Tanpa menunggu lama, aku segera meluncur ke taman. Aku melaju dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampai. Mudah-mudahan saja mereka masih di sana. Untung jarak rumah ini ke Taman Pelangi tidaklah jauh.
Pandanganku langsung tertuju ke arah Mbak Veni di tempat parkir mobil. Kulihat dia seperti menghalangi Allea. Aku segera ke sana dan turun dari mobil."Allea!" seruku.Allea berlari entah ke mana. Aku dan Mbak Veni mengejar. Sementara, Mas Bram kulihat bersama anak-anakku di mobil. Allea terus berlari ke arah keramaian sehingga membuatku susah mendapatkannya. Dia seperti orang ketakutan saat melihatku."Argh! Sial!" Aku tak sengaja menabrak seseorang yang tengah makan sosis. Sosisnya terjatuh dan sausnya mengotori pakaianku. Dia marah dan ibunya menahanku. Sementara, kulihat Mbak Veni terus mengejarnya.Anak remaja yang sosisnya terjatuh itu minta ganti rugi. Aku memberinya selembar uang berwarna biru. Kulanjutkan langkah dan mendapati Mbak Veni tengah berhenti dengan napas tersengal-sengal."Mbak, di mana Allea?""Nggak tahu. Aku kehilangan jejak. Terlalu banyak orang di sini," jawabnya ngos-ngosan.Astaga! Rasanya aku ingin membenturkan kepala yang sudah cenat-cenut dari tadi. Tiba-tiba saja Mas Bram menelepon dan mengatakan jika Allea kembali ke tempat parkir."Cepat! Allea berusaha mengajak anak-anak pergi lagi," ucap Mas Bram.Hah! Cepat sekali Allea berputar langkah. Mungkin dia memanfaatkan keramaian ini untuk kembali ke sana tanpa sepengetahuanku. Cerdik sekali dia mengecoh kami!"Allea!" seruku saat tiba di tempat parkir. Namun, Allea seperti orang ketakutan saat melihatku. Dia berlari lagi. Saat aku hendak mengejar, Mbak Veni menahan."Kenapa, Mbak?" tanyaku."Bawa anak-anakmu pulang!" pinta Mbak Veni sambil mengusap keringat di dahi."Loh? Allea gimana?""Gampang! Allea pasti akan terpancing untuk pulang menemui anak-anak," jawabnya.Benar juga yang dikatakan Mbak Veni. Jika aku membawa ketiga anakku pulang, pasti Allea juga akan pulang dengan sendirinya. Allea tidak bisa hidup tanpa anak-anak."Bagaimana Mbak Veni bisa membawa tiga anakku ke dalam mobil tadi?" tanyaku penasaran."Ceritanya panjang. Membawa Ansel dan Afkar ke sini itu penuh perjuangan. Tujuanku untuk memancing Allea agar dia mau ikut dengan kami, tapi dia nggak mau masuk ke mobil. Saat Allea memaksa ngajak anak-anak pergi, aku langsung merebut Arvin dan memasukkannya ke mobil bersama Ansel dan Afkar. Maksudku biar Allea nggak jadi pergi dan mau masuk mobil, tapi ternyata Allea semakin menjadi dan terus berusaha mengambil mereka," jelas Mbak Veni.Aku menciumi ketiga anakku. Mereka masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Mereka menangisi ibunya. Ketiga anakku bersahutan melontarkan kata 'Mama'.Aku membawa mereka kembali ke rumah. Namun, tangis mereka tak kunjung reda. Mereka menginginkan Allea. Tiba-tiba, aku terkejut melihat Ansel yang mengamuk.Ansel melemparkan dan menjatuhkan benda apapun di sekitarnya. Dia bahkan menangis, menjerit, berguling, hingga salto. Ansel memukul benda-benda yang ada. Kami kewalahan menenangkan Ansel yang seperti itu. Allea selalu menyebutnya ini dengan tantrum.Aku mendekap putra ke duaku itu. Kupeluk ia dengan erat. Tangisku tumpah sejadi-jadinya. Bagaimana bisa Allea mengatasi Ansel jika tengah tantrum? Kami bertiga saja kewalahan melakukannya. Bagaimana Allea melakukannya seorang