak protes!"

Allea pun diam. Setuju atau tidak, dia harus ikut denganku. Aku tidak suka jika permintaanku ditolak.

***

Malam pun tiba. Allea sudah berdandan cantik seperti yang kuminta. Anehnya, meski sudah dipoles make up sedemikian rupa, wajahnya tetap terlihat pucat. Ah, selagi Allea sehat, itu tidak masalah. Mungkin hanya efek kurang tidur.

Setelah mengantar anak-anak ke rumah Mbak Veni, kami segera pergi ke pesta pernikahan salah satu teman di kantor. Sesampainya di sana, kulihat semua sedang berkumpul dan berbincang-bincang.

"Pak Reno! Bu Allea!" sapa mereka.

"Apa kabar?" tanya Allea kepada karyawan yang merupakan teman kerjanya dulu.

"Baik, Bu Allea apa kabar? Kok ... makin kurusan, ya? Padahal dulu seger banget badannya," celetuk Selly yang merupakan karyawan lama di kantor.

"Bagus, dong. Nggak perlu repot diet," sahut Della.

"Iya, nih. Anak tiga, tapi badan bagus dan tetap kecil. Kasih rahasianya, dong!" timpal Anggita.

Aku membiarkan Allea mengobrol dengan teman-temannya. Mungkin saja dia rindu karena memang lama tidak pernah bertemu. Aku pun bergabung dengan teman-teman yang lain.

"Ren, itu Allea?" tanya Gideon yang merupakan sahabat baikku di kantor.

"Ya. Itu istriku. Kenapa?"

"Kok, beda, ya? Maaf, nih. Apa Allea sakit? Kenapa pucat dan badannya sangat kecil?" tanyanya.

"Nggaklah. Allea sehat-sehat aja. Emang udah perawakannya kecil," jawabku.

"Tapi dulu meski kecil nggak seperti ini. Dulu seger banget, loh. Kok, sekarang beda, ya? Maaf, Ren, bukan maksud apa-apa. Tapi emang beda aja lihat istrimu," ucap Gideon.

"Mungkin efek kelelahan aja," kataku santai. Gideon terlalu berlebihan, menurutku.

"Kamu tetap nggak pakai pengasuh atau asisten? Allea tetap urus anak dan rumah sendiri?" tanya Gideon lagi.

"Ya. Allea mengurus semuanya sendiri. Hebat, bukan?" ucapku membanggakan Allea.

Gideon tampak mengernyit dan menatapku aneh. Dia menggelengkan kepala seraya menepuk pundakku. "Ren, apa salahnya menggunakan satu asisten aja untuk Allea? Kasihan, loh, istrimu. Dia itu sangat kelelahan. Nggak mudah ngurus rumah sambil jagain tiga anak yang kecil-kecil."

"Heleh, itu memang sudah tugas istri. Nggak perlu pakai asisten segala," balasku.

Kenapa orang-orang selalu menyarankan asisten? Aku sama sekali tidak suka. Uang untuk membayar jasa mereka memang ada, tetapi aku tidak berminat menggunakan jasa asisten atau pengasuh. Biarlah Allea mengurus seorang diri. Lagi pula, dia mampu.

"Di rumahmu ada CCTV?" tanya Gideon. Entah apa maksudnya bertanya CCTV.

"Di luar rumah? Nggak ada. Untuk apa pula?" tanyaku.

"Di dalam rumah?"

"Nggak ada. Untuk apa? Di rumah cuma Allea dan anak-anak. Allea juga selalu kunci pintu. Pasti aman," jawabku.

"Bukan itu. Coba pasang kamera di dalam rumah, tepatnya di tempat Allea sering menjaga anak-anak," ucap Gideon.

Aku bingung dengan sarannya. "Untuk apa, sih?"

"Udahlah, pasang aja! Kewarasan istri itu perlu dijaga," ucap Gideon tanpa memberitahu alasan yang jelas. Kewarasan? Memangnya penampilan Allea terlihat seperti orang yang kurang waras?

"Pak Reno! Pak Reno! Bu Allea tidak sadarkan diri!"

Bab terkait

  • BIDADARI YANG HILANG   4. Ke Mana Allea?

