Galang tidak bisa menolak permintaan Nona. Wanita itu menyuruh anakku untuk tinggal lagi di rumahnya. Dengan alasan memangkas jarak waktu tempuh ke kampusnya Galang ataupun bank tempat ia bekerja. Padahal dulu Nona bersikukuh tetap ingin berdesak-desakan dengan Bunga di rumahku.Namun, aku setuju saja. Selain untuk menghindari konflik antar Gading-Nona, sehingga keharmonisan keluarga Gading akan tetap terjaga.Hanya saja aku selalu mewanti-wanti Galang. Berpesan pada anak itu agar selalu membentengi dirinya dengan dzikir. Sehingga segala ajian, jampi-jampi, dan pelet tidak akan mempan.Waktu melangkah dengan begitu cepat. Tidak terasa sudah lima puluh hari, Galang tinggal di rumah Mas Arif. Anak itu kembali diajari bisnis oleh mertuanya.Sebagai ibu tentu saja aku senang mendengarnya. Semoga di saat anaknya lahir, Galang sudah mampu mengelola bisnisnya sendiri. Agar dia mampu mencukupi kebutuhan istri dan anaknya. Sehingga ibu mertuanya tidak akan lagi memandang rendah.*Hari ini kar
Di menit kelima kusudahi rekaman video amatir ini. Segini sudah cukup menjadi bukti. Penasaran alasan apalagi yang akan digunakan Nona untuk menyangkal kebohongannya selama ini.Bukti rekaman ini lekas kukirim ke nomornya Galang dan juga Mas Arif. Bagaimana dengan Sarita? Wanita itu juga harus tahu kelakuan anak kesayangannya selama ini. Tanpa ragu lagi, aku share juga video ini pada nomornya Sarita.Tidak menunggu lama, video yang kukirim pada Galang sudah centang biru. Anak itu bahkan langsung menghubungi aku."Assalamualaikum, Bu," sapa Galang begitu koneksi tersambung."Walaikum salam, Lang." Aku membalas dengan tenang."Ibu dapat video ini dari mana?" kejar Galang terdengar menggebu."Ibu dapat sendiri.""Kok bisa?""Kebetulan ibu lagi ada di Ratu Mall dan gak sengaja lihat Nona masuk ke tempat gym sama teman-temannya. Karena merasa aneh makanya ibu buntuti. Eh ... ternyata dia lagi lari-lari di atas treadmill, Lang," paparku setengah berbisik.Sesekali menatap sekitar takut ada
Nona yang tengah berlari kencang sontak berpaling begitu mendengar namanya dipanggil. Seketika roman mukanya pucat melihat Galang menatapnya dengan tajam. Sementara aku dan Mas Arif berdiri di belakang Galang.Nona sampai terjatuh karena lupa tidak mematikan mesin treadmill. Sebagai seorang Ayah, Mas Arif sigap menolong sang putri. Sementara Galang hanya bergeming."Kamu gak papa, Non?" Mas Arif membimbing sang putri berdiri.Nona meringis. Dia memegangi sikunya yang terantuk mesin lari itu. Sementara keringat tampak membasahi sekujur badannya."Eum ... kalian kok bisa ramai-ramai datang ke sini?" tegur Nona masih mengusap-usap lengannya."Kamu sendiri lagi apa di sini?" tanya Galang datar."Eum ... aku ... aku ... aku lagi olahraga, Sayang," jawab Nona agak terbata. Dirinya mengelap keringat yang membajiri wajah dan rambutnya.Ketika hendak memeluk lengan sang suami, Galang menepisnya. "Sudah gak usah banyak drama. Hentikan semua kekonyolan yang kamu buat, Non," titah Galang serius.