diri? Lagi-lagi penyesalan atas sikapku itu semakin bertambah.Setelah satu jam, Ansel mulai tenang. Mas Bram pamit pulang untuk mengajak anak-anak mereka kemari. Mbak Veni tetap di sini dan akan menunggu Allea datang. Mbak Veni menuturiku bagaimana caranya mengurus anak. Saat aku hendak membawa Arvin ke kamar mandi karena buang air, Afkar merengek minta makan. Kuminta Afkar bersabar, tetapi dia justru marah dan semakin rewel."Aku buatkan makanan untuk Afkar. Kamu ganti popok Arvin," kata Mbak Veni yang sedari tadi memeluk Ansel."Ya, Mbak."Aku mengajak Arvin ke kamar mandi. Ini pertama kali aku mengganti popok anakku. Berantakan? Tentu saja. Aku kewalahan karena Arvin langsung mengambil gayung dan bermain air. Membersihkan kotoran anakku saja aku tidak bisa.Setelah cukup lama di kamar mandi, aku keluar membawa Arvin. Seluruh pakaiannya basah akibat kebodohanku yang tidak becus mengurus anak. Kulihat Ansel tengah berdiri sambil sesenggukan."Ansel mau mainan baru?" tanyaku kepada bocah yang memandangiku dari tadi.Ansel mengangguk. Aku mengulurkan tangan supaya dia mendekat."Nanti beli mainan baru, tapi Ansel makan dulu sama Tante Veni dan Kakak," kataku membujuknya.Ansel mengangguk lagi kemudian menghampiri Mbak Veni yang sedang diteror Afkar karena makanan tak kunjung jadi. Aku pergi ke kamar anak untuk mengganti pakaian Arvin. Untung pakaian anak-anak masih ada yang tertinggal di sini.Belum apa-apa, Arvin sudah lari. Saat hendak kupakaikan popok baru, dia pergi. Dia berlari sambil tertawa seolah sedang bermain."Arvin, pakai popok dulu!" kataku.Arvin tidak mendengarkan. Dia terus berlari. Aku pun mengunci pintu kamar kemudian menggendongnya. Kuletakkan bocah kecilku itu di kasur. Dua kaki berhasil masuk lubang popok, tetapi masih belum terpasang sempurna. Namun, Arvin dengan cepat berguling dan kembali berlari. Dia menjauh kemudian duduk melepaskan popoknya dengan paksa.Astaga! Apakah ini yang dilakukan Allea setiap hari bahkan setiap saat? Ini masih baru Arvin yang kuhadapi, belum Afkar dan Ansel. Begini saja rasanya aku ingin menjerit dan marah, tapi bagaimana Allea bisa sesabar itu?"Mbak, udah matang?" tanyaku setengah berteriak kepada Mbak Veni."Udah. Ini mau nyuapi mereka," jawabnya."Biar aku yang menyuapi mereka. Tolong gantikan pakaian Arvin, Mbak! Aku nggak bisa," ucapku merasa malu.Kami beralih tugas. Aku menyuapi Afkar dan Ansel secara bergantian. Saat mereka menanyakan Allea, aku mengatakan bahwa Allea sedang membeli mainan untuk mereka. Untung saja mereka percaya dan semoga Allea segera kembali.Jujur, ini pertama kalinya aku menyuapi mereka. Sulit? Tentu sangat sulit. Mereka makan sambil bermain. Ditambah mereka yang tidak mau diam di satu tempat. Aku sampai heran, apakah kaki mereka tidak lelah? Aku yang memperhatikannya pun sangat lelah. Ditambah lagi harus mengikuti mereka ke sana kemari."Bagaimana bidadari cantik itu melakukannya dengan baik dan seorang diri?" batinku terus bertanya-tanya. Sungguh, setelah ini aku akan menempatkan Allea pada posisi yang sebenarnya, yaitu ratu. Ya, selain bidadari, Allea adalah ratuku. Pantaskah aku memperlakukan seorang ratu sekejam dan seegois itu?Tiba-tiba saja Ansel dan Afkar berebut mainan. Mereka tidak mau mengalah. Keduanya sama-sama ingin memiliki mainan itu. Padahal, aku sudah membelikannya masing-masing."Cukup! Sudah! Jangan berebut!" kataku berusaha