    Segera aku membawa Allea rumah sakit. Entah kenapa dia begitu lemah. Awalnya dia sangat sehat, tetapi justru pingsan saat di pesta pernikahan temanku. Pasti besok akan jadi bahan perbincangan. Sungguh, Allea membuatku malu! Dokter mengatakan jika ada masalah di lambung Allea. Selain itu, tekanan darahnya juga rendah. Dokter menasehatiku panjang lebar supaya menjaga kesehatan Allea. Aku hanya mengangguk kemudian mengajak Allea pulang. "Kamu malu-maluin banget, sih? Kenapa harus pingsan di acara pernikahan temanku?" protesku kepada wanita yang mengenakan dress hitam itu. "Maaf!" Singkat sekali jawabannya. Hanya maaf, itu saja. Sepanjang perjalanan pulang, aku memang memarahi Allea. Tak kupedulikan dia yang tengah sakit. Itu hanya sakit biasa. Tadi, dokter sempat mengatakan jika Allea terlalu stres. Memangnya stres kenapa dia? Uang bulanan juga selalu aku kasih lebih. Mana mungkin stres?!Allea hanya diam. Menjawab pun hanya anggukan kepala. Dia pikir, dengan pura-pura lemah seperti

  • BIDADARI YANG HILANG   5. Hampa Tanpamu

    Sekarang aku tahu kenapa Gideon memaksa memasang kamera tersembunyi. Sekarang aku paham kenapa Gideon menyebut istriku gila. Aku mengerti kenapa Gideon memintaku untuk menjaga kewarasan Allea. Layar di hadapanku telah menunjukkan semua aktivitas Allea. Apa itu wanitaku selama ini? Wanita yang bertahun-tahun meminta pengasuh atau asisten, tetapi tidak pernah kupenuhi. Di sela-sela kesibukan Allea sebagai ibu rumah tangga, kulihat rambutnya ditarik, tubuh kecilnya diperebutkan anak-anak untuk dinaiki. Namun, aku tidak melihat Allea marah dalam posisi itu. Dia justru menggoda anak-anak dan membuat mereka tertawa. Satu hal yang membuatku terkejut, yaitu Allea makan hanya saat anak-anak tidur, tepat di malam hari. Memang, saat libur kerja, aku pernah melihat Allea diganggu anak-anak ketika makan. Apakah itu berlangsung setiap hari sehingga membuat Allea baru bisa mendapatkan waktu makan saat malam? Bodoh! Aku sangat bodoh! Kenapa aku tidak bisa memahami istriku selama ini? Cukup! Aku ti

  • BIDADARI YANG HILANG   6. Benarkah Itu Allea?

    "Pak Reno, dasinya masih belum rapi," ucap Monica saat aku sudah kembali ke ruangan. "Jika diizinkan, saya akan membantu," ujarnya lagi. Tidak mungkin juga aku bertemu orang-orang dengan dasi berantakan seperti ini. Aku terdiam menatap Monica kemudian mengangguk. "Silakan!" kataku terpaksa.Monica mendekat dan merapikan dasiku. Aku memintanya agar melakukan itu dengan cepat karena takut ada karyawan lain yang melihat. Bisa jadi kacau kalau sampai ada yang salah paham. "Memangnya istri Pak Reno ke mana, sih? Pakaian kusut, dasi berantakan. Apa sibuk ngurus tiga anak sampai lupa dengan suami?"Segera aku menjauhkan diri dari Monica. Lancang sekali pertanyaannya. "Sopan kamu bertanya seperti itu?" hardikku. "Ma–maaf! Saya tidak bermaksud begitu.""Kamu tidak tahu apa saja yang Allea lakukan untuk saya. Jaga bicaramu tentang Allea jika ingin tetap bekerja di sini!" ancamku kepadanya. Monica tertunduk. Entah apa yang dipikirkan sekarang. Apakah aku berlebihan? Mungkin, tapi yang jelas

  • BIDADARI YANG HILANG   7. Hampir Gila

    Tanpa menunggu lama, aku segera meluncur ke taman. Aku melaju dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampai. Mudah-mudahan saja mereka masih di sana. Untung jarak rumah ini ke Taman Pelangi tidaklah jauh. Pandanganku langsung tertuju ke arah Mbak Veni di tempat parkir mobil. Kulihat dia seperti menghalangi Allea. Aku segera ke sana dan turun dari mobil. "Allea!" seruku. Allea berlari entah ke mana. Aku dan Mbak Veni mengejar. Sementara, Mas Bram kulihat bersama anak-anakku di mobil. Allea terus berlari ke arah keramaian sehingga membuatku susah mendapatkannya. Dia seperti orang ketakutan saat melihatku. "Argh! Sial!" Aku tak sengaja menabrak seseorang yang tengah makan sosis. Sosisnya terjatuh dan sausnya mengotori pakaianku. Dia marah dan ibunya menahanku. Sementara, kulihat Mbak Veni terus mengejarnya. Anak remaja yang sosisnya terjatuh itu minta ganti rugi. Aku memberinya selembar uang berwarna biru. Kulanjutkan langkah dan mendapati Mbak Veni tengah berhenti dengan napas tersen

