Hari berganti minggu. Aku tak juga menemukan di mana Fahira berada. Percuma aku susuri mall atau pusat perbelanjaan, karena dia tak mungkin ada di sana. Mertua dan kakak iparku pun enggan mengangkat teleponku. Bahkan membalas pesan singkatku pun tidak mau. Di medsos pun aku tidak mendapatkan jejaknya. Fahira seperti hilang di telan bumi. Sementara dengan Nabila hubunganku pun tidak berjalan mulus. Aku sudah tak lagi terobsesi seperti dulu. Bahkan, aku tak pernah punya hasrat mendekatinya. Aku hanya fokus mencarikan dia pekerjaan agar dia tidak terlalu tergantung padaku. Tentang uang bulanan. Aku masih mentransfer uang buat Fahira meskipun dia meninggalkan ATM dan buku tabungannya. Aku harap dia masih menggunakan internet banking atau mobile banking di ponselnya, meski aku juga tak yakin dia masih mau menggunakannya. Begitu naifnya aku. Aku tahu, pasti Fahira sangat kecewa. Akupun ingin menebus sakit hati yang dia rasakan itu. Jika saja dia ada di depanku, pasti aku akan tanyakan
“Nabila, gimana perkembangan pekerjaanmu?” tanyaku saat aku pulang ke rumah Nabila. Meski tidak menginap, aku tetap rutin menyambangi rumah keduaku itu. Satu bulan berlalu sudah, dan aku belum mendapatkan kabar apakah Nabila sudah mendapatkan pekerjaan.Paling tidak, dengan dia bekerja ada aktifitas lain selain seharian hanya di rumah dan tidak produktif. Apalagi dia suka berbelanja. Ditambah sekarang ada ART, tentu saja pengeluaran juga bertambah. Dulu, aku tak sampai berpikir sedetail ini. Jika ada dua rumah, berarti pengeluaran dua kali lipat. Apalagi dengan kenyataan kalau pengeluaran Nabila jauh lebih besar dari pengeluaran Fahira. Tentu saja kepalaku semakin berdenyut. “Sebenarnya sudah ada beberapa panggilan. Tapi, aku tidak cocok. Gajinya terlalu kecil,” keluhnya. Aku hanya menghela nafas. Memang bagi seseorang yang sudah tahu uang, dia akan bisa mendefinisikan gaji besar dan kecil. Apalagi Nabila termasuk yang boros. Beda dengan lulusan fresh graduate yang biasanya masih
POV FAHIRABelum sempat aku menjelaskan pada Mayang, tiba-tiba bel pintu kamarku kembali berbunyi. Mayang segera beranjak sambil menyambarkan jilbab yang tergantung di balik pintu kamar dan melemparkannya ke arahku. Jilbab segera kupakai sebelum Mayang membuka pintu. Dahiku mengernyit saat menyadari Mayang sengaja menahan pintu agar hanya terbuka setengah. Dia berdiri di mulut pintu yang terbuka.Aku tak dapat melihat dia berbicara dengan siapa. Tetapi, dari bahasanya, sepertinya dengan anak Indonesia juga. Mungkin yang tinggal di gedung ini juga. Buktinya dia bisa masuk tanpa memencet bel khusus tamu dari luar. Mendengar Mayang bernegosiasi, aku sedikit penasaran. Dengan siapa sebenarnya dia berbicara? Tamu Mayang, atau tamuku? Nggak mungkin rasanya kalau tamu Mayang ditemui di depan kamarku. Soalnya, dari tadi aku tak melihat Mayang memegang ponsel untuk berhubungan dengan orang lain. Hanya ada satu kemungkinan. Dia adalah tamuku yang juga dikenal Mayang. Negosiasi terdengar kia
Mayang sudah pergi dari kamarku. Dia ada janji mengerjakan tugas kelompok dengan temannya di kampus. Aku sendiri memilih istirahat setelah meminum obat pereda nyeri. Namun, rasa melilit di perutku karena lapar, tak bisa kuelakkan. Siang tadi aku hanya makan roti setangkup dan satu buah pisang. Bagi orang bule, makan siang roti itu sudah cukup. Mereka makan untuk hidup. Berbeda dengan kita yang hobi kuliner, hidup untuk makan! Aku bergegas ke luar rumah. Malas rasanya memasak untuk makan sore. Entahlah, tiba-tiba aku ingin sekali makan doner yang biasa dijual di restaurant Turki. Sepertinya irisan daging dan sayuran saladnya begitu menggoda dan kini membuat aku menelan ludah saat membayangkannya. Segera kuayunkan langkah kaki keluar gedung sambil menenteng tas belanja. Aku juga ingin mampir supermarket. Selain cuci mata, aku juga perlu membeli beberapa keperluan harian, buah, susu dan roti. Setelah bersepeda selama sepuluh menit, aku tiba di depan salah satu supermarket. Di sebel
“Ra, kamu sakit? Wajahmu pucat,” tutur Mas Bayu dengan penuh kecemasan. Dia menungguku di pintu toilet saat aku lari ke sana karena mulutku terasa mual. Dalam hati, aku bersorak. Baru kali ini, Mas Bayu demikian mencemaskanku. Mungkin karena biasanya aku terlalu mandiri dan tak pernah meminta perhatiannya.Namun, mau bagaimana lagi, semua perlengkapan obat-obatan ada di apartemenku. Sementara di sini, namanya apartemen sewaan, pasti tidak kumplit. Lagi pula, kalaupun ada P3K, mana ada bule nyimpen minyak angin. “Cuma butuh istirahat saja kayaknya.” Tanpa izin, aku merebah di kasur di apartemen Mas Bayu. Anggap saja milik sendiri. Jantungku berdebar saat aku merasakan Mas Bayu ikut merebah di sampingku. Bahkan dia bergeser mendekat hingga tercium aroma segar tubuhnya, yang sebenarnya aku rindukan juga. Sayangnya, mendadak perutku kembali merasa diaduk-aduk. Aku segera bangkit dan berlari ke toilet lagi, karena merasa ada respons dalam perutku yang minta untuk segera dikeluarkan.