memisahkan.Mereka semakin menjadi. Ansel mendorong Afkar sehingga Afkar terjatuh dan menangis."Ansel! Nggak boleh begitu!" hardikku."Afkar, berikan mainan itu kepada adikmu!" pintaku kepada putra sulungku.Afkar tidak mau melepaskan mainannya. Ansel kembali ingin mendorong kakaknya. Namun, berhasil kutahan. Menjadi Allea beberapa menit saja sudah membuatku hampir gila. "Oh, astaga! Allea, bagaimana kabar mentalmu selama ini?"Mbak Veni keluar dari kamar sambil menggendong Arvin yang menangis karena mencari keberadaan ibunya. "Aku beli susu dulu. Siapa tahu dia haus dan ngantuk." Mbak Veni pun bergegas membeli susu dan botol di minimarket terdekat.Kini, tiga putraku tengah bersamaku. Arvin masih menangis mencari ibunya, Afkar menangis karena mainannya hendak direbut sang adik. Ansel pun marah dan masih berusaha mengambil mainan di tangan Afkar.Aku terkejut saat Ansel tiba-tiba membanting piring di tanganku. Untung saja peralatan makan anak-anak tidak terbuat dari bahan yang mudah pecah. Namun, makanan berserakan. Nasi dan lauk berceceran. Lantai menjadi kotor dan lengket."Afkar, berikan mainan itu kepada Ansel!" pintaku karena mengendalikan emosi Ansel sangatlah susah. Aku tidak ingin dia marah lagi seperti tadi."Nggak. Ini punyaku," jawab Afkar keras kepala."Astaga! Pinjamkan sebentar!" titahku lagi."Nggak mau.""Mama ... Mama!""Papa, aku mau mainan itu! Papa!""Ini punyaku.""Aku mau itu!""Jangan! Ini punyaku!""Mama ... Mama!""Cukup!" sentakku kepada mereka. Suara mereka bersahutan di kepala dan membuatku gila. Arvin masih terus mencari ibunya. Ansel dan Afkar juga tidak ada yang mau mengalah.Tiba-tiba aku ingat, aku pernah berjanji tidak akan memarahi mereka, tetapi dalam keadaan seperti ini sangatlah sulit untuk mengendalikan amarah. Demi meredam emosi, aku mencoba untuk diam dan memejamkan mata. Namun, air mata ini perlahan keluar. Tangisku pecah bersama mereka. Aku tak ada bedanya dengan anak-anak yang membutuhkan Allea saat ini.Aku meraih tangan Ansel dan Afkar. "Sini! Pukul papa, Nak! Pukul papa! Selama ini papa nggak pernah memperhatikan kalian dan mama kalian. Pukul papa!" teriakku frustasi.(POV Allea)Dia adalah pria yang mengejarku enam tahun lalu. Baru beberapa bulan menjadi sekretaris pribadinya, dia sudah melamar diriku. Dia mengungkapkan ketertarikannya kepada diri ini. Awalnya aku ragu dan tidak memberi jawaban. Namun, dia tidak menyerah dan terus mendatangi orangtuaku. Bahasa cintanya selalu tersirat. Mas Reno ibarat tokoh fiksi di dunia novel yang sering kubaca. Seorang atasan yang bucin terhadap bawahannya. Ya, itulah Mas Reno. Pada akhirnya, Mas Reno berhasil mengambil hati orangtuaku. Akhirnya, ayah dan ibu mendesakku supaya menerima lamaran Mas Reno. Mbak Veni sering menemuiku agar menerima lamaran adiknya itu. Sedikit memaksa, bukan? Ya sudah, aku terima saja karena dari berbagai pihak sudah banyak yang mendukung. Mas Reno bahkan tidak sungkan menunjukkan ketertarikannya kepadaku di hadapan teman-teman kantor. Seiring berjalannya waktu, pernikahan kami berlangsung bahagia. Kelahiran anak pertama—Afkar—semakin menambah kebahagiaan kami. Selang beberapa bu