  • BIDADARI YANG HILANG   8. Trauma (POV Allea)

    (POV Allea)Dia adalah pria yang mengejarku enam tahun lalu. Baru beberapa bulan menjadi sekretaris pribadinya, dia sudah melamar diriku. Dia mengungkapkan ketertarikannya kepada diri ini. Awalnya aku ragu dan tidak memberi jawaban. Namun, dia tidak menyerah dan terus mendatangi orangtuaku. Bahasa cintanya selalu tersirat. Mas Reno ibarat tokoh fiksi di dunia novel yang sering kubaca. Seorang atasan yang bucin terhadap bawahannya. Ya, itulah Mas Reno. Pada akhirnya, Mas Reno berhasil mengambil hati orangtuaku. Akhirnya, ayah dan ibu mendesakku supaya menerima lamaran Mas Reno. Mbak Veni sering menemuiku agar menerima lamaran adiknya itu. Sedikit memaksa, bukan? Ya sudah, aku terima saja karena dari berbagai pihak sudah banyak yang mendukung. Mas Reno bahkan tidak sungkan menunjukkan ketertarikannya kepadaku di hadapan teman-teman kantor. Seiring berjalannya waktu, pernikahan kami berlangsung bahagia. Kelahiran anak pertama—Afkar—semakin menambah kebahagiaan kami. Selang beberapa bu

  • BIDADARI YANG HILANG   9. Rencana Mengambil Anak (POV Allea)

    (POV Allea)Bu Yeni menemuiku dan mengajakku bicara empat mata. Wanita tua itu meminta kejelasan, sejelas-jelasnya tentang hubunganku dengan Mas Reno. Jujur, aku tidak bisa berbicara banyak karena mengingat dirinya saja sudah membuatku sangat tertekan. Lagi-lagi Bu Yeni memahamiku. Entah mimpi apa aku bisa bertemu orang sebaik Bu Yeni. ***Hari ini Bu Yeni ingin mengajak anak-anak ke Taman Pelangi. Awalnya aku keberatan dan tidak setuju karena taman itu dekat dengan rumah Mas Reno. Namun, Bu Yeni memaksa karena ingin melihat anak-anak bermain bebas dan jajan di sana. Memang, taman itu sangat luas. Cocok untuk semua kalangan dan sudah dilengkapi aneka jajanan yang cukup banyak."Sekali ini aja, Lia! Aku juga pengin jalan-jalan sama anak kecil. Aku suka iri kalau lihat seseorang main sama cucu-cucunya. Apalagi si Arga itu nggak nikah-nikah," curhatnya kepadaku. Memang, Bu Yeni hanya memiliki satu putra, yaitu Arga. Apalagi di usianya yang tak lagi muda ini sedang membutuhkan teman agar

  • BIDADARI YANG HILANG   10. Kewalahan

    (Kembali ke POV Reno)Sudah tiga hari ini, aku mengurus anak-anak seorang diri. Mbak Veni? Pulang karena si kembar mendadak sakit. Allea juga tidak datang sampai detik ini. Entah kenapa ibu dari anak-anakku itu sangat tega. Kupikir dia akan kembali. Jika tidak demi diriku, setidaknya demi anak-anak. Rumah, aku bersihkan seadanya. Makan, aku pesan melalui aplikasi. Aku tidak sanggup jika harus memasak. Selain tidak ahli, anak-anak juga selalu mengganggu. Semua pakaian mereka kusut karena aku tidak bisa menyetrikanya bahkan tidak ada waktu. Belum lagi mereka kompak mencari ibunya. Pekerjaan juga menjadi kacau. Terpaksa aku harus bekerja dari rumah. Datang ke kantor hanya beberapa saat kemudian kembali lagi. Saat pergi, anak-anak kutinggal di rumah. Seluruh pintu dan jendela aku kunci. Barang-barang yang mudah pecah dan benda tajam sudah aku amankan. Semua mainan mereka aku berikan supaya tidak mencari saat aku pergi. Pengasuh? Ya, aku saat ini sedang berusaha mencari pengasuh. Aku ti