Dia segera mengeluarkan satu paket makanan dalam kemasan kertas yang berisi burger dan mengangsurkannya padaku. Anehnya, kini dia tidak mendekatiku lagi. Mas Bayu memilih menjaga jarak. “Mbak Wulan dulu saat hamil, persis kayak kamu gitu. Tidak mau didekati oleh suaminya.” Aku urung menggigit burger gara-gara ucapannya. Mbak Wulan adalah kakak perempuan Mas Bayu yang sekarang tinggal di luar kota. Akupun hanya bertemu dengannya saat lebaran. Konon saat Mbak Wulan hamil anak pertama, memang tinggal di rumah orang tuanya. Tiba-tiba perasaanku menjadi campur aduk. Burger yang aromanya menggoda itu, kini tak dapat membuatku selera untuk menggigitnya. Bagaimana jika dugaan Mas Bayu kalau aku sedang hamil itu benar? “Kok malah bengong ... Nanti keburu nggak enak. Aku juga beli ayam gorengnya, nih.” Mas Bayu mengeluarkan dus berisi paketan chicken wings. Mataku mengikuti langkah Mas Bayu yang beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan dengan perasaan tak karuan. Usai mencuci t
“Selamat, ya. Kamu sudah jadi calon ibu.”Entah sejak kapan Mas Bayu sudah berdiri di belakangku yang berdiri membelakangi pintu toilet. Dia memeluk pinggangku dengan dagu yang diletakkan diatas bahuku. Dua benda ini masih di tangan. Dia bisa melihat hasilnya dengan jelas meski aku tak menunjukkan padanya. Serta merta kurenggangkan pelukannya. Hatiku masih bimbang. Normalnya, aku bahagia. Mungkin begitu juga Mas Bayu melihat hasil ini. Siapapun, yang sudah menikah, pasti menantikan buah hati. Tapi, posisiku kini berbeda. Aku yang berlari ingin melepaskan diri, seolah terperangkap kembali. Ini sama sekali tak terduga. Ingatanku kembali pada pembahasan dengan Mayang tentang pembalut. Saat itu aku anggap normal saja belum datang tamu bulanan selama dua bulan. Bahkan, semalam saat Mas Bayu membeli testpack, aku masih menganggapnya sebagai guyonan. Tapi, kini? Dengan benda ni menunjukkan tanda postif dan dua merek yang berbeda menunjukkan hasil yang sama, apakah aku harus meragukan ak
Meski ada tanda tanya besar di kepalaku, namun aku tetap pada pendirianku. Aku harus kuat. Aku tak boleh rapuh. Aku berusaha tidak menghiraukan lagi kata-katanya. Aku bukan Fahira yang dulu yang hanya bisa mengalah dan mengalah. Mas Bayu masih mematung saat aku meninggalkannya di parkiran sepeda. Tempat kuliahku sebenarnya hanya di sebelah apartemen. Aku sengaja membawa sepeda, agar nanti kalau mendadak ada keperluan, aku tak repot balik ke apartemen. Meski berusaha tak menggubris Mas Bayu, si*alnya, sepanjang kuliah, justru aku tak bisa berkonsentrasi. Ada rasa sesal telah tak mengacuhkannya. Padahal statusku masih istrinya. Aku jadi teringat pesan ayah dan ibu. Kalau aku harus mendapat ridho jika ingin hidupku berkah. “Aku lihat tadi Mas kemaren mencarimu. Sekarang masih menunggu di depan gedung tempat tinggal kita.” Aku bertemu Rian di dekat coffee machine. Setiap 45 menit jam perkuliahan biasanya kita diberi break sepuluh menit untuk sekedar ke toilet atau mengambil minu