(POV Allea)Bu Yeni menemuiku dan mengajakku bicara empat mata. Wanita tua itu meminta kejelasan, sejelas-jelasnya tentang hubunganku dengan Mas Reno. Jujur, aku tidak bisa berbicara banyak karena mengingat dirinya saja sudah membuatku sangat tertekan. Lagi-lagi Bu Yeni memahamiku. Entah mimpi apa aku bisa bertemu orang sebaik Bu Yeni. ***Hari ini Bu Yeni ingin mengajak anak-anak ke Taman Pelangi. Awalnya aku keberatan dan tidak setuju karena taman itu dekat dengan rumah Mas Reno. Namun, Bu Yeni memaksa karena ingin melihat anak-anak bermain bebas dan jajan di sana. Memang, taman itu sangat luas. Cocok untuk semua kalangan dan sudah dilengkapi aneka jajanan yang cukup banyak."Sekali ini aja, Lia! Aku juga pengin jalan-jalan sama anak kecil. Aku suka iri kalau lihat seseorang main sama cucu-cucunya. Apalagi si Arga itu nggak nikah-nikah," curhatnya kepadaku. Memang, Bu Yeni hanya memiliki satu putra, yaitu Arga. Apalagi di usianya yang tak lagi muda ini sedang membutuhkan teman agar
(Kembali ke POV Reno)Sudah tiga hari ini, aku mengurus anak-anak seorang diri. Mbak Veni? Pulang karena si kembar mendadak sakit. Allea juga tidak datang sampai detik ini. Entah kenapa ibu dari anak-anakku itu sangat tega. Kupikir dia akan kembali. Jika tidak demi diriku, setidaknya demi anak-anak. Rumah, aku bersihkan seadanya. Makan, aku pesan melalui aplikasi. Aku tidak sanggup jika harus memasak. Selain tidak ahli, anak-anak juga selalu mengganggu. Semua pakaian mereka kusut karena aku tidak bisa menyetrikanya bahkan tidak ada waktu. Belum lagi mereka kompak mencari ibunya. Pekerjaan juga menjadi kacau. Terpaksa aku harus bekerja dari rumah. Datang ke kantor hanya beberapa saat kemudian kembali lagi. Saat pergi, anak-anak kutinggal di rumah. Seluruh pintu dan jendela aku kunci. Barang-barang yang mudah pecah dan benda tajam sudah aku amankan. Semua mainan mereka aku berikan supaya tidak mencari saat aku pergi. Pengasuh? Ya, aku saat ini sedang berusaha mencari pengasuh. Aku ti
Senyumku hilang seketika. Kupikir dia adalah Allea, ternyata bukan. "Hai, Pak Reno!" "Ada apa, Mon?" tanyaku kepada Monica. "Saya bawa makanan untuk Pak Reno dan anak-anak."Monica menyerahkan rantang susun kepadaku. "Kenapa kamu repot-repot?" tanyaku. "Nggak repot, kok, Pak. Saya cuma ingin berbagi makanan aja." Aku menerima makanan pemberian Monica. Memang, dia sudah tahu perihal kepergian Allea. "Terima kasih," ujarku kemudian. "Di mana anak-anak? Boleh saya menemui mereka?" Aku hanya mengangguk kemudian mempersilakan Monica untuk masuk. "Hai!" Monica menyapa anak-anak. Mereka hanya menoleh kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Ansel menghampiriku yang membawa rantang. "Apa itu, Pa?" tanyanya penasaran. "Makanan dari Tante Monica. Mau?" tawarku. Ansel mengangguk. Afkar yang sibuk dengan makanannya pun turut mendekat. "Biar saya bantu siapkan, ya. Saya ambilkan sesuatu, ya, Pak." Monica berdiri dan entah akan ke mana. "Kamu mau ke mana?" tanyaku. "Ke dapur." "Dudu
Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku? Di saat aku dan anak-anak sedang membutuhkan Allea, kabar buruk tengah menimpa kami. Pantas jika tadi perasaan mendadak tidak enak saat melihat mobil yang kecelakaan di dekat jembatan. Mbak Veni dan Monica berada di rumah untuk menjaga anak-anak. Aku dan Mas Bram pergi untuk mencari keberadaan Alleaku yang dikabarkan jatuh ke bawah jembatan.Pikiran dan perasaanku saat ini benar-benar tidak karuan. Segala kemungkinan buruk terus terlintas. Meski Mas Bram memintaku untuk tetap berpikir positif, tetap saja tidak bisa. Alleaku mengalami kecelakaan dan jatuh ke bawah jembatan. Bagaimana aku bisa berpikir positif?Setibanya di lokasi kejadian, pikiran semakin kacau melihat ada mobil yang terguling di tepian sungai yang mengalir. Kupikir tadi adalah kecelakaan tunggal, ternyata di bawah sini ada mobil yang katanya ditumpangi oleh Allea. Separuh jiwaku seolah hilang. Tubuh mendadak lemas apalagi saat mengetahui sungai yang mengalir di bawah sini cuku