  • BIDADARI YANG HILANG   11. Kedatangan Polisi

    Senyumku hilang seketika. Kupikir dia adalah Allea, ternyata bukan. "Hai, Pak Reno!" "Ada apa, Mon?" tanyaku kepada Monica. "Saya bawa makanan untuk Pak Reno dan anak-anak."Monica menyerahkan rantang susun kepadaku. "Kenapa kamu repot-repot?" tanyaku. "Nggak repot, kok, Pak. Saya cuma ingin berbagi makanan aja." Aku menerima makanan pemberian Monica. Memang, dia sudah tahu perihal kepergian Allea. "Terima kasih," ujarku kemudian. "Di mana anak-anak? Boleh saya menemui mereka?" Aku hanya mengangguk kemudian mempersilakan Monica untuk masuk. "Hai!" Monica menyapa anak-anak. Mereka hanya menoleh kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Ansel menghampiriku yang membawa rantang. "Apa itu, Pa?" tanyanya penasaran. "Makanan dari Tante Monica. Mau?" tawarku. Ansel mengangguk. Afkar yang sibuk dengan makanannya pun turut mendekat. "Biar saya bantu siapkan, ya. Saya ambilkan sesuatu, ya, Pak." Monica berdiri dan entah akan ke mana. "Kamu mau ke mana?" tanyaku. "Ke dapur." "Dudu

Bab terbaru

  • BIDADARI YANG HILANG   30. Akhir Kisah

    "Kenapa? Anak Mas Reno, 'kan, anak kamu juga. Masa', kamu mau sama bapaknya aja?" Sindiran Allea membuatku geleng-geleng kepala. "Al, udah!" ucapku. Kulihat Monica menggeleng pelan. "M–maaf, Bu. Saya tidak bermaksud ingin menjadi sugar baby atau istri ke dua. Tadi saya hanya bercanda saja," ucapnya kemudian. "Benar, 'kan, kalau mau jadi istri ke dua?" tanya Allea lagi.Monica menggeleng cepat. "Saya hanya bercanda, Bu. Maaf!" "Bercanda?" Allea mengernyit. "I–iya Bu. Saya hanya bercanda, kok. Maaf, ya! Saya pamit pulang dulu, permisi!" ujar Monica kemudian beranjak pergi. Aku melongo, nyali Monica menciut begitu saja setelah mendapat omongan sepanjang jalan kenangan dari Allea. Sok garang di belakang Allea. Nyatanya takut juga. Setelah Monica pergi, aku segera mengajak Allea masuk. Banyak pertanyaan yang akan kuberikan kepadanya. "Bu Dewi masih bekerja di sini, kenapa kamu mengatakan itu? Kamu mau memecatnya?" tanyaku. "Nggaklah, Mas." "Terus kamu hamil beneran?" tanyaku pena

  • BIDADARI YANG HILANG   29. Allea VS Monica

    "Masuk aja, yuk!" ajak Allea kepada Monica. "Terima kasih, Bu, tapi saya di sini saja. Saya hanya sebentar, kok," jawab Monica. "Kenapa?" tanya Allea. "Tidak apa-apa, Bu. Di sini saja," jawabnya. Untungnya dia menolak. Meski dia tidak memberitahu alasan menolak ajakan Allea untuk masuk, tetapi aku dapat menebak bahwa dia takut dengan kemoceng. "Kalau gitu, aku buatkan minum dulu, ya." Allea bergegas masuk untuk membuat minum.Aku dan Monica duduk di teras. Dia terus memperhatikan Allea yang melangkah ke dalam."Ada apa, Mon?" tanyaku."Nggak apa-apa. Cuma pengin tahu keadaan Pak Reno saja. Saya juga mau ngasih tahu kalau saya sudah pindah bekerja dan pindah kontrakan.""Terus? Apa hubungannya sama saya?" tanyaku heran."Ya ... saya cuma memberitahu. Siapa tahu Pak Reno kembali bekerja di kantor yang dulu terus mencari keberadaan saya."Aku menahan tawa mendengar penuturannya yang sangat percaya diri. "Mon, mana mungkin saya nyariin kamu. Saya juga sudah tidak bekerja di sana lagi

