POV Bayu Namaku Bayu. Dalam hal percintaan aku tipenya setia. Bahkan, aku berpacaran dengan Nabila selama 8 tahun, meski akhirnya hubungan kami harus putus. Nabila menerima perjodohan dari orang tuanya. Aku mengerti mengapa Nabila memilih calon yang ditawarkan oleh orang tuanya dibandingkan aku. Calon dari orang tuanya usianya lima tahun di atasku dan secara ekonomi, ia sudah mapan. Beda dengan kondisiku yang saat orang tua Nabila menghendaki kekasihku itu segera menikah, aku masih tertatih dengan masa depanku. Ditinggalkan Nabila bukanlah hal yang mudah bagiku. Delapan tahun bersamanya, tentu saja tiba-tiba aku mengalami kekosongan jiwa. Meskipun kami pacarannya tidak melakukan hubungan terlarang, tetap saja aku merasa kehilangan. Rasa kehilanganku sering kuluapkan dengan emosi pada orang terdekat, yaitu mama dan papa. Di rumah aku sering marah-marah tanpa alasan. Hingga akhirnya mama dan papa memutuskan menikahkanku dengan anak teman baiknya dengan harapan aku segera move on
Suatu hari Nabila tiba-tiba datang kepadaku. Matanya sembab bekas tangisan. "Bay, aku sudah pisah dari suamiku. Dia kasar dan suka memukul," ungkapnya saat menceritakan alasannya bercerai. Aku yang selama ini hidup tanpa masalah dengan Fahira, sangat iba dibuatnya. Awalnya, dia hanya minta dibantu mencari pekerjaan, karena selama menikah dia berhenti kerja. Lama-lama bertemu dengannya menjadi mirip seperti kebutuhan. Mirip jaman aku masih menjadi kekasihnya. Padahal aku sudah punya Fahira. Rasanya, bertemu dengan Nabila menimbulkan sensasi dan getaran tersendiri. Sedangkan dengan Fahira memang rasanya biasa saja. Mungkin karena aku awali hidup dengan Fahira tanpa cinta, sehingga kehadiran Nabila hanya membuat Fahira tak terlalu berarti lagi. Aku tahu, Fahira sangat mencintaiku. Tapi, aku juga mencintai Nabila. Meskipun begitu aku tak mau melepaskan Fahira. Dia adalah pelengkap hidupku. Aku memang serakah. Siapa yang mau melepaskan gadis sebaik Fahira. Gadis yang menerimaku apa ada
Akhirnya, saat yang ditunggu pun tiba. Aku sudah mengajukan cuti ke kantor jauh-jauh hari agar persiapan pernikahan keduaku tidak terganggu. Aku bilang ke Fahira kalau aku akan keluar kota. Biasanya dia akan percaya saja dan tidak banyak bertanya. Herannya, di saat yang sama dia merengek mengajakku mengunjungi orang tuanya.Memang kuakui, kami sudah lama tidak mengunjunginya. Mungkin lebaran terakhir kami ke sana. Dan setiap ke sana pertanyaannya sama dengan pertanyaan mama, kapan Fahira hamil. Padahal, aku memang belum menghendakinya. Akhirnya aku mengijinkan Fahira pergi sendiri ke rumah orang tuanya karena aku sudah terlanjur menyusun acaraku selama seminggu di luar kota. Selama aku pergi, aku memang tak menanyakan kabar apapun tentang Fahira. Itu juga sudah menjadi kebiasaan kami berdua. Kami saling percaya. Jika tidak ada yang teramat mendesak, kami tidak saling menghubungi.Dia hanya sekali menghubungi saat berada di Yogya. Aku yang memintanya agar aku dapat menelpon ayah me
“Jawab, Nabila!” Aku mengulangi pertanyaan dengan suara yang meninggi, seolah aku ingin meluapkan emosiku dalam beberapa hari terakhir. Iya, aku memang kesal dengan Nabila, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Dan kini aku seperti punya kesempatan itu. Nabila membalas tatapanku dengan nyalang. Dia seperti tidak menduga aku bisa sekasar ini. Biasanya aku sangat lembut dan penyabar terhadapnya, mengimbangi sifatnya yang meledak-ledak. Dahulu aku menyukai semua sifatnya itu. Tapi, tidak untuk sekarang! Aku benar-benar tidak dapat mengontrol emosi saat melihat tatapan mata Nabila. Aku tak pernah melihat tatapan menantang seperti itu dari Fahira. Egoku menjadi tersulut. Aku memilih mengemasi semua barang-barang pribadiku, memasukkannya ke koper dan mengambil kunci mobil. Malam itu juga kutinggalkan rumah Nabila. Aku tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari orang tua Nabila. Kewarasanku mendadak lenyap. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Fahira. Sebelum menstater mobil, kubuka