(POV ARGA)Aku mengusap lembut tangan wanita cantik yang ada di hadapanku. Senyum yang dia berikan adalah senyum paling indah yang pernah kudapat. Kami memang tidak terlalu dekat saat SMP dulu. Kami hanya berbeda kelas, tetapi saling tahu.Sudah sejak SMP aku mengincarnya, tetapi tak berani mendekati. Alasannya sepele, yaitu tidak ingin mengganggu prestasinya. Dia cukup terkenal di sekolah. Dia sangat aktif di berbagai organisasi. Jangankan mendekati, mengobrol satu menit saja itu sudah syukur.Kupikir akan mendekatinya saat SMA nanti. Namun, rencana tidak sesuai ekspektasi. Aku harus pindah kota mengikuti keinginan kedua orangtua. Mereka menyekolahkan aku di sekolah ternama yang ada di salah satu kota besar di Indonesia.Rindu? Jelas sekali aku sangat merindukan Allea. Tidak ada akses untuk menghubungi dirinya. Teman-teman juga tidak tahu di mana dan berapa nomor telepon Allea. Kabar yang kudengar saat itu Allea juga pindah ke luar kota. Sudah, harapanku untuk mendapatkan Allea semak
(Kembali ke POV Reno)Sudah hampir enam bulan aku dan anak-anak hidup tanpa Allea. Apakah Alleaku mati? Tidak. Aku sangat yakin jika Allea masih hidup. Jika memang mati, sudah pasti jasadnya akan ditemukan mengapung. Namun, hingga detik ini tidak ada penemuan jasad wanita. Suara wanita yang sempat kudengar beberapa bulan lalu adalah suara Allea. Sayangnya, orang-orang menganggap aku berhalusinasi. Aku yakin jika Allea berada di tempat lain. Pasti seseorang di sana telah menolongnya dan Allea trauma untuk kembali kepadaku. Mungkin Allea memang sengaja meninggalkan anak-anak bersamaku supaya aku merasakan bagaimana menjadi dirinya.Aku memang tengah merasakan itu. Jujur, aku tidak sanggup dan mengaku kalah. Arvin diasuh oleh Mbak Veni di rumahnya, sedangkan Afkar dan Ansel tetap bersamaku dan dibantu seorang pengasuh. Ya, aku menggunakan bantuan pengasuh karena tak sanggup jika harus melakukannya seorang diri. Hebatnya Allea mengasuh tiga anak sekaligus tanpa bantuan siapapun. Ditamba
Segera aku pamit pulang karena hari juga sudah malam. Khawatir apabila Bu Dewi kewalahan menghadapi Ansel dan Afkar yang penuh drama saat hendak tidur. Bu Dewi adalah pengasuh anak-anak. Kesabarannya hampir setara dengan Allea. ***"Papa, kenapa Mama belum pulang?" Pertanyaan itu kerap kali ditanyakan oleh Afkar saat aku hendak menidurkannya. "Mama kerja, Sayang. Mama akan pulang jika uangnya sudah banyak. Mama ingin membeli mainan yang banyak untuk kalian," kataku mencoba menghibur kerinduan Afkar kepada Allea. Sungguh, pedih hati ini melihat anak-anak yang merindukan ibunya. Kuusap lembut kepala mereka. Ansel terlihat sudah terlelap. Afkar pun perlahan mulai memejamkan mata. Allea, kembalilah demi anak-anak! Aku berjanji tidak akan bersikap seperti dulu. Usai menidurkan anak-anak, aku kembali ke kamar. Kurebahkan tubuh di sana sambil memandang foto pernikahanku dengan Allea yang tercetak dalam ukuran besar.Sayang, kamu sangat cantik! Dulu, mendapatkan Allea penuh perjuangan.