  • BIDADARI YANG HILANG   28. Tak Ingin Berjauhan

    Allea tertawa kecil. "Kan, tadi udah," jawabnya."Peluk, dong! Aku kangen," rayuku setengah berbisik."Al, satu tahun aku cari kamu. Pulang kerja cari kamu. Malam pun cari kamu. Aku berdiam diri di tempat kamu hilang sambil menunggumu datang. Aku mengabaikan orang-orang yang menganggap aku gila," sambungku.Allea berkaca-kaca sambil menggigit bibir bawah. Dia pun mendekatkan anak-anak kepadaku. Dia memeluk kami dengan penuh cinta."Aku juga rindu kalian semua," balasnya dengan manis."Anak-anak udah makan?" tanyanya kemudian."Mereka udah makan. Aku juga udah makan tadi. Kamu pasti lapar, ya? Kamu makan dulu. Bu Dewi tadi masak banyak karena memang banyak orang berdatangan," ucapku.Perut Allea terdengar keroncongan. Aku segera memintanya makan kemudian kembali bercengkrama denganku. Dia beranjak meninggalkanku. Namun, Afkar menahan tubuh Allea. Rupanya, bocah enam tahun itu masih rindu."Kangen, ya, sama mama," kata Allea. Afkar hanya mengangguk."Biar makanannya dibawakan ke sini sa

  • BIDADARI YANG HILANG   27. Pertemuan yang Diimpikan

    (Kembali ke POV Reno)Penjelasan wanita yang sedang berada di kursi roda itu membuatku terkejut. Mbak Veni dan Mas Bram tega menggunakan Allea sebagai alat untuk kekayaan mereka. Kurang ajar memang pasangan suami istri itu. Sel tahanan adalah tempat yang cocok bagi mereka.Bu Yeni tiba-tiba mendapat kabar bahwa putranya telah ditangkap dan Allea akan tiba dalam beberapa saat. Wanita yang ada di kursi roda itu pamit pergi. Rasanya memang tidak tega melihat putra satu-satunya akan diproses hukum, tetapi itu juga keputusannya sendiri. Aku menyebut Bu Yeni sebagai wanita hebat karena mendidik anak tidak sekedar ucapan, tetapi juga tindakan.Kudengar suara orang ramai-ramai memasuki rumah. Aku masih di kamar dan belum latihan berjalan jauh. Hanya duduk dan mencoba menapak lantai sambil belajar berdiri beberapa detik kemudian maju dua langkah lalu duduk lagi."Alhamdulillah, akhirnya pulang dengan selamat." Itu seperti suara asisten Mbak Veni."Mama kangen," ucap seorang wanita yang suarany

  • BIDADARI YANG HILANG   26. Berlanjut Kesurupan (POV Allea)

    Gawat! Ada yang mencurigaiku. Namun, aku tetap tertawa layaknya Miss K. Tiba-tiba saja Arga menarik tubuhku dengan kasar dan menatapku. Aku menatapnya dengan senyum menyeringai."Kamu hanya pura-pura supaya bisa menghindar dariku? Begitu?" tanya Arga."Rawwrrrrr!" Aku mengerang dan mendorong tubuhnya. Kudekati Arga yang mulai takut. Kulingkarkan jari-jemariku di lehernya."Hihihihi ....""Lia! Le–lepas ...." Arga merintih.Aku tersenyum puas menatap Arga yang ketakutan. Kudorong tubuhnya hingga dia terjatuh. Aku menoleh ke arah anak buah Arga. Mereka semua mulai ketakutan menatapku."Hihihihi ...."Semakin aku melangkah, mereka semakin mundur. Kulempar meja kecil yang ada di hadapanku sambil tertawa. Mereka semua lari keluar rumah. Payah! Ini masih baru lempar meja. Aku pun kembali menatap Arga yang masih tidak berkutik. Kudekati dia dan betapa terkejutnya aku. Astaga! Arga ngompol."Hihihihi ...." Untung saja tawa lepas ini dapat tersalurkan melalui tawa Miss K. "Iiiiihihihihi ...."

  • BIDADARI YANG HILANG   25. Pura-pura Kesurupan II (POV Allea)

    "Terus gimana? Cuma ini tempat yang aman dari kejaran polisi," ucap Arga.Hah? Arga dikejar polisi? Kasus apa? Sungguh, aku masih bingung.Aku terus berjalan dan duduk di anak tangga. Rambut acak-acakan yang terus kumainkan dengan gaun putih yang kukenakan benar-benar mendukung sandiwara ini."Na na na ... hihihi ...."Mereka terus memperhatikan diriku. Penakut semua! Mereka tidak ada yang berani mendekat. Namun, seseorang yang memakai peci itu dilepas ikatannya dan perlahan berjalan ke arahku. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang diikat Arga tadi."Siapa kau sebenarnya?" tanyanya.Aku tidak mengindahkan. Hanya kulirik sekejap lalu kembali memainkan rambut dan bersenandung."Keluar dari tubuh ini!"Aku menggeleng pelan. Namun, pria itu tiba-tiba memegang kepalaku. Dia membacakan doa kepadaku. Aku ini hanya pura-pura. Doa itu tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Aku ikuti saja doa yang dia bacakan. Sontak saja semua orang terkejut dan semakin takut.Arga? Nyalinya menciut. D