"Sar, kamu kenapa, Sar?" Mas Arif mengguncang tubuh sang istri. "Sariii." Dia menepuk-nepuk pelan pipi wanita yang sudah lebih dari seperempat abad menjadi teman hidupnya."Bu, Ibu kenapa, Bu?" Nona ikut juga mengguncang tubuh sang ibu.Aku sendiri kembali membuka tas. Sebotol minyak angin kuambil. Kubuka botol setinggi seratus dua puluh mililiter tersebut, lalu menempelkan pada hidung Sarita. Namun, wanita blouse hitam polos itu tidak merespon. Mata Sarita masih terpejam rapat. Sementara dadanya turun naik dengan lemah."Sepertinya pingsannya ibu parah, Yah," ujar Galang dengan tatapan prihatin, "sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja," usulnya peduli. "Ya, kamu benar." Mas Arif mengangguk. Pria itu lekas merogoh kantong celananya. Dia menyerahkan kunci mobil pada Galang. Setelah itu baru menggendong istrinya.Galang langsung bergerak cepat mendahului. Mas Arif menyusul dengan langkah tertatih. Karena faktanya membopong orang yang jatuh pingsan, berat badannya akan terasa dua kal
Aku mendesah karena merasa gagal membujuk Galang."Mending Ibu pulang sekarang." Galang mengusulkan saran, "nanti di rumah minta Mas Gading buat gantian jaga di sini. Soalnya besok pagi aku ada kuliah," paparnya menjelaskan alasan.Aku melihat jam pada layar ponsel. Sebentar lagi akan memasuki waktu maghrib. Kebetulan tubuh ini sudah meminta haknya untuk istirahat."Baiklah." Aku menyetujui saran Galang. "Oh iya ini makanan yang tadi pesan di kafe. Kalian makanlah." Kuangsurkan tas kertas itu pada Galang."Makasih, Bu." Galang menerima tanpa minat."Mas Arif, Nona, saya pamit pulang, ya. Sudah petang soalnya," izinku begitu mendekati Mas Arif dan anaknya."Iya, makasih banyak ya sudah dibantu," ucap Mas Arif masih lesu.Aku menipiskan bibir. "Semoga Mbak Sari segera pulih, ya.""Makasih doanya.""Kalo begitu saya permisi." Aku mengangguk pelan, sebelum pergi kuusap pelan lengan Nona tanda penguatan.Aku pun beranjak pergi. Kaki ini terayun hingga lobi rumah sakit. Beruntung tepat saa
"Aku mau kita pisah," putus Galang tanpa ragu.Bukan cuma Nona yang terkejut, tetapi aku dan Bunga juga lumayan terkesiap. Walau sudah menduga kalau hal ini bisa saja terjadi. Namun, kupikir tidak secepat ini."Lang, aku tahu kamu lagi marah, tapi tolong lihat situasi dan kondisi dulu." Nona minta dimaklumi, "aku memang salah karena sudah bohong tentang kehamilan ini. Tapi semua itu aku lakukan demi mempertahankan rumah tangga kita," tuturnya mencoba menghiba.Galang tersenyum miring. "Apah?" Galang menaruh telapak tangannya di kuping. Seolah kurang jelas mendengar. "Tujuan kamu bukan demi rumah tangga kita, tapi demi bisa mencari jalan untuk menghancurkan hubungan Gading dan istrinya," tuding Galang geram."Haaah? Apaaah?" Kali ini Bunga yang tersentak. Dia menghampiri Galang dan sang kakak. "Maksud kamu apa, Lang?" tanya Bunga serius.Galang menatap Bunga lekat. "Jadi, Nga, Embak kamu itu masih mencintai Gading. Masih ngarep bisa bersatu lagi.""Stop, Lang!" Nona berseru, "kamu bol
Bibir Nona mulai terlihat mencebik. Matanya pun tampak berembun. Pikiran negatif-ku mengatakan jika dia tengah menarik simpati."Dari dulu saya dan almarhum suami selalu membebaskan anak-anak untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Sama juga tentang memilih pasangan juga," tuturku selembut mungkin. Ini kulakukan agar Nona bisa mengerti dan tidak sakit hati. "Makanya, walaupun kemarin saya gak setuju Galang nikahi kamu, saya gak melarang. Karena saya pikir itu pilihan hati Galang yang sesungguhnya." "Aku tahu aku salah, Bu. Tapi, aku berhak untuk diberi maaf."Aku menarik napas dalam-dalam. Nona masih saja egois. "Galang juga berhak untuk bahagia, Non.""Gading dulu tidak mencintai Bunga, tapi sekarang dia sudah bisa menerima adik aku. Dan aku akan berusaha keras seperti Bunga untuk meluluhkan hati Galang, Bu," tekad Nona keras kepala."Saya paham kamu tipe wanita yang perfeksionis dan ambisius. Selalu berusaha untuk bisa meraih semua obsesi. Tapi ketahuilah ...." Aku menatap Nona
"Sar, Sariii!" Mas Arif memanggil nama sang istri. Namun, napas Sarita terus saja tersengal."Nyebut, Mbak." Aku berbisik di telinga wanita itu.Sarita tampak menggerakkan mulut. Namun, tidak jelas dia bicara apa. Hanya terdengar seperti racauan belaka."Sar, kamu harus tahan! Harus kuat demi anak-anak," bisik Mas Arif mulai terlihat cemas. Dia menggenggam erat jemari Sarita.Jujur aku pun ngeri lihat pemandangan ini. Rasanya ingin segera hengkang saja. Untung aku teringat call nurse.Aku langsung bergegas mendekat tombol yang terletak dekat headbed ranjang Sarita. Bel yang menempel di dinding itu lekas kupencet.Beberapa selang kemudian, seorang perawat datang dengan tergopoh-gopoh. Perempuan muda berseragam putih itu langsung memeriksa kondisi Sarita. Wajah suster tampak cemas."Saya panggil dokter dulu," pamit perawat itu membuat keputusan. Dirinya terburu-buru keluar lagi.Keadaan Sarita seperti orang sedang sekarat. Aku menjadi takut melihatnya. Lebih tepatnya tidak tega."Suruh
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den