"Kenapa? Anak Mas Reno, 'kan, anak kamu juga. Masa', kamu mau sama bapaknya aja?" Sindiran Allea membuatku geleng-geleng kepala. "Al, udah!" ucapku. Kulihat Monica menggeleng pelan. "M–maaf, Bu. Saya tidak bermaksud ingin menjadi sugar baby atau istri ke dua. Tadi saya hanya bercanda saja," ucapnya kemudian. "Benar, 'kan, kalau mau jadi istri ke dua?" tanya Allea lagi.Monica menggeleng cepat. "Saya hanya bercanda, Bu. Maaf!" "Bercanda?" Allea mengernyit. "I–iya Bu. Saya hanya bercanda, kok. Maaf, ya! Saya pamit pulang dulu, permisi!" ujar Monica kemudian beranjak pergi. Aku melongo, nyali Monica menciut begitu saja setelah mendapat omongan sepanjang jalan kenangan dari Allea. Sok garang di belakang Allea. Nyatanya takut juga. Setelah Monica pergi, aku segera mengajak Allea masuk. Banyak pertanyaan yang akan kuberikan kepadanya. "Bu Dewi masih bekerja di sini, kenapa kamu mengatakan itu? Kamu mau memecatnya?" tanyaku. "Nggaklah, Mas." "Terus kamu hamil beneran?" tanyaku pena
"Masuk aja, yuk!" ajak Allea kepada Monica. "Terima kasih, Bu, tapi saya di sini saja. Saya hanya sebentar, kok," jawab Monica. "Kenapa?" tanya Allea. "Tidak apa-apa, Bu. Di sini saja," jawabnya. Untungnya dia menolak. Meski dia tidak memberitahu alasan menolak ajakan Allea untuk masuk, tetapi aku dapat menebak bahwa dia takut dengan kemoceng. "Kalau gitu, aku buatkan minum dulu, ya." Allea bergegas masuk untuk membuat minum.Aku dan Monica duduk di teras. Dia terus memperhatikan Allea yang melangkah ke dalam."Ada apa, Mon?" tanyaku."Nggak apa-apa. Cuma pengin tahu keadaan Pak Reno saja. Saya juga mau ngasih tahu kalau saya sudah pindah bekerja dan pindah kontrakan.""Terus? Apa hubungannya sama saya?" tanyaku heran."Ya ... saya cuma memberitahu. Siapa tahu Pak Reno kembali bekerja di kantor yang dulu terus mencari keberadaan saya."Aku menahan tawa mendengar penuturannya yang sangat percaya diri. "Mon, mana mungkin saya nyariin kamu. Saya juga sudah tidak bekerja di sana lagi
Allea tertawa kecil. "Kan, tadi udah," jawabnya."Peluk, dong! Aku kangen," rayuku setengah berbisik."Al, satu tahun aku cari kamu. Pulang kerja cari kamu. Malam pun cari kamu. Aku berdiam diri di tempat kamu hilang sambil menunggumu datang. Aku mengabaikan orang-orang yang menganggap aku gila," sambungku.Allea berkaca-kaca sambil menggigit bibir bawah. Dia pun mendekatkan anak-anak kepadaku. Dia memeluk kami dengan penuh cinta."Aku juga rindu kalian semua," balasnya dengan manis."Anak-anak udah