  • BIDADARI YANG HILANG   24. Pura-pura Kesurupan (POV Allea)

    (POV Allea)Mataku berbinar-binar. Pria yang berprofesi sebagai ojek online itu mengetahui alamat Mas Reno. Beliau mengaku bahwa Mas Reno menyebar poster di mana-mana yang menyertakan alamatnya. Beliau segera memintaku naik ke atas motornya dan melakukan perjalanan. Namun, ada yang aneh ketika di tengah-tengah perjalanan."Loh, Pak? Ini kenapa?" tanyaku yang merasa motor ini meliuk-liuk.Motor berhenti dan kami pun turun. Ban motornya kempes. "Waduh, maaf! Bocor, Mbak," jelasnya.Aku melihat ban motor itu benar-benar kempes. "Ya sudah, kita cari bengkel ayo, Pak!" ajakku."Mbak nggak apa-apa menunggu ban ini ditambal?""Nggak apa-apa.""Mbak, bengkelnya jauh. Mbak tunggu di warung itu aja! Nanti saya kemari.""Nggak apa-apa saya temani! Mari saya bantu dorong! Jalannya nanjak begini, Pak," kataku.Kami segera pergi untuk mencari bengkel. Tidak masalah meski jauh, yang penting nanti aku sampai di rumah. Namun, baru beberapa saat berjalan, sebuah mobil sedan berhenti di samping kami. Du

  • BIDADARI YANG HILANG   23. Ingatan Kembali (POV Allea)

    (POV Allea)Nama itu seperti tidak asing. Reno, Arvin, Ansel, Afkar. Siapa mereka? Kenapa aku selalu menangis saat mendengar nama-nama itu? Sejak kedatangan pria itu di rumah calon mertua, hariku selalu gelisah. Entah kenapa pikiran selalu tertuju kepada mereka, padahal aku tidak mengenalnya.Mendekati hari pernikahan, perasaanku mendadak hambar kepada Arga. Mungkin aku terlalu banyak memikirkan pria bernama Reno itu. Berulang kali aku menyadarkan diri bahwa Arga adalah calon suamiku. Harusnya Arga yang ada di pikiran, bukan pria bernama Reno.Bu Yeni, calon mertuaku itu mendesak aku kembali kepada Reno secara tiba-tiba. Padahal, aku tidak mengenal siapa itu Reno. Entah kenapa Bu Yeni jadi membela pria itu. Sempat terpikir bahwa Bu Yeni tidak mengharapkanku sebagai menantu. Namun, saat itu Arga berusaha meyakinkan diriku dan mengatakan bahwa ibunya sedang di bawah pengaruh Reno.***Detik-detik pernikahan, pikiran semakin tidak karuan. Hati selalu gelisah. Entah perasaan apa ini. Ber

  • BIDADARI YANG HILANG   22. Pertolongan

    Tengah malam pun tiba. Namun, Bu Dewi tak kunjung menemuiku. Mbak Veni? Mungkin dia sedang bertepuk tangan atas kebahagiaan si bejat itu. Aku penasaran dengan reaksi Mbak Veni setelah mengetahui bahwa yang dinikahi Arga adalah Allea.Tubuh ini seperti mati rasa karena terlalu lama berbaring. Tidak apa, lebih baik aku tiada saja daripada harus melihat Allea menjadi istri orang lain. Esok, akan kuminta Mas Bram untuk menambahkan ikatan ini atau aku akan menyuruhnya menghabisiku secara terang-terangan.Lelah rasanya hidup di tengah orang-orang munafik. Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Allea kala itu. Janganlah kita terlalu mempercayai orang lain meski itu saudara sendiri. Allea juga pernah mengatakan supaya kami tidak terlalu berharap kepada sesama manusia sekalipun itu sedarah sekandung. Meski tidak semua orang begitu, tetapi berjaga-jaga itu lebih baik. Dalamnya hati manusia tak ada yang tahu. Khawatir ujung-ujungnya akan mengecewakan seperti yang kualami.Tuhan. Ya, selama ini aku

DMCA.com Protection Status