“Ma, apa Mama bilang ke Fahira kalau aku menikah dengan Nabila?” tanyaku ke mama melalui sambungan telepon. Pagi ini aku menumpang taksi menuju bandara. Aku ingin memastikan apakah Fahira ke Yogya hanya ingin bertemu orang tuanya saja, atau karena sebab lain. Aku sangat cemas dengan keputusan Fahira yang pergi begitu saja dan meninggalkan pesan yang sangat singkat. Bahkan, sampai pagi ini nomor Fahira pun tidak aktif. “Tidak. Mama tidak tahu. Kenapa?” balas mama dengan nada cemas. “Fahira tidak ada di rumah, Ma. Semalam dia pamit melalui pesan singkat. Tapi, nomornya tidak bisa aku hubungi lagi. Saat ini aku menuju Yogya,” ujarku sambil menutup sambungan teleponku ke mama. Entah apa yang akan dilakukan mama dan papaku kemudian, karena mereka sejatinya adalah teman orang tua Fahira. Sepanjang jalan, pikiranku berkelana. Bahkan panggilan dari Nabila tidak aku hiraukan. Hanya Fahira yang ada dalam otakku. Bayangan ayah dan ibu Fahira akan marah pun menghantuiku. Bagaimanapun
“Kurang ajar kamu, Bayu! Kamu pikir anak saya apa? Ha?” Papa Nabila sudah mendekatiku. Kedua tangannya mencengkeram kerah kaos yang aku kenakan. “Sudah, Papa!” Nabila berusaha mencegah Papanya melakukan kekerasan terhadapku. Sebenarnya pembelaan Nabila tak membuatku simpati padanya. Tapi, baiklah. Dia memang istriku dan aku tak pantas berbuat dzalim kepadanya dengan meninggalkannya di malam pertama. “Kita menginap di rumah yang kemaren kita sewa saja,” ujarku sambil masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. “Kenapa? Kenapa tidak disini? Rumah itu masih perlu di bersihkan, Bay. Tidak bisa langsung ditempati. Ini sudah sore. Sebaiknya besok saja kita suruh orang membersihkannya,” rajuk Nabila. Aku terdiam. Kenapa sih, Nabila tidak bisa bersabar menungguku di rumahnya saja? Kalau sudah selesai urusan, aku pasti menjemputnya. Ah, sudahlah. Aku sungguh lelah. Sebaiknya kubiarkan Nabila malam ini menginap di ruang tamu saja. Toh, aku belum tahu keberadaan Fahira saat ini.
Kini, aku sudah tahu jawabannya. Rupanya, Fahira sudah mengetahui kalau dirinya mendua sejak lama. Pasti itu juga yang membuat Fahira memutuskan pergi darinya. Keluar dari pekerjaannya. Fahira, di mana kamu sekarang? Kenapa kamu tak pernah mengatakannya padaku kalau kamu tahu? Kenapa kamu tak pernah marah padaku? Kenapa kamu melakukan ini padaku? BRAKKK! Kupukulkan kepalan tangan ke atas meja kerjaku. Suara gaduhnya membuat teman seruangan menoleh ke arahku. “Kenapa, Bay?” Alfian, yang duduknya paling dekat denganku langsung bertanya, membuatku tersentak mendengarnya. “Maaf!” ujarku lirih. Aku segera keluar dari ruangan. Aku benar-benar tak bisa konsentrasi. Kuputuskan untuk pergi ke kantin mencari kopi panas. Mungkin segelas kopi bisa sedikit meredakan emosi. Teringat kopi panas, aku jadi ingat Fahira yang rajin menemaniku sarapan pagi. Tadi pagi adalah hari pertamaku ke kantor tanpa Fahira. Dan tentu saja aku tak mencium aroma kopi buatannya dengan coffeemaker di dapur
Hari ini adalah hari ketiga aku kehilangan Fahira. Aku sama sekali tak mendapatkan jejak tentangnya. Akun medsosnya yang berhubungan denganku pun sudah dimatikan. Aku juga mengirim email ke seluruh email address-nya yang aku miliki. Namun, tak ada satu pun balasan. Aku hampir putus asa. Dua tahun bersamanya, kemana saja aku? Bahkan, saat kehilangan seperti ini, aku tak tahu kemana harus bertanya. Ingin rasanya kuputar waktu kembali. Ingin aku menawarkan diri untuk berkenalan dengan teman-temannya. Agar kalau suatu saat dia menghilang seperti ini, aku tahu kemana kaki ini harus mencari. Andaikan akun media sosialnya belum mati, tentu aku bisa mencari di list pertemanan. Sayangnya, akun itu pun lenyap. Sepulang kerja, aku berniat singgah ke rumah orang tuaku. Aku ingin tahu apakah mereka mempunyai kabar tentang Fahira. Karena keduanya adalah sahabat orang tua Fahira. Pastilah ada komunikasi. “Mertuamu tidak pernah mengontak kami sejak kepergian Fahira,” ujar mama saat aku dat