makan?" tanyanya kemudian."Mereka udah makan. Aku juga udah makan tadi. Kamu pasti lapar, ya? Kamu makan dulu. Bu Dewi tadi masak banyak karena memang banyak orang berdatangan," ucapku.Perut Allea terdengar keroncongan. Aku segera memintanya makan kemudian kembali bercengkrama denganku. Dia beranjak meninggalkanku. Namun, Afkar menahan tubuh Allea. Rupanya, bocah enam tahun itu masih rindu."Kangen, ya, sama mama," kata Allea. Afkar hanya mengangguk."Biar makanannya dibawakan ke sini sa
(Kembali ke POV Reno)Penjelasan wanita yang sedang berada di kursi roda itu membuatku terkejut. Mbak Veni dan Mas Bram tega menggunakan Allea sebagai alat untuk kekayaan mereka. Kurang ajar memang pasangan suami istri itu. Sel tahanan adalah tempat yang cocok bagi mereka.Bu Yeni tiba-tiba mendapat kabar bahwa putranya telah ditangkap dan Allea akan tiba dalam beberapa saat. Wanita yang ada di kursi roda itu pamit pergi. Rasanya memang tidak tega melihat putra satu-satunya akan diproses hukum, tetapi itu juga keputusannya sendiri. Aku menyebut Bu Yeni sebagai wanita hebat karena mendidik anak tidak sekedar ucapan, tetapi juga tindakan.Kudengar suara orang ramai-ramai memasuki rumah. Aku masih di kamar dan belum latihan berjalan jauh. Hanya duduk dan mencoba menapak lantai sambil belajar berdiri beberapa detik kemudian maju dua langkah lalu duduk lagi."Alhamdulillah, akhirnya pulang dengan selamat." Itu seperti suara asisten Mbak Veni."Mama kangen," ucap seorang wanita yang suarany
Gawat! Ada yang mencurigaiku. Namun, aku tetap tertawa layaknya Miss K. Tiba-tiba saja Arga menarik tubuhku dengan kasar dan menatapku. Aku menatapnya dengan senyum menyeringai."Kamu hanya pura-pura supaya bisa menghindar dariku? Begitu?" tanya Arga."Rawwrrrrr!" Aku mengerang dan mendorong tubuhnya. Kudekati Arga yang mulai takut. Kulingkarkan jari-jemariku di lehernya."Hihihihi ....""Lia! Le–lepas ...." Arga merintih.Aku tersenyum puas menatap Arga yang ketakutan. Kudorong tubuhnya hingga dia terjatuh. Aku menoleh ke arah anak buah Arga. Mereka semua mulai ketakutan menatapku."Hihihihi ...."Semakin aku melangkah, mereka semakin mundur. Kulempar meja kecil yang ada di hadapanku sambil tertawa. Mereka semua lari keluar rumah. Payah! Ini masih baru lempar meja. Aku pun kembali menatap Arga yang masih tidak berkutik. Kudekati dia dan betapa terkejutnya aku. Astaga! Arga ngompol."Hihihihi ...." Untung saja tawa lepas ini dapat tersalurkan melalui tawa Miss K. "Iiiiihihihihi ...."
"Terus gimana? Cuma ini tempat yang aman dari kejaran polisi," ucap Arga.Hah? Arga dikejar polisi? Kasus apa? Sungguh, aku masih bingung.Aku terus berjalan dan duduk di anak tangga. Rambut acak-acakan yang terus kumainkan dengan gaun putih yang kukenakan benar-benar mendukung sandiwara ini."Na na na ... hihihi ...."Mereka terus memperhatikan diriku. Penakut semua! Mereka tidak ada yang berani mendekat. Namun, seseorang yang memakai peci itu dilepas ikatannya dan perlahan berjalan ke arahku. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang diikat Arga tadi."Siapa kau sebenarnya?" tanyanya.Aku tidak mengindahkan. Hanya kulirik sekejap lalu kembali memainkan rambut dan bersenandung."Keluar dari tubuh ini!"Aku menggeleng pelan. Namun, pria itu tiba-tiba memegang kepalaku. Dia membacakan doa kepadaku. Aku ini hanya pura-pura. Doa itu tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Aku ikuti saja doa yang dia bacakan. Sontak saja semua orang terkejut dan semakin takut.Arga? Nyalinya menciut. D
(POV Allea)Mataku berbinar-binar. Pria yang berprofesi sebagai ojek online itu mengetahui alamat Mas Reno. Beliau mengaku bahwa Mas Reno menyebar poster di mana-mana yang menyertakan alamatnya. Beliau segera memintaku naik ke atas motornya dan melakukan perjalanan. Namun, ada yang aneh ketika di tengah-tengah perjalanan."Loh, Pak? Ini kenapa?" tanyaku yang merasa motor ini meliuk-liuk.Motor berhenti dan kami pun turun. Ban motornya kempes. "Waduh, maaf! Bocor, Mbak," jelasnya.Aku melihat ban motor itu benar-benar kempes. "Ya sudah, kita cari bengkel ayo, Pak!" ajakku."Mbak nggak apa-apa menunggu ban ini ditambal?""Nggak apa-apa.""Mbak, bengkelnya jauh. Mbak tunggu di warung itu aja! Nanti saya kemari.""Nggak apa-apa saya temani! Mari saya bantu dorong! Jalannya nanjak begini, Pak," kataku.Kami segera pergi untuk mencari bengkel. Tidak masalah meski jauh, yang penting nanti aku sampai di rumah. Namun, baru beberapa saat berjalan, sebuah mobil sedan berhenti di samping kami. Du
(POV Allea)Nama itu seperti tidak asing. Reno, Arvin, Ansel, Afkar. Siapa mereka? Kenapa aku selalu menangis saat mendengar nama-nama itu? Sejak kedatangan pria itu di rumah calon mertua, hariku selalu gelisah. Entah kenapa pikiran selalu tertuju kepada mereka, padahal aku tidak mengenalnya.Mendekati hari pernikahan, perasaanku mendadak hambar kepada Arga. Mungkin aku terlalu banyak memikirkan pria bernama Reno itu. Berulang kali aku menyadarkan diri bahwa Arga adalah calon suamiku. Harusnya Arga yang ada di pikiran, bukan pria bernama Reno.Bu Yeni, calon mertuaku itu mendesak aku kembali kepada Reno secara tiba-tiba. Padahal, aku tidak mengenal siapa itu Reno. Entah kenapa Bu Yeni jadi membela pria itu. Sempat terpikir bahwa Bu Yeni tidak mengharapkanku sebagai menantu. Namun, saat itu Arga berusaha meyakinkan diriku dan mengatakan bahwa ibunya sedang di bawah pengaruh Reno.***Detik-detik pernikahan, pikiran semakin tidak karuan. Hati selalu gelisah. Entah perasaan apa ini. Ber
Tengah malam pun tiba. Namun, Bu Dewi tak kunjung menemuiku. Mbak Veni? Mungkin dia sedang bertepuk tangan atas kebahagiaan si bejat itu. Aku penasaran dengan reaksi Mbak Veni setelah mengetahui bahwa yang dinikahi Arga adalah Allea.Tubuh ini seperti mati rasa karena terlalu lama berbaring. Tidak apa, lebih baik aku tiada saja daripada harus melihat Allea menjadi istri orang lain. Esok, akan kuminta Mas Bram untuk menambahkan ikatan ini atau aku akan menyuruhnya menghabisiku secara terang-terangan.Lelah rasanya hidup di tengah orang-orang munafik. Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Allea kala itu. Janganlah kita terlalu mempercayai orang lain meski itu saudara sendiri. Allea juga pernah mengatakan supaya kami tidak terlalu berharap kepada sesama manusia sekalipun itu sedarah sekandung. Meski tidak semua orang begitu, tetapi berjaga-jaga itu lebih baik. Dalamnya hati manusia tak ada yang tahu. Khawatir ujung-ujungnya akan mengecewakan seperti yang kualami.Tuhan. Ya, selama ini aku